“Joice, aku akan pulang malam. Aku ada meeting di luar. Kau tidurlah dulu, jangan menungguku.” Ini kalimat pertama yang Marcel ucapkan pada Joice. Pria itu membenarkan dasi yang melingkar di lehernya. Pun dia memakai arloji bergegas ingin pergi.“Apa hari ini kau akan sangat sibuk?” Joice mendekat membenarkan dasi Marcel yang sedikit miring.“Ya, hari ini aku akan sangat sibuk,” jawab Marcel dingin dan datar.Joice mendesah panjang. “Bisakah kau pulang jangan terlalu malam? Aku sudah terbiasa tidur di pelukanmu, Marcel. Aku pasti tidak akan bisa tidur nyaman jika kau tidak ada di sampingku.” Nadanya pelan dan tersirat membujuk Marcel agar tidak pulang malam.“Aku tidak tahu, nanti aku akan menghubungimu jika aku bisa pulang cepat,” ucap Marcel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Aku berangkat. Jaga dirimu.”Joice mengecup bibir Marcel. “Hati-hati, Marcel. Jangan mengebut.”Marcel terdiam sebentar mendapatkan kecupan dari Joice. Detik selanjutnya, Marcel mengambil kunci mobilnya
Marcel membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diberikan oleh asistennya. Pria itu sudah membaca dengan teliti dokumen yang diberikan oleh sang asisten. Itu kenapa dia dengan mudah menanda tangani dokumen tersebut.“Hendy, apa jadwalku hari ini?” tanya Marcel seraya menyerahkan dokumen yang sudah dia tanda tangani ke hadapan Hendy.“Tuan, nanti siang jam 2 Anda memiliki meeting dengan salah satu client dari Singapore,” jawab Hendy mengingatkan.Marcel mengangguk samar dan melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Dia masih memiliki waktu dua jam untuk bersantai sebelum bertemu dengan client-nya.“Pergilah. Jangan ganggu aku sampai waktu meeting tiba. Aku ingin istirahat,” ucap Marcel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Baik, Tuan. Saya permisi.” Hendy menundukkan kepalanya, hendak pamit undur diri, namun langkahnya terhenti di kala seorang sekretaris masuk ke dalam ruang kerja Marcel.“Tuan.” Sang sekretaris menund
Gaun berwarna maroon membalut tubuh Joice begitu indah. Rambut panjang wanita itu diikat ke atas memperlihatkan leher jenjangnya. Make up tipis Joice menyempurnakan penampilannya malam ini. Joice wajib tampil cantik. Apalagi malam ini Joice akan bertemu dengan kakek dan nenek Marcel.“Joice, apa kau sudah siap?” Marcel melangkah menghampiri Joice.“Sudah, Marcel. Lihatlah gaun ini cocok untukku tidak?” ujar Joice begitu riang.Marcel terdiam melihat penampilan Joice malam itu begitu cantik. Joice memiliki kulit putih bersinar layaknya porselen. Sepasang iris mata cokelat gelap Marcel hanyut akan apa yang dia lihat. “Marcel? Gaun ini tidak cocok untukku, ya?” tanya Joice pelan. Pasalnya Marcel hanya diam tanpa mengatakan apa pun padanya. “Sangat cocok,” jawab Marcel begitu spontan.Seketika Joice melukiskan senyuman di wajahnya. “Sangat cocok? Itu artinya aku cantik?” ujarnya riang.Marcel menepis pikirannya. “Lumayan,” jawabnya dingin.Bibir Joice tertekuk. “Lumayan bagaimana, Marc
Makan malam berlangsung cukup hangat. Sejak tadi yang banyak bercakap-cakap adalah William dan Albern. Meskipun masih muda, namun terlihat Albern adalah sosok pria yang mudah membaur dan ramah. Terbukti Albern mampu membuat William nyaman padanya.Saat makan malam berlangsung, Joice lebih banyak diam. Hanya sesekali dia berbicara jika Marsha mengajaknya bicara. Dia tidak berani mengeluarkan suara karena sejak tadi Marcel sudah memberikan tatapan dingin padanya. Bahkan dia pun sampai tak berani mengobrol dengan Albern.Hati Joice merasa bersalah karena sudah membohongi Marcel. Waktu itu dirinya bertemu dengan Shawn, tapi malah mengatakan pergi dengan Hana. Kala itu Joice benar-benar terpaksa berbohong. Karena jika jujur pasti Marcel tidak akan mungkin mengizinkan dirinya bertemu dengan Shawn.“Albern, aku tidak mengira kalau kau adalah teman Shawn,” ujar William seraya menyesap vodka di tangannya. Pria paruh baya itu sama sekali tidak mengira kalau ternyata Albern adalah teman dari Sha
Joice duduk di ranjang dengan tangis yang tak kunjung berhenti. Perkataan Marcel begitu menusuk hatinya. Setiap penjelasan Joice ternyata sama sekali tidak digubris oleh Marcel. Padahal Joice tidak melakukan hal buruk. Pun dia sama sekali tidak mengkhianati Marcel sama sekali. Tapi kenapa malah Marcel sampai semurka itu?“Nyonya …” seorang pelayan mendekat sambil membawakan nampan yang berisikan susu khusus ibu hamil.Joice menyeka air matanya seraya menatap sang pelayan. “Ada apa?” tanyanya pelan.“Nyonya, ini susu untuk Anda. Silakan diminum selagi masih panas,” jawab sang pelayan sopan.Joice mengangguk. “Letakan saja di atas meja, nanti aku akan meminum susunya. Terima kasih.”Sang pelayan terdiam sebentar melihat wajah Joice sedikit memerah seperti demam. “Nyonya, apa Anda sakit?” ujarnya sopan.“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Joice pelan.Sang pelayan berinistif menyentuh tangan Joice, dan benar saja Joice sekarang demam. “Nyonya, Anda demam.”Joice menjauhkan tangannya. “Per
Seorang pria tampan mengisap rokok sambil berdiri di ruang kerjanya dan menatap gedung bertingkat dari balik kaca. Asap rokok mengepul ke udara mengumpul menjadi satu, namun dalam hitungan detik lenyap karena diterpa oleh angin.“Tuan Albern,” seorang sekretaris melangkah menghampiri Albern.Albern mengalihkan pandangannya, menatap sekretarisnya itu. “Ya? Ada apa?” jawabnya singkat dan datar.“Tuan, maaf mengganggu, saya hanya ingin menyampaikan di depan ada Tuan Shawn Geovan ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang sekretaris memberi tahu.Sebelah alis Albern terangkat. “Shawn datang?” ulangnya memastikan.Sang sekretaris mengangguk. “Benar, Tuan. Tuan Shawn Geovan datang ingin bertemu dengan Anda.”“Persilakan dia untuk masuk,” ucap Albern tenang.“Baik, Tuan.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Albern.Tak selang lama, tatapan Albern teralih pada Shawn yang melangkah mendekat ke arahnya. Pria itu langsung menekan putung rokok ke asbaknya dan menyamb
Mobil Marcel melaju dengan kecepatan tinggi membelah kota Milan. Pria itu bermaksud berangkat lebih awal ke kantor guna menenangkan pikirannya yang sedang kacau. Akan tetapi kehadiran Paige, membuat Marcel terpaksa harus meninggalkan kantor.Marcel mengalihkan pandangannya sebentar, dan tanpa sengaja tatapannya teralih ke layar ponselnya—menatap jelas di sana ada pesan dari Joice. Detik itu juga, Marcel mengambil ponselnya dan membaca pesan dari Joice tersebut.*Marcel, aku mohon kalau bisa kau pulang lebih awal. Aku membutuhkanmu.* Marcel terdiam sebentar membaca pesan singkat dari Joice. Pria itu menepikan sebentar mobilnya ke pinggir jalan. Beberapa kali Marcel mengembuskan napas panjang. Dia sengaja berangkat ke kantor lebih awal, karena takut emosinya terpancing dan malah meledak pada Joice. Pesan yang dikirimkan Joice, membuat hati Marcel merasakan sesuatu. Dia menyadari dirinya meninggalkan Joice yang dalam keadaan masih kurang sehat. Hal tersebut dia lakukan demi mampu menge
Hubungan Joice dan Marcel mulai membaik. Untuk sementara waktu, Joice berhubungan dengan Shawn melalui panggilan telepon. Joice belum berani untuk bertemu dengan Shawn secara tatap muka. Pasalnya, dia takut Marcel akan marah. Nanti, Joice akan mencari cara untuk menemukan solusi bagaimana membantu kerja sama perusahaan keluarganya dan Shawn. Bagaimanapun, Joice tidak tega kalau bersikap acuh dan tidak peduli pada perusahaan keluarganya.Joice hanya memiliki satu adik laki-laki, namun adik laki-lakinya itu berada di Boston, tengah menempuh pendidikan. Hal tersebut yang membuat adik laki-lakinya itu tidak mungkin bisa membantu perusahaan keluarga. Hanya Joice yang benar-benar bisa diandalkan. Namun, meski bisa diandalkan, Joice menyadari bahwa masih banyak hal yang harus dirinya pelajari mengenai perusahaan. “Joice, aku harus berangkat sekarang. Hari ini kau tidak pergi ke mana-mana, kan?” ujar Marcel seraya menatap Joice yang duduk di kursi meja rias, sambil menyisir rambut.“Tidak,
Lombok, Indonesia. Menepuh perjalanan jauh dari London ke Lombok adalah hal yang tak pernah Joice sangka-sangka. Saat usia Janita dan Marvel dua tahun, Joice pernah diajak Marcel ke Bali dan Jakarta. Hanya saja dia belum pernah ke Lombok. Wanita cantik itu takjub, di kala Marcel membawanya benar-benar berkeliling pedesaan.Joice tak pernah mengira Marcel akan membawanya serta tiga anaknya berlibur ke Lombok. Liburan di benua Eropa dan Amerika adalah hal biasa untuk Joice bersama keluarga. Akan tetapi, liburan ke Asia benar-benar sangat menakjubkan!“Sayang, ini indah sekali. Terima kasih sudah membawaku ke sini.” Mata Joice berkaca-kaca menatap Marcel dengan haru.Marcel mengecup kening Joice. “Aku sudah yakin kau akan menyukai tempat ini.”Joice tersenyum lembut seraya menatap tiga anaknya yang sedang berlari-larian. “Waktu terasa sangatlah cepat. Dulu, aku selalu hidup berdua dengan Hana. Ke mana pun aku pergi, maka Hana akan ikut denganku. Tapi sekarang semua berubah di kala takdi
London, UK. Janji suci pernikahan yang terucap secara bergantian di bibir Landon dan Anya—wanita yang menikah dengan Landon—nampak membuat Joice sejak tadi tersenyum penuh haru bahagia. Sepasang iris mata Joice menunjukkan betapa dia bahagia. Kepingan memori teringat akan masa kecilnya bersama dengan sang adik, membuat Joice meneteskan air mata haru.Landon bertemu dengan Anya saat adiknya itu tengah berlibur ke Singapore. Singkat cerita, mereka hanya berawal berkencan biasa, namun ternyata berujung pada pernikahan. Tentunya perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada kalanya naik turun. Tapi Joice selalu memberikan nasihat terbaik untuk adiknya, di kala adiknya mengalami masalah hubungan percintaan.Joice menetap tinggal di Milan, karena ikut dengan sang suami. Jarak tinggalnya dengan orang tua serta adiknya memang jauh, tapi Joice sering sekali mengunjungi London. Banyak keluarga yang tinggal di London, tentunya membuat Joice wajib mengunjungi kota indah itu.Selama proses upacara pern
*Dua minggu lagi hari pernikahanku. Kau pasti akan ke London, kan? Jangan bilang kau sibuk. Aku tidak akan lagi menganggapmu, jika kau sampai tidak datang di hari pernikahanku.* Pesan singkat dari Landon membuat Joice mengulumkan senyumannya. Wanita berparas cantik itu terlihat gemas akan pesan yang dia baca ini. Well, Joice tak akan mungkin hari pernikahan adiknya yang akan diadakan dua minggu lagi.Singkat cerita, beberapa bulan lalu Landon mendatangi Milan, memperkenalkan seseorang wanita cantik yang merupakan calon istri adiknya itu. Joice tentu saja bahagia mendengar kabar Landon akan segera menikah.Sudah sejak lama Joice meminta Landon untuk segera menikah. Karena bagaimanapun, Joice tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan Landon memiliki keluarga seperti dirinya dan Marcel. Doa Joice selama ini terjawab. Adiknya akhirnya dipertemukan dengan takdirnya.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu, Sayang?” Marcel mendekat, menghampiri sang istri. Joice mengalihkan pandangannya,
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam