Persis seperti di foto, lelaki berambut cepak, berkulit putih dengan mata sipit, hidung mancung dan dagu runcing itu duduk bersandar di kursi sebuah caffe. Santai tanpa beban.
Kemeja slimfit membungkus badannya yang atletis. Jas casual tersampir di kursi. Sementara gawai keluaran terbaru miliknya tergeletak begitu saja di atas meja bersama segelas minuman bersoda.
Ketika Nun tiba, lelaki itu langsung mendongakkan kepala.
“Kamu, yang mau ta’aruf dengan saya?” tanya dia, bahkan sebelum Nun bersuara. Intonasi dan tatapan lelaki itu seperti meremehkan dia.
Nun cepat-cepat memberi isyarat penyangkalan, “Bukan ... bukan saya,” kata dia sambil memasang wajah seramah mungkin.
Sedongkol apa pun hatinya saat itu, dia tetap harus memberikan pelayanan prima sebagai Mak Comblang elite dari pangkalanhati.com.
Lelaki itu menjulurkan bibir bagian bawahnya, jelas mencibir.
“Saya consultan relationship dari pangkalanhati.com. Saya menggantikan Mas Haris yang berhalangan hari ini,” jelas Nun sambil menangkupkan tangan memberikan salam.
Lelaki itu sama sekali tidak membalas. Dia malah menilik penampilan Nun dari ujung kaki hingga ujung kepala sambil memicingkan mata. “Bocil begini ... enggak cocok kamu jadi Mak Comblang saya!” kata dia.
“Bocil?” Nun menggumam dalam hati. Namun, wajahnya tetap setenang permukaan air di bak mandi. Setidaknya dia tahu diri, tubuhnya memang mungil, dan wajahnya imut sekali. Naik angkot saja ongkosnya masih disamakan dengan anak SMP. Pantas saja dia dibilang bocil oleh klien sendiri.
Meski pertemuan itu dimulai dengan sesuatu yang tidak mengenakan hati. Nun lega sebab dia akhirnya sukses mempertemukan klien bernama Alif itu dengan wanita yang sesuai kriteria.
Wanita itu seorang selebgram yang cukup terkenal di kalangan anak muda. Wajah cantiknya perpaduan Uzbekistan dan Tionghoa. Kulit putih sebening porselin, rambut panjang hitam legam seperti duta shampo lain, tubuh tinggi semampai bak model catwalk. Nun saja terpana ketika wanita itu muncul di hadapannya. Apalagi sang klien pria. Dia tidak berkedip saking terkesima dan akhirnya langsung iya-iya saja.
Sayangnya begitu pertemuan usai, Nun mendapat kabar tidak menyenangkan.
Sore hari sepulang kerja, dia dan kru biro jodoh pangkalanhati.com berangkat bersama menjenguk Mas Haris di rumah sakit, tanpa Kafka. Kondisi Mak Comblang senior itu memang cukup memprihatinkan. Tangan dan kakinya dibebat perban. Dia tidak leluasa bergerak di tempat tidurnya. Selang infus terpasang di tangan kiri sementara tangan kanannya disangga gips.
Dia mengalami kecelakaan akibat motornya ditabrak pengemudi mobil ugal-ugalan. Meski jadi korban tabrak lari, semua pengobatannya ditanggung perusahaan. Kafka sebagai CEO pangkalanhati.com memang selalu terdepan pasang badan soal kesejahteraan karyawannya. Itu salah satu poin plus sang Bos dimata para karyawan, terutama Nun selaku secret admire-nya.
“Moga lekas sembuh, ya, Mas!” ucap Kak Pawpaw tulus dan ikhlas sambil nyomot sebiji anggur dari parsel yang teronggok di atas nakas samping ranjang pasien. Si Hobi makan satu itu memang tidak bisa lihat makanan nganggur.
“Makasih, ya, kalian semua sudah repot-repot datang ke sini,” ucap Mas Haris.
Basa-basi berlanjut sebelum semuanya pamit. Namun, pada pembicaraan soal agenda kerja yang Nun ambil alih, Mas Haris berkata, “Sukses ya, Nun. Semoga Mbak Selebgram cocok sama Pak Ustaz.”
