Marcel membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diberikan oleh asistennya. Pria itu sudah membaca dengan teliti dokumen yang diberikan oleh sang asisten. Itu kenapa dia dengan mudah menanda tangani dokumen tersebut.“Hendy, apa jadwalku hari ini?” tanya Marcel seraya menyerahkan dokumen yang sudah dia tanda tangani ke hadapan Hendy.“Tuan, nanti siang jam 2 Anda memiliki meeting dengan salah satu client dari Singapore,” jawab Hendy mengingatkan.Marcel mengangguk samar dan melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Dia masih memiliki waktu dua jam untuk bersantai sebelum bertemu dengan client-nya.“Pergilah. Jangan ganggu aku sampai waktu meeting tiba. Aku ingin istirahat,” ucap Marcel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Baik, Tuan. Saya permisi.” Hendy menundukkan kepalanya, hendak pamit undur diri, namun langkahnya terhenti di kala seorang sekretaris masuk ke dalam ruang kerja Marcel.“Tuan.” Sang sekretaris menund
Gaun berwarna maroon membalut tubuh Joice begitu indah. Rambut panjang wanita itu diikat ke atas memperlihatkan leher jenjangnya. Make up tipis Joice menyempurnakan penampilannya malam ini. Joice wajib tampil cantik. Apalagi malam ini Joice akan bertemu dengan kakek dan nenek Marcel.“Joice, apa kau sudah siap?” Marcel melangkah menghampiri Joice.“Sudah, Marcel. Lihatlah gaun ini cocok untukku tidak?” ujar Joice begitu riang.Marcel terdiam melihat penampilan Joice malam itu begitu cantik. Joice memiliki kulit putih bersinar layaknya porselen. Sepasang iris mata cokelat gelap Marcel hanyut akan apa yang dia lihat. “Marcel? Gaun ini tidak cocok untukku, ya?” tanya Joice pelan. Pasalnya Marcel hanya diam tanpa mengatakan apa pun padanya. “Sangat cocok,” jawab Marcel begitu spontan.Seketika Joice melukiskan senyuman di wajahnya. “Sangat cocok? Itu artinya aku cantik?” ujarnya riang.Marcel menepis pikirannya. “Lumayan,” jawabnya dingin.Bibir Joice tertekuk. “Lumayan bagaimana, Marc
Makan malam berlangsung cukup hangat. Sejak tadi yang banyak bercakap-cakap adalah William dan Albern. Meskipun masih muda, namun terlihat Albern adalah sosok pria yang mudah membaur dan ramah. Terbukti Albern mampu membuat William nyaman padanya.Saat makan malam berlangsung, Joice lebih banyak diam. Hanya sesekali dia berbicara jika Marsha mengajaknya bicara. Dia tidak berani mengeluarkan suara karena sejak tadi Marcel sudah memberikan tatapan dingin padanya. Bahkan dia pun sampai tak berani mengobrol dengan Albern.Hati Joice merasa bersalah karena sudah membohongi Marcel. Waktu itu dirinya bertemu dengan Shawn, tapi malah mengatakan pergi dengan Hana. Kala itu Joice benar-benar terpaksa berbohong. Karena jika jujur pasti Marcel tidak akan mungkin mengizinkan dirinya bertemu dengan Shawn.“Albern, aku tidak mengira kalau kau adalah teman Shawn,” ujar William seraya menyesap vodka di tangannya. Pria paruh baya itu sama sekali tidak mengira kalau ternyata Albern adalah teman dari Sha
Joice duduk di ranjang dengan tangis yang tak kunjung berhenti. Perkataan Marcel begitu menusuk hatinya. Setiap penjelasan Joice ternyata sama sekali tidak digubris oleh Marcel. Padahal Joice tidak melakukan hal buruk. Pun dia sama sekali tidak mengkhianati Marcel sama sekali. Tapi kenapa malah Marcel sampai semurka itu?“Nyonya …” seorang pelayan mendekat sambil membawakan nampan yang berisikan susu khusus ibu hamil.Joice menyeka air matanya seraya menatap sang pelayan. “Ada apa?” tanyanya pelan.“Nyonya, ini susu untuk Anda. Silakan diminum selagi masih panas,” jawab sang pelayan sopan.Joice mengangguk. “Letakan saja di atas meja, nanti aku akan meminum susunya. Terima kasih.”Sang pelayan terdiam sebentar melihat wajah Joice sedikit memerah seperti demam. “Nyonya, apa Anda sakit?” ujarnya sopan.“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Joice pelan.Sang pelayan berinistif menyentuh tangan Joice, dan benar saja Joice sekarang demam. “Nyonya, Anda demam.”Joice menjauhkan tangannya. “Per
Seorang pria tampan mengisap rokok sambil berdiri di ruang kerjanya dan menatap gedung bertingkat dari balik kaca. Asap rokok mengepul ke udara mengumpul menjadi satu, namun dalam hitungan detik lenyap karena diterpa oleh angin.“Tuan Albern,” seorang sekretaris melangkah menghampiri Albern.Albern mengalihkan pandangannya, menatap sekretarisnya itu. “Ya? Ada apa?” jawabnya singkat dan datar.“Tuan, maaf mengganggu, saya hanya ingin menyampaikan di depan ada Tuan Shawn Geovan ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang sekretaris memberi tahu.Sebelah alis Albern terangkat. “Shawn datang?” ulangnya memastikan.Sang sekretaris mengangguk. “Benar, Tuan. Tuan Shawn Geovan datang ingin bertemu dengan Anda.”“Persilakan dia untuk masuk,” ucap Albern tenang.“Baik, Tuan.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Albern.Tak selang lama, tatapan Albern teralih pada Shawn yang melangkah mendekat ke arahnya. Pria itu langsung menekan putung rokok ke asbaknya dan menyamb
Mobil Marcel melaju dengan kecepatan tinggi membelah kota Milan. Pria itu bermaksud berangkat lebih awal ke kantor guna menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Akan tetapi kehadiran Paige, membuat Marcel terpaksa harus meninggalkan kantor.Marcel mengalihkan pandangannya sebentar, dan tanpa sengaja tatapannya teralih ke layar ponselnya—menatap jelas di sana ada pesan dari Joice. Detik itu juga, Marcel mengambil ponselnya dan membaca pesan dari Joice tersebut.*Marcel, aku mohon kalau bisa kau pulang lebih awal. Aku membutuhkanmu.* Marcel terdiam sebentar membaca pesan singkat dari Joice. Pria itu menepikan sebentar mobilnya ke pinggir jalan. Beberapa kali Marcel mengembuskan napas panjang. Dia sengaja berangkat ke kantor lebih awal, karena takut emosinya terpancing dan malah meledak pada Joice. Pesan yang dikirimkan Joice, membuat hati Marcel merasakan sesuatu. Dia menyadari dirinya meninggalkan Joice yang dalam keadaan masih kurang sehat. Hal tersebut dia lakukan demi mampu menge
Hubungan Joice dan Marcel mulai membaik. Untuk sementara waktu, Joice berhubungan dengan Shawn melalui panggilan telepon. Joice belum berani untuk bertemu dengan Shawn secara tatap muka. Pasalnya, dia takut Marcel akan marah. Nanti, Joice akan mencari cara untuk menemukan solusi bagaimana membantu kerja sama perusahaan keluarganya dan Shawn. Bagaimanapun, Joice tidak tega kalau bersikap acuh dan tidak peduli pada perusahaan keluarganya.Joice hanya memiliki satu adik laki-laki, namun adik laki-lakinya itu berada di Boston, tengah menempuh pendidikan. Hal tersebut yang membuat adik laki-lakinya itu tidak mungkin bisa membantu perusahaan keluarga. Hanya Joice yang benar-benar bisa diandalkan. Namun, meski bisa diandalkan, Joice menyadari bahwa masih banyak hal yang harus dirinya pelajari mengenai perusahaan. “Joice, aku harus berangkat sekarang. Hari ini kau tidak pergi ke mana-mana, kan?” ujar Marcel seraya menatap Joice yang duduk di kursi meja rias, sambil menyisir rambut.“Tidak,
Joice mondar-mandir tidak jelas di ruang tengah. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Hana sudah pulang sejak tadi. Namun perkataan Hana terus berada di pikiran Joice saat ini.Joice memikirkan cara yang tepat untuk berbicara dengan Marcel nanti. Yang membuatnya sakit kepala adalah Joice harus mencari cara berbicara dengan Marcel tentang kerja sama perusahaan ayahnya dan Shawn, lalu ditambah tentang dirinya yang akan melakukan fashion show pada minggu depan.Joice tidak tahu apakah mungkin Marcel memberikan izin padanya. Yang pasti dirinya akan mencoba mengajak Marcel untuk berbicara. Meskipun tidak mudah, yang paling penting dirinya akan mencoba lebih dulu. Dia tidak akan pernah tahu kalau belum mencoba sama sekali.“Nyonya, Tuan Marcel sudah pulang,” ujar sang pelayan sopan pada Joice.Langkah kaki Joice terhenti mendengar apa yang dikatakan oleh sang pelayan. “Marcel sudah pulang?” ulangnya memastikan.Sang pelayan mengangguk. “Iya, Nyonya.”Joice tersenyum riang. Detik itu juga, dia