“Tidaaak ....” kata itu yang ingin Nun teriakan, namun yang keluar malah sebuah anggukan pelan. Dia memang tipe orang yang tidak bisa menolak permintaan, apalagi yang disertai ancaman pemecatan.
“Nun ...?” Kafka ternganga. Namun, kemudian dia bernapas lega, meski agak kecewa.
Nun juga sama. Dia terpaksa mengangguk demi menyelamatkan reputasinya di depan Kafka. Dia juga cukup tahu diri untuk tidak membebani bosnya dengan masalah. Lewat anggukan kecilnya, Biro Jodoh Pangkalan Hati setidaknya bisa selamat dari musibah yang dapat ditimbulkan oleh klien menyebalkan bernama Alif itu.
Lelaki berpenampilan necis itu benar-benar merasa jumawa. Dia bersedekap sambil mengamati ekspresi ‘calon istrinya’ yang ketakutan.
“Kondisiin tuh muka! Jangan nakut-nakutin gitu! Serem amat kayak The Nun,” celotehnya.
Nun mendelik sambil membatin, “Udah tahu serem, kenapa juga diajak ta’aruf? Dasar kelainan!”
Alif melengkungkan senyum sinis. Di otaknya sudah tergambar rencana-rencana ‘indah’ bersama ‘calon istri’ dadakan tersebut.
***
Malam harinya Nun bermimpi, seorang pangeran menyodorkan sebuah sepatu yang terbuat dari kaca.
“Pakailah sepatu ini, wahai Tuan Putri!” pinta sang Pangeran.
Di mimpi kali ini, Nun meningkatkan kewaspadaan, khawatir sepatu kacanya pecah lagi seperti di mimpi sebelumnya. Dia juga penasaran dengan wajah sang pangeran. Kali ini dia memberanikan diri melirik.
“Semoga Pak Kafka ... semoga Pak Kafka ...,” bisiknya dalam hati.
Namun, yang tercetak di wajah pangeran itu malah rupa si Park Seo Joon kw. Sontak Nun bangun dari tidur dengan keringat dingin. “Mimpi buruk macam apa itu tadi?” keluhnya.
Akhirnya, Nun hanya bisa beristighfar. Bersamaan dengan itu gawainya menyala. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Dia sentuh layar gawai itu hingga terbuka isi pesan tersebut.
[Besok sore gue jemput! Awas lu, jangan kabur!]
Nun sampai tidak habis pikir. Siapa orang aneh yang mengiriminya pesan di sepertiga malam begini? Mending kalau ngajak tahajud. Ini malah memberi ancaman yang eksekusinya masih sekitar 12 jam dari sekarang. Dia pun memberanikan diri membalas pesan tersebut.
[Siapa ini?]
[Gue]
[Gue siapa?]
[Pangeran lu!]
Mata Nun melotot sempurna, hampir keluar dari bingkainya malah. Menyesal dia membalas pesan tidak jelas dari klien tidak jelas macam dia. Langsung saja Nun matikan daya gawainya. Lantas dia ambil air wudhu untuk meredam emosinya. Setelah melaksanakan dua rakaat salat sunat, barulah dia tidur kembali hingga azan subuh membangunkannya.
***
Pak Sabar sudah mangkal di depan gang saat Nun berangkat kerja dan melewatinya begitu saja.
“Nun!” panggil dia seraya bergumam, “Ngelamun apa nih anak?”
Nun menoleh seakan terkesima. “Bapak?”
“Iya, ini bapak ... masa iya Aldebaran.”
“Kenapa, Pak?”
Bapaknya mengernyitkan dahi. Dilihatnya sorot mata Nun tidak secerah biasanya. Wajahnya juga agak pucat. Kerudungnya juga agak miring sebelah. Sepertinya dia kurang konsentrasi, mungkin butuh ketoprak.
“Ini ketoprak mau di DO enggak?” Pak sabar mengingatkan dengan sabar.
