Joice sedikit kesal karena bangun terlambat, dan Marcel sudah berangkat ke kantor. Padahal Joice selalu berharap Marcel tidak akan berangkat ke kantor begitu saja, tanpa pamit dan mencium bibirnya. Aturan itu sudah Joice buat, namun ternyata malah Marcel tetap langgar. Sungguh benar-benar menyebalkan.“Nyonya, silakan diminum jus buahnya,” tutur sang pelayan sopan memberikan jus buah yang dia racik untuk Joice.“Thanks.” Joice mengambil gelas yang berisikan setengah jus, dan meminumnya secara perlahan.“Nyonya, Anda ingin makan apa? Apa ada menu makanan khusus yang Anda inginkan?” tanya sang pelayan pada Joice.Joice terdiam sebentar mendengar pertanyaan sang pelayan. Tiba-tiba saja sesuatu hal muncul di dalam benaknya. Dia melihat kondisi kakinya sudah bisa dikatakan pulih. Dia sudah tak lagi merasakan sakit.“Tidak usah. Aku akan makan di luar bersama Marcel,” jawab Joice dengan riang.Kening sang pelayan mengerut. “Nyonya, maksud Anda, Anda ingin pergi ke kantor Tuan Marcel?” tanya
Hari demi hari berlalu, Joice menatap cermin perutnya sudah sangat terlihat membuncit. Meskipun hanya sedikit buncit, namun tetap terlihat. Joice memiliki perut yang langsing, jadi kalau buncit sedikit saja pasti terlihat.Akan tetapi, perut Joice masih tertutup dengan dress-dress yang Joice pakai. Rasa mualnya sudah sedikit berkurang. Itu membuat Joice menjalani hari-hari tidak seberat sebelumnya.Dulu, Joice selalu mual hebat sampai berat badannya menurun cukup drastis. Namun, sekarang sudah jauh lebih baik. Sepertinya memang anak yang ada di kandungan Joice sudah bisa diajak bekerja sama.Pagi itu, Joice berkutat di dapur membuatkan sarapan. Dia bangun lebih awal, karena khusus menyiapkan sarapan untuk Marcel. Rencananya, hari ini dia pun akan mengatakan pada Marcel bahwa dirinya memiliki jadwal pemotretan. Kemarin-kemarin, Joice belum sempat bilang pada Marcel, karena dia khawatir dan takut Marcel tidak memberikan izin. Selain itu, Joice juga takut kalau Marcel akan marah padany
Albern menatap laporan yang baru saja diberikan oleh sang sekretaris. Di kala dia sudah yakin akan isi dari laporan tersebut, barulah pria itu membubuhkan tanda tangannya.“Besok, aku ingin membaca laporan minggu lalu. Siapkan laporan itu ke atas meja kerjaku,” ucap Albern dingin seraya memberikan laporan di tangannya pada sang sekretaris.Sang sekretaris mengangguk sopan. “Baik, Tuan.”“Pergilah. Selesaikan pekerjaanmu yang lain.” Albern meminta sang sekretarisnya untuk pergi dari hadapannya.Sang sekretaris menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Albern.Albern mengambil rokok yang ada di atas meja, menyalakan rokok, dan mengisap rokok—mengembuskan asap ke udara.“Tuan …” Fulton—asisten Albern—melangkah menghampiri Albern.Albern mengalihkan pandangannya pada Fulton. “Ada apa?” tanyanya dingin.“Tuan, salah satu brand yang tempo hari Anda suntik dana meminta Anda untuk datang hari ini. Kebetulan para model akan melakukan pemotretan produk,” jawab Fulton memberi tah
Joice membeku diam di tempatnya. Matanya sudah memerah menahan air mata agar tidak tumpah. Beberapa kali dia meyakinkan bahwa apa yang dirinya lihat ini salah, namun ternyata yang ada di hadapannya ini merupakan nyata, bukan ilusi. Mati-matian, Joice menginjakkan kakinya ke lantai agar mampu tetap berdiri. Padahal sebenarnya energy dalam diri Joice seakan tersedot habis. Joice ingin berteriak menangis sekencang mungkin, tapi ini bukanlah tempat yang tepat untuk dia meluapkan segala kemarahan dan emosinya.Tampak raut wajah Marcel berubah melihat Joice bersama dengan Albern. Pancaran matanya memancarkan rasa terkejut dan penuh amarah tertahan. Akan tetapi di kala amaranya membakar—dia langsung menyadari bahwa saat ini dirinya memeluk pinggang Paige. Iris mata cokelat gelap Marcel sedikit memancarkan rasa panik. Tepat ketika Marcel menyadari dirinya memeluk pinggang Paige—dia segera menjauhkan dirinya dari Paige. Ya, gerakan Marcel begitu spontanitas hingga membuat Paige sedikit kesa
BrakkkMarcel membanting pintu mobilnya seraya menyeret kasar tangan Joice masuk ke dalam kamar mereka. Terlihat pergelangan tangan Joice sudah memerah akibat cengkraman kuat Marcel di pergelangan tangan Joice. Aura kemarahan dan emosi yang terbakar begitu nampak di wajah pria tampan itu. Sejak tadi Joice menahan rasa sakit di pergelangan tangannya. Dia membiarkan Marcel melakukan tindakan kasar. Sakit di pergelangan tangan Joice tidaklah sebanding dengan rasa sakit di hatinya.Para pelayan dan penjaga melihat Marcel menyeret tangan Joice. Mereka mencemaskan keadaan Joice, namun tentunya tidak ada yang berani melerai. Semua takut pada Marcel.Mata Joice memerah, air matanya sudah mengumpul di belakang bola matanya. Dia sudah tidak lagi bisa terbendungkan perasaan sesak di dadanya. Hati Joice layaknya ditikam oleh ribuan pisau. Meninggalkan sakit luar biasa, namun tetap tidak membuatnya mengembuskan napas terakhir. Jika boleh memilih, Joice lebih memilih untuk tidak lagi ada di dunia
PranggSebuah pajangan dilempar Marcel ke dinding, hingga pecahan dari pajangan yang terbuat dari keramik mahal itu telah memenuhi lantai. Aroma alkohol bercampur dengan asap rokok begitu kuat di ruang kerja Marcel.Tiga jam lalu, Marcel dan Joice berdebat hebat. Pertikaian itu berhenti di kala ucapan Joice meminta pisah. Marcel hendak ingin mengejar Joice, namun Joice sekarang tengah mengunci diri di kamar tamu.“Shit!” Marcel mengumpat kasar di kala benaknya terus teringat apa yang dikatakan oleh Joice. Hatinya begitu panas dan tidak rela ketika Joice mengatakan ingin berpisah darinya. Napas Marcel memburu. Entah kenapa hatinya begitu marah di kala Joice ingin berpisah darinya. Kemarahan dalam dirinya sudah tidak lagi bisa teratasi. Padahal seharusnya dia senang bisa terbebas dari Joice, tanpa harus menunggu Joice melahirkan.“Berengsek!” Marcel menyambar botol wine di hadapannya, dan melempar ke sembarangan arah, namun gerak Marcel terhenti ketika Hendy—asisten pribadinya—masuk ke
Tiga hari sudah Joice dan Marcel tidak bicara. Lebih tepatnya Joice masih diam mengurung diri di kamar. Bahkan Joice mematikan ponselnya agar tidak diganggu oleh siapa pun. Joice memang mengurung diri di dalam kamar, namun meski demikian dia tetaplah memikirkan anak yang ada di kandungannya. Dia tak ingin terjadi sesuatu hal buruk pada anaknya. Marcel sudah berusaha mengajak Joice berbicara, namun sayangnya berujung sia-sia. Joice tetap tidak ingin bicara. Memang, sampai detik ini Joice belum mengatakan pada pengacaranya untuk menjalankan proses cerainya dengan Marcel, tapi itu semua bukan karena dirinya berubah pikiran, melainkan karena ingin menenangkan diri sejenak. Tatapan Joice teralih pada susu hangat khusus ibu hamil yang dibuatkan sang pelayan. Dia memutuskan untuk mengambil gelas yang berisikan susu khusus ibu hamil itu dan meminum perlahan.Sudah tiga hari ini, Joice tidak pernah lagi merasakan lapar. Yang dia inginkan hanyalah mengurung diri di kamar. Tidak ingin digan
London, UK. Oliver menutup berkas kasus yang dia tangani. Dia tengah dibantu Samuel—ayahnya—untuk menangani kasus berat. Meski memiliki banyak pengalaman di bidang hukum, tetap Oliver membutuhkan banyak nasihat dari ayahnya. Ya, sudah tidak lagi heran jika Oliver Maxton kerap memenangkan kasus berat, karena di balik Oliver ada Samuel Maxton—pengacara senior kondang.“Oliver, kapan kau ke Milan?” Samuel menatap Oliver yang duduk di hadapannya.Oliver mengambil wine yang ada di atas meja dan menyesap perlahan wine tersebut. “Minggu ini aku akan ke Milan, menjenguk Joice.”“Besok saja kau berangkat. Pekerjaanmu di sini sudah mulai lowong,” balas Samuel dingin dan menegaskan. Pria paruh baya itu tidak sabar agar Oliver menjenguk Joice.“Tidak bisa, Pa. Besok aku masih memiliki meeting penting. Mungkin sekitar tiga hari lagi, aku akan berangkat,” ujar Oliver dingin dan datar.“Oliver—”Suara ketukan pintu menginterupsi percakapan Oliver dan Samuel.“Masuk!” Oliver meminta orang yang menge