“Kau hebat sekali, Joice. Aku bangga padamu. Harusnya selain menjadi seorang model, kau juga menjadi pegulat internasional.” Hana mengeluarkan kata-kata konyol, namun tersirat dia sangat bangga pada Joice yang mampu melawan Paige.Joice tersenyum tipis. “Melawan Paige, bukanlah hal sulit bagiku.”Hana mengangguk-anggukan kepalanya. “Ya sudah, ayo kita berkenalan dengan investor yang aku maksud.”Joice menurut, dia melangkah pergi bersama dengan Hana menemui investor yang dimaksud oleh Hana. Malam itu, Joice tampil begitu cantik. Dia menjadi pusat perhatian banyak orang. Tidak sedikit orang yang kagum akan penampilan Joice. Memiliki tubuh tinggi langsing, kulit putih mulus, rambut indah, dan paras yang luar biasa cantik membuat banyak sekali yang kagum akan Joice. Hal tersebut yang membuat Joice sejak tadi menjadi pusat perhatian.“Tuan Wern,” sapa Hana sopan pada pria yang tengah mengobrol tak jauh darinya.Alis Joice sedikit menaut. Wanita itu menatap lekat punggung kekar pria yang d
Sebuah lampu hias besar sebagai menghias di atas panggung, tiba-tiba saja terjatuh dan hendak mengenai Joice yang kebetulan berada di bawah lampu besar itu. Tampak semua orang di sana menyerukan nama ‘Joice’. Bahkan suuasana menjadi tegang akibat teriakan banyak orang yang memanggil Joice.Marcel yang berada cukup jauh dari Joice terkejut melihat lampu hias hampir mengenai kepala Joice. Pria itu pun langsung berlari ke atas panggung berusaha menyelamatkan Joice, namun sayangnya posisi Marcel tidak dekat dengan Joice. Pria itu tak mungkin bisa menggapai Joice.“Joice! Awassssss!” Albern yang posisinya dekat dengan Joice langsung berlari naik ke atas panggung, memeluk erat Joice, dan berguling ke arah kanan guna menghindari lampu besar yang posisi di kiri.PranggggLampu besar itu terjatuh di atas terjatuh ke panggung. Pecahan berserakan membuat para tamu undangan berlarian menghindar agar tidak terkena pecahan lampu besar tersebut. Bukan hanya para tamu undangan saja yang menghindar, t
Marcel menyugar rambutnya kasar seraya meloloskan umpatan. Pria itu berdiri di depan ruang pemeriksaan Joice. Saat ini, Joice tengah dalam pemeriksaan dokter. Raut wajah Marcel memancarkan jelas perasaan khawatir dan takut hal buruk terjadi pada Joice dan anak yang ada di kandungan Joice.Dalam hati, Marcel menyesal membiarkan Joice kembali bekerja. Jika saja dirinya tidak membiarkan Joice kembali bekerja, maka pasti hal ini tidak akan pernah terjadi. Hal yang menambah emosinya adalah bukan dirinya yang menyelamatkan Joice. Sindiran Albern membuat emosinya terpancing.“Joice?” Hana berlari di koridor rumah sakit menyerukan nama Joice. Namun, seketika langkah kaki Hana terhenti melihat Marcel berdiri di depan ruang rawat. Hana sedikit menjadi gelagapan. Apalagi sekarang Marcel memberikan tatapan tajam padanya. Dia yakin seratus persen pasti Marcel marah atas insiden yang terjadi.“Acara apa yang kau setujui ini, Hana?! Apa kau tidak lihat dulu dengan baik perusahaan yang bekerja sama d
Asap rokok mengepul ke udara memenuhi ruangan gelap yang diterangi lampu disko. Shawn yang diundang datang ke klub malam, duduk di hadapan Albern. Mereka hanya berdua, namun para pelayan seksi sejak tadi mondar-mandir mengantarkan minuman pada dua pria tampan itu.Shawn dan Albern bukanlah pria berengsek yang kerap bergonta-ganti wanita. Sejak tadi banyak sekali wanita yang menggoda Shawn dan Albern. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang menggubris para wanita-wanita seksi yang menggoda mereka. “Ada apa kau memintaku ke sini?” Shawn menatap dingin Albern. Pria itu tengah sibuk akan pekerjaan, namun malah Albern memaksanya untuk datang menemui ke klub malam.Albern menggerakkan gelas sloki di tangannya. “Beberapa hari lalu, ada kecelakaan di acara fashion show salah satu brand ternama. Kebetulan aku hadir, karena aku investor di sana.”Shawn mengangguk-angguk singkat. “Lalu?”“Kau tahu siapa yang menjadi korban kecelakaan itu?”“Siapa?”“Joice. Sebuah lampu jatuh tepat ketika Joi
