Tiga hari sudah Joice dan Marcel tidak bicara. Lebih tepatnya Joice masih diam mengurung diri di kamar. Bahkan Joice mematikan ponselnya agar tidak diganggu oleh siapa pun. Joice memang mengurung diri di dalam kamar, namun meski demikian dia tetaplah memikirkan anak yang ada di kandungannya. Dia tak ingin terjadi sesuatu hal buruk pada anaknya. Marcel sudah berusaha mengajak Joice berbicara, namun sayangnya berujung sia-sia. Joice tetap tidak ingin bicara. Memang, sampai detik ini Joice belum mengatakan pada pengacaranya untuk menjalankan proses cerainya dengan Marcel, tapi itu semua bukan karena dirinya berubah pikiran, melainkan karena ingin menenangkan diri sejenak. Tatapan Joice teralih pada susu hangat khusus ibu hamil yang dibuatkan sang pelayan. Dia memutuskan untuk mengambil gelas yang berisikan susu khusus ibu hamil itu dan meminum perlahan.Sudah tiga hari ini, Joice tidak pernah lagi merasakan lapar. Yang dia inginkan hanyalah mengurung diri di kamar. Tidak ingin digan
London, UK. Oliver menutup berkas kasus yang dia tangani. Dia tengah dibantu Samuel—ayahnya—untuk menangani kasus berat. Meski memiliki banyak pengalaman di bidang hukum, tetap Oliver membutuhkan banyak nasihat dari ayahnya. Ya, sudah tidak lagi heran jika Oliver Maxton kerap memenangkan kasus berat, karena di balik Oliver ada Samuel Maxton—pengacara senior kondang.“Oliver, kapan kau ke Milan?” Samuel menatap Oliver yang duduk di hadapannya.Oliver mengambil wine yang ada di atas meja dan menyesap perlahan wine tersebut. “Minggu ini aku akan ke Milan, menjenguk Joice.”“Besok saja kau berangkat. Pekerjaanmu di sini sudah mulai lowong,” balas Samuel dingin dan menegaskan. Pria paruh baya itu tidak sabar agar Oliver menjenguk Joice.“Tidak bisa, Pa. Besok aku masih memiliki meeting penting. Mungkin sekitar tiga hari lagi, aku akan berangkat,” ujar Oliver dingin dan datar.“Oliver—”Suara ketukan pintu menginterupsi percakapan Oliver dan Samuel.“Masuk!” Oliver meminta orang yang menge
“What? Cerai?” Hana melonjak terkejut mendengar Joice yang bercerita tengah sibuk mengurus proses cerai. Sungguh, Hana sama sekali tidak mengira kalau Joice tengah sibuk dengan proses cerai. Padahal pernikahan Joice dan Marcel masih baru seumur jagung. Pun bahkan kehamilan Joice masih sangat muda. Itu yang membuat Hana bingung serta tak mengerti.“Iya, aku memutuskan untuk bercerai dengan Marcel. Aku lelah, Hana. Aku lelah mengejar pria yang tidak pernah mencintaiku.” Joice berucap dengan nada tenang.Sampai detik ini, Joice masih berada di mansion Marcel. Dia belum bisa pergi, karena Marcel akan selalu melarang dirinya pergi. Akan tetapi, meski masih berada di mansion Marcel—dia tetap meminta pengacaranya untuk mengurus proses cerai.Joice tidak akan lagi menunda-nunda proses cerainya dengan Marcel. Entah keluarganya atau keluarga Marcel sudah tahu atau belum. Yang pasti memang Joice belum sama sekali bercerita secara langsung pada keluarganya ataupun keluarga Marcel, tentang dirinya
*Nyonya, asisten suami Anda datang ke kantor saya dan mendesak saya untuk menghentikan proses cerai Anda dengan suami Anda.* Sebuah pesan singkat yang diterima Joice dari pengacara yang sudah dirinya tunjuk untuk membantunya dalam proses cerai dengan Marcel. Tampak raut wajah Joice memancarkan jelas perasaan yang campur aduk.Joice memejamkan mata lelah. Wanita itu benar-benar sudah lelah dengan Marcel yang selalu bertindak mengambil keputusan sesuka pria itu. Yang membuatnya emosi adalah Marcel selalu melakukan hal yang menjadi keinginan pria itu. Egois. Marcel memang sangatlah egois.Joice duduk di sofa kamar. Dia menyentuh perutnya yang sedikit membuncit. Kehamilannya masih sangat muda, membuatnya memiliki kekhawatiran berlebihan takut terjadi sesuatu hal buruk pada anak-anaknya yang ada di kandungannya. Terlebih saat ini Joice mengandung bayi kembar. Itu yang membuat perasaan khawatir dalam dirinya muncul.“Sayang, bertahanlah. Mommy akan selalu menjaga kalian.” Joice bergumam pe
Marcel duduk di kursi kebesarannya, menyandarkan punggung, dan sedikit mendongakkan kepalanya. Pria itu baru saja selesai meeting. Jadwalnya yang padat, membuatnya sedikit kelelahan.Suasana hati dan pikirannya sedang tidak baik. Joice tetap bersikukuh ingin bercerai. Hal itu yang membuat emosi Marcel menjadi tidaklah stabil. Sampai kapan pun, Marcel tidak akan pernah melepas Joice, jika bukan dirinya yang memang ingin melepas wanita itu.Suara dering ponsel terdengar. Marcel mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang ada di atas meja, dan mengambil ponselnya tertera nama Moses di sana. Awalnya, Marcel ingin menolak panggilan tersebut, tapi dia berubah pikiran memutuskan untuk menjawab panggilan itu. “Ada apa?” jawab Marcel dingin kala panggilan terhubung.“Nada bicaramu sepertinya kau sedang memiliki masalah berat,” ujar Moses tenang dari seberang sana. “Ck! Aku tidak memiliki banyak waktu untuk bicara denganmu. Katakan ada apa?!”“Aku hanya ingin menanyakan bagaimana kabarmu
“Aku berhutang budi padamu, Albern.” Joice melangkah masuk ke dalam sebuah kamar hotel megah, yang dipesan oleh Albern. Dia tidak tahu harus meminta bantuan siapa lagi. Nama yang muncul di dalam benaknya adalah nama Albern. Kalau saja Albern tidak bersedia menolongnya, entah bagaimana nasibnya.Albern tersenyum samar. “Jangan katakan seperti itu. Aku senang bisa menolongmu, Joice.”Joice pun tersenyum membalas senyuman Albern. Dia melangkah masuk ke dalam hotel bersamaan dengan Albern. Hotel yang dipilih oleh Albern adalah hotel mewah. Desain menakjubkan memberikan ketenangan jiwa.Joice sangat beruntung mendapatkan pertolongan Albern, di kala dirinya merasa sudah buntu. Joice tidak mau meminta tolong pada Shawn karena dia tidak ingin menyusahkan Shawn. Bagaimanapun Shawn adalah sepupu kandung Marcel. Pun dia tidak ingin sampai hubungan Shawn dan Marcel renggang.Selain itu, Joice tidak bisa meminta tolong pada Hana, karena dia tidak ingin membuat Hana berada dalam masalah. Sedangkan
BrakkMarcel menggebrak meja ketika mendapatkan informasi dari penjaga bahwa Joice mampu mengelabui penjaga dan pelayan di mansion-nya. Apa-apaan ini? Begitu banyak penjaga dan pelayan, tapi Joice mampu mengelabui? Itu membuat emosi Marcel memuncak. Bisa-bisanya penjaga dan pelayan dikelabui oleh satu orang.“Kenapa kalian bisa begitu bodoh!” bentak Marcel dengan nada tinggi.Para penjaga menundukkan kepalanya tidak ada yang berani menatap Marcel. “M-maaf, Tuan. K-kami akan segera menemukan keberadaan Nyonya Joice.”Mata Marcel menyalang tajam penuh amarah yang membakarnya. “Kalian begitu percaya diri bisa menemukan Joice, sekarang aku tanya apa kalian sudah menemukan tanda keberadaan istriku?!” teriaknya menggelegar.Para penjaga itu tidak bisa berkutik sedikit pun di kala mendengar apa yang Marcel katakan. Mereka semua diam seribu bahasa, menunduk. Pasalnya sampai detik ini mereka pun masih dalam tahap pencarian istri dari Tuan mereka. Itu yang membuat mereka tidak bisa berkutik sed
Joice menyudahi makan soup yang diberikan oleh Albern. Dia tidak lapar, tapi Albern terus memaksanya untuk makan. Terpaksa, akhirnya Joice memutuskan untuk makan, karena memang yang harus Joice pentingkan adalah anak yang ada di kandungannya. Dia tidak peduli dengan dirinya sendiri. Satu-satunya yang dia pedulikan adalah anak yang ada di kandungannya.“Joice, kau baru makan sedikit. Habiskanlah makananmu.” Albern menatap Joice yang nampak lesu, tidak lagi bersemangat seperti biasanya.Joice menghela napas dalam. “Nanti saja aku makan lagi. Kalau sekarang aku paksa makan, takutnya aku malah mual hebat.”Albern mengangguk mengerti. “Baiklah. Tidak usah dipaksa. Kau bisa makan lagi nanti.”Joice terdiam sebentar di kala dirinya teringat akan sesuatu. “Albern, boleh aku pinjam ponselmu? Aku ingin menghubungi seseorang.” Terpaksa, Joice harus meminjam ponsel Albern. Pasalnya, dia telah menonaktifkan ponselnya, agar tidak bisa dilacak oleh Marcel. “Kau ingin menghubungi siapa, Joice?” tany