“Assalamualaikum,” sapa Nun bersama selengkung senyum di wajah mungilnya. Wajah khas mojang Pasundan itu dibingkai kerudung segi empat warna putih. Jilbab andalan tersebut ditampilkan dengan gaya hijab klasik ala 90-an. Itu membuatnya kerap disapa The Nun oleh sebagian orang.
Gadis bernama lengkap Ainun Mardiyya itu baru saja tiba di kantor tempatnya bekerja, yakni sebuah Biro Jodoh berbasis syariah yang dijalankan dengan teknologi digital.
Ketika Nun datang, para personel Biro Jodoh berlabel Pangkalan Hati itu sudah duduk manis di kubikelnya masing-masing. Itu artinya, Nun terlambat. Biasanya, dia datang paling pagi. Bahkan, lebih pagi daripada cleaning service.
“W*’alaikumsalam, Teh Nun,” Seorang gadis muda membals salamnya. Gadis itu merupakan pegawai baru di tempat Nun kerja. Namanya Listia. Orang kantor memanggilnya Dede. Kenapa begitu? Entahlah. Mungkin namanya mengingatkan kepada penyanyi terkenal di TV yang kerap disapa ‘Dede’. Atau, malah karena sosoknya yang menjulang sehingga mengingatkan kepada seorang pelawak. Ya, Dede yang satu ini walaupun baru lulus SMA, badannya sudah setinggi 170cm. Namun, berat badannya hanya seperempat dari angka tinggi badan tersebut. Sosoknya persis Dede Sunandar versi perempuan.
“W*’alaikumsalam, The Nun.” Satu orang lagi menjawab salam Nun. Orangnya cuek. Namun, soal penampilan dia yang paling mencolok di antara seluruh penghuni kantor itu. Namanya Fauziah, tetapi semua pegawai, termasuk bos, memanggilnya Kak Pawpaw. Itu karena hobinya makan bakpao. Hanya saja setelah mengenal Nun setahun lalu, hobi makannya itu makin mencengangkan.
Kak Pawpaw ini memang terbilang pemakan segala. Bahkan, jika sedang kesal dengan klien, kertas berkas juga bisa dia kunyah. Namun, tetap saja, semua staf kantor geleng-geleng kepala ketika wanita berbadan bongsor itu mengombinasikan bakpao kesukaannya dengan ketoprak yang Nun bawa.
“Enggak tambahin cuka sama kerupuk udang dan mi instant sekalian?” celoteh Devan, asisten bos yang bicaranya suka asal jeplak. “Plus 62 memang tiada tara. Ckckck ....”
“Kenapa memang? Lu mau coba? Jangan modus minta gue suapin, ya!” ancam Kak Pawpaw. Dia tidak pernah segan kepada siapapun, kecuali kepada Pak Kafka, bos Biro Jodoh Pangkalan Hati yang terkenal berwajah dingin.
Begitulah percekcokan yang kerap terjadi antara dua preman kantor tempat Nun bekerja. Dia sudah biasa dengan keributan pasangan musuh bebuyutan Devan-Pawpaw itu. Toh, kepada Nun, keduanya bersikap baik, bahkan sangat manis. Seperti hari ini.
“The Nun, ketoprak aku mana? Lapar nih ... buruan!” seru Kak Pawpaw setelah menjawab salam Nun.
“Siap, Kak!” Nun merogoh keresek berisi beberapa bungkus ketoprak pesanan staf kantor. Lantas, membagikannya ke meja masing-masing.
Di kantor ini, kerja seserius apa pun, bisa dikerjakan sambil makan dan ngopi. Bagaimana tidak, tugas sehari-hari mereka hanya mantengin monitor komputer atau mengecek handphone. Selebihnya, mengatur jadwal pertemuan untuk wawancara klien, ta’aruf, gathering, rapat bersama pimpinan, dan lain-lain.