Joice sedikit kesal karena bangun terlambat, dan Marcel sudah berangkat ke kantor. Padahal Joice selalu berharap Marcel tidak akan berangkat ke kantor begitu saja, tanpa pamit dan mencium bibirnya. Aturan itu sudah Joice buat, namun ternyata malah Marcel tetap langgar. Sungguh benar-benar menyebalkan.“Nyonya, silakan diminum jus buahnya,” tutur sang pelayan sopan memberikan jus buah yang dia racik untuk Joice.“Thanks.” Joice mengambil gelas yang berisikan setengah jus, dan meminumnya secara perlahan.“Nyonya, Anda ingin makan apa? Apa ada menu makanan khusus yang Anda inginkan?” tanya sang pelayan pada Joice.Joice terdiam sebentar mendengar pertanyaan sang pelayan. Tiba-tiba saja sesuatu hal muncul di dalam benaknya. Dia melihat kondisi kakinya sudah bisa dikatakan pulih. Dia sudah tak lagi merasakan sakit.“Tidak usah. Aku akan makan di luar bersama Marcel,” jawab Joice dengan riang.Kening sang pelayan mengerut. “Nyonya, maksud Anda, Anda ingin pergi ke kantor Tuan Marcel?” tanya
Hari demi hari berlalu, Joice menatap cermin perutnya sudah sangat terlihat membuncit. Meskipun hanya sedikit buncit, namun tetap terlihat. Joice memiliki perut yang langsing, jadi kalau buncit sedikit saja pasti terlihat.Akan tetapi, perut Joice masih tertutup dengan dress-dress yang Joice pakai. Rasa mualnya sudah sedikit berkurang. Itu membuat Joice menjalani hari-hari tidak seberat sebelumnya.Dulu, Joice selalu mual hebat sampai berat badannya menurun cukup drastis. Namun, sekarang sudah jauh lebih baik. Sepertinya memang anak yang ada di kandungan Joice sudah bisa diajak bekerja sama.Pagi itu, Joice berkutat di dapur membuatkan sarapan. Dia bangun lebih awal, karena khusus menyiapkan sarapan untuk Marcel. Rencananya, hari ini dia pun akan mengatakan pada Marcel bahwa dirinya memiliki jadwal pemotretan. Kemarin-kemarin, Joice belum sempat bilang pada Marcel, karena dia khawatir dan takut Marcel tidak memberikan izin. Selain itu, Joice juga takut kalau Marcel akan marah padany
Albern menatap laporan yang baru saja diberikan oleh sang sekretaris. Di kala dia sudah yakin akan isi dari laporan tersebut, barulah pria itu membubuhkan tanda tangannya.“Besok, aku ingin membaca laporan minggu lalu. Siapkan laporan itu ke atas meja kerjaku,” ucap Albern dingin seraya memberikan laporan di tangannya pada sang sekretaris.Sang sekretaris mengangguk sopan. “Baik, Tuan.”“Pergilah. Selesaikan pekerjaanmu yang lain.” Albern meminta sang sekretarisnya untuk pergi dari hadapannya.Sang sekretaris menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Albern.Albern mengambil rokok yang ada di atas meja, menyalakan rokok, dan mengisap rokok—mengembuskan asap ke udara.“Tuan …” Fulton—asisten Albern—melangkah menghampiri Albern.Albern mengalihkan pandangannya pada Fulton. “Ada apa?” tanyanya dingin.“Tuan, salah satu brand yang tempo hari Anda suntik dana meminta Anda untuk datang hari ini. Kebetulan para model akan melakukan pemotretan produk,” jawab Fulton memberi tah
Joice membeku diam di tempatnya. Matanya sudah memerah menahan air mata agar tidak tumpah. Beberapa kali dia meyakinkan bahwa apa yang dirinya lihat ini salah, namun ternyata yang ada di hadapannya ini merupakan nyata, bukan ilusi. Mati-matian, Joice menginjakkan kakinya ke lantai agar mampu tetap berdiri. Padahal sebenarnya energy dalam diri Joice seakan tersedot habis. Joice ingin berteriak menangis sekencang mungkin, tapi ini bukanlah tempat yang tepat untuk dia meluapkan segala kemarahan dan emosinya.Tampak raut wajah Marcel berubah melihat Joice bersama dengan Albern. Pancaran matanya memancarkan rasa terkejut dan penuh amarah tertahan. Akan tetapi di kala amaranya membakar—dia langsung menyadari bahwa saat ini dirinya memeluk pinggang Paige. Iris mata cokelat gelap Marcel sedikit memancarkan rasa panik. Tepat ketika Marcel menyadari dirinya memeluk pinggang Paige—dia segera menjauhkan dirinya dari Paige. Ya, gerakan Marcel begitu spontanitas hingga membuat Paige sedikit kesa