“Pak Ustaz?” Nun mengernyitkan dahi. Asli. Dia tidak mengerti.
“Mbak Selebgram yang beken itu ... dia mau hijrah. Hasil matchmaking-nya juga pas dengan Pak Ustaz hafiz Qur’an yang juga YouTuber itu lho, Nun. Mereka sudah nazhor belum?”
Nun membeku di tempatnya berdiri, seperti baru disambar petir. Dia jadi teringat ekspresi Mbak selebgram yang tampak ganjil sepanjang pertemuan dengan klien bernama Alif tadi. Sayangnya, dia tidak berkata apa-apa, atau mungkin Nun yang tidak paham dengan isyarat yang diberikan Mbak-Mbak tersebut sebab si Alif tidak berhenti nyerocos dengan antusias sepanjang pertemuan. Nun kan jadi tidak konsen.
“Aduh bapaaaak ... Nun harus sabar lagi nih, kayaknya,” teriak dia. Tentu dalam hati saja.
***
Nun meringis. Dia sungguh kebingungan karena telah salah menta’arufkan pasangan. Untung saja, urusan ketoprak sudah selesai dibagikan. Pagi itu, ekspresi wajah Nun tidak seceria hari-hari yang lalu sebelum negara api menyerang, eh ... sebelum dia menangani klien songong bernama Alif itu.
Sungguh Nun seperti menelan sarapan simalakama. Padahal, tidak sesuap ketoprak pun yang masuk ke mulutnya. Gadis itu jadi tidak nafsu makan. Ekpresi wajahnya malah seperti orang menahan sembelit tujuh hari tujuh malam.
“The Nun, kenapa lu?” tanya Devan yang lewat untuk membuang sampah bungkus ketoprak.
“Enggak apa-apa, Bang.”
“Kalau ada masalah, cerita!” kata Devan syok bijaksana.
“Sebenarnya ....” Nun baru saja hendak berkata-kata.
“Cerita sama Mami Dedeh sana! Jangan curhat sama gue. Wew!” Devan berlalu dengan wajah lugu.
Ingin rasanya Nun mengunyah setumpuk berkas CV klien di kubikelnya. “Dasar Bang Devan!” Atasannya yang satu itu memang suka bikin kesel sekaligus keselek kalau lagi makan.
***
Sungguh, Nun tidak pernah menyangka bahwa perjodohan manusia bisa serumit ini, apalagi saat semua diatur sistem dan dikerjakan secara profesional. Fix, dia harus meralat kesalahan, melapor kepada atasan dan mengonfirmasikan kekeliruan yang terjadi kepada kliennya.
Sang Selebgram sudah menghubungi Nun dan menolak meneruskan ta’aruf. Dia menyatakan lebih tertarik dengan CV yang sebelumnya ditawarkan Mas Haris, yakni CV milik ustaz sang Hafiz.
Nun pun memeriksa kembali berkas yang dia ambil dari kubikel tempo hari. Benar, ternyata ada map yang jatuh. Itu berisi berkas calon pasangan Alif yang seharusnya Nun ta’arufkan hari itu.
Nun menyandarkan tubuhnya ke kursi dan berputar-putar di sana saking pusingnya memikirkan masalah ini. Bisa-bisanya Mas Haris tidak menyusun berkas dengan benar sampai berceceran begitu. Namun, mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Nun yang harus menyantapnya sampai kenyang.
Diam-diam dia menatap ruangan berdinding kaca di pojok kantornya. Nun sangat menyayangkan Pak bosnya belum kembali dari luar kota. Curhat ke Mami Dedeh akan makan waktu lama. Akhirnya dia berkonsultasi dengan Kak Pawpaw.
Hebohlah duo senior-junior tidak terpisahkan itu, yakni Pawpaw-Dede ketika mendengar Nun curhat.
“Binasa karier kamu, The Nun!” Komen Kak Pawpaw yang tidak ubahnya seperti ocehan pedas Devan.
