Nun benar-benar heran dengan lelaki bernama Alif Sya’bani Abyansyah Khalifi alias Park Seo Joon kw itu. Sampai kembali ke rumah pun, Nun tetap tidak habis pikir. Dia bahkan jadi tidak bisa tidur karena memikirkan si Alif ini.
Nun kira dia akan dibawa ke rumah atau ke sebuah tempat semacam caffe untuk bertemu sang Kakek. Ternyata, dia dibawa ke sebuah rumah sakit.
Kakeknya Alif ternyata sedang menjalani perawatan intensif karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Nun berkenalan dengan kakeknya Alif di ruang rawat VVIP.
“Saya Yasin Khalifi, kakeknya Alif,” kata lansia yang terbaring lemah di atas ranjang pasien itu. Suaranya tidak jelas karena sesak napas. Selang nasal canula terpasang di hidungnya.
Meski terbaring di electrical hospital bed yang canggih di ruang rawat VVIP dengan fasilitas setara hotel berbintang, kakek Alif tampak tidak berdaya. Gerakannya dibatasi oleh selang infus dan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh.
Dua orang ajudan yang bagai malaikat Rokib-Atid berdiri di sisi kanan dan kiri ranjang pasien. Mereka jadi perpanjangan tangan sang Kakek jika membutuhkan sesuatu. Mereka juga yang saat itu menyambut Alif dan Nun ketika tiba di ruangan.
Perasaan Nun benar-benar tidak karuan. Namun, sebagai Mak Comblang berpengalaman dia bisa mengendalikan diri dan bersikap sewajarnya. Dia memperkenalkan diri dengan sopan.
“Nama saya Ainun Mardiyya. Saya consul ....” Nun segera membekap mulutnya yang terlanjur terlatih mengucap kalimat perkenalan sebagai Mak Comblang. Dia pun mengoreksi dialognya, “Maksud saya ....”
“Maksudnya, calon istri, Kek,” sela lelaki bertampang lugu di sebelah Nun. “Iya, kan?” Dia menunjukkan senyum sok imut ke hadapan Nun.
Nun menganggkat alis. Alif menyiku lengannya dari belakang. Sudut matanya jelas tampak mendelik. Namun, senyumnya tetap terpasang sebagai kamuflase di depan kakek.
“Namanya Nun, Kek.” kata Alif seraya memberi kode agar Nun mendekat kepada kakeknya untuk sekedar cium tangan.
Nun menyalami sebelah tangan kakek yang bebas dari selang infus.
“Baik sekali,” puji sang Kakek. “Cocok. Sesuai request.”
Nun mengernyitkan dahi. Ada sesuatu yang sepertinya dia tidak mengerti. Namun, dia tetap memasang tampang sewajar mungkin meski jiwanya sudah meronta-ronta ingin semua ini segera berakhir.
“Nun, ya ...,” gumam Pak Yasin, kakeknya Alif. “Namanya sudah pas dengan keluarga kita. Alif, Nun, Yasin, hijaiyah semua.” Tidak disangka kakek lemah tidak berdaya yang sedang terbaring sakit itu tertawa bahkan sampai sesak napas.
Alif segera menghampiri kakeknya. Namun, Pak Yasin malah menepuk-nepuk punggung cucunya. “Tidak apa-apa, Alif. Kakek senang sekali.”
Setelah napasnya kembali stabil, lelaki itu lalu menatap Nun dengan rasa haru.
“Kamu mirip dengan neneknya Alif waktu masih muda dulu,” gumamnya tampak gemas. “Jilbabnya, duh ... sama persis kayak gaya neneknya Alif.”
Nun merasa bulu kuduknya berdiri. Dia jadi dilema. Perasaannya bercampur antara tidak tega, was-was, dan ngeri. Jangan-jangan ....
“Kakek suka sama dia?” tanya Alif.
Nun menyimak pembicaraan dua manusia yang baru-baru ini muncul di hidupnya itu.
“Suka ... Kakek cocok sama yang ini.” Mata Pak Yasin berbinar ceria.
‘Deg,’ jantung Nun serasa merosot. Jangan-jangan ....
“Langsung Kakek lamar aja, boleh?”
Muka Nun berubah pucat pasi. Tubuhnya terpaku kaku di tempat dia berdiri.
“Tidaaak ...” jeritnya dalam hati. “Masa Nun dilamar kakek-kakek?”
Senyum kecut terpasang di wajah Alif. Tidak ada manis-manisnya sedikit pun di mata Nun.
Dengan gaya ‘shombhong amat’, Alif mengangkat dagu runcingnya dan melempar tanya bagai sebuah tembakan eksekusi mati kepada Nun yang terdiam sejak tadi. “Mau enggak?”
Nun mengerjapkan mata, mengumpulkan kesadarannya yang terserak.
“Mau apa?”
“Mau enggak saya lamar kamu sekarang juga ....” sela Pak Yasin. Langsung disambar Nun dengan gelengan kepala. Kemudian, gelengan kepala itu disambar Alif dengan sebuah sentakan.
“Kamu enggak suka dilamar sama kakek-kakek?”
Nun terkesiap. Sorot matanya menyiratkan pernyataan, “Masa Nun dilamar kakek-kakek sih?”
“Terus maunya dilamar siapa? Dilamar bapak-bapak?” sentak Alif lagi. “Aku udah enggak punya bapak. Adanya tinggal Kakek.”
Nun terkesima. Sebagian hatinya terasa diguyur iba. Dia tidak menyangka lelaki keras kepala dan ‘kurang ajar’ itu ternyata bernasib sama dengan dirinya. Nun juga sudah tidak punya Ibu, hanya tinggal bapak seorang yang paling sabar sedunia, yakni Pak Sabar.
Melihat Nun tercenung cukup lama, kakek Alif melanjutkan kalimatnya, “Saya lamar kamu buat Alif, bukan buat saya.”
Muka Nun yang pucat jadi merona merah muda.
“Mau, ya?” kata Pak Yasin.
Nun terdiam lagi. Kecamuk pikiran Nun berkata, “Nih cucu dan kakek sama anehnya, ya?”
Hingga menjelang tidurnya, Nun tidak bisa memejamkan mata. Dia terbayang konsekuensi yang mungkin diterimanya di kemudian hari setelah menjanjikan sesuatu kepada kakeknya Alif di rumah sakit.
“Mohon beri saya waktu untuk memikirkan jawabannya dahulu, ya, Kek,” pinta Nun.
Sekedar ta’aruf dia bisa mengiyakan, tetapi jika ‘pemerasan’ ini dilanjutkan ke jenjang khitbah, Nun tidak siap. Apalagi, jika diupgrade ke pelaminan. Nun tidak bisa membayangkan masa depannya jadi seperti apa.
“Kenapa?” tanya orang tua itu lemah.
“Ini kan bukan soal matematika yang harus dikalkulasi. Jawab ‘iya’ atau ‘tidak’ aja susah amat, sih,” cecar cucu sang Kakek.
“Alif, tidak boleh begitu sama calon istri!” tegur Pak Yasin. Kalimat yang ia lontarkan kemudian persis mewakili isi hati yang disimpan Nun sebagai balasan perkataan Alif tadi. “Melangkah ke jenjang hubungan yang serius itu peru dipikirkan baik-baik ... uhuk-uhuk ... itu memang bukan soal matematika, tetapi itu bakal sejarah hidup kita. Bahkan penentu surga dan neraka kita di dunia dan akhirat ... uhuk-uhuk ... bukan hanya kalkulasi, tetapi butuh rencana dan pertimbangan yang matang untuk menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’ itu, Alif.”
Nun membatin, “Ternyata kakek ini bijaksana sekali. Uhuk-uhuk-nya aja jadi terdengar uwu-uwu.”
“Ehm ...” Alif jadi keki. “Alif gimana Kakek aja deh.”
Diam-diam Nun melirik ke sebelah, meneliti gurat wajah Park Seo Joon kw yang mendadak diserbu rona merah. Entah, karena malu atau memendam marah, Alif tiba-tiba mendelik tepat saat dia dilirik. Nun jadi bergidik.
“Kakek tunggu jawaban Nun secepatnya. Jangan sampai kamu kalah cepat sama malaikat Izroil, ya ...!” Kakek Alif tertawa satir.
Nun jadi ingat almarhum ibunya ketika sakit dan pesannya sebelum menghembuskan napas terakhir, “Jaga diri baik-baik, Nun! Jangan salah pilih pasangan hidup ....”
“Iya. Insya Allah,” ucap Nun tanpa sadar di depan Alif dan kakeknya.
Tidak terkira gembiranya Pak Yasin mendengar ucapan Nun tadi. Tidak tahu dia bahwa ucapan itu pula yang membuat Nun gusar semalam suntuk. Terutama setelah pembicaraannya dengan Alif sepulang dari rumah sakit.
“Kamu teh serius soal lamaran tadi?” tanya Nun setelah mengumpulkan keberanian. Dia memilih untuk angkat bicara daripada membiarkan masa depannya jadi taruhan.
“Lu pikir gue bisa becandain Kakek?” sentak Alif. Rupanya dia hanya ber-aku-kamu di depan kakeknya saja. Nun sampai tidak habis pikir, selain omongannya yang asbun, lelaki satu ini juga selalu ngegas saat bicara, tidak sekalem wajahnya yang lugu tanpa dosa.
“Bukan bercandain Kakek, tetapi bercandain saya,” sahut Nun.
“Dih, kurang kerjaan amat gue becandain lu!” sungut Alif.
Setelah merengut sesaat, Nun kembali bersuara dengan pelan, “Jadi, serius?”
Alif yang duduk di kursi depan sebelah sopir akhirnya menoleh ke belakang. Nun duduk di jok belakang tanpa bersandar saking takutnya ketiduran dan diculik, tidak diantar pulang oleh klien anehnya.
“Emang gue ada tampang lagi bercanda?” tembak dia.
“Tapi, kenapa saya? Kita kan enggak kenal.”
“Lah, baru nanya sekarang? Lu sehat?” Alif memamerkan senyum kecutnya lagi. “Kan lu yang gagalin ta’aruf terakhir gue, ya lu yang harus tanggung jawab ta’aruf sama gue.”
“Iya ... iya ...,” sahut Nun. “Soal ta’aruf itu saya paham. Saya akan tanggung jawab. tetapi kenapa sampai ada lamaran segala? Saya tidak mau.”
“Kenapa enggak mau?”
Intonasi suara Alif entah kenapa selalu membuat Nun kena serangan jantung, padahal dia tidak punya penyakit itu.
“Saya tidak bisa menikah.”
“Kenapa?”
Nun tidak memberi jawaban. Dia hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak bisa.”
“Iya, kenapa?” cecar Alif, “Gue jelek? Kurang ganteng? Enggak tampan? Hah?”
Nun kembali menggelengkan kepala sebelum lelaki itu salah paham. Bisa berabe jika dia naik pitam dan Nun diturunkan di tengah jalan, apalagi hari sudah malam.
“Terus kenapa?”
“Sa ... saya ....” Nun ciut melihat mata sipit yang tiba-tiba melotot lebar di wajah baby face itu. “Saya punya syarat dan ketentuan berlaku.”
Alif yang tadinya melotot sontak menyipitkan mata dan mengerutkan kening.
“Gue kira lu Mak Comblang, ternyata operator seluler.” Dia mendengus kesal sambil buang muka, kembali mengamati jalan raya dari balik kaca film kendaraan yang ditumpanginya.
Kerlap-kerlip lampu di sepanjang pusat kota yang dilalui mobilnya seakan membuka mata Alif bahwa kenyataan memang tidak seindah harapan.
“Jadi apa SnK-nya?” tanya dia tanpa menoleh ke belakang. Intonasi suarannya sama sekali beda dari sebelumnya. Kali ini lebih kalem, tetapi tetap cuek.
“Hm ... saya harus lapor Pak Kafka dulu!”
“Kafka lagi ....” Alif menghela napas berat. “Memang dia bapak lu?”
“Bukan, tetapi ....” Nun menggigit bibirnya. Dia teringat sesuatu saat melihat mulut gang menuju rumahnya tinggal beberapa meter lagi. “Tolong jangan bilang apa-apa sama bapak saya, ya!” pintanya.
Alif melongo. Bisa-bisanya semua dilaporkan Kafka, tetapi kepada bapak sendiri tidak boleh bilang apa-apa. Alif jadi menyimpan tanya, “Sebenarnya si The Nun ini wanita macam apa?”
“Tolong berhenti depan gang!” pinta Nun sebelum mobil Alif kebablasan.
“Tunggu!” cegah pemilik mobil itu sebelum Nun turun. “Gimana kalau gue bisa penuhi SnK itu?”
“Kamu tidak akan bisa,” jawab Nun mantap.
“Memang apa sih SnK-nya?”
“Saya tidak bisa memberitahukannya kepada seseorang yang belum sepenuhnya saya percayai.”
“Begini-begini gue bukan pembohong. Kenapa lu enggak percaya sama gue?” Alif nyolot lagi.
“Kita tidak saling kenal.” Nun tetap tenang walaupun jantungnya kebat-kebit dan kakinya kesemutan ingin cepat turun dari kendaraan.
“Lho, CV sama data personal gue, bukannya udah ada semua di sistem kantor lu? Emang lu enggak baca?”
“Ya, saya tahu ... tetapi kan kamu tidak kenal saya.” Nun berusaha tetap kalem, meski hatinya sudah menyebut nama bapaknya berkali-kali, “Sabar ... sabar ... sabar ...!”
“Kan sekarang kita lagi ta’aruf. Saling mengenal.” Alif memberi penekanan pada kata ‘saling-mengenal’ yang diucapkannya itu. “Terus, masalahnya apa?”
“Kan masalahnya itu Anda!” sahut gadis berhijab itu dalam hati. Sorot mata Nun sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Dia melotot lebar-lebar antara melawan kantuk campur kesal. “Masalahnya, saya mau pulang sekarang juga!” sentak dia.
“Gue antar sampai rumah!”
“Tidak usah!”
“Lu tuh, ya!” Alif melotot. Nun juga.
“Rumah saya masuk gang. Tidak bisa dilalui kendaraan.”
“Gue bakal jalan kaki anterin lu sampai rumah!”
“Enggak!”
“Gue mau ketemu bapak lu!”
“Jangan!”
“Gue mau laporin semua kelakuan aneh lu!”
“Dih, bukannya kamu yang aneh?”
“Lu yang aneh.”
“Kamu ....”
“Maaf Bos, Mbak Bos ... telinga saya sakit ini!” protes sopir Alif yang duduk di belakang kemudi. Sedari tadi dia sudah menepi, tetapi penumpangnya malah saling meneriaki satu sama lain tepat di samping daun telinganya. Tidak pelak dia menyarankan, “Kalau bisa, berantemnya dilanjut nanti aja, setelah saya berobat ke THT.”
Mereka langsung diam.
“Saya mau turun sekarang!” pungkas Nun mengakhiri perdebatan. Dia lantas, berkata kepada sang Sopir, “Makasih, ya, Pak. Maaf kalau sudah mengganggu dan merepotkan Bapak.”
Kaki Nun yang beralaskan sepatu kats itu akhirnya bisa menginjak mulut gang. Kesemutannya hilang.
“Hei, lu enggak ada niat bilang terima kasih ke gue gitu?” teriak Alif. Jiwa jumawanya meronta-ronta. Masa iya, sopirnya diberi ucapan terima kasih, tetapi Bos-nya tidak.
Nun menoleh dengan tatapan sengit, tetapi dia kemudian bergidik ngeri melihat tatapan Alif. Gadis mungil itu memacu langkah kakinya makin kencang hingga berlari tunggang-langgang, takut lelaki ‘sableng’ itu menjadikannya buruan.
***
Sama seperti Nun yang tidak bisa tidur, Alif juga.“Apa ya, SnK-nya?” tanya Alif.Malam-malam buta dia menelepon Kafka. Terdorong rasa penasaran, gengsi pun disingkirkan.“Ka, lu tahu enggak SnK buat ngelamar The Nun?”Kafka mengucek matanya yang masih ngantuk akibat dibangunkan getar gawai di tengah malam.“SnK? The Nun?” CEO Biro Jodoh Pangkalan Hati itu bak orang linglung.“Iya. Dia ada ngabarin sesuatu enggak ke lu?”Di ujung telepon, Kafka beringsut duduk. “Kabar apa?” lelembutannya mulai kumpul.“Lah, kan gue nanya. Malah ditanya.”Kesadaran Kafka sempurna sudah demi mendengar ocehan tidak berguna dari mulut cucu mantan Bos-nya itu. “Lah, mana gue tahu? Lagian lu malam-malam ngebangunin gue cuma mau nanyain kabar Mak Comblang gue. Sengebet itu lu sama dia?”“Ko lu jadi sewot?” cecar Alif. Padahal jelas, dia sendir
“The Nun, selamat, ya!” Seru Kak Pawpaw sambil merentangkan tangan, menghampiri Nun yang sedang mengisi tumbler-nya dengan air minum di dispenser. Nun datang paling awal pagi itu. Buntut sulit tidur dan mimpi buruk, dia jadi nafsu makan. Sarapannya pagi itu ketoprak yang level kepedasannya bikin enggak sabar untuk menghabiskan galon air mineral. “Selamat apa, Kak?” tanya Nun dengan bibir jontor. Dia teguk air dalam tumbler. “Pokoknya selamat,” tandas Kak Pawpaw seraya memeluk Nun hingga rekannya itu keselek. “Kata Bang Devan, kamu ta’aruf sama klien VIP yang waktu itu ke sini, kan?” “Uhuk-uhuk ....” Nun terbatuk-batuk seperti kakeknya Alif kemarin. Untung saja air yang diteguknya sudah meluncur jatuh dari kerongkongan dan tidak kembali lagi ke rongga mulut. Nun tidak heran kenapa Bang Devan bisa tahu masalah ta’aruf itu. Devan kan satu-satunya tangan kanan Kafka, orang kepercayaan CEO Pangkalanhati.com. Pastilah Kafka curhat kepadanya jika ada
Nun jadi lesu. Belakangan ini Kafka sering meninggalkan kantor untuk urusan yang tidak jelas. Bahkan Devan sebagai asisten sekaligus portal berita utama di Biro Jodoh Pangkalan Hati saja tidak tahu soal urusan Kafka di luar sana. Permintaan Kafka untuk bertemu Nun sepulang kerja pun batal karena ternyata dia tidak kembali ke kantor sejak tadi siang. Nun pulang ke rumah dengan hati hampa. Pikirannya selalu terpaut kepada Kafka, lelaki yang sudah menarik hatinya sejak pandangan pertama. “Berapa banyak jomlowan dan jomlowati yang kesulitan mencari jodoh saat ini? Itu pertanyaan pertama yang membuat saya melirik bisnis Biro Jodoh ini,” kata Kafka di sebuah seminar. Kafka menjelasakan, kesulitan mencari jodoh tentu dilatari oleh banyak hal. Salah satunya adalah sempitnya waktu atau kecilnya kesempatan untuk bertemu, berinteraksi, dan saling mengenal lawan jenis. Bisa karena sibuk bekerja, sibuk belajar, kepribadian yang sangat tertutup, dan lain-la
Suasana di kantor Biro Jodoh Pangkalan Hati terasa ceria bagi Nun dan Kafka. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu tentang pertemuan mereka sepulang kerja. Bisik-bisik tetangga tentu saja terdengar di telinga. Nyatanya, itu tentang perkara berbeda. “The Nun!” Panggil Devan sambil memelototi layar monitor di depan matanya. Gadis dengan wajah berbingkai hijab klasik ala siswi madrasah tahun 90-an yang dipanggil namanya itu segera menghampiri. “Ada apa, Bang?” tanya dia. “Klien 212 yang namanya Hamzah Ali Habibi ini siapanya kau?” Bang Devan menunjuk layar monitor yang menampilkan profil Hamzah, klien yang kemarin menemui Nun di lobi. Lelaki blasteran Batak-India itu bahkan tidak sadar menggunakan logat ibunya saat menyebut kata ‘kau’ tadi. “Klien saya.” “Ko kriterianya ...?” Bang Devan yang biasanya asbun saja sampai speechless. Dia tidak berkedip menatap layar monitor sampai akhirnya geleng-geleng kepala sambil berdecak, “Sung
Nun duduk di sebuah meja caffe berhadapan dengan Hamzah, sang klien yang akan dia ta’arufkan hari itu. Mesin pencari berhasil mencocokan Hamzah dengan seorang klien perempuan. “Habibi ya nurul ain, kamu pasti orangnya yang ta’aruf dengan saya. Iya, kan?” tembak Hamzah sambil mesem-mesem. “Bukan.” “Lantas siapa? Tidak ada orang lain tuh disini.” Hamzah celingukan. Dia lalu menatap Nun lagi setelah matanya bersirobok dengan mata sipit seorang lelaki yang tajam menatapnya di pojok caffe. “Tunggu saja!” titah Nun. Dia juga bolak-balik menatap jarum jam di layar gawainya yang tergeletak di meja. Sudah dua gelas jus alpukat dihabiskan Hamzah. Sementara Nun bahkan tidak menyentuh minumannya. Walau mulai gelisah, dia juga tetap waspada akan segala hal yang mungkin terjadi. Untunglah, sejurus kemudian, dari balik pintu caffe, muncul seorang wanita dengan gaya hijab serupa Nun. Hanya saja, lipit hijab wanita itu lebih sempurna hingga membingkai
Nun masih bergeming. Dia merasa dunia seakan jungkir balik. Dia bahkan tidak sadar ketika orang yang menolongnya tadi menyeretnya keluar dari caffe. “Lu enggak apa-apa, kan?” tanya lelaki bermata sipit itu. Nun menggelengkan kepala sambil menahan sesak dan isak. Dia belum sanggup mengeluarkan sepatah kata pun saking shock-nya. “Jangan nangis! Nanti lu tambah serem lagi ....” sentak lelaki yang dikenali Nun sebagai Park Seo Joon kw itu. “Tunggu di sini!” Lelaki itu kemudian pergi sebentar dan kembali dengan sebotol air mineral. Nun menerima dan meneguknya tanpa keraguan. “Kenapa kamu bisa ada disini?” tanya Nun setelah kondisinya agak tenang. “Bilang terima kasih dulu, baru nanya ini itu!” sentaknya. “Iya, maaf ...,” ucap Nun ciut, “Terima kasih sudah membantu saya!” Alif merasa puas. Hidungnya kembang kempis seperti ingin terbang. Ucapan terima kasih Nun seperti sebuah award baginya. “Mereka klien lu?” tanya Ali
“Nun!” Pak Yasin tampak sumringah meski selang-selang medis masih terpasang di tubuhnya. “Apa kabar, Kek?” sapa Nun ramah. “Akhirnya kamu datang juga ... Kakek senang sekali. Rasanya seperti ketemu neneknya Alif. Jadi berasa muda lagi.” Nun memberinya senyum manis. “Kakek sudah minum obat?” “Sudah ... sudah bosan malah.” Dia terkekeh kemudian batuk-batuk. Alif mendekat dan mengambilkan air minum. “Kalau sudah tua dan sakit-sakitan begini, Kakek jadi merepotkan kamu, ya ....” “Enggak, Kek. Alif juga merepotkan Kakek sejak kecil. Sekarang giliran Kakek ngerepotin ... Alif ridho.” Nun yang menyaksikan pasangan cucu-kakek itu dengan mata berkaca-kaca. Persis seperti saat-saat dia dan bapaknya nonton sinetron yang mengandung bawang. Dia tidak sangka Alif yang temperamental itu ternyata bisa bersikap lembut juga. “Kakek istirahat dulu, ya!” Alif memasangkan selimut ke tubuh sang Kakek. Namun, Kakeknya justru memanggil
Nun tidak bisa bicara apa-apa kepada Bapaknya. Ketika pagi menjelang, dia berangkat kerja dengan mata sembab. Tepat di mulut gang Sabar, terlihat bapaknya sudah mangkal berjualan ketoprak.“Nun!” panggil Pak Sabar seperti biasa.Nun menghampirinya.“Nih ketopraknya!”Diambilnya bungkusan tersebut. Disalaminya sang Bapak karena dia mau berpamitan untuk berangkat kerja. Eh ... tiba-tiba seseorang memanggilnya.“The Nun!” Suaranya tidak asing.Begitu Nun menoleh, tampak lah wajah baby face milik Park Seo Joon kw. Lelaki itu tengah duduk di bangku sambil memangku sepiring ketoprak.Bukan hanya Nun, Pak Sabar yang tengah menyusun piring untuk pelanggan pun menoleh kepada pemuda bersetelan jas necis yang sudah menghabiskan setengah porsi ketoprak buatannya itu.Mata Nun yang tadinya sayu karena kebanyakan menangis, mendadak terbuka sempurna. Nyata dan bukan mimpi, itu Alif. Dia duduk di bangku kayu
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.Pak Sa
Pasangan ini memang belum berani menceritakan soal pernikahan mereka, terutama kepada Pak Sabar. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu siapa pun hingga resepsi yang sudah dijadwalkan benar-benar digelar. Mereka juga tetap berkonsultasi dengan Kafka perihal langkah yang perlu dijalankan agar semuanya lancar dan baik-baik saja.“Kalian sudah menikah, sah secara agama,” kata Kafka, “Jadi, kalaupun nanti harus akad lagi, itu tidak masalah.”Nun yang ragu soal itu lantas, bertanya kepada Mami Dedeh yang kebetulan datang ke kantor pada suatu hari. Kata Mami Dedeh, memang benar hal itu diperbolehkan, selama rukun dan syarat sah nikahnya sempurna. Akad kedua tidak membatalkan akad yang pertama.Mami Dedeh mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.“Abu ‘Ashim bercerita sebagaimana diceritakan dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah,” kata Mamah Dedeh. ”Nabi bertanya kepada Salamah, ‘Ya, Salamah,
Sejak meninggalnya Pak Yasin, Alif tenggelam dalam kesedihan. Banyak hal yang harusnya dia urusi, mulai dari pekerjaan kantor hingga hak waris. Namun, itu semua dia abaikan. Nun bahkan tidak bisa menghubungi dia lagi. Sampai suatu ketika, sopir Alif datang ke kantor Biro Jodoh untuk menemuinya.“Mbak Bos, saya ke sini bukan mau cari jodoh, tapi minta tolong. Bujuk Bos Alif ... sudah tiga hari dia tidak mau makan dan tidak mau keluar kamar.”Lantas, Nun meminta ijin kepada Kafka untuk ikut bersama sopir Alif ke rumah sang Suami.“Enggak usah minta ijin lagi sama aku. Kamu kan berhak menemui dia kapan pun. Kalau dia enggak mau ketemu, bilang sama aku,” kata Kafka.Di rumah Alif yang bak istana pangeran dalam kisah Cinderella, Nun disambut hangat para pengurus yang disebut Alif sebagai keluarganya ketika lamaran dahulu. Laporan tentang Alif langsung Nun terima. Mereka tidak sungkan kepada Nun, begitu dia kepada mereka.Ditunjuk
Nun akhirnya pulang malam dijemput Kafka. Pak Yasin yang membukakan pintu sempat memelototi dia. Namun, tidak mengatakan sepatah kata pun pada akhirnya. Dia terlonjak dari tempat tidur saat mendengar ketukan pintu. Ketika menyambut Nun pulang, Pak Sabar seakan berjalan dalam mimpi. Bingung membedakan realita dan fatamorgana.Kafka juga langsung pulang karena merasa mengganggu dan tidak sopan jika berlama-lama di sana. Dia hanya mengantar Nun pulang sesuai permintaan Alif kepadanya. Baik dia maupun Nun tidak sempat mengutarakan soal kejadian hari itu kepada Pak Sabar.Parahnya lagi, begitu pagi tiba, Nun ditinggal bapaknya begitu saja. Orang tua itu biasanya pamitan dan titip pesan kepada dia jika akan berangkat untuk mangkal di depan gang. Namun, kali ini tidak.Di lapak ketoprak, dekat mulut gang Sabar, Nun baru bisa menyapa bapaknya setelah beberapa kali menguap karena masih ngantuk dan lelah. Kepalanya pusing karena kurang tidur. Perutnya juga mual karena dar
Begitu pintu kamar pasien yang ditempati Pak Yasin terbuka, Nun langsung menyadari apa yang menunggunya di depan mata.Pak Yasin tergolek lemah dengan belitan selang yang lebih banyak dari biasa. Bahkan, ditambah dengan elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik dan saturasi. Berbagai alat medis lain juga terpasang di dekat ranjangnya.Enam buah kursi tersusun rapi mengitari sebuah meja tidak jauh dari ranjang Pak Yasin. Alif duduk di salah satu kursi. Matanya sembab. Wajahnya pias. Rambutnya berantakan. Kemejanya kusut. Penampilannya tidak karuan. Dia jelas tidak tidur semalaman bahkan melewatkan mandi pagi.Di hadapannya, duduk seorang bapak-bapak bersetelan rapi mengenakan kopiah. Di sisi meja yang lainnya asisten dan sopir Alif duduk berdampingan dengan wajah gusar. Di sekeliling mereka penjaga, perawat dan dokter berdiri memantau situasi.Nun yang baru masuk langsung diminta duduk di sebelah Alif yang terus menunduk.Kafka menghampiri dan
Nun fokus menatap layar monitor. Beberapa chat masuk. Seperti biasa dia jawab satu-persatu dari urutan terbawah. Ada yang menanyakan soal Biro jodoh; ada chat klien yang mendesak segera diinformasikan soal hasil pencocokan; ada yang mau upgrade membership dari premium ke VIP; ada juga yang mengabarkan tanggal pernikahan; dan ada yang mengirimkan foto desain gaun pengantin.Mata Nun langsung terbelalak pada pesan yang terakhir.[Pilih yang mana?]Jantung Nun sempat kebat-kebit. Namun dilihatnya lagi pengirim pesan tersebut, Kafka. Bukan Alif.Ada beberapa desain pakaian pengantin yang dia kirimkan –gamis, kebaya, hingga gaun yang bagi Nun terlalu ‘wah’. Lama sekali Nun tercenung hingga tidak membalas pesan itu meski sudah dibaca.[Dari Alif. Dia minta kamu pilih model baju pengantin]Nun mengerjapkan matanya, lalu membalas pesan itu dengan cepat, secepat dirinya melayani keluhan klien.[Terserah Kakak][Kamu ya