“Jangan, Pak. Kasian kan ... cukup Nun aja yang merasakan di DO dari kampus.” Nun kemudian sadar dia meracau. “Eh, iya ... Nun lupa. Delivery order, ya, Pak?” Dia pun nyengir kuda.
“Nun, kamu enggak apa-apa?” tanya bapaknya, khawatir.
“Enggak ko, Pak. Nun baik-baik saja.”
“Ya, sudah ... hati-hati di jalan, ya!” Pak Sabar menyodorkan sekantong ketoprak. Nun menerima kemudian menyalami bapaknya. Lantas, dia melangkah gontai ke halte di seberang gang.
Hari itu pekerjaan Nun menumpuk. Dia ada agenda nadzor klien yang sempat gagal tempo hari. Bukan Alif, melainkan Mbak Selebgram dan Mas Hafiz Quran. Jadwalnya siang ini setelah Nun selesai menginput data klien-klien baru yang masuk ke web pangkalanhati.com.
“Assalamualaikum, selamat siang, Mas ... Mbak!” sapa Nun menyambut kedatangan dua orang klien yang akan nadzor untuk berta’aruf pada hari itu.
Sebagai Mak Comblang yang berdedikasi, Nun memperkenalkan diri terlebih dahulu, “Saya Ainun Mardiyya, consultan relationship Biro Jodoh Pangkalan Hati.”
Setelah mempersilakan kedua kliennya duduk dengan nyaman, Nun melanjutkan mukadimahnya, “Hari ini agenda kita adalah ta’aruf sekaligus nadzor. Untuk itu, saya persilakan Mas dan Mbak untuk saling memperkenalkan diri secara langsung.”
Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, di mana percakapan didominasi oleh pihak pria, kali ini pihak wanita lebih leluasa untuk berbicara. Perkenalan berjalan lancar. Nun hanya menengahi beberapa hal, terutama ketika terjadi kebisuan atau kebuntuan dalam pembicaraan mereka.
Sebelumnya, mereka sudah bertukar CV dan membacanya. Jadi, obrolan pun tidak jauh seputar hal-hal yang ingin diketahui masing-masing terkait keterangan di CV tersebut. Ketika interaksi berlangsung dengan baik sesuai prosedur, Nun biasanya hanya sekedar jadi ‘nyamuk’. Namun, jika pembicaraan sudah melenceng, dia akan sigap meluruskan arah. Begitu pula jika salah satu pihak merasa tidak nyaman atau keberatan terhadap sesuatu hal, Nun akan segera menengahi dan menawarkan beberapa solusi.
Pertemuan ta’aruf dan nadzor untuk sesi pertama biasanya hanya berlangsung singkat, tidak lebih dari satu jam. Sebab, dalam satu hari, seorang Mak Comblang bisa melayani beberapa sesi untuk klien lain.
Nun pun bernapas lega karena ta’aruf antara Mbak Selebgram dengan Mas Hafiz Quran ini sukses. Dia bahkan ikut terbawa perasaan alias baper ketika dengan mantap Mbak Selebgram menyatakan siap berhijab.
“Cinta memang bisa mengubah segalanya. Tidak hanya membutakan mata, cinta yang sesungguhnya justru dapat menjadi cahaya yang menyinari jalan seseorang untuk melangkah kepada kebaikan.” Entah di film apa Nun pernah mendengar kutipan so sweet tersebut.
Setiap sesi ta’aruf yang berhasil memang kerap membuat Nun sebagai Mak Comblang yang masih jomblo, terbawa perasaan. Sebagai manusia biasa, hati kecilnya juga mendambakan pendamping hidup yang bisa menjadi imam baginya. Bosan kan, diimami Pak Sabar melulu. Sekali-kali Nun juga mau diimami Pak Kafka. Aih ...
Pipi tirus Nun yang pucat jadi merah merona. Eh, begitu bayang Park Seo Joon kw berkelebat, dia kembali pucat.