“Cilaka dua belas lima atuh eta mah, Teh Nun!” komen Dede syok pakai bahasa Barat mengikuti logat Nun yang asli Sunda.
Bukan kelegaan yang didapat, Nun malah makin senewen dibuatnya. Tidak tahukah mereka bahwa bukan komentar ala netizen yang Nun butuhkan, melainkan solusi cerdas, cermat, dan akurat. Salah Nun juga sih, curhat kepada dua makhluk penyuka ghibah.
“Mending The Nun hubungi Pak Kafka aja deh coba,” saran Kak Pawpaw pada akhirnya.
Dede pun menambahkan, “Iya, Teh Nun. Siapa tahu ada kesempatan cari perhatian bos.”
Nun mendelik. Mulut Dede satu itu memang kadang enggak ada akhlak. Minta disuapin ketoprak level pedas kali dia.
“Baiklah, saudara-saudara ....” Nun memungkas pembicaraan. “Nun akan coba memberanikan diri bicara sama Pak Kafka.
Kafka mengerem kendaraan secara spontan. Tubuhnya tertahan seatbelt sehingga dia tidak terjungkal ke depan kemudi. Itu terjadi begitu saja ketika Kafka mendengar salah satu pegawainya yang bernama Ainun Mardiyya berkata lewat sambungan telepon, “Nun salah menta’arufkan klien.” “Klien yang mana?” tanya Kafka setelah dia bisa mengatasi sport jantungnya barusan. “Klien VIP bernama Alif.” Kafka menghela napas berat. Ingin dia berkata kasar, tetapi dia juga sadar bahwa pegawainnya itu berhati lembut dan baperan. “Saya sedang dalam perjalanan pulang. Nanti kita bahas solusinya di kantor.” Demikian keputusan Kafka. *** Brak. Pintu kantor bak dihantam angin kencang, terbuka lebar-lebar didorong seseorang. Semua kru Biro Jodoh Pangkalan Hati yang hari itu mangkal di kantor sontak melempar pandang kepada tamu yang datang. Seorang pria jangkung berkulit putih masuk ke ruangan tanpa mengucap salam. Matanya menyimpan kobaran api yang menyal
“Tidaaak ....” kata itu yang ingin Nun teriakan, namun yang keluar malah sebuah anggukan pelan. Dia memang tipe orang yang tidak bisa menolak permintaan, apalagi yang disertai ancaman pemecatan. “Nun ...?” Kafka ternganga. Namun, kemudian dia bernapas lega, meski agak kecewa. Nun juga sama. Dia terpaksa mengangguk demi menyelamatkan reputasinya di depan Kafka. Dia juga cukup tahu diri untuk tidak membebani bosnya dengan masalah. Lewat anggukan kecilnya, Biro Jodoh Pangkalan Hati setidaknya bisa selamat dari musibah yang dapat ditimbulkan oleh klien menyebalkan bernama Alif itu. Lelaki berpenampilan necis itu benar-benar merasa jumawa. Dia bersedekap sambil mengamati ekspresi ‘calon istrinya’ yang ketakutan. “Kondisiin tuh muka! Jangan nakut-nakutin gitu! Serem amat kayak The Nun,” celotehnya. Nun mendelik sambil membatin, “Udah tahu serem, kenapa juga diajak ta’aruf? Dasar kelainan!” Alif melengkungkan senyum sinis. Di otaknya sudah te
Nun benar-benar heran dengan lelaki bernama Alif Sya’bani Abyansyah Khalifi alias Park Seo Joon kw itu. Sampai kembali ke rumah pun, Nun tetap tidak habis pikir. Dia bahkan jadi tidak bisa tidur karena memikirkan si Alif ini. Nun kira dia akan dibawa ke rumah atau ke sebuah tempat semacam caffe untuk bertemu sang Kakek. Ternyata, dia dibawa ke sebuah rumah sakit. Kakeknya Alif ternyata sedang menjalani perawatan intensif karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Nun berkenalan dengan kakeknya Alif di ruang rawat VVIP. “Saya Yasin Khalifi, kakeknya Alif,” kata lansia yang terbaring lemah di atas ranjang pasien itu. Suaranya tidak jelas karena sesak napas. Selang nasal canula terpasang di hidungnya. Meski terbaring di electrical hospital bed yang canggih di ruang rawat VVIP dengan fasilitas setara hotel berbintang, kakek Alif tampak tidak berdaya. Gerakannya dibatasi oleh selang infus dan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh. Dua orang ajuda
