Joice membeku diam di tempatnya. Matanya sudah memerah menahan air mata agar tidak tumpah. Beberapa kali dia meyakinkan bahwa apa yang dirinya lihat ini salah, namun ternyata yang ada di hadapannya ini merupakan nyata, bukan ilusi. Mati-matian, Joice menginjakkan kakinya ke lantai agar mampu tetap berdiri. Padahal sebenarnya energy dalam diri Joice seakan tersedot habis. Joice ingin berteriak menangis sekencang mungkin, tapi ini bukanlah tempat yang tepat untuk dia meluapkan segala kemarahan dan emosinya.Tampak raut wajah Marcel berubah melihat Joice bersama dengan Albern. Pancaran matanya memancarkan rasa terkejut dan penuh amarah tertahan. Akan tetapi di kala amaranya membakar—dia langsung menyadari bahwa saat ini dirinya memeluk pinggang Paige. Iris mata cokelat gelap Marcel sedikit memancarkan rasa panik. Tepat ketika Marcel menyadari dirinya memeluk pinggang Paige—dia segera menjauhkan dirinya dari Paige. Ya, gerakan Marcel begitu spontanitas hingga membuat Paige sedikit kesa
BrakkkMarcel membanting pintu mobilnya seraya menyeret kasar tangan Joice masuk ke dalam kamar mereka. Terlihat pergelangan tangan Joice sudah memerah akibat cengkraman kuat Marcel di pergelangan tangan Joice. Aura kemarahan dan emosi yang terbakar begitu nampak di wajah pria tampan itu. Sejak tadi Joice menahan rasa sakit di pergelangan tangannya. Dia membiarkan Marcel melakukan tindakan kasar. Sakit di pergelangan tangan Joice tidaklah sebanding dengan rasa sakit di hatinya.Para pelayan dan penjaga melihat Marcel menyeret tangan Joice. Mereka mencemaskan keadaan Joice, namun tentunya tidak ada yang berani melerai. Semua takut pada Marcel.Mata Joice memerah, air matanya sudah mengumpul di belakang bola matanya. Dia sudah tidak lagi bisa terbendungkan perasaan sesak di dadanya. Hati Joice layaknya ditikam oleh ribuan pisau. Meninggalkan sakit luar biasa, namun tetap tidak membuatnya mengembuskan napas terakhir. Jika boleh memilih, Joice lebih memilih untuk tidak lagi ada di dunia
PranggSebuah pajangan dilempar Marcel ke dinding, hingga pecahan dari pajangan yang terbuat dari keramik mahal itu telah memenuhi lantai. Aroma alkohol bercampur dengan asap rokok begitu kuat di ruang kerja Marcel.Tiga jam lalu, Marcel dan Joice berdebat hebat. Pertikaian itu berhenti di kala ucapan Joice meminta pisah. Marcel hendak ingin mengejar Joice, namun Joice sekarang tengah mengunci diri di kamar tamu.“Shit!” Marcel mengumpat kasar di kala benaknya terus teringat apa yang dikatakan oleh Joice. Hatinya begitu panas dan tidak rela ketika Joice mengatakan ingin berpisah darinya. Napas Marcel memburu. Entah kenapa hatinya begitu marah di kala Joice ingin berpisah darinya. Kemarahan dalam dirinya sudah tidak lagi bisa teratasi. Padahal seharusnya dia senang bisa terbebas dari Joice, tanpa harus menunggu Joice melahirkan.“Berengsek!” Marcel menyambar botol wine di hadapannya, dan melempar ke sembarangan arah, namun gerak Marcel terhenti ketika Hendy—asisten pribadinya—masuk ke
Tiga hari sudah Joice dan Marcel tidak bicara. Lebih tepatnya Joice masih diam mengurung diri di kamar. Bahkan Joice mematikan ponselnya agar tidak diganggu oleh siapa pun. Joice memang mengurung diri di dalam kamar, namun meski demikian dia tetaplah memikirkan anak yang ada di kandungannya. Dia tak ingin terjadi sesuatu hal buruk pada anaknya. Marcel sudah berusaha mengajak Joice berbicara, namun sayangnya berujung sia-sia. Joice tetap tidak ingin bicara. Memang, sampai detik ini Joice belum mengatakan pada pengacaranya untuk menjalankan proses cerainya dengan Marcel, tapi itu semua bukan karena dirinya berubah pikiran, melainkan karena ingin menenangkan diri sejenak. Tatapan Joice teralih pada susu hangat khusus ibu hamil yang dibuatkan sang pelayan. Dia memutuskan untuk mengambil gelas yang berisikan susu khusus ibu hamil itu dan meminum perlahan.Sudah tiga hari ini, Joice tidak pernah lagi merasakan lapar. Yang dia inginkan hanyalah mengurung diri di kamar. Tidak ingin digan
London, UK. Oliver menutup berkas kasus yang dia tangani. Dia tengah dibantu Samuel—ayahnya—untuk menangani kasus berat. Meski memiliki banyak pengalaman di bidang hukum, tetap Oliver membutuhkan banyak nasihat dari ayahnya. Ya, sudah tidak lagi heran jika Oliver Maxton kerap memenangkan kasus berat, karena di balik Oliver ada Samuel Maxton—pengacara senior kondang.“Oliver, kapan kau ke Milan?” Samuel menatap Oliver yang duduk di hadapannya.Oliver mengambil wine yang ada di atas meja dan menyesap perlahan wine tersebut. “Minggu ini aku akan ke Milan, menjenguk Joice.”“Besok saja kau berangkat. Pekerjaanmu di sini sudah mulai lowong,” balas Samuel dingin dan menegaskan. Pria paruh baya itu tidak sabar agar Oliver menjenguk Joice.“Tidak bisa, Pa. Besok aku masih memiliki meeting penting. Mungkin sekitar tiga hari lagi, aku akan berangkat,” ujar Oliver dingin dan datar.“Oliver—”Suara ketukan pintu menginterupsi percakapan Oliver dan Samuel.“Masuk!” Oliver meminta orang yang menge
“What? Cerai?” Hana melonjak terkejut mendengar Joice yang bercerita tengah sibuk mengurus proses cerai. Sungguh, Hana sama sekali tidak mengira kalau Joice tengah sibuk dengan proses cerai. Padahal pernikahan Joice dan Marcel masih baru seumur jagung. Pun bahkan kehamilan Joice masih sangat muda. Itu yang membuat Hana bingung serta tak mengerti.“Iya, aku memutuskan untuk bercerai dengan Marcel. Aku lelah, Hana. Aku lelah mengejar pria yang tidak pernah mencintaiku.” Joice berucap dengan nada tenang.Sampai detik ini, Joice masih berada di mansion Marcel. Dia belum bisa pergi, karena Marcel akan selalu melarang dirinya pergi. Akan tetapi, meski masih berada di mansion Marcel—dia tetap meminta pengacaranya untuk mengurus proses cerai.Joice tidak akan lagi menunda-nunda proses cerainya dengan Marcel. Entah keluarganya atau keluarga Marcel sudah tahu atau belum. Yang pasti memang Joice belum sama sekali bercerita secara langsung pada keluarganya ataupun keluarga Marcel, tentang dirinya
*Nyonya, asisten suami Anda datang ke kantor saya dan mendesak saya untuk menghentikan proses cerai Anda dengan suami Anda.* Sebuah pesan singkat yang diterima Joice dari pengacara yang sudah dirinya tunjuk untuk membantunya dalam proses cerai dengan Marcel. Tampak raut wajah Joice memancarkan jelas perasaan yang campur aduk.Joice memejamkan mata lelah. Wanita itu benar-benar sudah lelah dengan Marcel yang selalu bertindak mengambil keputusan sesuka pria itu. Yang membuatnya emosi adalah Marcel selalu melakukan hal yang menjadi keinginan pria itu. Egois. Marcel memang sangatlah egois.Joice duduk di sofa kamar. Dia menyentuh perutnya yang sedikit membuncit. Kehamilannya masih sangat muda, membuatnya memiliki kekhawatiran berlebihan takut terjadi sesuatu hal buruk pada anak-anaknya yang ada di kandungannya. Terlebih saat ini Joice mengandung bayi kembar. Itu yang membuat perasaan khawatir dalam dirinya muncul.“Sayang, bertahanlah. Mommy akan selalu menjaga kalian.” Joice bergumam pe
