Makan malam berlangsung cukup hangat. Sejak tadi yang banyak bercakap-cakap adalah William dan Albern. Meskipun masih muda, namun terlihat Albern adalah sosok pria yang mudah membaur dan ramah. Terbukti Albern mampu membuat William nyaman padanya.Saat makan malam berlangsung, Joice lebih banyak diam. Hanya sesekali dia berbicara jika Marsha mengajaknya bicara. Dia tidak berani mengeluarkan suara karena sejak tadi Marcel sudah memberikan tatapan dingin padanya. Bahkan dia pun sampai tak berani mengobrol dengan Albern.Hati Joice merasa bersalah karena sudah membohongi Marcel. Waktu itu dirinya bertemu dengan Shawn, tapi malah mengatakan pergi dengan Hana. Kala itu Joice benar-benar terpaksa berbohong. Karena jika jujur pasti Marcel tidak akan mungkin mengizinkan dirinya bertemu dengan Shawn.“Albern, aku tidak mengira kalau kau adalah teman Shawn,” ujar William seraya menyesap vodka di tangannya. Pria paruh baya itu sama sekali tidak mengira kalau ternyata Albern adalah teman dari Sha
Joice duduk di ranjang dengan tangis yang tak kunjung berhenti. Perkataan Marcel begitu menusuk hatinya. Setiap penjelasan Joice ternyata sama sekali tidak digubris oleh Marcel. Padahal Joice tidak melakukan hal buruk. Pun dia sama sekali tidak mengkhianati Marcel sama sekali. Tapi kenapa malah Marcel sampai semurka itu?“Nyonya …” seorang pelayan mendekat sambil membawakan nampan yang berisikan susu khusus ibu hamil.Joice menyeka air matanya seraya menatap sang pelayan. “Ada apa?” tanyanya pelan.“Nyonya, ini susu untuk Anda. Silakan diminum selagi masih panas,” jawab sang pelayan sopan.Joice mengangguk. “Letakan saja di atas meja, nanti aku akan meminum susunya. Terima kasih.”Sang pelayan terdiam sebentar melihat wajah Joice sedikit memerah seperti demam. “Nyonya, apa Anda sakit?” ujarnya sopan.“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Joice pelan.Sang pelayan berinistif menyentuh tangan Joice, dan benar saja Joice sekarang demam. “Nyonya, Anda demam.”Joice menjauhkan tangannya. “Per
Seorang pria tampan mengisap rokok sambil berdiri di ruang kerjanya dan menatap gedung bertingkat dari balik kaca. Asap rokok mengepul ke udara mengumpul menjadi satu, namun dalam hitungan detik lenyap karena diterpa oleh angin.“Tuan Albern,” seorang sekretaris melangkah menghampiri Albern.Albern mengalihkan pandangannya, menatap sekretarisnya itu. “Ya? Ada apa?” jawabnya singkat dan datar.“Tuan, maaf mengganggu, saya hanya ingin menyampaikan di depan ada Tuan Shawn Geovan ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang sekretaris memberi tahu.Sebelah alis Albern terangkat. “Shawn datang?” ulangnya memastikan.Sang sekretaris mengangguk. “Benar, Tuan. Tuan Shawn Geovan datang ingin bertemu dengan Anda.”“Persilakan dia untuk masuk,” ucap Albern tenang.“Baik, Tuan.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Albern.Tak selang lama, tatapan Albern teralih pada Shawn yang melangkah mendekat ke arahnya. Pria itu langsung menekan putung rokok ke asbaknya dan menyamb
Mobil Marcel melaju dengan kecepatan tinggi membelah kota Milan. Pria itu bermaksud berangkat lebih awal ke kantor guna menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Akan tetapi kehadiran Paige, membuat Marcel terpaksa harus meninggalkan kantor.Marcel mengalihkan pandangannya sebentar, dan tanpa sengaja tatapannya teralih ke layar ponselnya—menatap jelas di sana ada pesan dari Joice. Detik itu juga, Marcel mengambil ponselnya dan membaca pesan dari Joice tersebut.*Marcel, aku mohon kalau bisa kau pulang lebih awal. Aku membutuhkanmu.* Marcel terdiam sebentar membaca pesan singkat dari Joice. Pria itu menepikan sebentar mobilnya ke pinggir jalan. Beberapa kali Marcel mengembuskan napas panjang. Dia sengaja berangkat ke kantor lebih awal, karena takut emosinya terpancing dan malah meledak pada Joice. Pesan yang dikirimkan Joice, membuat hati Marcel merasakan sesuatu. Dia menyadari dirinya meninggalkan Joice yang dalam keadaan masih kurang sehat. Hal tersebut dia lakukan demi mampu menge
