Sama seperti Nun yang tidak bisa tidur, Alif juga.
“Apa ya, SnK-nya?” tanya Alif.
Malam-malam buta dia menelepon Kafka. Terdorong rasa penasaran, gengsi pun disingkirkan.
“Ka, lu tahu enggak SnK buat ngelamar The Nun?”
Kafka mengucek matanya yang masih ngantuk akibat dibangunkan getar gawai di tengah malam.
“SnK? The Nun?” CEO Biro Jodoh Pangkalan Hati itu bak orang linglung.
“Iya. Dia ada ngabarin sesuatu enggak ke lu?”
Di ujung telepon, Kafka beringsut duduk. “Kabar apa?” lelembutannya mulai kumpul.
“Lah, kan gue nanya. Malah ditanya.”
Kesadaran Kafka sempurna sudah demi mendengar ocehan tidak berguna dari mulut cucu mantan Bos-nya itu. “Lah, mana gue tahu? Lagian lu malam-malam ngebangunin gue cuma mau nanyain kabar Mak Comblang gue. Sengebet itu lu sama dia?”
“Ko lu jadi sewot?” cecar Alif. Padahal jelas, dia sendir
“The Nun, selamat, ya!” Seru Kak Pawpaw sambil merentangkan tangan, menghampiri Nun yang sedang mengisi tumbler-nya dengan air minum di dispenser. Nun datang paling awal pagi itu. Buntut sulit tidur dan mimpi buruk, dia jadi nafsu makan. Sarapannya pagi itu ketoprak yang level kepedasannya bikin enggak sabar untuk menghabiskan galon air mineral. “Selamat apa, Kak?” tanya Nun dengan bibir jontor. Dia teguk air dalam tumbler. “Pokoknya selamat,” tandas Kak Pawpaw seraya memeluk Nun hingga rekannya itu keselek. “Kata Bang Devan, kamu ta’aruf sama klien VIP yang waktu itu ke sini, kan?” “Uhuk-uhuk ....” Nun terbatuk-batuk seperti kakeknya Alif kemarin. Untung saja air yang diteguknya sudah meluncur jatuh dari kerongkongan dan tidak kembali lagi ke rongga mulut. Nun tidak heran kenapa Bang Devan bisa tahu masalah ta’aruf itu. Devan kan satu-satunya tangan kanan Kafka, orang kepercayaan CEO Pangkalanhati.com. Pastilah Kafka curhat kepadanya jika ada
Nun jadi lesu. Belakangan ini Kafka sering meninggalkan kantor untuk urusan yang tidak jelas. Bahkan Devan sebagai asisten sekaligus portal berita utama di Biro Jodoh Pangkalan Hati saja tidak tahu soal urusan Kafka di luar sana. Permintaan Kafka untuk bertemu Nun sepulang kerja pun batal karena ternyata dia tidak kembali ke kantor sejak tadi siang. Nun pulang ke rumah dengan hati hampa. Pikirannya selalu terpaut kepada Kafka, lelaki yang sudah menarik hatinya sejak pandangan pertama. “Berapa banyak jomlowan dan jomlowati yang kesulitan mencari jodoh saat ini? Itu pertanyaan pertama yang membuat saya melirik bisnis Biro Jodoh ini,” kata Kafka di sebuah seminar. Kafka menjelasakan, kesulitan mencari jodoh tentu dilatari oleh banyak hal. Salah satunya adalah sempitnya waktu atau kecilnya kesempatan untuk bertemu, berinteraksi, dan saling mengenal lawan jenis. Bisa karena sibuk bekerja, sibuk belajar, kepribadian yang sangat tertutup, dan lain-la
Suasana di kantor Biro Jodoh Pangkalan Hati terasa ceria bagi Nun dan Kafka. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu tentang pertemuan mereka sepulang kerja. Bisik-bisik tetangga tentu saja terdengar di telinga. Nyatanya, itu tentang perkara berbeda. “The Nun!” Panggil Devan sambil memelototi layar monitor di depan matanya. Gadis dengan wajah berbingkai hijab klasik ala siswi madrasah tahun 90-an yang dipanggil namanya itu segera menghampiri. “Ada apa, Bang?” tanya dia. “Klien 212 yang namanya Hamzah Ali Habibi ini siapanya kau?” Bang Devan menunjuk layar monitor yang menampilkan profil Hamzah, klien yang kemarin menemui Nun di lobi. Lelaki blasteran Batak-India itu bahkan tidak sadar menggunakan logat ibunya saat menyebut kata ‘kau’ tadi. “Klien saya.” “Ko kriterianya ...?” Bang Devan yang biasanya asbun saja sampai speechless. Dia tidak berkedip menatap layar monitor sampai akhirnya geleng-geleng kepala sambil berdecak, “Sung
Nun duduk di sebuah meja caffe berhadapan dengan Hamzah, sang klien yang akan dia ta’arufkan hari itu. Mesin pencari berhasil mencocokan Hamzah dengan seorang klien perempuan. “Habibi ya nurul ain, kamu pasti orangnya yang ta’aruf dengan saya. Iya, kan?” tembak Hamzah sambil mesem-mesem. “Bukan.” “Lantas siapa? Tidak ada orang lain tuh disini.” Hamzah celingukan. Dia lalu menatap Nun lagi setelah matanya bersirobok dengan mata sipit seorang lelaki yang tajam menatapnya di pojok caffe. “Tunggu saja!” titah Nun. Dia juga bolak-balik menatap jarum jam di layar gawainya yang tergeletak di meja. Sudah dua gelas jus alpukat dihabiskan Hamzah. Sementara Nun bahkan tidak menyentuh minumannya. Walau mulai gelisah, dia juga tetap waspada akan segala hal yang mungkin terjadi. Untunglah, sejurus kemudian, dari balik pintu caffe, muncul seorang wanita dengan gaya hijab serupa Nun. Hanya saja, lipit hijab wanita itu lebih sempurna hingga membingkai
Nun masih bergeming. Dia merasa dunia seakan jungkir balik. Dia bahkan tidak sadar ketika orang yang menolongnya tadi menyeretnya keluar dari caffe. “Lu enggak apa-apa, kan?” tanya lelaki bermata sipit itu. Nun menggelengkan kepala sambil menahan sesak dan isak. Dia belum sanggup mengeluarkan sepatah kata pun saking shock-nya. “Jangan nangis! Nanti lu tambah serem lagi ....” sentak lelaki yang dikenali Nun sebagai Park Seo Joon kw itu. “Tunggu di sini!” Lelaki itu kemudian pergi sebentar dan kembali dengan sebotol air mineral. Nun menerima dan meneguknya tanpa keraguan. “Kenapa kamu bisa ada disini?” tanya Nun setelah kondisinya agak tenang. “Bilang terima kasih dulu, baru nanya ini itu!” sentaknya. “Iya, maaf ...,” ucap Nun ciut, “Terima kasih sudah membantu saya!” Alif merasa puas. Hidungnya kembang kempis seperti ingin terbang. Ucapan terima kasih Nun seperti sebuah award baginya. “Mereka klien lu?” tanya Ali
“Nun!” Pak Yasin tampak sumringah meski selang-selang medis masih terpasang di tubuhnya. “Apa kabar, Kek?” sapa Nun ramah. “Akhirnya kamu datang juga ... Kakek senang sekali. Rasanya seperti ketemu neneknya Alif. Jadi berasa muda lagi.” Nun memberinya senyum manis. “Kakek sudah minum obat?” “Sudah ... sudah bosan malah.” Dia terkekeh kemudian batuk-batuk. Alif mendekat dan mengambilkan air minum. “Kalau sudah tua dan sakit-sakitan begini, Kakek jadi merepotkan kamu, ya ....” “Enggak, Kek. Alif juga merepotkan Kakek sejak kecil. Sekarang giliran Kakek ngerepotin ... Alif ridho.” Nun yang menyaksikan pasangan cucu-kakek itu dengan mata berkaca-kaca. Persis seperti saat-saat dia dan bapaknya nonton sinetron yang mengandung bawang. Dia tidak sangka Alif yang temperamental itu ternyata bisa bersikap lembut juga. “Kakek istirahat dulu, ya!” Alif memasangkan selimut ke tubuh sang Kakek. Namun, Kakeknya justru memanggil
Nun tidak bisa bicara apa-apa kepada Bapaknya. Ketika pagi menjelang, dia berangkat kerja dengan mata sembab. Tepat di mulut gang Sabar, terlihat bapaknya sudah mangkal berjualan ketoprak.“Nun!” panggil Pak Sabar seperti biasa.Nun menghampirinya.“Nih ketopraknya!”Diambilnya bungkusan tersebut. Disalaminya sang Bapak karena dia mau berpamitan untuk berangkat kerja. Eh ... tiba-tiba seseorang memanggilnya.“The Nun!” Suaranya tidak asing.Begitu Nun menoleh, tampak lah wajah baby face milik Park Seo Joon kw. Lelaki itu tengah duduk di bangku sambil memangku sepiring ketoprak.Bukan hanya Nun, Pak Sabar yang tengah menyusun piring untuk pelanggan pun menoleh kepada pemuda bersetelan jas necis yang sudah menghabiskan setengah porsi ketoprak buatannya itu.Mata Nun yang tadinya sayu karena kebanyakan menangis, mendadak terbuka sempurna. Nyata dan bukan mimpi, itu Alif. Dia duduk di bangku kayu
Hai, maaf ya, lama tidak update. Terima kasih sudah bersedia mampir dan membaca cerita ini.Sebelumnya, saya ucapkan, "Salam kenal" :)Biro Jodoh Pangkalan Hati adalah novel kedua yang saya tulis. Ceritanya ringan dan menghibur. Memang sengaja sih biar pembaca enggak stress :DIni tuh romance comedy yang maksa lucu. Oopz ... maaf ya, kalau ternyata jadinya crispy kriuk-kriuk gitu. Tidak usah diambil pusing deh, ya. Nikmati aja :)Silakan ikuti kisah Nun-Alif-Kafka dengan nyaman. Saya berharap pembaca senang dengan ceritanya. Semoga pembaca semua diberikan keluasan rezeki untuk top-up dan bisa membuka gembok setiap bab-nya.Oh iya, saya juga akan sangat senang sekali jika pembaca bersedia memberikan ulasan, komentar, rate, atau vote untuk cerita ini.Jangan berhenti di sini, ya, ceritanya masih berlanjut kok. Baca sampai tamat, ya!
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.Pak Sa
Pasangan ini memang belum berani menceritakan soal pernikahan mereka, terutama kepada Pak Sabar. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu siapa pun hingga resepsi yang sudah dijadwalkan benar-benar digelar. Mereka juga tetap berkonsultasi dengan Kafka perihal langkah yang perlu dijalankan agar semuanya lancar dan baik-baik saja.“Kalian sudah menikah, sah secara agama,” kata Kafka, “Jadi, kalaupun nanti harus akad lagi, itu tidak masalah.”Nun yang ragu soal itu lantas, bertanya kepada Mami Dedeh yang kebetulan datang ke kantor pada suatu hari. Kata Mami Dedeh, memang benar hal itu diperbolehkan, selama rukun dan syarat sah nikahnya sempurna. Akad kedua tidak membatalkan akad yang pertama.Mami Dedeh mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.“Abu ‘Ashim bercerita sebagaimana diceritakan dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah,” kata Mamah Dedeh. ”Nabi bertanya kepada Salamah, ‘Ya, Salamah,
Sejak meninggalnya Pak Yasin, Alif tenggelam dalam kesedihan. Banyak hal yang harusnya dia urusi, mulai dari pekerjaan kantor hingga hak waris. Namun, itu semua dia abaikan. Nun bahkan tidak bisa menghubungi dia lagi. Sampai suatu ketika, sopir Alif datang ke kantor Biro Jodoh untuk menemuinya.“Mbak Bos, saya ke sini bukan mau cari jodoh, tapi minta tolong. Bujuk Bos Alif ... sudah tiga hari dia tidak mau makan dan tidak mau keluar kamar.”Lantas, Nun meminta ijin kepada Kafka untuk ikut bersama sopir Alif ke rumah sang Suami.“Enggak usah minta ijin lagi sama aku. Kamu kan berhak menemui dia kapan pun. Kalau dia enggak mau ketemu, bilang sama aku,” kata Kafka.Di rumah Alif yang bak istana pangeran dalam kisah Cinderella, Nun disambut hangat para pengurus yang disebut Alif sebagai keluarganya ketika lamaran dahulu. Laporan tentang Alif langsung Nun terima. Mereka tidak sungkan kepada Nun, begitu dia kepada mereka.Ditunjuk
Nun akhirnya pulang malam dijemput Kafka. Pak Yasin yang membukakan pintu sempat memelototi dia. Namun, tidak mengatakan sepatah kata pun pada akhirnya. Dia terlonjak dari tempat tidur saat mendengar ketukan pintu. Ketika menyambut Nun pulang, Pak Sabar seakan berjalan dalam mimpi. Bingung membedakan realita dan fatamorgana.Kafka juga langsung pulang karena merasa mengganggu dan tidak sopan jika berlama-lama di sana. Dia hanya mengantar Nun pulang sesuai permintaan Alif kepadanya. Baik dia maupun Nun tidak sempat mengutarakan soal kejadian hari itu kepada Pak Sabar.Parahnya lagi, begitu pagi tiba, Nun ditinggal bapaknya begitu saja. Orang tua itu biasanya pamitan dan titip pesan kepada dia jika akan berangkat untuk mangkal di depan gang. Namun, kali ini tidak.Di lapak ketoprak, dekat mulut gang Sabar, Nun baru bisa menyapa bapaknya setelah beberapa kali menguap karena masih ngantuk dan lelah. Kepalanya pusing karena kurang tidur. Perutnya juga mual karena dar
Begitu pintu kamar pasien yang ditempati Pak Yasin terbuka, Nun langsung menyadari apa yang menunggunya di depan mata.Pak Yasin tergolek lemah dengan belitan selang yang lebih banyak dari biasa. Bahkan, ditambah dengan elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik dan saturasi. Berbagai alat medis lain juga terpasang di dekat ranjangnya.Enam buah kursi tersusun rapi mengitari sebuah meja tidak jauh dari ranjang Pak Yasin. Alif duduk di salah satu kursi. Matanya sembab. Wajahnya pias. Rambutnya berantakan. Kemejanya kusut. Penampilannya tidak karuan. Dia jelas tidak tidur semalaman bahkan melewatkan mandi pagi.Di hadapannya, duduk seorang bapak-bapak bersetelan rapi mengenakan kopiah. Di sisi meja yang lainnya asisten dan sopir Alif duduk berdampingan dengan wajah gusar. Di sekeliling mereka penjaga, perawat dan dokter berdiri memantau situasi.Nun yang baru masuk langsung diminta duduk di sebelah Alif yang terus menunduk.Kafka menghampiri dan
Nun fokus menatap layar monitor. Beberapa chat masuk. Seperti biasa dia jawab satu-persatu dari urutan terbawah. Ada yang menanyakan soal Biro jodoh; ada chat klien yang mendesak segera diinformasikan soal hasil pencocokan; ada yang mau upgrade membership dari premium ke VIP; ada juga yang mengabarkan tanggal pernikahan; dan ada yang mengirimkan foto desain gaun pengantin.Mata Nun langsung terbelalak pada pesan yang terakhir.[Pilih yang mana?]Jantung Nun sempat kebat-kebit. Namun dilihatnya lagi pengirim pesan tersebut, Kafka. Bukan Alif.Ada beberapa desain pakaian pengantin yang dia kirimkan –gamis, kebaya, hingga gaun yang bagi Nun terlalu ‘wah’. Lama sekali Nun tercenung hingga tidak membalas pesan itu meski sudah dibaca.[Dari Alif. Dia minta kamu pilih model baju pengantin]Nun mengerjapkan matanya, lalu membalas pesan itu dengan cepat, secepat dirinya melayani keluhan klien.[Terserah Kakak][Kamu ya