Sama seperti Nun yang tidak bisa tidur, Alif juga.“Apa ya, SnK-nya?” tanya Alif.Malam-malam buta dia menelepon Kafka. Terdorong rasa penasaran, gengsi pun disingkirkan.“Ka, lu tahu enggak SnK buat ngelamar The Nun?”Kafka mengucek matanya yang masih ngantuk akibat dibangunkan getar gawai di tengah malam.“SnK? The Nun?” CEO Biro Jodoh Pangkalan Hati itu bak orang linglung.“Iya. Dia ada ngabarin sesuatu enggak ke lu?”Di ujung telepon, Kafka beringsut duduk. “Kabar apa?” lelembutannya mulai kumpul.“Lah, kan gue nanya. Malah ditanya.”Kesadaran Kafka sempurna sudah demi mendengar ocehan tidak berguna dari mulut cucu mantan Bos-nya itu. “Lah, mana gue tahu? Lagian lu malam-malam ngebangunin gue cuma mau nanyain kabar Mak Comblang gue. Sengebet itu lu sama dia?”“Ko lu jadi sewot?” cecar Alif. Padahal jelas, dia sendir
“The Nun, selamat, ya!” Seru Kak Pawpaw sambil merentangkan tangan, menghampiri Nun yang sedang mengisi tumbler-nya dengan air minum di dispenser. Nun datang paling awal pagi itu. Buntut sulit tidur dan mimpi buruk, dia jadi nafsu makan. Sarapannya pagi itu ketoprak yang level kepedasannya bikin enggak sabar untuk menghabiskan galon air mineral. “Selamat apa, Kak?” tanya Nun dengan bibir jontor. Dia teguk air dalam tumbler. “Pokoknya selamat,” tandas Kak Pawpaw seraya memeluk Nun hingga rekannya itu keselek. “Kata Bang Devan, kamu ta’aruf sama klien VIP yang waktu itu ke sini, kan?” “Uhuk-uhuk ....” Nun terbatuk-batuk seperti kakeknya Alif kemarin. Untung saja air yang diteguknya sudah meluncur jatuh dari kerongkongan dan tidak kembali lagi ke rongga mulut. Nun tidak heran kenapa Bang Devan bisa tahu masalah ta’aruf itu. Devan kan satu-satunya tangan kanan Kafka, orang kepercayaan CEO Pangkalanhati.com. Pastilah Kafka curhat kepadanya jika ada
Nun jadi lesu. Belakangan ini Kafka sering meninggalkan kantor untuk urusan yang tidak jelas. Bahkan Devan sebagai asisten sekaligus portal berita utama di Biro Jodoh Pangkalan Hati saja tidak tahu soal urusan Kafka di luar sana. Permintaan Kafka untuk bertemu Nun sepulang kerja pun batal karena ternyata dia tidak kembali ke kantor sejak tadi siang. Nun pulang ke rumah dengan hati hampa. Pikirannya selalu terpaut kepada Kafka, lelaki yang sudah menarik hatinya sejak pandangan pertama. “Berapa banyak jomlowan dan jomlowati yang kesulitan mencari jodoh saat ini? Itu pertanyaan pertama yang membuat saya melirik bisnis Biro Jodoh ini,” kata Kafka di sebuah seminar. Kafka menjelasakan, kesulitan mencari jodoh tentu dilatari oleh banyak hal. Salah satunya adalah sempitnya waktu atau kecilnya kesempatan untuk bertemu, berinteraksi, dan saling mengenal lawan jenis. Bisa karena sibuk bekerja, sibuk belajar, kepribadian yang sangat tertutup, dan lain-la
Suasana di kantor Biro Jodoh Pangkalan Hati terasa ceria bagi Nun dan Kafka. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu tentang pertemuan mereka sepulang kerja. Bisik-bisik tetangga tentu saja terdengar di telinga. Nyatanya, itu tentang perkara berbeda. “The Nun!” Panggil Devan sambil memelototi layar monitor di depan matanya. Gadis dengan wajah berbingkai hijab klasik ala siswi madrasah tahun 90-an yang dipanggil namanya itu segera menghampiri. “Ada apa, Bang?” tanya dia. “Klien 212 yang namanya Hamzah Ali Habibi ini siapanya kau?” Bang Devan menunjuk layar monitor yang menampilkan profil Hamzah, klien yang kemarin menemui Nun di lobi. Lelaki blasteran Batak-India itu bahkan tidak sadar menggunakan logat ibunya saat menyebut kata ‘kau’ tadi. “Klien saya.” “Ko kriterianya ...?” Bang Devan yang biasanya asbun saja sampai speechless. Dia tidak berkedip menatap layar monitor sampai akhirnya geleng-geleng kepala sambil berdecak, “Sung
Nun duduk di sebuah meja caffe berhadapan dengan Hamzah, sang klien yang akan dia ta’arufkan hari itu. Mesin pencari berhasil mencocokan Hamzah dengan seorang klien perempuan. “Habibi ya nurul ain, kamu pasti orangnya yang ta’aruf dengan saya. Iya, kan?” tembak Hamzah sambil mesem-mesem. “Bukan.” “Lantas siapa? Tidak ada orang lain tuh disini.” Hamzah celingukan. Dia lalu menatap Nun lagi setelah matanya bersirobok dengan mata sipit seorang lelaki yang tajam menatapnya di pojok caffe. “Tunggu saja!” titah Nun. Dia juga bolak-balik menatap jarum jam di layar gawainya yang tergeletak di meja. Sudah dua gelas jus alpukat dihabiskan Hamzah. Sementara Nun bahkan tidak menyentuh minumannya. Walau mulai gelisah, dia juga tetap waspada akan segala hal yang mungkin terjadi. Untunglah, sejurus kemudian, dari balik pintu caffe, muncul seorang wanita dengan gaya hijab serupa Nun. Hanya saja, lipit hijab wanita itu lebih sempurna hingga membingkai
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.Pak Sa
Pasangan ini memang belum berani menceritakan soal pernikahan mereka, terutama kepada Pak Sabar. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu siapa pun hingga resepsi yang sudah dijadwalkan benar-benar digelar. Mereka juga tetap berkonsultasi dengan Kafka perihal langkah yang perlu dijalankan agar semuanya lancar dan baik-baik saja.“Kalian sudah menikah, sah secara agama,” kata Kafka, “Jadi, kalaupun nanti harus akad lagi, itu tidak masalah.”Nun yang ragu soal itu lantas, bertanya kepada Mami Dedeh yang kebetulan datang ke kantor pada suatu hari. Kata Mami Dedeh, memang benar hal itu diperbolehkan, selama rukun dan syarat sah nikahnya sempurna. Akad kedua tidak membatalkan akad yang pertama.Mami Dedeh mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.“Abu ‘Ashim bercerita sebagaimana diceritakan dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah,” kata Mamah Dedeh. ”Nabi bertanya kepada Salamah, ‘Ya, Salamah,
Sejak meninggalnya Pak Yasin, Alif tenggelam dalam kesedihan. Banyak hal yang harusnya dia urusi, mulai dari pekerjaan kantor hingga hak waris. Namun, itu semua dia abaikan. Nun bahkan tidak bisa menghubungi dia lagi. Sampai suatu ketika, sopir Alif datang ke kantor Biro Jodoh untuk menemuinya.“Mbak Bos, saya ke sini bukan mau cari jodoh, tapi minta tolong. Bujuk Bos Alif ... sudah tiga hari dia tidak mau makan dan tidak mau keluar kamar.”Lantas, Nun meminta ijin kepada Kafka untuk ikut bersama sopir Alif ke rumah sang Suami.“Enggak usah minta ijin lagi sama aku. Kamu kan berhak menemui dia kapan pun. Kalau dia enggak mau ketemu, bilang sama aku,” kata Kafka.Di rumah Alif yang bak istana pangeran dalam kisah Cinderella, Nun disambut hangat para pengurus yang disebut Alif sebagai keluarganya ketika lamaran dahulu. Laporan tentang Alif langsung Nun terima. Mereka tidak sungkan kepada Nun, begitu dia kepada mereka.Ditunjuk
Nun akhirnya pulang malam dijemput Kafka. Pak Yasin yang membukakan pintu sempat memelototi dia. Namun, tidak mengatakan sepatah kata pun pada akhirnya. Dia terlonjak dari tempat tidur saat mendengar ketukan pintu. Ketika menyambut Nun pulang, Pak Sabar seakan berjalan dalam mimpi. Bingung membedakan realita dan fatamorgana.Kafka juga langsung pulang karena merasa mengganggu dan tidak sopan jika berlama-lama di sana. Dia hanya mengantar Nun pulang sesuai permintaan Alif kepadanya. Baik dia maupun Nun tidak sempat mengutarakan soal kejadian hari itu kepada Pak Sabar.Parahnya lagi, begitu pagi tiba, Nun ditinggal bapaknya begitu saja. Orang tua itu biasanya pamitan dan titip pesan kepada dia jika akan berangkat untuk mangkal di depan gang. Namun, kali ini tidak.Di lapak ketoprak, dekat mulut gang Sabar, Nun baru bisa menyapa bapaknya setelah beberapa kali menguap karena masih ngantuk dan lelah. Kepalanya pusing karena kurang tidur. Perutnya juga mual karena dar
Begitu pintu kamar pasien yang ditempati Pak Yasin terbuka, Nun langsung menyadari apa yang menunggunya di depan mata.Pak Yasin tergolek lemah dengan belitan selang yang lebih banyak dari biasa. Bahkan, ditambah dengan elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik dan saturasi. Berbagai alat medis lain juga terpasang di dekat ranjangnya.Enam buah kursi tersusun rapi mengitari sebuah meja tidak jauh dari ranjang Pak Yasin. Alif duduk di salah satu kursi. Matanya sembab. Wajahnya pias. Rambutnya berantakan. Kemejanya kusut. Penampilannya tidak karuan. Dia jelas tidak tidur semalaman bahkan melewatkan mandi pagi.Di hadapannya, duduk seorang bapak-bapak bersetelan rapi mengenakan kopiah. Di sisi meja yang lainnya asisten dan sopir Alif duduk berdampingan dengan wajah gusar. Di sekeliling mereka penjaga, perawat dan dokter berdiri memantau situasi.Nun yang baru masuk langsung diminta duduk di sebelah Alif yang terus menunduk.Kafka menghampiri dan
Nun fokus menatap layar monitor. Beberapa chat masuk. Seperti biasa dia jawab satu-persatu dari urutan terbawah. Ada yang menanyakan soal Biro jodoh; ada chat klien yang mendesak segera diinformasikan soal hasil pencocokan; ada yang mau upgrade membership dari premium ke VIP; ada juga yang mengabarkan tanggal pernikahan; dan ada yang mengirimkan foto desain gaun pengantin.Mata Nun langsung terbelalak pada pesan yang terakhir.[Pilih yang mana?]Jantung Nun sempat kebat-kebit. Namun dilihatnya lagi pengirim pesan tersebut, Kafka. Bukan Alif.Ada beberapa desain pakaian pengantin yang dia kirimkan –gamis, kebaya, hingga gaun yang bagi Nun terlalu ‘wah’. Lama sekali Nun tercenung hingga tidak membalas pesan itu meski sudah dibaca.[Dari Alif. Dia minta kamu pilih model baju pengantin]Nun mengerjapkan matanya, lalu membalas pesan itu dengan cepat, secepat dirinya melayani keluhan klien.[Terserah Kakak][Kamu ya