Hubungan Joice dan Marcel mulai membaik. Untuk sementara waktu, Joice berhubungan dengan Shawn melalui panggilan telepon. Joice belum berani untuk bertemu dengan Shawn secara tatap muka. Pasalnya, dia takut Marcel akan marah. Nanti, Joice akan mencari cara untuk menemukan solusi bagaimana membantu kerja sama perusahaan keluarganya dan Shawn. Bagaimanapun, Joice tidak tega kalau bersikap acuh dan tidak peduli pada perusahaan keluarganya.Joice hanya memiliki satu adik laki-laki, namun adik laki-lakinya itu berada di Boston, tengah menempuh pendidikan. Hal tersebut yang membuat adik laki-lakinya itu tidak mungkin bisa membantu perusahaan keluarga. Hanya Joice yang benar-benar bisa diandalkan. Namun, meski bisa diandalkan, Joice menyadari bahwa masih banyak hal yang harus dirinya pelajari mengenai perusahaan. “Joice, aku harus berangkat sekarang. Hari ini kau tidak pergi ke mana-mana, kan?” ujar Marcel seraya menatap Joice yang duduk di kursi meja rias, sambil menyisir rambut.“Tidak,
Joice mondar-mandir tidak jelas di ruang tengah. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Hana sudah pulang sejak tadi. Namun perkataan Hana terus berada di pikiran Joice saat ini.Joice memikirkan cara yang tepat untuk berbicara dengan Marcel nanti. Yang membuatnya sakit kepala adalah Joice harus mencari cara berbicara dengan Marcel tentang kerja sama perusahaan ayahnya dan Shawn, lalu ditambah tentang dirinya yang akan melakukan fashion show pada minggu depan.Joice tidak tahu apakah mungkin Marcel memberikan izin padanya. Yang pasti dirinya akan mencoba mengajak Marcel untuk berbicara. Meskipun tidak mudah, yang paling penting dirinya akan mencoba lebih dulu. Dia tidak akan pernah tahu kalau belum mencoba sama sekali.“Nyonya, Tuan Marcel sudah pulang,” ujar sang pelayan sopan pada Joice.Langkah kaki Joice terhenti mendengar apa yang dikatakan oleh sang pelayan. “Marcel sudah pulang?” ulangnya memastikan.Sang pelayan mengangguk. “Iya, Nyonya.”Joice tersenyum riang. Detik itu juga, dia
Sejak di mana Marcel memberikan izin agar Joice kembali bekerja, Joice pun langsung memberi tahukan pada Hana. Tentunya Hana menyambut itu dengan gembira. Karena memang sudah lama sekali Joice tidak kembali bekerja. Akan tetapi, meski sudah diperbolehkan untuk bekerja, tapi tetap Marcel memiliki aturan yang cukup ketat yaitu Joice tidak boleh menerima semua pekerjaan begitu saja. Joice hanya boleh menerima pekerjaan jika pekerjaan tersebut masih di dalam kota, bukan di luar kota ataupun di luar negeri.Harus Joice akui, tentunya ruang gerak dia akan terbatas. Dulu, dia selalu mengambil pekerjaan baik itu di luar kota ataupun di luar negeri. Namun, sekarang dirinya harus bisa mengalah. Lagi pula sekarang fokus utama Joice adalah anak yang ada di kandungannya.“Aku akan datang satu jam lagi tunggu saja.” Marcel nampak sibuk dengan ponselnya. Pria itu menutup panggilan telepon secara sepihak.“Marcel, kau menghubungi siapa?” tanya Joice seraya menatap Marcel yang sangat sibuk. Pagi meny
“Kau hebat sekali, Joice. Aku bangga padamu. Harusnya selain menjadi seorang model, kau juga menjadi pegulat internasional.” Hana mengeluarkan kata-kata konyol, namun tersirat dia sangat bangga pada Joice yang mampu melawan Paige.Joice tersenyum tipis. “Melawan Paige, bukanlah hal sulit bagiku.”Hana mengangguk-anggukan kepalanya. “Ya sudah, ayo kita berkenalan dengan investor yang aku maksud.”Joice menurut, dia melangkah pergi bersama dengan Hana menemui investor yang dimaksud oleh Hana. Malam itu, Joice tampil begitu cantik. Dia menjadi pusat perhatian banyak orang. Tidak sedikit orang yang kagum akan penampilan Joice. Memiliki tubuh tinggi langsing, kulit putih mulus, rambut indah, dan paras yang luar biasa cantik membuat banyak sekali yang kagum akan Joice. Hal tersebut yang membuat Joice sejak tadi menjadi pusat perhatian.“Tuan Wern,” sapa Hana sopan pada pria yang tengah mengobrol tak jauh darinya.Alis Joice sedikit menaut. Wanita itu menatap lekat punggung kekar pria yang d