Nun masih harus menjadwalkan sesi ta’aruf Mbak Selebgram dan Mas Hafiz Quran selanjutnya. Agenda berikutnya adalah perkenalan dengan masing-masing pihak keluarga klien. Setelahnya, mereka dapat memutuskan apakah hubungan akan berlanjut ke jenjang khitbah atau putus.
“Baiklah, jika dirasa cukup, pertemuan hari ini saya tutup. Insya Allah, saya akan segera kabarkan jadwal ta’aruf selanjutnya sesuai dengan keluangan waktu Mas dan Mbak,” pungkas Nun pada pertemuan kali itu.
Dia bergegas kembali ke kantor. Dede sudah berkali-kali menghubunginya.
Ada beberapa klien baru yang dijadwalkan wawancara dengan Mami Dedeh hari itu. Sebelumnya, mereka sudah mendaftar di laman pangkalanhati.com dan mengisi data diri.
Memang hanya member yang mengupgrade keanggotaan menjadi premium atau VIP lah yang berhak mendapatkan layanan pencocokan data lewat serangkaian proses. Biasanya Dede yang bertugas memberikan pengarahan tentang apa saja yang harus mereka lakukan setelah mengupgrade keanggotaan.
“Mas dan Mbak, silakan mengisi formulir pendaftaran terlebih dahulu. Jika sudah, formulir dan resi pembayaran atau bukti transfer mohon diserahkan kembali untuk ditukar dengan format test yang harus diisi,” demikian pengarahan yang biasa Dede berikan.
Nun sendiri pernah berada di posisi itu ketika dia masih magang. Selain melayani member yang berdomisili dalam kota sehingga bisa datang langsung ke kantor, ketika masih magang, Nun juga melayani member yang berdomisili di luar kota bahkan luar negeri. Pengisian formulir dan wawancara dengan member yang tidak memungkinkan datang langsung ke kantor, dilakukan dengan memanfaatkan teknologi, baik email maupun zoom meeting.
Itu pula sebabnya, Mami Dedeh selaku konsultan psikologi pasangan di Biro Jodoh ini tidak masuk kantor setiap hari. Dia bisa melakukan pekerjaannya di rumah dengan zoom. Hanya saat-saat tertentu saja dia hadir.
“Teh Nun, Mami Dedeh udah stand by belum?” tanya Dede, mengagetkan Nun dari lamunan kelamnya soal pesan Alif dini hari tadi.
Nun segera mengontak Mami Dedeh.
“Otw, De,” jelas Nun.
“Ok. Teh Nun sibuk enggak hari ini?” tanya Dede lagi.
“Habis nadzor tadi, aku paling mau cek data klien baru.”
“Oh, ya udah, kalau gitu, sambil nunggu Mami Dedeh, Teh Nun perkenalan dulu aja! Kak Pawpaw juga udah ready tuh.”
“Ok, sip.” Nun mengacungkan jempolnya.
Acara perkenalan dengan klien baru dilakukan di aula lantai atas. Pak Kafka sudah selesai memberikan penjelasan tentang profil Biro Jodoh Pangkalan Hati. Giliran para Mak Comblang yang tampil untuk kemudian bergabung dengan para klien baru yang akan mereka tangani.
“Nama saya Ainun Mardiyya. Saya consultan relationship di Biro Jodoh Pangkalan Hati. Salam kenal!”
Nun tampil seprima mungkin dengan senyum mengembang meski tanpa baking soda. Tidak tahu dia, bahwa senyum itu membuat sepasang mata klien baru di deretan bangku sana, tidak berkedip menatapnya.
“Ainun ....” gumam klien tersebut. Binar matanya menyiratkan kalimat, “Bidadari surgaku.”
***
Pertemuan dengan klien baru telah usai. Nun dikejutkan dengan sebuah panggilan.
“The Nun!” Suara seorang lelaki yang kian tidak asing di telinga Nun terdengar memanggilnya di lobi. Gadis itu baru saja selesai beramah tamah dengan seorang klien baru di sana ketika panggilan tersebut menyapa telinganya.
“Gue udah tunggu dari tadi,” kata lelaki yang entah dari mana mengetahui tentang nama panggilan ‘The Nun’ tersebut.
Nun menoleh ke arah pria jangkung berkulit putih yang mengomelinya di ujung pintu. Benar, Nun tidak salah orang. Dia Alif, klien yang membuat hati Nun tercabik-cabik.
“Memangnya ada apa?” tanya Nun tidak habis pikir. Siapa juga yang menyuruh orang itu menunggunya pulang kerja?
“Menurut lu?”
“Ya, mana saya tahu.”
“Gue kan udah kirim pesan.”
“Pesan apa?”
“Pesan jemput,” sentak dia.
“Enggak usah jemput-jemput. Saya masih ada agenda kerja.”
“Hei, menurut lu ngapain jam setengah 3 pagi gue kirim pesan jemput?”
“Ya kali mau nikung jodoh orang,” sahut Nun asal, tentu dalam hati saja. Mana berani dia bilang begitu di depan sepasang mata yang seperti hendak menerkamnya itu.
“Itu supaya lu bisa mengagendakan pertemuan sore ini. Gimana sih?” Alif nyolot. “Kata Kafka kalau mau bikin jadwal enggak boleh ngedadak. Makanya gue kirim pesan malam-malam.”
Nun tercenung. Dia bersendika, lebih tepatnya menggerutu sendirian, “Ini klien satu, kelakuannya sungguh mencengangkan jiwa raga. Haduh, Bapak ... Nun harus sabar terus nih, kayaknya.”
“Hayu berangkat!” ajak klien aneh itu.
“ke mana?”
“Agenda hari ini, ta’aruf sama keluarga gue.”
“Idih ....” Nun berjingkat. “Kok jadi situ yang ngatur?”
“Kan calon suami.”
“Idih ....” Nun bergidik ngeri. Dia langsung lari ke dalam ruangan dan menelungkupkan kepalanya ke meja di kubikelnya. Migrain tiba-tiba menyerang. Dia butuh ketoprak level pedas.
***
Ketika waktunya pulang, Nun keluar kantor dengan penuh penderitaan. Jilbab dan wajah sama kusutnya. Namun, di balkon, dia kembali disambut ‘penderitaan’ baru.
“Udah siap?” Sebuah suara yang belakangan ini kerap menerornya terdengar di telinga.
Nun sudah tidak berdaya untuk membantah. Alif rupanya tidak mempan penolakan. Dia masih menunggu sampai Nun benar-benar pulang kerja.
“Sebentar, saya telepon Bapak sama Pak Kafka dulu,” sahut Nun lemah.
“Dih, ngapain telepon Kafka segala?”
Nun menajamkan tatapannya ke muka baby face yang menyebalkan di hadapannya itu. “Buat jaga-jaga. Siapa tahu diculik klien gila!” Demikian kalimat yang tidak tersampaikan lewat lisan itu terucap dari soror matanya.
“Hayu berangkat!” Alif membukakan pintu mobilnya.
“Berdua?” terlontar juga ganjalan di hati Nun sedari tadi.
“Bertiga sama setan. Eh ... bertiga sama sopir gue lah! Berenam sama bayangan. Berdelapan belas sama malaikat. Kurang rame gimana coba kencan kita?”
“Kencan?” Nun menggedikkan bahu. “Naudzubillah kencan sama makhluk beginian!” gumam Nun dalam benaknya.
“Udah, enggak usah dibahas. Buruan masuk mobil!”
Nun akhirnya merasakan duduk di atas jok mobil empuk. AC dan pengharum udara membuatnya terkantuk-kantuk. Maklum, naik angkot berangin ‘gelebug’ saja Nun bisa pulas dari sejak duduk hingga sampai tujuan, apalagi naik mobil mewah yang nyaman seperti punya Alif ini.
Sayangnya, belum sampai pulas, pemilik mobil itu tidak henti-hentinya mengganggu dia.
“Rapiin tuh jilbab sama muka! Jangan sampai malu-maluin depan kakek!”
“Memang mau kemana?”
“Ketemu kakek, ngenalin calon istri.”
“Idih ....” Nun meringis.
Dia kelimpungan deh. Jilbab sih bisa ditarik ulur supaya rapi. Nah, muka? Masa harus operasi plastik? Biarpun tas ranselnya bagai kantong Doraemon, tetapi Nun tidak pernah bawa alat make-up atau kosmetik. Boro-boro buat beli kosmetik, buat bayar listrik, sewa rumah, dan transportasi saja gajinya habis.
Itu baru soal muka, bagaimana dengan hati? Nun sudah ingin menjerit. Namun, dia berhasil menarik napas panjang dan memetakan kalimat yang menguatkannya untuk bertahan. “Ingat Pak Kafka ... ingat tagihan listrik ... ingat bayar sewa .... sabar ... sabar ... ingat Bapak.”
***
Nun benar-benar heran dengan lelaki bernama Alif Sya’bani Abyansyah Khalifi alias Park Seo Joon kw itu. Sampai kembali ke rumah pun, Nun tetap tidak habis pikir. Dia bahkan jadi tidak bisa tidur karena memikirkan si Alif ini. Nun kira dia akan dibawa ke rumah atau ke sebuah tempat semacam caffe untuk bertemu sang Kakek. Ternyata, dia dibawa ke sebuah rumah sakit. Kakeknya Alif ternyata sedang menjalani perawatan intensif karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Nun berkenalan dengan kakeknya Alif di ruang rawat VVIP. “Saya Yasin Khalifi, kakeknya Alif,” kata lansia yang terbaring lemah di atas ranjang pasien itu. Suaranya tidak jelas karena sesak napas. Selang nasal canula terpasang di hidungnya. Meski terbaring di electrical hospital bed yang canggih di ruang rawat VVIP dengan fasilitas setara hotel berbintang, kakek Alif tampak tidak berdaya. Gerakannya dibatasi oleh selang infus dan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh. Dua orang ajuda
Sama seperti Nun yang tidak bisa tidur, Alif juga.“Apa ya, SnK-nya?” tanya Alif.Malam-malam buta dia menelepon Kafka. Terdorong rasa penasaran, gengsi pun disingkirkan.“Ka, lu tahu enggak SnK buat ngelamar The Nun?”Kafka mengucek matanya yang masih ngantuk akibat dibangunkan getar gawai di tengah malam.“SnK? The Nun?” CEO Biro Jodoh Pangkalan Hati itu bak orang linglung.“Iya. Dia ada ngabarin sesuatu enggak ke lu?”Di ujung telepon, Kafka beringsut duduk. “Kabar apa?” lelembutannya mulai kumpul.“Lah, kan gue nanya. Malah ditanya.”Kesadaran Kafka sempurna sudah demi mendengar ocehan tidak berguna dari mulut cucu mantan Bos-nya itu. “Lah, mana gue tahu? Lagian lu malam-malam ngebangunin gue cuma mau nanyain kabar Mak Comblang gue. Sengebet itu lu sama dia?”“Ko lu jadi sewot?” cecar Alif. Padahal jelas, dia sendir
“The Nun, selamat, ya!” Seru Kak Pawpaw sambil merentangkan tangan, menghampiri Nun yang sedang mengisi tumbler-nya dengan air minum di dispenser. Nun datang paling awal pagi itu. Buntut sulit tidur dan mimpi buruk, dia jadi nafsu makan. Sarapannya pagi itu ketoprak yang level kepedasannya bikin enggak sabar untuk menghabiskan galon air mineral. “Selamat apa, Kak?” tanya Nun dengan bibir jontor. Dia teguk air dalam tumbler. “Pokoknya selamat,” tandas Kak Pawpaw seraya memeluk Nun hingga rekannya itu keselek. “Kata Bang Devan, kamu ta’aruf sama klien VIP yang waktu itu ke sini, kan?” “Uhuk-uhuk ....” Nun terbatuk-batuk seperti kakeknya Alif kemarin. Untung saja air yang diteguknya sudah meluncur jatuh dari kerongkongan dan tidak kembali lagi ke rongga mulut. Nun tidak heran kenapa Bang Devan bisa tahu masalah ta’aruf itu. Devan kan satu-satunya tangan kanan Kafka, orang kepercayaan CEO Pangkalanhati.com. Pastilah Kafka curhat kepadanya jika ada
Nun jadi lesu. Belakangan ini Kafka sering meninggalkan kantor untuk urusan yang tidak jelas. Bahkan Devan sebagai asisten sekaligus portal berita utama di Biro Jodoh Pangkalan Hati saja tidak tahu soal urusan Kafka di luar sana. Permintaan Kafka untuk bertemu Nun sepulang kerja pun batal karena ternyata dia tidak kembali ke kantor sejak tadi siang. Nun pulang ke rumah dengan hati hampa. Pikirannya selalu terpaut kepada Kafka, lelaki yang sudah menarik hatinya sejak pandangan pertama. “Berapa banyak jomlowan dan jomlowati yang kesulitan mencari jodoh saat ini? Itu pertanyaan pertama yang membuat saya melirik bisnis Biro Jodoh ini,” kata Kafka di sebuah seminar. Kafka menjelasakan, kesulitan mencari jodoh tentu dilatari oleh banyak hal. Salah satunya adalah sempitnya waktu atau kecilnya kesempatan untuk bertemu, berinteraksi, dan saling mengenal lawan jenis. Bisa karena sibuk bekerja, sibuk belajar, kepribadian yang sangat tertutup, dan lain-la
Suasana di kantor Biro Jodoh Pangkalan Hati terasa ceria bagi Nun dan Kafka. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu tentang pertemuan mereka sepulang kerja. Bisik-bisik tetangga tentu saja terdengar di telinga. Nyatanya, itu tentang perkara berbeda. “The Nun!” Panggil Devan sambil memelototi layar monitor di depan matanya. Gadis dengan wajah berbingkai hijab klasik ala siswi madrasah tahun 90-an yang dipanggil namanya itu segera menghampiri. “Ada apa, Bang?” tanya dia. “Klien 212 yang namanya Hamzah Ali Habibi ini siapanya kau?” Bang Devan menunjuk layar monitor yang menampilkan profil Hamzah, klien yang kemarin menemui Nun di lobi. Lelaki blasteran Batak-India itu bahkan tidak sadar menggunakan logat ibunya saat menyebut kata ‘kau’ tadi. “Klien saya.” “Ko kriterianya ...?” Bang Devan yang biasanya asbun saja sampai speechless. Dia tidak berkedip menatap layar monitor sampai akhirnya geleng-geleng kepala sambil berdecak, “Sung
Nun duduk di sebuah meja caffe berhadapan dengan Hamzah, sang klien yang akan dia ta’arufkan hari itu. Mesin pencari berhasil mencocokan Hamzah dengan seorang klien perempuan. “Habibi ya nurul ain, kamu pasti orangnya yang ta’aruf dengan saya. Iya, kan?” tembak Hamzah sambil mesem-mesem. “Bukan.” “Lantas siapa? Tidak ada orang lain tuh disini.” Hamzah celingukan. Dia lalu menatap Nun lagi setelah matanya bersirobok dengan mata sipit seorang lelaki yang tajam menatapnya di pojok caffe. “Tunggu saja!” titah Nun. Dia juga bolak-balik menatap jarum jam di layar gawainya yang tergeletak di meja. Sudah dua gelas jus alpukat dihabiskan Hamzah. Sementara Nun bahkan tidak menyentuh minumannya. Walau mulai gelisah, dia juga tetap waspada akan segala hal yang mungkin terjadi. Untunglah, sejurus kemudian, dari balik pintu caffe, muncul seorang wanita dengan gaya hijab serupa Nun. Hanya saja, lipit hijab wanita itu lebih sempurna hingga membingkai
Nun masih bergeming. Dia merasa dunia seakan jungkir balik. Dia bahkan tidak sadar ketika orang yang menolongnya tadi menyeretnya keluar dari caffe. “Lu enggak apa-apa, kan?” tanya lelaki bermata sipit itu. Nun menggelengkan kepala sambil menahan sesak dan isak. Dia belum sanggup mengeluarkan sepatah kata pun saking shock-nya. “Jangan nangis! Nanti lu tambah serem lagi ....” sentak lelaki yang dikenali Nun sebagai Park Seo Joon kw itu. “Tunggu di sini!” Lelaki itu kemudian pergi sebentar dan kembali dengan sebotol air mineral. Nun menerima dan meneguknya tanpa keraguan. “Kenapa kamu bisa ada disini?” tanya Nun setelah kondisinya agak tenang. “Bilang terima kasih dulu, baru nanya ini itu!” sentaknya. “Iya, maaf ...,” ucap Nun ciut, “Terima kasih sudah membantu saya!” Alif merasa puas. Hidungnya kembang kempis seperti ingin terbang. Ucapan terima kasih Nun seperti sebuah award baginya. “Mereka klien lu?” tanya Ali
“Nun!” Pak Yasin tampak sumringah meski selang-selang medis masih terpasang di tubuhnya. “Apa kabar, Kek?” sapa Nun ramah. “Akhirnya kamu datang juga ... Kakek senang sekali. Rasanya seperti ketemu neneknya Alif. Jadi berasa muda lagi.” Nun memberinya senyum manis. “Kakek sudah minum obat?” “Sudah ... sudah bosan malah.” Dia terkekeh kemudian batuk-batuk. Alif mendekat dan mengambilkan air minum. “Kalau sudah tua dan sakit-sakitan begini, Kakek jadi merepotkan kamu, ya ....” “Enggak, Kek. Alif juga merepotkan Kakek sejak kecil. Sekarang giliran Kakek ngerepotin ... Alif ridho.” Nun yang menyaksikan pasangan cucu-kakek itu dengan mata berkaca-kaca. Persis seperti saat-saat dia dan bapaknya nonton sinetron yang mengandung bawang. Dia tidak sangka Alif yang temperamental itu ternyata bisa bersikap lembut juga. “Kakek istirahat dulu, ya!” Alif memasangkan selimut ke tubuh sang Kakek. Namun, Kakeknya justru memanggil
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.Pak Sa
Pasangan ini memang belum berani menceritakan soal pernikahan mereka, terutama kepada Pak Sabar. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu siapa pun hingga resepsi yang sudah dijadwalkan benar-benar digelar. Mereka juga tetap berkonsultasi dengan Kafka perihal langkah yang perlu dijalankan agar semuanya lancar dan baik-baik saja.“Kalian sudah menikah, sah secara agama,” kata Kafka, “Jadi, kalaupun nanti harus akad lagi, itu tidak masalah.”Nun yang ragu soal itu lantas, bertanya kepada Mami Dedeh yang kebetulan datang ke kantor pada suatu hari. Kata Mami Dedeh, memang benar hal itu diperbolehkan, selama rukun dan syarat sah nikahnya sempurna. Akad kedua tidak membatalkan akad yang pertama.Mami Dedeh mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.“Abu ‘Ashim bercerita sebagaimana diceritakan dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah,” kata Mamah Dedeh. ”Nabi bertanya kepada Salamah, ‘Ya, Salamah,
Sejak meninggalnya Pak Yasin, Alif tenggelam dalam kesedihan. Banyak hal yang harusnya dia urusi, mulai dari pekerjaan kantor hingga hak waris. Namun, itu semua dia abaikan. Nun bahkan tidak bisa menghubungi dia lagi. Sampai suatu ketika, sopir Alif datang ke kantor Biro Jodoh untuk menemuinya.“Mbak Bos, saya ke sini bukan mau cari jodoh, tapi minta tolong. Bujuk Bos Alif ... sudah tiga hari dia tidak mau makan dan tidak mau keluar kamar.”Lantas, Nun meminta ijin kepada Kafka untuk ikut bersama sopir Alif ke rumah sang Suami.“Enggak usah minta ijin lagi sama aku. Kamu kan berhak menemui dia kapan pun. Kalau dia enggak mau ketemu, bilang sama aku,” kata Kafka.Di rumah Alif yang bak istana pangeran dalam kisah Cinderella, Nun disambut hangat para pengurus yang disebut Alif sebagai keluarganya ketika lamaran dahulu. Laporan tentang Alif langsung Nun terima. Mereka tidak sungkan kepada Nun, begitu dia kepada mereka.Ditunjuk
Nun akhirnya pulang malam dijemput Kafka. Pak Yasin yang membukakan pintu sempat memelototi dia. Namun, tidak mengatakan sepatah kata pun pada akhirnya. Dia terlonjak dari tempat tidur saat mendengar ketukan pintu. Ketika menyambut Nun pulang, Pak Sabar seakan berjalan dalam mimpi. Bingung membedakan realita dan fatamorgana.Kafka juga langsung pulang karena merasa mengganggu dan tidak sopan jika berlama-lama di sana. Dia hanya mengantar Nun pulang sesuai permintaan Alif kepadanya. Baik dia maupun Nun tidak sempat mengutarakan soal kejadian hari itu kepada Pak Sabar.Parahnya lagi, begitu pagi tiba, Nun ditinggal bapaknya begitu saja. Orang tua itu biasanya pamitan dan titip pesan kepada dia jika akan berangkat untuk mangkal di depan gang. Namun, kali ini tidak.Di lapak ketoprak, dekat mulut gang Sabar, Nun baru bisa menyapa bapaknya setelah beberapa kali menguap karena masih ngantuk dan lelah. Kepalanya pusing karena kurang tidur. Perutnya juga mual karena dar
Begitu pintu kamar pasien yang ditempati Pak Yasin terbuka, Nun langsung menyadari apa yang menunggunya di depan mata.Pak Yasin tergolek lemah dengan belitan selang yang lebih banyak dari biasa. Bahkan, ditambah dengan elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik dan saturasi. Berbagai alat medis lain juga terpasang di dekat ranjangnya.Enam buah kursi tersusun rapi mengitari sebuah meja tidak jauh dari ranjang Pak Yasin. Alif duduk di salah satu kursi. Matanya sembab. Wajahnya pias. Rambutnya berantakan. Kemejanya kusut. Penampilannya tidak karuan. Dia jelas tidak tidur semalaman bahkan melewatkan mandi pagi.Di hadapannya, duduk seorang bapak-bapak bersetelan rapi mengenakan kopiah. Di sisi meja yang lainnya asisten dan sopir Alif duduk berdampingan dengan wajah gusar. Di sekeliling mereka penjaga, perawat dan dokter berdiri memantau situasi.Nun yang baru masuk langsung diminta duduk di sebelah Alif yang terus menunduk.Kafka menghampiri dan
Nun fokus menatap layar monitor. Beberapa chat masuk. Seperti biasa dia jawab satu-persatu dari urutan terbawah. Ada yang menanyakan soal Biro jodoh; ada chat klien yang mendesak segera diinformasikan soal hasil pencocokan; ada yang mau upgrade membership dari premium ke VIP; ada juga yang mengabarkan tanggal pernikahan; dan ada yang mengirimkan foto desain gaun pengantin.Mata Nun langsung terbelalak pada pesan yang terakhir.[Pilih yang mana?]Jantung Nun sempat kebat-kebit. Namun dilihatnya lagi pengirim pesan tersebut, Kafka. Bukan Alif.Ada beberapa desain pakaian pengantin yang dia kirimkan –gamis, kebaya, hingga gaun yang bagi Nun terlalu ‘wah’. Lama sekali Nun tercenung hingga tidak membalas pesan itu meski sudah dibaca.[Dari Alif. Dia minta kamu pilih model baju pengantin]Nun mengerjapkan matanya, lalu membalas pesan itu dengan cepat, secepat dirinya melayani keluhan klien.[Terserah Kakak][Kamu ya