Banyak sih yang mereka kerjakan, namun sebagai sebuah start up, Biro Jodoh Pangkalan Hati memberi kebebasan kepada staf-nya untuk bekerja senyaman mungkin. Tidak heran, ketoprak yang datang kesiangan pun masih bisa beredar secara leluasa di dalam kantor.
“Satu lagi buat siapa tuh?” tanya Dede yang sudah kegeeran saat Nun kembali dengan sebungkus ketoprak yang masih utuh tanpa pemilik setelah beredar ke semua kubikel.
“Buat ....” Belum sempat menjawab, sebuah panggilan menyela.
“Nun, tolong ke ruangan saya sekarang juga!”
Itu suara Kafka, pemilik perusahaan sekaligus bos di kantor tempat Nun kerja. Suaranya berasal dari daun pintu ruang khusus yang ditempatinya di bagian pojok kantor.
Wajah Dede berubah tegang. “Teh Nun dipanggil Pak Kafka. Mau diapain tuh kira-kira?”
Dia tahu Kafka itu sosok yang walaupun berwibawa, tetapi dingin seperti salju Kutub Selatan, irit bicara, jarang senyum, dan tipikal bos yang gila kerja. Hobinya mengintrogasi karyawan.
“Teh Nun, semoga selamat enggak diapa-apain Pak Kafka,” doa Dede.
“Dikira Pak Kafka tukang jagal apa? Dede ... Dede ...!” kata Kak Pawpaw kepada juniornya yang polos itu.
“Saya permisi dulu deh, ya ...!” Nun bergegas.
“Iya, buruan sana, kalau Pak Kafka sampai kenapa-napa, kita semua nanti yang bakal jadi kenapa-napa.”
“Kenapa-kenapa gimana maksudnya, Kak?” tanya Dede dengan polosnya.
“Kita lihat aja entar, kenapa-kenapanya!” Tanpa pikir panjang, Kak Pawpaw langsung menyikat ketoprak miliknya.
***
“Kamu terlambat, ya, barusan?” tanya Kafka to the point. Dia tidak bicara dengan nada tajam, tetapi bagi Nun itu bagai tusukan pisau. Sakit sekaligus malu banget dimarahin atasan karena ketahuan kesiangan.
Nun menganggukan kepala sambil berucap maaf.
“Duduk!” perintah Kafka.
Nun menyeret kursi dan menempatkan posisinya ke depan meja sang CEO.
“Ketoprak saya mana!”
Hampir Nun kena serangan jantung menghadapi tatapan tajam bosnya. Ternyata Cuma nanyain pesanan ketoprak.
“Ini, Pak.” Nun menyodorkan pesannanya.
“Berapa?” tanya dia. Selama Nun kerja, baru kali ini dia pesan ketoprak. Maklum, Kafka juga baru tahu kalau Nun nyambi jualan ketoprak di kantornya. Terlebih, dia tahu ketoprak itu adalah dagangan bapak Nun sendiri.
“Tidak usah, Pak. Gratis aja buat Pak Kafka mah.”
“Enggak bisa begitu, dong.” Dia beneran mengeluarkan dompet dari saku celananya dong.
“Jangan, Pak!” Nun memberi isyarat dengan telapak tangannya. Kafka tidak jadi merogoh koceknya. “Nanti Nun rekap sebagai bon saja. Bayar pas gajian. Jadi Bapak bisa pesan ketoprak terus sampai akhir bulan.”
Kafka memamerkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi, bikin Nun silau seperti melihat matahari bersinar terik. “Jadi begitu, ya, S3 marketing kamu? Pantes aja banyak karyawan saya yang sakit perut. Tiap hari sarapannya ketoprak The Nun.”
“Kalau itu sih, risiko ditanggung pembeli, Pak,” sahut Nun agak rileks setelah dihadiahi senyum seindah mentari tadi. Sepertinya salju di hati Kafka bisa dicairkan oleh sebungkus ketoprak.
“Nah, kalau yang sekarang mau saya kasih ... ini risiko kamu!”
Nun yang sudah lega kini sesak lagi. Bos-nya yang satu ini memang suka bikin paru-paru karyawannya kembang kempis. Semacam oksigen mungkin dia, atau karbon dioksida malah. Tidak tahu lah Nun pun.
“Ada apa, Pak?” gadis itu memberanikan diri bertanya.
“Mas Haris semalam kecelakaan. Dia enggak mungkin nanganin klien yang besok mau dita’arufkan.” Prolog Kafka sudah bisa Nun baca epilognya. “Kamu yang ambil alih kliennya Mas Haris, ya!”
Awalnya Nun mematung, tetapi sesaat sebelum diminta keluar ruangan, dia sempatkan diri bertanya, “Kenapa saya, Pak? Saya kan masih baru jadi Mak Comlang di sini.”
Nun mau bilang, dia belum tahu apa-apa, terutama tentang klien Mas Haris. Mak Comlang yang lebih senior dari Kak Pawpaw itu kan khusus menangani klien VIP. Sedangkan Nun sendiri hanya mengurus remahan rengginang. Bagaimana bisa dia berurusan dengan klien VIP?
“Kalau bukan kamu, siapa lagi? Pawpaw full. Dede masih magang. Devan harus gantiin saya pegang IT. Saya? Saya harus ke luar kota sore ini. Ada urusan penting.”
Kepala Nun mendadak pening. Rasanya seperti jatuh tertimpa tangga. Dia menyeret langkahnya keluar dari ruangan Kafka dengan setengah nyawa.
“Kenapa-kenapa?” serbu Kak Pawpaw dan Dede yang penasaran luar biasa.
“Mas Haris kecelakaan.”
Kompak Dede dan Kak Pawpaw membuka mulut lebar-lebar, “Hah?”
“Nun disuruh ambil alih kliennya Mas Haris.”
“Hah?” lagi-lagi pasangan senior-junior itu kompak.
“Bang Devan ambil alih IT.”
“Hah?”
“Pak Kafka mau keluar kota.”
“Hah, eh ... hore deh!” sorak mereka sambil melirik ruangan Pak Kafka yang berdinding kaca, tetapi tertutup tirai dengan sempurna. Khawatir si Bos mengintip dari sana.
Nun mendelik. Bagi mereka dan sebagian staf lain, kepergian Kafka adalah hal yang menggembirakan. Tidak bagi Nun. Dia lebih suka Bos-nya masuk kantor sepanjang hari supaya dia setidaknya bisa melihat matahari, eh ... wajahnya yang menyilaukan hati. Lantas, apa yang akan membuat bunga-bunga di hatinya bersemi jika sang mentari tidak bersinar lagi?
“Sabar ya, Teh Nun ....” Dede mengelus lengan Nun yang sudah dianggapnya kakak sendiri itu.
“Nanti sore kita tengok Mas Haris, yuk! Siang ini aku agendaku full soalnya. The Nun mohon tahan senewenmu sampai dapat petunjuk, ok!” nasihat Kak Pawpaw. “Kalau perlu Psikiater, hubungi aja Mami Dedeh.”
Mami Dedeh, nama lengkapnya Dedeh Dahlan. Dia adalah konsultan psikologi di Biro Jodoh Pangkalan Hati. Dia tidak datang setiap hari, hanya di waktu-waktu tertentu ketika dibutuhkan klien atau Pak Kafka sendiri yang memanggil. Namun, dialah satu-satunya orang yang paling sigap menampung curhatan dan keluh-kesah para staf.
“Iya, Kak. Makasih,” sahut Nun sambil berjalan menuju ke kubikelnya.
“Senyum dong, The Nun. Dapat job baru nih, ye!” kalimat asal jeplak Devan makin membuat Nun kesal. Namun, bagaimanapun dia asisten Pak Kafka, Nun tidak boleh marah kepada dia. Itu bisa merusak citranya di depan atasan. Apalagi Devan ini termasuk pelanggan setia ketoprak The Nun.
Nun mengalihkan pandang kepada berkas-berkas di meja. Klien-nya sendiri belum ditangani dengan benar. Siang ini dia ada janji bertemu klien yang batal khitbah. Alamat Nun gagal dapat bonus ini mah.
“Sabar, Teh Nun.” Dalam kondisi begitu, kalimat Dede lah yang kerap terngiang di telinga dan ingatan Nun langsung sampai kepada tulisan di gerobak ketoprak bapaknya, ‘Ketoprak Pak Sabar.’
Nama bapaknya memang Pak Sabar. Jadi kalau Dede bilang, “Sabar ya, Teh Nun,” gadis itu justru merasa sedang diolok-olok teman SD-nya dahulu.
“Iya, sabar. Bapak sabar, Nun juga harus sabar!” Batinnya bergumam, “Mas Haris, klien VIP, Pak Kafka ... Ya Allah, mimpi apa Nur semalam tadi sih?”
***
Seorang pangeran tampan menyodorkan sebuah sepatu yang terbuat dari kaca. “Pakailah sepatu ini, wahai Tuan Putri!” kata sang Pangeran. Bak Cinderella, Nun menjulurkan kaki berbalut mojah dan legging dari balik gamis. Dipakainya sepatu kaca itu kemudian mematut diri. Ukurannya pas sekali. Namun, hak yang terlalu tinggi membuat tubuh gadis mungil berusia 24 tahun itu goyah. Dia terjatuh, kakinya terkilir dan sepatunya pecah bersama bunyi ‘prang’ di dapur. Ya, di dapur. Bukan di kamar mandi. Dalam mimpi pun dia yakin, suara prang itu berasal dari dapur rumahnya. Nun menajamkan telinga meski matanya masih terpejam. Tidak peduli sepatu kaca atau pangeran tampan, instingnya membuat dia mengerjap seketika, menyingkap selimut, menyabet jilbab, dan melompat dari tempat tidur. Setengah berlari dia menuju dapur. Masalahnya bunyi prang itu muncul bersamaan dengan bunyi gedebuk orang terjatuh. Nun yakin benar, rumahnya yang berukuran 6x6 meter itu tidak mungkin di
Nun berjalan di trotoar dengan tas ransel yang isinya menyaingi kantong doraemon. Bukan hanya berkas pekerjaan, segala macam alat bantu kehidupan dia jejalkan ke dalam situ. Ada charger hp, payung, peralatan makan-minum, saputangan, minyak angin, tisue, hingga permen mint. Hanya peta dan Boots saja yang tidak dia bawa karena Nun bukan Dora. Hari ini Nun harus bertemu klien di sebuah caffe. Agendanya nadzor untuk ta’aruf. Kafka sudah memberikan pengarahan kepada Nun sebelum dia pergi ke luar kota, sore kemarin. “Ini klien penting. Member VIP,” kata Kafka, “dia sudah lima kali gagal ta’aruf dalam lima bulan ini. Kamu tahu apa artinya, kan?” Nun merasa jantungnya kembang kempis karena mata bosnya menatap setajam itu ke arahnya. Meski hampir pingsan, dia masih bisa mengangguk dan mempertahankan kesadaran. Klien VIP adalah pemilik gold membership. Mereka membayar uang keanggotaan dalam jumlah besar untuk mendapatkan jodoh dalam waktu singkat, yakni tidak l
Persis seperti di foto, lelaki berambut cepak, berkulit putih dengan mata sipit, hidung mancung dan dagu runcing itu duduk bersandar di kursi sebuah caffe. Santai tanpa beban. Kemeja slimfit membungkus badannya yang atletis. Jas casual tersampir di kursi. Sementara gawai keluaran terbaru miliknya tergeletak begitu saja di atas meja bersama segelas minuman bersoda. Ketika Nun tiba, lelaki itu langsung mendongakkan kepala. “Kamu, yang mau ta’aruf dengan saya?” tanya dia, bahkan sebelum Nun bersuara. Intonasi dan tatapan lelaki itu seperti meremehkan dia. Nun cepat-cepat memberi isyarat penyangkalan, “Bukan ... bukan saya,” kata dia sambil memasang wajah seramah mungkin. Sedongkol apa pun hatinya saat itu, dia tetap harus memberikan pelayanan prima sebagai Mak Comblang elite dari pangkalanhati.com. Lelaki itu menjulurkan bibir bagian bawahnya, jelas mencibir. “Saya consultan relationship dari pangkalanhati.com. Saya menggantikan M
Kafka mengerem kendaraan secara spontan. Tubuhnya tertahan seatbelt sehingga dia tidak terjungkal ke depan kemudi. Itu terjadi begitu saja ketika Kafka mendengar salah satu pegawainya yang bernama Ainun Mardiyya berkata lewat sambungan telepon, “Nun salah menta’arufkan klien.” “Klien yang mana?” tanya Kafka setelah dia bisa mengatasi sport jantungnya barusan. “Klien VIP bernama Alif.” Kafka menghela napas berat. Ingin dia berkata kasar, tetapi dia juga sadar bahwa pegawainnya itu berhati lembut dan baperan. “Saya sedang dalam perjalanan pulang. Nanti kita bahas solusinya di kantor.” Demikian keputusan Kafka. *** Brak. Pintu kantor bak dihantam angin kencang, terbuka lebar-lebar didorong seseorang. Semua kru Biro Jodoh Pangkalan Hati yang hari itu mangkal di kantor sontak melempar pandang kepada tamu yang datang. Seorang pria jangkung berkulit putih masuk ke ruangan tanpa mengucap salam. Matanya menyimpan kobaran api yang menyal
“Tidaaak ....” kata itu yang ingin Nun teriakan, namun yang keluar malah sebuah anggukan pelan. Dia memang tipe orang yang tidak bisa menolak permintaan, apalagi yang disertai ancaman pemecatan. “Nun ...?” Kafka ternganga. Namun, kemudian dia bernapas lega, meski agak kecewa. Nun juga sama. Dia terpaksa mengangguk demi menyelamatkan reputasinya di depan Kafka. Dia juga cukup tahu diri untuk tidak membebani bosnya dengan masalah. Lewat anggukan kecilnya, Biro Jodoh Pangkalan Hati setidaknya bisa selamat dari musibah yang dapat ditimbulkan oleh klien menyebalkan bernama Alif itu. Lelaki berpenampilan necis itu benar-benar merasa jumawa. Dia bersedekap sambil mengamati ekspresi ‘calon istrinya’ yang ketakutan. “Kondisiin tuh muka! Jangan nakut-nakutin gitu! Serem amat kayak The Nun,” celotehnya. Nun mendelik sambil membatin, “Udah tahu serem, kenapa juga diajak ta’aruf? Dasar kelainan!” Alif melengkungkan senyum sinis. Di otaknya sudah te
Nun benar-benar heran dengan lelaki bernama Alif Sya’bani Abyansyah Khalifi alias Park Seo Joon kw itu. Sampai kembali ke rumah pun, Nun tetap tidak habis pikir. Dia bahkan jadi tidak bisa tidur karena memikirkan si Alif ini. Nun kira dia akan dibawa ke rumah atau ke sebuah tempat semacam caffe untuk bertemu sang Kakek. Ternyata, dia dibawa ke sebuah rumah sakit. Kakeknya Alif ternyata sedang menjalani perawatan intensif karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Nun berkenalan dengan kakeknya Alif di ruang rawat VVIP. “Saya Yasin Khalifi, kakeknya Alif,” kata lansia yang terbaring lemah di atas ranjang pasien itu. Suaranya tidak jelas karena sesak napas. Selang nasal canula terpasang di hidungnya. Meski terbaring di electrical hospital bed yang canggih di ruang rawat VVIP dengan fasilitas setara hotel berbintang, kakek Alif tampak tidak berdaya. Gerakannya dibatasi oleh selang infus dan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh. Dua orang ajuda
Sama seperti Nun yang tidak bisa tidur, Alif juga.“Apa ya, SnK-nya?” tanya Alif.Malam-malam buta dia menelepon Kafka. Terdorong rasa penasaran, gengsi pun disingkirkan.“Ka, lu tahu enggak SnK buat ngelamar The Nun?”Kafka mengucek matanya yang masih ngantuk akibat dibangunkan getar gawai di tengah malam.“SnK? The Nun?” CEO Biro Jodoh Pangkalan Hati itu bak orang linglung.“Iya. Dia ada ngabarin sesuatu enggak ke lu?”Di ujung telepon, Kafka beringsut duduk. “Kabar apa?” lelembutannya mulai kumpul.“Lah, kan gue nanya. Malah ditanya.”Kesadaran Kafka sempurna sudah demi mendengar ocehan tidak berguna dari mulut cucu mantan Bos-nya itu. “Lah, mana gue tahu? Lagian lu malam-malam ngebangunin gue cuma mau nanyain kabar Mak Comblang gue. Sengebet itu lu sama dia?”“Ko lu jadi sewot?” cecar Alif. Padahal jelas, dia sendir
“The Nun, selamat, ya!” Seru Kak Pawpaw sambil merentangkan tangan, menghampiri Nun yang sedang mengisi tumbler-nya dengan air minum di dispenser. Nun datang paling awal pagi itu. Buntut sulit tidur dan mimpi buruk, dia jadi nafsu makan. Sarapannya pagi itu ketoprak yang level kepedasannya bikin enggak sabar untuk menghabiskan galon air mineral. “Selamat apa, Kak?” tanya Nun dengan bibir jontor. Dia teguk air dalam tumbler. “Pokoknya selamat,” tandas Kak Pawpaw seraya memeluk Nun hingga rekannya itu keselek. “Kata Bang Devan, kamu ta’aruf sama klien VIP yang waktu itu ke sini, kan?” “Uhuk-uhuk ....” Nun terbatuk-batuk seperti kakeknya Alif kemarin. Untung saja air yang diteguknya sudah meluncur jatuh dari kerongkongan dan tidak kembali lagi ke rongga mulut. Nun tidak heran kenapa Bang Devan bisa tahu masalah ta’aruf itu. Devan kan satu-satunya tangan kanan Kafka, orang kepercayaan CEO Pangkalanhati.com. Pastilah Kafka curhat kepadanya jika ada
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.Pak Sa
Pasangan ini memang belum berani menceritakan soal pernikahan mereka, terutama kepada Pak Sabar. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu siapa pun hingga resepsi yang sudah dijadwalkan benar-benar digelar. Mereka juga tetap berkonsultasi dengan Kafka perihal langkah yang perlu dijalankan agar semuanya lancar dan baik-baik saja.“Kalian sudah menikah, sah secara agama,” kata Kafka, “Jadi, kalaupun nanti harus akad lagi, itu tidak masalah.”Nun yang ragu soal itu lantas, bertanya kepada Mami Dedeh yang kebetulan datang ke kantor pada suatu hari. Kata Mami Dedeh, memang benar hal itu diperbolehkan, selama rukun dan syarat sah nikahnya sempurna. Akad kedua tidak membatalkan akad yang pertama.Mami Dedeh mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.“Abu ‘Ashim bercerita sebagaimana diceritakan dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah,” kata Mamah Dedeh. ”Nabi bertanya kepada Salamah, ‘Ya, Salamah,
Sejak meninggalnya Pak Yasin, Alif tenggelam dalam kesedihan. Banyak hal yang harusnya dia urusi, mulai dari pekerjaan kantor hingga hak waris. Namun, itu semua dia abaikan. Nun bahkan tidak bisa menghubungi dia lagi. Sampai suatu ketika, sopir Alif datang ke kantor Biro Jodoh untuk menemuinya.“Mbak Bos, saya ke sini bukan mau cari jodoh, tapi minta tolong. Bujuk Bos Alif ... sudah tiga hari dia tidak mau makan dan tidak mau keluar kamar.”Lantas, Nun meminta ijin kepada Kafka untuk ikut bersama sopir Alif ke rumah sang Suami.“Enggak usah minta ijin lagi sama aku. Kamu kan berhak menemui dia kapan pun. Kalau dia enggak mau ketemu, bilang sama aku,” kata Kafka.Di rumah Alif yang bak istana pangeran dalam kisah Cinderella, Nun disambut hangat para pengurus yang disebut Alif sebagai keluarganya ketika lamaran dahulu. Laporan tentang Alif langsung Nun terima. Mereka tidak sungkan kepada Nun, begitu dia kepada mereka.Ditunjuk
Nun akhirnya pulang malam dijemput Kafka. Pak Yasin yang membukakan pintu sempat memelototi dia. Namun, tidak mengatakan sepatah kata pun pada akhirnya. Dia terlonjak dari tempat tidur saat mendengar ketukan pintu. Ketika menyambut Nun pulang, Pak Sabar seakan berjalan dalam mimpi. Bingung membedakan realita dan fatamorgana.Kafka juga langsung pulang karena merasa mengganggu dan tidak sopan jika berlama-lama di sana. Dia hanya mengantar Nun pulang sesuai permintaan Alif kepadanya. Baik dia maupun Nun tidak sempat mengutarakan soal kejadian hari itu kepada Pak Sabar.Parahnya lagi, begitu pagi tiba, Nun ditinggal bapaknya begitu saja. Orang tua itu biasanya pamitan dan titip pesan kepada dia jika akan berangkat untuk mangkal di depan gang. Namun, kali ini tidak.Di lapak ketoprak, dekat mulut gang Sabar, Nun baru bisa menyapa bapaknya setelah beberapa kali menguap karena masih ngantuk dan lelah. Kepalanya pusing karena kurang tidur. Perutnya juga mual karena dar
Begitu pintu kamar pasien yang ditempati Pak Yasin terbuka, Nun langsung menyadari apa yang menunggunya di depan mata.Pak Yasin tergolek lemah dengan belitan selang yang lebih banyak dari biasa. Bahkan, ditambah dengan elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik dan saturasi. Berbagai alat medis lain juga terpasang di dekat ranjangnya.Enam buah kursi tersusun rapi mengitari sebuah meja tidak jauh dari ranjang Pak Yasin. Alif duduk di salah satu kursi. Matanya sembab. Wajahnya pias. Rambutnya berantakan. Kemejanya kusut. Penampilannya tidak karuan. Dia jelas tidak tidur semalaman bahkan melewatkan mandi pagi.Di hadapannya, duduk seorang bapak-bapak bersetelan rapi mengenakan kopiah. Di sisi meja yang lainnya asisten dan sopir Alif duduk berdampingan dengan wajah gusar. Di sekeliling mereka penjaga, perawat dan dokter berdiri memantau situasi.Nun yang baru masuk langsung diminta duduk di sebelah Alif yang terus menunduk.Kafka menghampiri dan
Nun fokus menatap layar monitor. Beberapa chat masuk. Seperti biasa dia jawab satu-persatu dari urutan terbawah. Ada yang menanyakan soal Biro jodoh; ada chat klien yang mendesak segera diinformasikan soal hasil pencocokan; ada yang mau upgrade membership dari premium ke VIP; ada juga yang mengabarkan tanggal pernikahan; dan ada yang mengirimkan foto desain gaun pengantin.Mata Nun langsung terbelalak pada pesan yang terakhir.[Pilih yang mana?]Jantung Nun sempat kebat-kebit. Namun dilihatnya lagi pengirim pesan tersebut, Kafka. Bukan Alif.Ada beberapa desain pakaian pengantin yang dia kirimkan –gamis, kebaya, hingga gaun yang bagi Nun terlalu ‘wah’. Lama sekali Nun tercenung hingga tidak membalas pesan itu meski sudah dibaca.[Dari Alif. Dia minta kamu pilih model baju pengantin]Nun mengerjapkan matanya, lalu membalas pesan itu dengan cepat, secepat dirinya melayani keluhan klien.[Terserah Kakak][Kamu ya