Marcel duduk di kursi kebesarannya, menyandarkan punggung, dan sedikit mendongakkan kepalanya. Pria itu baru saja selesai meeting. Jadwalnya yang padat, membuatnya sedikit kelelahan.Suasana hati dan pikirannya sedang tidak baik. Joice tetap bersikukuh ingin bercerai. Hal itu yang membuat emosi Marcel menjadi tidaklah stabil. Sampai kapan pun, Marcel tidak akan pernah melepas Joice, jika bukan dirinya yang memang ingin melepas wanita itu.Suara dering ponsel terdengar. Marcel mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang ada di atas meja, dan mengambil ponselnya tertera nama Moses di sana. Awalnya, Marcel ingin menolak panggilan tersebut, tapi dia berubah pikiran memutuskan untuk menjawab panggilan itu. “Ada apa?” jawab Marcel dingin kala panggilan terhubung.“Nada bicaramu sepertinya kau sedang memiliki masalah berat,” ujar Moses tenang dari seberang sana. “Ck! Aku tidak memiliki banyak waktu untuk bicara denganmu. Katakan ada apa?!”“Aku hanya ingin menanyakan bagaimana kabarmu
Lombok, Indonesia. Menepuh perjalanan jauh dari London ke Lombok adalah hal yang tak pernah Joice sangka-sangka. Saat usia Janita dan Marvel dua tahun, Joice pernah diajak Marcel ke Bali dan Jakarta. Hanya saja dia belum pernah ke Lombok. Wanita cantik itu takjub, di kala Marcel membawanya benar-benar berkeliling pedesaan.Joice tak pernah mengira Marcel akan membawanya serta tiga anaknya berlibur ke Lombok. Liburan di benua Eropa dan Amerika adalah hal biasa untuk Joice bersama keluarga. Akan tetapi, liburan ke Asia benar-benar sangat menakjubkan!“Sayang, ini indah sekali. Terima kasih sudah membawaku ke sini.” Mata Joice berkaca-kaca menatap Marcel dengan haru.Marcel mengecup kening Joice. “Aku sudah yakin kau akan menyukai tempat ini.”Joice tersenyum lembut seraya menatap tiga anaknya yang sedang berlari-larian. “Waktu terasa sangatlah cepat. Dulu, aku selalu hidup berdua dengan Hana. Ke mana pun aku pergi, maka Hana akan ikut denganku. Tapi sekarang semua berubah di kala takdi
London, UK. Janji suci pernikahan yang terucap secara bergantian di bibir Landon dan Anya—wanita yang menikah dengan Landon—nampak membuat Joice sejak tadi tersenyum penuh haru bahagia. Sepasang iris mata Joice menunjukkan betapa dia bahagia. Kepingan memori teringat akan masa kecilnya bersama dengan sang adik, membuat Joice meneteskan air mata haru.Landon bertemu dengan Anya saat adiknya itu tengah berlibur ke Singapore. Singkat cerita, mereka hanya berawal berkencan biasa, namun ternyata berujung pada pernikahan. Tentunya perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada kalanya naik turun. Tapi Joice selalu memberikan nasihat terbaik untuk adiknya, di kala adiknya mengalami masalah hubungan percintaan.Joice menetap tinggal di Milan, karena ikut dengan sang suami. Jarak tinggalnya dengan orang tua serta adiknya memang jauh, tapi Joice sering sekali mengunjungi London. Banyak keluarga yang tinggal di London, tentunya membuat Joice wajib mengunjungi kota indah itu.Selama proses upacara pern
*Dua minggu lagi hari pernikahanku. Kau pasti akan ke London, kan? Jangan bilang kau sibuk. Aku tidak akan lagi menganggapmu, jika kau sampai tidak datang di hari pernikahanku.* Pesan singkat dari Landon membuat Joice mengulumkan senyumannya. Wanita berparas cantik itu terlihat gemas akan pesan yang dia baca ini. Well, Joice tak akan mungkin hari pernikahan adiknya yang akan diadakan dua minggu lagi.Singkat cerita, beberapa bulan lalu Landon mendatangi Milan, memperkenalkan seseorang wanita cantik yang merupakan calon istri adiknya itu. Joice tentu saja bahagia mendengar kabar Landon akan segera menikah.Sudah sejak lama Joice meminta Landon untuk segera menikah. Karena bagaimanapun, Joice tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan Landon memiliki keluarga seperti dirinya dan Marcel. Doa Joice selama ini terjawab. Adiknya akhirnya dipertemukan dengan takdirnya.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu, Sayang?” Marcel mendekat, menghampiri sang istri. Joice mengalihkan pandangannya,
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam