Seorang pangeran tampan menyodorkan sebuah sepatu yang terbuat dari kaca.
“Pakailah sepatu ini, wahai Tuan Putri!” kata sang Pangeran.
Bak Cinderella, Nun menjulurkan kaki berbalut mojah dan legging dari balik gamis. Dipakainya sepatu kaca itu kemudian mematut diri. Ukurannya pas sekali. Namun, hak yang terlalu tinggi membuat tubuh gadis mungil berusia 24 tahun itu goyah. Dia terjatuh, kakinya terkilir dan sepatunya pecah bersama bunyi ‘prang’ di dapur.
Ya, di dapur. Bukan di kamar mandi. Dalam mimpi pun dia yakin, suara prang itu berasal dari dapur rumahnya. Nun menajamkan telinga meski matanya masih terpejam. Tidak peduli sepatu kaca atau pangeran tampan, instingnya membuat dia mengerjap seketika, menyingkap selimut, menyabet jilbab, dan melompat dari tempat tidur.
Setengah berlari dia menuju dapur. Masalahnya bunyi prang itu muncul bersamaan dengan bunyi gedebuk orang terjatuh. Nun yakin benar, rumahnya yang berukuran 6x6 meter itu tidak mungkin dimasuki maling. Mau apa maling ‘bertamu’ ke rumahnya di jam 4 pagi? Tidak mungkin membangunkan sahur atau tahajud call, kan?
Dalam hati Nun sudah senewen. Satu-satunya tersangka yang bisa masuk dapur di subuh buta begini, ya cuma bapaknya.
Benar dugaan dia. Seseorang terjerembab di lantai dapur yang tidak luas itu. Di dekatnya pecahan piring bertebaran. Nun langsung menghampiri sosok bertubuh lemah yang bahkan kesulitan untuk bangkit berdiri itu.
“Bapak, Nun kan udah bilang ... istirahat aja. Kaki Bapak masih sakit kan?” ucap Nun seraya memapah bapaknya untuk duduk di kursi kayu dekat rak piring.
“Minum dulu, Pak!” Nun menyodorkan air putih yang dia kucurkan dari teko ke dalam sebuah gelas plastik. Perabotan di dapur itu kebanyakan memang terbuat dari plastik. Piring kramik dan gelas kaca hanya digunakan untuk keprluan Bapak Nun berjualan ketoprak saja.
Nun dan bapaknya hidup sederhana di sebuah rumah kontrakan. Sudah tiga hari bapaknya terbaring sakit setelah terserempet mobil. Dia sebenarnya belum kuat berdiri, namun memikirkan tagihan listrik dan sewa kontrakan bulan ini, membuatnya tidak bisa tinggal diam.
“Nanti Nun juga bakal gajian, Pak,” kata Nun sambil memunguti pecahan piring di lantai dapur. “Bapak enggak usah khawatir soal bayar listrik dan sewa kontrakan lagi. Nun kan sudah kerja.”
“Iya ....” Bapaknya mengatur napas setelah menandaskan air dalam gelas. “... Bapak minta maaf, ya, Nun. Kamu malah harus kerja, padahal harusnya kamu tuh sudah ada yang tanggung jawab menafkahi, bukannya terus ngurusin dan mikirin Bapak kayak gini.”
“Tidak apa-apa, Pak. Yang penting Bapak sehat dan ceria.” Nun menampilkan segurat senyum di wajahnya demi mengusir rasa bersalah di hati sang Ayah.
“Bapak enggak apa-apa. Tuh lihat ... Bapak yang jatuh, malah piringnya yang pecah. Bapak mah sehat wal afiat,” elak sang Ayah.
“Iya, tetapi kaki Bapak juga kan pecah-pecah.”
“Itu mah rorobeheun (tumit pecah-pecah) atuh, Nun,” celoteh bapaknya. “Biarpun kaki pecah-pecah, hati dan jiwa raga Bapak kan tetap utuh buat kamu dan almarhum ibu kamu.”
“Acie ....” Nun jadi geli kalau bapaknya yang sudah keriput itu ngegombal. Dikira Nun sama dengan para pembeli ketoprak yang dia jajakan kali, ya ... bisa dirayu dan digombalin.
“Bukan cie ... cie ... kamu tuh kalau dibilangin. Harusnya kamu mulai mikirin masa depan coba. Biar bisa cie ... cie ... juga. Buruan bawa calon kamu ke sini! Bapak enggak mau nyusulin ibu kamu sebelum jadi wali nikah kamu.”
Ekspresi wajah gadis ceria itu berubah kelabu. “Sabar ya, Pak. Kim Seon Ho, masih betah tinggal di Gongjin. Nun cari jodoh buat orang-orang aja dulu,” jelas dia, “kalau Bapak mau, Nun bisa bantu cari pengganti almarhum Ibu. Biro Jodoh tempat Nun kerja kan kliennya banyak, Pak. Janda imut kayak opahnya Upin Ipin pun ada.”
“Hush ....” Bapaknya melempar serbet ke arah anak gadis semata wayangnya itu. “Ibu kamu mah tiada duanya atuh, Nun. Tidak akan ada yang bisa menggantikan. Eh, tapi ... kalau Amanda Manopo mau jadi ibu tiri kamu sih, Bapak enggak nolak. Di Biro Jodoh kamu ada enggak yang sebening si Andin itu?” timpal lelaki berbadan kurus macam Tok Dalang itu sambil melepas tawa. Sepertinya dia lupa dengan kaki dan pingganya yang sakit akibat terjatuh barusan.
“Malu sama Aldebaran kali, Pak,” gerutu Nun.
“Aldebarannya buat kamu ajalah, Nun!” Dia malah terkekeh.
“Bapak ... Bapak ... sinetron terus yang dipikirin. Ini piring ketoprak pecah satu mau digimanain?”
“Ya buanglah, Nun. Masa mau dipelihara? Kalau berubah jadi emas permata sih boleh aja disimpen juga. Kali bisa buat modalin kamu nikah sama siapa tuh tadi ... Kim Jong Un, ya?”
“Kim Seon Ho, Bapak ... bukan Kim Jong Un. Jauh amat nyasarnya ke Korea Utara.”
“Iya, deh ... Seon Ho apa seon kanan belok kiri kayak emak-emak bawa motor pun bolehlah ... yang penting kamu dapat jodoh. Impian Bapak yang belum terkabul tuh cuma itu aja,” kata bapak Nun seraya menambahkan, “... sama naik haji, punya rumah sendiri, kios buat jualan ketoprak, perabotan, sama calon istri baru yang minimal beningnya kayak Amanda Manopo lah, ya.”
Nun sampai spechless kalau bapaknya sudah pidato. Lelaki paruh baya itu kalau sudah bicara memang susah dilawan. Pada akhirnya Nun iyakan saja, biar durasi dan jumlah kata tidak berlebihan.
***
Setelah subuh, Bapaknya Nun bersikeras mendorong gerobak ketoprak miliknya menuju depan gang. Biasanya tukang ojek dan ibu-ibu kompleks sebelah sudah berseliweran mencari menu untuk sarapan. Ketoprak bapaknya Nun selalu jadi target incaran. Apalagi sudah dua hari dia libur mangkal, pasti ibu-ibu kompleks dan mamah-mamah muda muda kangen berat kepadanya, eh ... kepada ketopraknya.
Namun, baru sampai belokan, dia sudah dicegat anaknya.
“Nun, jangan cegah Bapak! Biarkan Bapak pergi berjualan! Mamah-mamah muda yang suaminya butuh sarapan ketoprak pasti sudah sangat merindukan Bapak, Nak,” kata dia.
“Dasar Bapak lebay! Siapa juga yang mau cegah Bapak!” sungut Nun sambil mengerucutkan mulut.
“Lah itu, kamu lari-lari ngejar Bapak, kenapa coba?”
“Bapak ... Bapak tuh baru selesai salat subuh ....” Nun menahan-nahan intonasi suaranya supaya tetap terkesan lembut di telinga Bapaknya. “Itu sarung masih dipake. Bapak mau jualan apa mau ikut sunatan masal?”
Bapaknya langsung menunduk. “Wadoooh ....” Dia langsung putar balik gerobaknya kembali ke rumah. Bisa berabe urusannya kalau tuh sarung melorot di tengah jalan atau di tengah transaksi jual beli ketoprak di depan gang.
Itulah peristiwa yang membuat Nun kesiangan berangkat kerja karena harus bolak balik ngejar bapaknya dahulu sampai ke depan pengkolan gang, lalu balik lagi ke rumah. Kesiangan yang membawa kesialan.
Nun beristighfar.
***
Nun berjalan di trotoar dengan tas ransel yang isinya menyaingi kantong doraemon. Bukan hanya berkas pekerjaan, segala macam alat bantu kehidupan dia jejalkan ke dalam situ. Ada charger hp, payung, peralatan makan-minum, saputangan, minyak angin, tisue, hingga permen mint. Hanya peta dan Boots saja yang tidak dia bawa karena Nun bukan Dora. Hari ini Nun harus bertemu klien di sebuah caffe. Agendanya nadzor untuk ta’aruf. Kafka sudah memberikan pengarahan kepada Nun sebelum dia pergi ke luar kota, sore kemarin. “Ini klien penting. Member VIP,” kata Kafka, “dia sudah lima kali gagal ta’aruf dalam lima bulan ini. Kamu tahu apa artinya, kan?” Nun merasa jantungnya kembang kempis karena mata bosnya menatap setajam itu ke arahnya. Meski hampir pingsan, dia masih bisa mengangguk dan mempertahankan kesadaran. Klien VIP adalah pemilik gold membership. Mereka membayar uang keanggotaan dalam jumlah besar untuk mendapatkan jodoh dalam waktu singkat, yakni tidak l
Persis seperti di foto, lelaki berambut cepak, berkulit putih dengan mata sipit, hidung mancung dan dagu runcing itu duduk bersandar di kursi sebuah caffe. Santai tanpa beban. Kemeja slimfit membungkus badannya yang atletis. Jas casual tersampir di kursi. Sementara gawai keluaran terbaru miliknya tergeletak begitu saja di atas meja bersama segelas minuman bersoda. Ketika Nun tiba, lelaki itu langsung mendongakkan kepala. “Kamu, yang mau ta’aruf dengan saya?” tanya dia, bahkan sebelum Nun bersuara. Intonasi dan tatapan lelaki itu seperti meremehkan dia. Nun cepat-cepat memberi isyarat penyangkalan, “Bukan ... bukan saya,” kata dia sambil memasang wajah seramah mungkin. Sedongkol apa pun hatinya saat itu, dia tetap harus memberikan pelayanan prima sebagai Mak Comblang elite dari pangkalanhati.com. Lelaki itu menjulurkan bibir bagian bawahnya, jelas mencibir. “Saya consultan relationship dari pangkalanhati.com. Saya menggantikan M
Kafka mengerem kendaraan secara spontan. Tubuhnya tertahan seatbelt sehingga dia tidak terjungkal ke depan kemudi. Itu terjadi begitu saja ketika Kafka mendengar salah satu pegawainya yang bernama Ainun Mardiyya berkata lewat sambungan telepon, “Nun salah menta’arufkan klien.” “Klien yang mana?” tanya Kafka setelah dia bisa mengatasi sport jantungnya barusan. “Klien VIP bernama Alif.” Kafka menghela napas berat. Ingin dia berkata kasar, tetapi dia juga sadar bahwa pegawainnya itu berhati lembut dan baperan. “Saya sedang dalam perjalanan pulang. Nanti kita bahas solusinya di kantor.” Demikian keputusan Kafka. *** Brak. Pintu kantor bak dihantam angin kencang, terbuka lebar-lebar didorong seseorang. Semua kru Biro Jodoh Pangkalan Hati yang hari itu mangkal di kantor sontak melempar pandang kepada tamu yang datang. Seorang pria jangkung berkulit putih masuk ke ruangan tanpa mengucap salam. Matanya menyimpan kobaran api yang menyal
“Tidaaak ....” kata itu yang ingin Nun teriakan, namun yang keluar malah sebuah anggukan pelan. Dia memang tipe orang yang tidak bisa menolak permintaan, apalagi yang disertai ancaman pemecatan. “Nun ...?” Kafka ternganga. Namun, kemudian dia bernapas lega, meski agak kecewa. Nun juga sama. Dia terpaksa mengangguk demi menyelamatkan reputasinya di depan Kafka. Dia juga cukup tahu diri untuk tidak membebani bosnya dengan masalah. Lewat anggukan kecilnya, Biro Jodoh Pangkalan Hati setidaknya bisa selamat dari musibah yang dapat ditimbulkan oleh klien menyebalkan bernama Alif itu. Lelaki berpenampilan necis itu benar-benar merasa jumawa. Dia bersedekap sambil mengamati ekspresi ‘calon istrinya’ yang ketakutan. “Kondisiin tuh muka! Jangan nakut-nakutin gitu! Serem amat kayak The Nun,” celotehnya. Nun mendelik sambil membatin, “Udah tahu serem, kenapa juga diajak ta’aruf? Dasar kelainan!” Alif melengkungkan senyum sinis. Di otaknya sudah te
Nun benar-benar heran dengan lelaki bernama Alif Sya’bani Abyansyah Khalifi alias Park Seo Joon kw itu. Sampai kembali ke rumah pun, Nun tetap tidak habis pikir. Dia bahkan jadi tidak bisa tidur karena memikirkan si Alif ini. Nun kira dia akan dibawa ke rumah atau ke sebuah tempat semacam caffe untuk bertemu sang Kakek. Ternyata, dia dibawa ke sebuah rumah sakit. Kakeknya Alif ternyata sedang menjalani perawatan intensif karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Nun berkenalan dengan kakeknya Alif di ruang rawat VVIP. “Saya Yasin Khalifi, kakeknya Alif,” kata lansia yang terbaring lemah di atas ranjang pasien itu. Suaranya tidak jelas karena sesak napas. Selang nasal canula terpasang di hidungnya. Meski terbaring di electrical hospital bed yang canggih di ruang rawat VVIP dengan fasilitas setara hotel berbintang, kakek Alif tampak tidak berdaya. Gerakannya dibatasi oleh selang infus dan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh. Dua orang ajuda
Sama seperti Nun yang tidak bisa tidur, Alif juga.“Apa ya, SnK-nya?” tanya Alif.Malam-malam buta dia menelepon Kafka. Terdorong rasa penasaran, gengsi pun disingkirkan.“Ka, lu tahu enggak SnK buat ngelamar The Nun?”Kafka mengucek matanya yang masih ngantuk akibat dibangunkan getar gawai di tengah malam.“SnK? The Nun?” CEO Biro Jodoh Pangkalan Hati itu bak orang linglung.“Iya. Dia ada ngabarin sesuatu enggak ke lu?”Di ujung telepon, Kafka beringsut duduk. “Kabar apa?” lelembutannya mulai kumpul.“Lah, kan gue nanya. Malah ditanya.”Kesadaran Kafka sempurna sudah demi mendengar ocehan tidak berguna dari mulut cucu mantan Bos-nya itu. “Lah, mana gue tahu? Lagian lu malam-malam ngebangunin gue cuma mau nanyain kabar Mak Comblang gue. Sengebet itu lu sama dia?”“Ko lu jadi sewot?” cecar Alif. Padahal jelas, dia sendir
“The Nun, selamat, ya!” Seru Kak Pawpaw sambil merentangkan tangan, menghampiri Nun yang sedang mengisi tumbler-nya dengan air minum di dispenser. Nun datang paling awal pagi itu. Buntut sulit tidur dan mimpi buruk, dia jadi nafsu makan. Sarapannya pagi itu ketoprak yang level kepedasannya bikin enggak sabar untuk menghabiskan galon air mineral. “Selamat apa, Kak?” tanya Nun dengan bibir jontor. Dia teguk air dalam tumbler. “Pokoknya selamat,” tandas Kak Pawpaw seraya memeluk Nun hingga rekannya itu keselek. “Kata Bang Devan, kamu ta’aruf sama klien VIP yang waktu itu ke sini, kan?” “Uhuk-uhuk ....” Nun terbatuk-batuk seperti kakeknya Alif kemarin. Untung saja air yang diteguknya sudah meluncur jatuh dari kerongkongan dan tidak kembali lagi ke rongga mulut. Nun tidak heran kenapa Bang Devan bisa tahu masalah ta’aruf itu. Devan kan satu-satunya tangan kanan Kafka, orang kepercayaan CEO Pangkalanhati.com. Pastilah Kafka curhat kepadanya jika ada
Nun jadi lesu. Belakangan ini Kafka sering meninggalkan kantor untuk urusan yang tidak jelas. Bahkan Devan sebagai asisten sekaligus portal berita utama di Biro Jodoh Pangkalan Hati saja tidak tahu soal urusan Kafka di luar sana. Permintaan Kafka untuk bertemu Nun sepulang kerja pun batal karena ternyata dia tidak kembali ke kantor sejak tadi siang. Nun pulang ke rumah dengan hati hampa. Pikirannya selalu terpaut kepada Kafka, lelaki yang sudah menarik hatinya sejak pandangan pertama. “Berapa banyak jomlowan dan jomlowati yang kesulitan mencari jodoh saat ini? Itu pertanyaan pertama yang membuat saya melirik bisnis Biro Jodoh ini,” kata Kafka di sebuah seminar. Kafka menjelasakan, kesulitan mencari jodoh tentu dilatari oleh banyak hal. Salah satunya adalah sempitnya waktu atau kecilnya kesempatan untuk bertemu, berinteraksi, dan saling mengenal lawan jenis. Bisa karena sibuk bekerja, sibuk belajar, kepribadian yang sangat tertutup, dan lain-la
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.Pak Sa
Pasangan ini memang belum berani menceritakan soal pernikahan mereka, terutama kepada Pak Sabar. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu siapa pun hingga resepsi yang sudah dijadwalkan benar-benar digelar. Mereka juga tetap berkonsultasi dengan Kafka perihal langkah yang perlu dijalankan agar semuanya lancar dan baik-baik saja.“Kalian sudah menikah, sah secara agama,” kata Kafka, “Jadi, kalaupun nanti harus akad lagi, itu tidak masalah.”Nun yang ragu soal itu lantas, bertanya kepada Mami Dedeh yang kebetulan datang ke kantor pada suatu hari. Kata Mami Dedeh, memang benar hal itu diperbolehkan, selama rukun dan syarat sah nikahnya sempurna. Akad kedua tidak membatalkan akad yang pertama.Mami Dedeh mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.“Abu ‘Ashim bercerita sebagaimana diceritakan dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah,” kata Mamah Dedeh. ”Nabi bertanya kepada Salamah, ‘Ya, Salamah,
Sejak meninggalnya Pak Yasin, Alif tenggelam dalam kesedihan. Banyak hal yang harusnya dia urusi, mulai dari pekerjaan kantor hingga hak waris. Namun, itu semua dia abaikan. Nun bahkan tidak bisa menghubungi dia lagi. Sampai suatu ketika, sopir Alif datang ke kantor Biro Jodoh untuk menemuinya.“Mbak Bos, saya ke sini bukan mau cari jodoh, tapi minta tolong. Bujuk Bos Alif ... sudah tiga hari dia tidak mau makan dan tidak mau keluar kamar.”Lantas, Nun meminta ijin kepada Kafka untuk ikut bersama sopir Alif ke rumah sang Suami.“Enggak usah minta ijin lagi sama aku. Kamu kan berhak menemui dia kapan pun. Kalau dia enggak mau ketemu, bilang sama aku,” kata Kafka.Di rumah Alif yang bak istana pangeran dalam kisah Cinderella, Nun disambut hangat para pengurus yang disebut Alif sebagai keluarganya ketika lamaran dahulu. Laporan tentang Alif langsung Nun terima. Mereka tidak sungkan kepada Nun, begitu dia kepada mereka.Ditunjuk
Nun akhirnya pulang malam dijemput Kafka. Pak Yasin yang membukakan pintu sempat memelototi dia. Namun, tidak mengatakan sepatah kata pun pada akhirnya. Dia terlonjak dari tempat tidur saat mendengar ketukan pintu. Ketika menyambut Nun pulang, Pak Sabar seakan berjalan dalam mimpi. Bingung membedakan realita dan fatamorgana.Kafka juga langsung pulang karena merasa mengganggu dan tidak sopan jika berlama-lama di sana. Dia hanya mengantar Nun pulang sesuai permintaan Alif kepadanya. Baik dia maupun Nun tidak sempat mengutarakan soal kejadian hari itu kepada Pak Sabar.Parahnya lagi, begitu pagi tiba, Nun ditinggal bapaknya begitu saja. Orang tua itu biasanya pamitan dan titip pesan kepada dia jika akan berangkat untuk mangkal di depan gang. Namun, kali ini tidak.Di lapak ketoprak, dekat mulut gang Sabar, Nun baru bisa menyapa bapaknya setelah beberapa kali menguap karena masih ngantuk dan lelah. Kepalanya pusing karena kurang tidur. Perutnya juga mual karena dar
Begitu pintu kamar pasien yang ditempati Pak Yasin terbuka, Nun langsung menyadari apa yang menunggunya di depan mata.Pak Yasin tergolek lemah dengan belitan selang yang lebih banyak dari biasa. Bahkan, ditambah dengan elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik dan saturasi. Berbagai alat medis lain juga terpasang di dekat ranjangnya.Enam buah kursi tersusun rapi mengitari sebuah meja tidak jauh dari ranjang Pak Yasin. Alif duduk di salah satu kursi. Matanya sembab. Wajahnya pias. Rambutnya berantakan. Kemejanya kusut. Penampilannya tidak karuan. Dia jelas tidak tidur semalaman bahkan melewatkan mandi pagi.Di hadapannya, duduk seorang bapak-bapak bersetelan rapi mengenakan kopiah. Di sisi meja yang lainnya asisten dan sopir Alif duduk berdampingan dengan wajah gusar. Di sekeliling mereka penjaga, perawat dan dokter berdiri memantau situasi.Nun yang baru masuk langsung diminta duduk di sebelah Alif yang terus menunduk.Kafka menghampiri dan
Nun fokus menatap layar monitor. Beberapa chat masuk. Seperti biasa dia jawab satu-persatu dari urutan terbawah. Ada yang menanyakan soal Biro jodoh; ada chat klien yang mendesak segera diinformasikan soal hasil pencocokan; ada yang mau upgrade membership dari premium ke VIP; ada juga yang mengabarkan tanggal pernikahan; dan ada yang mengirimkan foto desain gaun pengantin.Mata Nun langsung terbelalak pada pesan yang terakhir.[Pilih yang mana?]Jantung Nun sempat kebat-kebit. Namun dilihatnya lagi pengirim pesan tersebut, Kafka. Bukan Alif.Ada beberapa desain pakaian pengantin yang dia kirimkan –gamis, kebaya, hingga gaun yang bagi Nun terlalu ‘wah’. Lama sekali Nun tercenung hingga tidak membalas pesan itu meski sudah dibaca.[Dari Alif. Dia minta kamu pilih model baju pengantin]Nun mengerjapkan matanya, lalu membalas pesan itu dengan cepat, secepat dirinya melayani keluhan klien.[Terserah Kakak][Kamu ya