Joice duduk di ranjang dengan tangis yang tak kunjung berhenti. Perkataan Marcel begitu menusuk hatinya. Setiap penjelasan Joice ternyata sama sekali tidak digubris oleh Marcel. Padahal Joice tidak melakukan hal buruk. Pun dia sama sekali tidak mengkhianati Marcel sama sekali. Tapi kenapa malah Marcel sampai semurka itu?“Nyonya …” seorang pelayan mendekat sambil membawakan nampan yang berisikan susu khusus ibu hamil.Joice menyeka air matanya seraya menatap sang pelayan. “Ada apa?” tanyanya pelan.“Nyonya, ini susu untuk Anda. Silakan diminum selagi masih panas,” jawab sang pelayan sopan.Joice mengangguk. “Letakan saja di atas meja, nanti aku akan meminum susunya. Terima kasih.”Sang pelayan terdiam sebentar melihat wajah Joice sedikit memerah seperti demam. “Nyonya, apa Anda sakit?” ujarnya sopan.“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Joice pelan.Sang pelayan berinistif menyentuh tangan Joice, dan benar saja Joice sekarang demam. “Nyonya, Anda demam.”Joice menjauhkan tangannya. “Per
Seorang pria tampan mengisap rokok sambil berdiri di ruang kerjanya dan menatap gedung bertingkat dari balik kaca. Asap rokok mengepul ke udara mengumpul menjadi satu, namun dalam hitungan detik lenyap karena diterpa oleh angin.“Tuan Albern,” seorang sekretaris melangkah menghampiri Albern.Albern mengalihkan pandangannya, menatap sekretarisnya itu. “Ya? Ada apa?” jawabnya singkat dan datar.“Tuan, maaf mengganggu, saya hanya ingin menyampaikan di depan ada Tuan Shawn Geovan ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang sekretaris memberi tahu.Sebelah alis Albern terangkat. “Shawn datang?” ulangnya memastikan.Sang sekretaris mengangguk. “Benar, Tuan. Tuan Shawn Geovan datang ingin bertemu dengan Anda.”“Persilakan dia untuk masuk,” ucap Albern tenang.“Baik, Tuan.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Albern.Tak selang lama, tatapan Albern teralih pada Shawn yang melangkah mendekat ke arahnya. Pria itu langsung menekan putung rokok ke asbaknya dan menyamb
Mobil Marcel melaju dengan kecepatan tinggi membelah kota Milan. Pria itu bermaksud berangkat lebih awal ke kantor guna menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Akan tetapi kehadiran Paige, membuat Marcel terpaksa harus meninggalkan kantor.Marcel mengalihkan pandangannya sebentar, dan tanpa sengaja tatapannya teralih ke layar ponselnya—menatap jelas di sana ada pesan dari Joice. Detik itu juga, Marcel mengambil ponselnya dan membaca pesan dari Joice tersebut.*Marcel, aku mohon kalau bisa kau pulang lebih awal. Aku membutuhkanmu.* Marcel terdiam sebentar membaca pesan singkat dari Joice. Pria itu menepikan sebentar mobilnya ke pinggir jalan. Beberapa kali Marcel mengembuskan napas panjang. Dia sengaja berangkat ke kantor lebih awal, karena takut emosinya terpancing dan malah meledak pada Joice. Pesan yang dikirimkan Joice, membuat hati Marcel merasakan sesuatu. Dia menyadari dirinya meninggalkan Joice yang dalam keadaan masih kurang sehat. Hal tersebut dia lakukan demi mampu menge
Hubungan Joice dan Marcel mulai membaik. Untuk sementara waktu, Joice berhubungan dengan Shawn melalui panggilan telepon. Joice belum berani untuk bertemu dengan Shawn secara tatap muka. Pasalnya, dia takut Marcel akan marah. Nanti, Joice akan mencari cara untuk menemukan solusi bagaimana membantu kerja sama perusahaan keluarganya dan Shawn. Bagaimanapun, Joice tidak tega kalau bersikap acuh dan tidak peduli pada perusahaan keluarganya.Joice hanya memiliki satu adik laki-laki, namun adik laki-lakinya itu berada di Boston, tengah menempuh pendidikan. Hal tersebut yang membuat adik laki-lakinya itu tidak mungkin bisa membantu perusahaan keluarga. Hanya Joice yang benar-benar bisa diandalkan. Namun, meski bisa diandalkan, Joice menyadari bahwa masih banyak hal yang harus dirinya pelajari mengenai perusahaan. “Joice, aku harus berangkat sekarang. Hari ini kau tidak pergi ke mana-mana, kan?” ujar Marcel seraya menatap Joice yang duduk di kursi meja rias, sambil menyisir rambut.“Tidak,
Joice mondar-mandir tidak jelas di ruang tengah. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Hana sudah pulang sejak tadi. Namun perkataan Hana terus berada di pikiran Joice saat ini.Joice memikirkan cara yang tepat untuk berbicara dengan Marcel nanti. Yang membuatnya sakit kepala adalah Joice harus mencari cara berbicara dengan Marcel tentang kerja sama perusahaan ayahnya dan Shawn, lalu ditambah tentang dirinya yang akan melakukan fashion show pada minggu depan.Joice tidak tahu apakah mungkin Marcel memberikan izin padanya. Yang pasti dirinya akan mencoba mengajak Marcel untuk berbicara. Meskipun tidak mudah, yang paling penting dirinya akan mencoba lebih dulu. Dia tidak akan pernah tahu kalau belum mencoba sama sekali.“Nyonya, Tuan Marcel sudah pulang,” ujar sang pelayan sopan pada Joice.Langkah kaki Joice terhenti mendengar apa yang dikatakan oleh sang pelayan. “Marcel sudah pulang?” ulangnya memastikan.Sang pelayan mengangguk. “Iya, Nyonya.”Joice tersenyum riang. Detik itu juga, dia
Sejak di mana Marcel memberikan izin agar Joice kembali bekerja, Joice pun langsung memberi tahukan pada Hana. Tentunya Hana menyambut itu dengan gembira. Karena memang sudah lama sekali Joice tidak kembali bekerja. Akan tetapi, meski sudah diperbolehkan untuk bekerja, tapi tetap Marcel memiliki aturan yang cukup ketat yaitu Joice tidak boleh menerima semua pekerjaan begitu saja. Joice hanya boleh menerima pekerjaan jika pekerjaan tersebut masih di dalam kota, bukan di luar kota ataupun di luar negeri.Harus Joice akui, tentunya ruang gerak dia akan terbatas. Dulu, dia selalu mengambil pekerjaan baik itu di luar kota ataupun di luar negeri. Namun, sekarang dirinya harus bisa mengalah. Lagi pula sekarang fokus utama Joice adalah anak yang ada di kandungannya.“Aku akan datang satu jam lagi tunggu saja.” Marcel nampak sibuk dengan ponselnya. Pria itu menutup panggilan telepon secara sepihak.“Marcel, kau menghubungi siapa?” tanya Joice seraya menatap Marcel yang sangat sibuk. Pagi meny
“Kau hebat sekali, Joice. Aku bangga padamu. Harusnya selain menjadi seorang model, kau juga menjadi pegulat internasional.” Hana mengeluarkan kata-kata konyol, namun tersirat dia sangat bangga pada Joice yang mampu melawan Paige.Joice tersenyum tipis. “Melawan Paige, bukanlah hal sulit bagiku.”Hana mengangguk-anggukan kepalanya. “Ya sudah, ayo kita berkenalan dengan investor yang aku maksud.”Joice menurut, dia melangkah pergi bersama dengan Hana menemui investor yang dimaksud oleh Hana. Malam itu, Joice tampil begitu cantik. Dia menjadi pusat perhatian banyak orang. Tidak sedikit orang yang kagum akan penampilan Joice. Memiliki tubuh tinggi langsing, kulit putih mulus, rambut indah, dan paras yang luar biasa cantik membuat banyak sekali yang kagum akan Joice. Hal tersebut yang membuat Joice sejak tadi menjadi pusat perhatian.“Tuan Wern,” sapa Hana sopan pada pria yang tengah mengobrol tak jauh darinya.Alis Joice sedikit menaut. Wanita itu menatap lekat punggung kekar pria yang d
Sebuah lampu hias besar sebagai menghias di atas panggung, tiba-tiba saja terjatuh dan hendak mengenai Joice yang kebetulan berada di bawah lampu besar itu. Tampak semua orang di sana menyerukan nama ‘Joice’. Bahkan suuasana menjadi tegang akibat teriakan banyak orang yang memanggil Joice.Marcel yang berada cukup jauh dari Joice terkejut melihat lampu hias hampir mengenai kepala Joice. Pria itu pun langsung berlari ke atas panggung berusaha menyelamatkan Joice, namun sayangnya posisi Marcel tidak dekat dengan Joice. Pria itu tak mungkin bisa menggapai Joice.“Joice! Awassssss!” Albern yang posisinya dekat dengan Joice langsung berlari naik ke atas panggung, memeluk erat Joice, dan berguling ke arah kanan guna menghindari lampu besar yang posisi di kiri.PranggggLampu besar itu terjatuh di atas terjatuh ke panggung. Pecahan berserakan membuat para tamu undangan berlarian menghindar agar tidak terkena pecahan lampu besar tersebut. Bukan hanya para tamu undangan saja yang menghindar, t
Lombok, Indonesia. Menepuh perjalanan jauh dari London ke Lombok adalah hal yang tak pernah Joice sangka-sangka. Saat usia Janita dan Marvel dua tahun, Joice pernah diajak Marcel ke Bali dan Jakarta. Hanya saja dia belum pernah ke Lombok. Wanita cantik itu takjub, di kala Marcel membawanya benar-benar berkeliling pedesaan.Joice tak pernah mengira Marcel akan membawanya serta tiga anaknya berlibur ke Lombok. Liburan di benua Eropa dan Amerika adalah hal biasa untuk Joice bersama keluarga. Akan tetapi, liburan ke Asia benar-benar sangat menakjubkan!“Sayang, ini indah sekali. Terima kasih sudah membawaku ke sini.” Mata Joice berkaca-kaca menatap Marcel dengan haru.Marcel mengecup kening Joice. “Aku sudah yakin kau akan menyukai tempat ini.”Joice tersenyum lembut seraya menatap tiga anaknya yang sedang berlari-larian. “Waktu terasa sangatlah cepat. Dulu, aku selalu hidup berdua dengan Hana. Ke mana pun aku pergi, maka Hana akan ikut denganku. Tapi sekarang semua berubah di kala takdi
London, UK. Janji suci pernikahan yang terucap secara bergantian di bibir Landon dan Anya—wanita yang menikah dengan Landon—nampak membuat Joice sejak tadi tersenyum penuh haru bahagia. Sepasang iris mata Joice menunjukkan betapa dia bahagia. Kepingan memori teringat akan masa kecilnya bersama dengan sang adik, membuat Joice meneteskan air mata haru.Landon bertemu dengan Anya saat adiknya itu tengah berlibur ke Singapore. Singkat cerita, mereka hanya berawal berkencan biasa, namun ternyata berujung pada pernikahan. Tentunya perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada kalanya naik turun. Tapi Joice selalu memberikan nasihat terbaik untuk adiknya, di kala adiknya mengalami masalah hubungan percintaan.Joice menetap tinggal di Milan, karena ikut dengan sang suami. Jarak tinggalnya dengan orang tua serta adiknya memang jauh, tapi Joice sering sekali mengunjungi London. Banyak keluarga yang tinggal di London, tentunya membuat Joice wajib mengunjungi kota indah itu.Selama proses upacara pern
*Dua minggu lagi hari pernikahanku. Kau pasti akan ke London, kan? Jangan bilang kau sibuk. Aku tidak akan lagi menganggapmu, jika kau sampai tidak datang di hari pernikahanku.* Pesan singkat dari Landon membuat Joice mengulumkan senyumannya. Wanita berparas cantik itu terlihat gemas akan pesan yang dia baca ini. Well, Joice tak akan mungkin hari pernikahan adiknya yang akan diadakan dua minggu lagi.Singkat cerita, beberapa bulan lalu Landon mendatangi Milan, memperkenalkan seseorang wanita cantik yang merupakan calon istri adiknya itu. Joice tentu saja bahagia mendengar kabar Landon akan segera menikah.Sudah sejak lama Joice meminta Landon untuk segera menikah. Karena bagaimanapun, Joice tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan Landon memiliki keluarga seperti dirinya dan Marcel. Doa Joice selama ini terjawab. Adiknya akhirnya dipertemukan dengan takdirnya.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu, Sayang?” Marcel mendekat, menghampiri sang istri. Joice mengalihkan pandangannya,
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam