Home / Romansa / Bintang untuk Angkasa / 1. Makanya Jangan Macam-macam

Share

Bintang untuk Angkasa
Bintang untuk Angkasa
Author: Septi Nofia Sari

1. Makanya Jangan Macam-macam

last update Last Updated: 2020-11-08 07:50:51
"Tuhan, bolehkah aku menjadi pengemis, kali ini? Bisakah aku kembali bersikap egois, detik ini? Tolong aku. Kembalikan dia ke dalam jangkauanku.  Aku ingin lebih lama menatap mata indahnya, senyum cantiknya, dan ketegarannya. Karena aku hanyalah sebuah kekosongan dan kegelapan, tanpa cahayanya."

—Angkasa Yudhistira—

"Saat jasad ini tak lagi bisa mereka jangkau, aku ingin menjelma jadi bintang paling terang di angkasa yang gelap. Biarkan mereka bisa memandangku ketika malam mulai menyapa. Aku akan hidup di langit mereka. Selamanya."

—Bintang Aurora—

*

"Bi, besok pas pertandingan basket di lapangan bawah lo harus ikut gue nonton."

Aku menghentikan langkahku dan menatap Intan sejenak. "Ogah." 

"Ih kenapa?" Intan berjalan cepat menyusulku yang sudah beberapa anak tangga di bawahnya. Aku mengangkat bahu. "Nggak percaya gue kalo lo nggak tertarik. Biasanya juga nemenin si Galang kalo dia lagi latihan di taman kompleks."

Aku menghentikan langkahku mendengar Intan menyebut nama Galang. Menghela napas sambil mengeratkan genggaman kedua tanganku pada tali tas, dan berusaha memasang ekspresi normal. Kemudian melanjutkan langkah lagi.

"Si Galang masih jauhin lo, ya?" 

Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Intan memang sudah tahu perihal Galang, karena Galang dan Intan juga berteman sejak SMP. Tapi tidak tentang perasaanku pada Galang yang melebihi rasa teman.

"Gue bener-bener nggak habis pikir sama si Nina. Dia harusnya nggak punya hak buat larang-larang Galang temenan sama siapa aja."

"Nina kan pacarnya." Entah kenapa ada rasa sakit saat aku mengatakan itu.

"Baru pacar kan? Belum istri."

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Sebenarnya aku tidak ingin membicarakan Galang dan Nina saat ini. Menyadari cowok itu mencintai gadis lain membuat hatiku nyeri. Apalagi sebulan ini, saat mendapati sikapnya hanya gara-gara permintaan pacarnya itu. Menyebalkan. Aku benar-benar tidak habis pikir. Kami sama-sama tumbuh dewasa sejak umur lima tahun, tapi dia dengan mudahnya menjauh dariku demi seseorang yang baru dikenal. Sepuluh bulan tidak bisa dibandingkan dengan dua belas tahun yang kami lalui bersama, kan? Harusnya begitu. Tapi entah apa yang ada di kepala cowok itu. Cukup tahu saja!

"Mending lo ikut nonton deh. Sekalian biar bisa liat Galang gitu. Dia kan juga anggota tim basket lawan."

Aku menoleh. Intan juga tengah menatapku dengan tatapan membujuk. Aku menunduk, memandangi flatshoes hitam yang kupakai. Benar juga kata Intan, aku bisa melihat Galang, atau kalau beruntung bisa mengobrol sedikit dengannya. Apalagi aku memang sudah merindukannya. Iya, dengan berat hati kuakui itu. 

Baru saja aku ingin membuka mulut, Intan sudah menggoyang-goyangkan lenganku sambil berjingkrak-jingkrak tidak jelas. "Apa sih?!"

"Itu lihat."

Aku mengikuti arah telunjuk Intan. Para anggota tim basket sedang berlatih, seperti biasa. Lalu apa istimewanya? Keningku berkerut. "Kenapa sama mereka?" 

Saat ini kami berdua sudah sampai di koridor pinggir lapangan basket, sehingga wajah-wajah anggota tim basket kelihatan dengan jelas.

"Bukan mereka tapi dia, Bi." 

"Maksudnya?" Aku benar-benar masih tidak mengerti maksud Intan.

Intan memutar bola matanya padaku membuat keningku semakin berkerut. "Lo belum pernah liat muka Kak Angkasa, kan?"

Aku mengangguk, tidak paham. Yeah, Angkasa adalah nama yang belakangan ini disebut-sebut Intan dalam setiap obrolan kami. Siswa yang tiga bulan ini pindah dari SMA Bina Nusantara—yang merupakan tetangga sekolah kami. Cowok yang katanya keren, tampan, tinggi, dan langsung masuk tim basket di sekolah ini. Juga ramah dan murah senyum, hingga Intan dan kebanyakan siswi di angkatan kami mulai mengidolakannya. 

Aku heran. Bagaimana bisa mereka sebegitu mengidolakan siswa yang sekarang jadi senior kami itu. Apa istimewanya sih cowok bernama Angkasa itu sampai dipuja-puja begitu? Tapi untungnya seorang Bintang Aurora tidak termasuk dalam jajaran siswi aneh itu. Novel jauh lebih menarik daripada memuja orang yang nyatanya tidak bisa digapai. Iya, kan?

"Nah itu loh yang namanya Kak Angkasa. Keren banget kan, dia?"

Aku mengikuti arah telunjuk Intan lagi. Mataku menyipit. Cowok itu? Masa, sih?

"Udah liat belum? Keren, kan?"

"Maksud lo yang lagi minum itu kan? Jadi idola kalian tuh, Kak Bisma?" Aku lebih setuju kalau tokoh idola Intan adalah pacar Kak Viny, kakak tiriku.

Tapi Intan malah berdecak kesal. "Ih bukan Kak Bisma, Bi. Itu loh yang lagi masukin bola."

Mataku membulat seketika. Yang sedang memasukkan bola kan si iris tinta spidol. Jadi Angkasa itu orang yang sama dengan cowok kemarin pagi itu?

"Kak Angkasa keren banget kan, Bi? Bisa masuk sekali lemparan gitu bolanya."

Ucapan takjub Intan terdengar samar-samar di telingaku. Aku masih mengontrol keterkejutanku ini.

"Hei malah bengong. Tuh, kan liatin terus? Naksir kan, lo? Sok-sokan nggak tertarik segala. Tau-taunya lihat pertama kali terpesona gitu aja."

Cibiran Intan barusan menyadarkanku kalau sedari tadi aku memandangi lekat-lekat cowok menyebalkan yang ternyata bernama Angkasa itu. Langsung saja kualihkan pandanganku ke arah lain dan melanjutkan langkahku kembali. Aku berjalan di sisi kiri sekitar lima puluh sentimeter daei tembok koridor sedangkan Intan berjalan di samping kananku.

"Bi, tunggu!"

Intan menyejajarkan langkahnya denganku. "Lo juga suka kan sama Kak Angkasa? Ngeliatinnya aja sampai segitunya. Ngaku lo." 

"Gue lagi mikir aja." 

"Mikir apaan?"

"Idola kalian itu bener-bener cowok itu? Nggak salah orang?"

"Pertanyaan lo aneh."

"Maksud gue, apa sih yang spesial dari dia yang bikin kalian suka?"

"Masak lo nggak ngerti. Lo liat sendiri kan? Kak Angkasa tuh tinggi, keren, murah senyum–"

"Salah orang kali lo." 

"Mana mungkin gue salah tunjuk idola gue sendiri? Emang lo beneran nggak tertarik sama kak Angkasa?"

"Ya enggak lah!" 

"Aneh lo, Bi."

"Kalian yang aneh. Masak cowok kayak gitu diidolain sih? Mending Kak Bisma kemana-mana."

"Ya sama aja kali. Kak Bisma kan kembaran Kak Angkasa."

"Apa?!"

Intan menabok lenganku pelan. "Biasa aja kali reaksinya."

"Dia kembaran Kak Bisma? Kok beda banget ya?"

"Ya iyalah, kan mereka kembar nggak identik."

"Maksud gue kelakuannya." 

Sungguh aku tidak menyangka kalau kembaran Kak Bisma adalah cowok mengesalkan itu. Memang sih Kak Viny pernah bercerita kalau Kak Bisma punya kembaran yang tidak identik. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kembarannya itu adalah dia!

"Beda banget gimana? Orang mereka sama-sama ramah dan murah senyum kok."

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku heran. "Cowok kayak gitu lo bilang ramah?" 

"Bisa jelasin apa maksud kalimat 'cowok kayak gitu'?"

Aku dan Intan menoleh bersamaan ke arah suara yang bertanya barusan. Cowok yang kami bicarakan sekarang entah bagaimana bisa, sekarang sudah berdiri tepat di depan kami, menghalangi jalan tepat saat kami hampir sampai di ujung koridor. Cowok yang sekarang sedang melipat kedua tangannya di depan dada itu adalah si iris tinta spidol, atau Angkasa. Dan biar lebih mudah mulai sekarang aku memanggilnya 'Angkasa' bukan 'si iris tinta spidol' lagi. Yeah, meskipun aku sedikit tidak rela menyebut namanya.

"Cowok kayak gitu gimana maksud lo?" ulangnya dengan nada tajam, tak lupa tatapan mengintimidasi miliknya itu. Hanya ke arahku.

Tanpa sadar aku menelan ludah. Kulirik Intan sekilas. Lihatlah ekspresi terpesonanya itu, membuat aku tambah sebal. Dasar Intan!

Perlahan aku menggenggam pergelangan tangan kiri Intan dan menariknya melewati Angkasa melalui celah antara tubuhnya dengan dinding sehingga bahuku menempel di dinding koridor. Namun tanpa diduga, gerakan tangan Angkasa lebih cepat dari gerakanku. Hampir saja hidungku menabrak lengannya yang Angkasa rentangkan hingga telapak tangan kanannya menempel di dinding.

"Bi." Intan berbisik. 

Aku berdecak kesal dan semakin mengeratkan genggaman tangan kananku pada pergelangan tangan kiri Intan.

"Bisa lo tinggal temen lo sama gue?" 

Aku mengernyit mendengar pertanyaannya yang dibuat selembut mungkin. Kuikuti arah pandang dari bola mata berwarna hitam sehitam tinta spidol itu, dan ternyata sedang menatap Intan. Dapat kudengar Intan menelan ludah ditatap seperti itu oleh idolanya, bahkan cowok ini melempar senyum yang dibuat semanis mungkin membuatku jijik.

"Tapi...." ucap Intan sambil menoleh padaku.

Aku mendelik pada Intan, mengisyaratkan agar tidak menuruti permintaan Angkasa.

"Tenang temen lo nggak bakal lecet kok sama gue. Gue janji."

Dasar gila!

Aku menoleh pada Intan, menggenggam erat pergelangan tangannya sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Intan meringis pelan, antara kesakitan karena genggaman tanganku yang terlalu erat atau bingung harus melakukan apa. Tiba-tiba tangan kanan Intan bergerak melepaskan genggaman tanganku. Aku semakin mengeratkan genggaman tanganku, tapi Intan berhasil melepaskannya.

"Maaf." Intan berucap tanpa suara dan langsung lari secepat kilat saat aku ingin menarik tangannya lagi. Dasar Intan teman pengkhianat. Awas saja anak itu besok!

Aku mendesis pelan, menatap punggung Intan yang sudah sampai pintu gerbang. Kupejamkan mataku dua detik, memikirkan ide agar bisa lari dari cowok gila ini. Sebuah ide langsung muncul, aku bergerak pelan memutar tubuhku untuk melarikan diri dari sisi yang lain. Tapi apa yang terjadi? Gerakannya lagi-lagi lebih cepat dari gerakan tubuhku, dan dengan cepat dia langsung menempelkan telapak tangan kirinya pada dinding. Sehingga posisiku sekarang diapit kedua telapak tangannya yang menempel di sisi kanan dan kiri tubuhku sedangkan punggungku sudah menabrak dinding.

Perlahan aku mendongak. Dan tatapanku langsung bersibobrok dengan tatapan mengintimidasi miliknya yang entah sejak kapan dia menatapku. Kepalanya menunduk karena puncak kepalaku hanya setinggi bahunya.

"Jawab pertanyaan gue tadi."

"Per-pertan-nyaan ap-apa?" Sial. Kenapa aku gugup, coba?

Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Membentuk senyum sinis. "Lo nggak mau jawab?"

Hei, dia itu kenapa sih? Kenapa dia semakin menunduk dan mendekatkan wajahnya ke wajahku? Oh, siapapun tolong aku! Aku terjebak!

"Lo lo ma--mau ap-pa?" tanyaku mulai panik.

Dia tidak menjawab pertanyaan ku dan melanjutkan aksinya mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sekarang jarak wajah kami hanya tidak lebih dari lima sentimeter saja. Jantungku mulai beralih fungsi menjadi tim marching band dan entah kenapa kerja organ pernapasanku mulai melemah merasakan deru napasnya yang menyapu wajahku. Aroma kayu-kayuan bercampur mint menyeruak di rongga hidungku. Siapapun selamatkan aku!

"Sekarang gue tunjukin ke elo cowok kayak apa gue," bisiknya, semakin mempertipis jarak wajah kami dengan memiringkan kepalanya ke arahku.

Aku memejamkan mata dan meremas kedua tepian rok abu-abu yang kupakai. Oke, sepertinya tidak ada pilihan lain selain menyelamatkan diri sendiri. Karena itu, dengan segenap tenaga kuayunkan satu kaki sebelum dia melakukan hal entah apa yang mungkin nanti akan merugikanku. Dan...

"ARGH ANJ*R SH*T!" 

Kubuka mata. Tersenyum puas melihat dia kesakitan memegang tulang kering, setelah mengumpat keras. Yup, aku menendangnya dengan sekuat tenaga. Mungkin tidak terlalu berefek kalau dia siap. Tapi kalau tidak ... oh dude, itu tetap sakit.

"Makanya jangan macam-macam sama gue!" ejekku, sebelum melenggang angkuh meninggalkannya.

Saat sampai pintu gerbang tanpa sadar aku menoleh ke belakang. Cowok itu masih menatapku lekat dan tajam. Aku membalasnya tak kalah tajam sambil mengacungkan jempol ke bawah. Dia mendelik. Aku menjulurkan lidah sebelum cepat-cepat pergi dari sana.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
lanjut duluuu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bintang untuk Angkasa    2. Awal Mula

    Ada alasan kenapa aku begitu kesal dan tidak suka pada cowok itu. Memang belum bisa dibilang benci sih, soalnya aku bertemu dia juga cuma baru sekali–sebelum di koridor kemarin.Waktu itu, aku turun dari bus dan berjalan kaki seperti biasa dari halte menuju gedung sekolah. Aku sudah terbiasa datang paling pagi, karena itu aku tidak terlalu kaget melewati jalan yang biasanya setelah bel pulang berbunyi selalu ramai oleh kendaraan maupun pejalan kaki, namun masih sangat sepi sebelum pukul tujuh kurang lima belas menit. Bel masuk berbunyi pada pukul tujuh tepat karena itu mayoritas siswa dan guru sampai di sekolah

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    3. Kenalan

    Setelah ulangan sejarah yang membahas tentang masa lalu, dilanjutkan dengan dua puluh lima soal latihan matematika yang rumitnya minta ampun, benar-benar membuat otak terasa berasap."Kantin yuk, Bi."Aku mengacungkan jempol kemudian menumpuk buku-buku yang di atas meja dan kumasukkan ke dalam tas punggung. Memang seringnya aku malas ke kantin

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    4. Paksaan

    Tepuk tangan serta sorak-sorai penonton yang menyaksikan pertandingan bola basket di lapangan sekolahku semakin terdengar keras saat tim sekolah kami mencetak angka. Ya, akhirnya aku menuruti permintaan Intan untuk ikut menyaksikan pertandingan itu. Selama jalannya pertandingan, sebenarnya pandanganku tidak terfokus pada pertandingan itu sendiri. Tapi justru pada cowok tinggi dengan kulit agak gelap yang juga ikut bertanding, tepatnya dari tim lawan sekolah kami.Galang Pradipta. Setiap gerak-geriknya tak kulewatkan sedikitpun. Postur tubuhnya, cara berjalannya, caranya menggiring bola, aku rindu semuanya yang ada pada dirinya. Sebulan

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    5. Buku

    "Bintang, boleh minta tolong nggak?"Aku yang baru mendudukkan diri di kursi langsung menoleh pada Deni, si ketua kelas yang barusan bicara padaku. "Apa?""Lo kan hari ini tugas piket, tolong ambilin buku paket bahasa Indonesia sama buku tugas anak-anak di meja Bu Ani, ya? Bisa kan?"

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    6. I Want You

    "Butuh obat?"Aku menoleh pada Mbak Erin, perawat di UKS yang baru saja meletakkan segelas air putih di atas nakas. "Enggak usah, Mbak. Cuma kecapekan aja kok. Tiduran bentar pasti udah baikan.""Ya udah, kamu istirahat aja. Saya tinggal dulu ya."

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    7. In Your Dream

    Dengan wajah lesu dan kepala menunduk, aku melangkah keluar dari toko buku. Menghampiri Angkasa yang tengah terduduk santai di jok motornya yang terparkir di parkiran depan toko itu, sambil memainkan ponselnya. Saat aku sudah berada di depannya, dia menyimpan kembali ponsel berwarna putih itu ke dalam saku jaketnya dan mengangkat wajahnya ke arahku.Sebelah alisnya terangkat, seolah bertanya: "gimana?"

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    8. Labrakan

    "Duh Tan, gimana dong?""Ya udahlah lo bilang aja apa adanya, kalo lo udah nyari kemana-mana tapi udah nggak ada yang jual."Aku dan Intan masih berdiri khawatir di depan ruang guru. Tadi saat pergantian jam pelajaran ketiga, Deni memberitahu bahwa aku disuruh menghadap Bu Ani saat jam istirahat kedua. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menyerahkan buku paket se

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    9. Feel Alone

    Langit di luar tampak mendung. Sebentar lagi kurasa hujan akan turun. Aku menghela napas, mengalihkan pandangan dari langit di luar jendela ke novel yang kuletakkan di atas meja.Ngomong-ngomong, ini sudah hampir seminggu sejak kejadian labrakan itu. Sehari dua hari setelah kejadian memalukan di kantin itu, telingaku harus panas setiap hari oleh kasak-kusuk yang membicarakan hal itu. Banyak yang memandangiku dengan sinis, terutama geng Anggi. Bintang yang tidak terlalu dikenal di sekolah ini mendadak jadi bahan pembicaraan karena dilabrak oleh geng Anggi yang terkenal itu. Tapi aku hanya menanggapinya deng

    Last Updated : 2020-11-08

Latest chapter

  • Bintang untuk Angkasa    50. Married

    "Kamu gugup, Dek?"Aku menoleh dan tersenyum kaku pada Kak Salma yang sedari tadi menemaniku di kamar. Kak Salma tersenyum, kemudian mengusap punggung tanganku untuk memberiku ketenangan. Di luar, acara akad nikah akan segera dimulai. Ya, ini sudah seminggu sejak kejutan ulang tahun itu, dan artinya sekarang adalah hari pernikahan kami."Kamu tahu, Dek? Kakak juga ngerasain gugup yang sama seolah ini adalah acara nikahannya adek kandung Kakak sendiri." Kak Salma kembali berbicara.Aku menatap wajah Kak Salma yang berkaca-kaca, "Kak Salma kangen sama Kak Sania?"Kak Salma tersenyum dan mengusap pipiku, "Tentu saja kangen. Tapi Kakak selalu punya obat buat ngobatin kangen Kakak itu. Dengan liat kamu."Kak Salma terkekeh pelan, "Kakak bener-bener bisa nemuin Sania pada diri kamu, Dek. Kalian itu bener-bener punya sifat yang mirip, dan itu bikin Kakak bahagia karena bisa melihat Sania lagi lewat kamu."Aku mengerutkan kening menatap Kak Salma. Apa

  • Bintang untuk Angkasa    49. Proposed

    Aku mengerjap-ngerjapkan mata, saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Sambil menggeliatkan tubuh pelan dan masih berusaha mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi, aku mendesah. Suara ketukan itu terdengar lagi, dan kini makin keras. Aku mendecakkan lidah pelan, benar-benar merasa kesal karena tidurku terganggu. Aku makin berdecak kesal saat mataku melirik ke arah jam weker berbentuk kepala Pororo yang menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Ketukan itu kembali terdengar seperti gedoran."Iya, bentar!" ucapku setengah berteriak, dengan suara serak khas bangun tidur. Tidak ada jawaban. Aku mengerucutkan bibir, mengucek mata sambil beringsut turun dari ranjang."Siapa sih bangunin orang malem-malem gini?" gerutuku sambil mengikat rambutku yang berantakan dengan ikatan cepol asal-asalan.Sejenak kemudian aku sudah membuka pintu kamar, dan keningku sontak berkerut saat tak menemukan siapa-siapa di depan pintu kamar."Siapa?" tan

  • Bintang untuk Angkasa    48. Today, Tomorrow and Forever

    Takdir. Satu kata yang sangat rumit untuk dipecahkan. Satu kata yang sering dikutuk dan dipersalahkan atas apa yang dialami makhluk bernama manusia. Satu kata penuh misteri yang tidak dapat diprediksi oleh ilmuwan terpintar sekali pun. Satu kata yang hanya menjadi rahasia-Nya dan tidak akan pernah bisa diganggu gugat oleh manusia. Tentang sebuah takdir. Tak ada yang bisa manusia tebak dari jalannya sebuah takdir. Entah itu untuk dua tahun kemudian, setahun kemudian, sebulan kemudian atau bahkan sedetik kemudian. Manusia tidak akan mampu memprediksi takdir apa yang akan terjadi padanya. Bahkan sesuatu paling nyata dan bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya, bisa saja berubah keadaan menjadi sebuah hal yang di luar nalar, jika Dia sudah berkehendak. Hanya Dia Yang Maha membolak-balikkan takdir, dan manusia harus bisa menerima semua yang telah tertulis dalam lauhful mahfudz-Nya.Itu pula yang kini dijalani seorang Angkasa Yudhistira, menerima dan menjalani dengan tega

  • Bintang untuk Angkasa    47. Sad Song

    Without you, I feel brokeLike I'm half of a wholeWithout you, I've got no hand to holdWithout you, I feel tornLike a sail in a stormWithout you, I'm just a sad songI'm just a sad song(Sad Song – We The Kings)"Kak Angkasa!"Angkasa mengerjap-ngerjapkan mata saat suara lembut itu menyapu telinganya. Sangat dekat. Dan terdengar nyata. Laki-laki itu membuka mata sedetik kemudian, dan ia tertegun melihat tempatnya berada sekarang. Atap aula sekolah."Bintang?" Angkasa berkata lirih, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Di depan sana, tepatnya di pagar pembatas atap, seorang gadis yang berdiri memunggunginya. Gadis itu memakai dress selutut berwarna putih tulang, dengan flatshoes yang juga berwarna putih terpasang di kaki jenjangnya. Rambut sepunggungnya yang tergerai indah, bergoyang-goyang tertiup angin yang berembus lembut. Di pergelangan tangan kirinya, Angkasa dapat melihat gelang pasangan yang selalu gadis

  • Bintang untuk Angkasa    46. In The First Sigh

    Sama seperti hari-hari sebelumnya, Angkasa duduk di samping bangkar dengan tatapan terpaku pada seorang gadis remaja yang terbaring lemah di atas bangkar. Ini kedua kalinya ia menyaksikan tubuh itu dipasangi banyak belalai yang terhubung pada sebuah monitor yang terus berbunyi, untuk mendeteksi bahwa masih ada kehidupan pada tubuh itu. Hati Angkasa terasa sakit, perih ulu hatinya. Jika saat ini gadis yang amat dicintainya itu tengah mengalami keadaan koma, maka Angkasa juga sama. Ia juga sedang koma, tapi hatinya bukan tubuhnya. Kenangan-kenangan itu kembali berputar di benaknya, mengulang kembali awal-awal perkenalannya dengan gadis itu, Bintang Aurora. Perlahan, Angkasa mulai bercerita ...."Ini perpus sekolah kita." Romi menunjuk ruangan di sebelah mereka dan ditanggapi Angkasa dengan anggukan kepala dua kali. "Emang sepi, sih. Dimana-mana yang namanya perpus kan cuma buat tempat nongkrong murid-murid cupu." Romi tertawa kecil. "Sayangnya di sekolah ini yang cupu cuma dikit

  • Bintang untuk Angkasa    45. Akan Tetap Bersinar

    Kirana Candrawati. Bagi seorang Danu Wijaya, nama itu adalah nama paling indah sejagad raya. Nama yang memiliki arti terpenting dalam hidupnya, yang mengajarkannya betapa hidup itu harus disyukuri. Nama yang sampai saat ini tetap menjadi penghuni ruang penting dalam hatinya. Hingga saat nama itu benar-benar hanya tinggal nama, dan ia tak bisa melihat lagi pemilik nama itu sendiri, pria itu merasa hancur. Hidupnya seolah ikut dibawa pergi oleh perempuan pemilik nama indah itu. Danu tidak punya tujuan hidup lagi, bahkan untuk sekedar memandang bayi mungil yang kelahirannya sekaligus merupakan kehancuran hidupnya, karena ibu dari bayi itu meninggalkannya dari dunia.Bayi mungil itu, yang orang bilang saat lahir sama sekali tidak berdosa, suci dan polos, telah merenggut nyawa Kirana, istri tercintanya. Sejak kelahiran bayi itu, sekaligus kematian Kirana, Danu benar-benar tidak bisa menjalani hidup dengan baik. Satu-satunya wajah yang sangat tidak ingin dia lihat adalah wajah b

  • Bintang untuk Angkasa    44. Lampion Harapan

    Hubunganku dengan Angkasa kembali membaik sejak sore itu. Dia juga sudah menceritakan semuanya—walaupun dalam versi singkat—tentang bagaimana dulu dia patah hati karena Kak Viny ternyata lebih memilih Kak Bisma. Dan itu membuatku lagi-lagi merasa bersalah karena membuat Kak Viny pulang bersama Kak Bisma di saat Angkasa ingin mengutarakan perasaannya. Namun Angkasa menenangkanku dengan mengatakan hal yang membuatku merasa istimewa."Gue ceritain ini bukan karena pengen buat lo ngerasa bersalah. Lagian gue bisa ambil pelajaran dari ini, yaitu sesuatu yang gue pengen banget nggak selamanya bisa gue dapatkan. Dan mungkin itu emang cara Tuhan mengajari gue cara bersabar nunggu cinta yang emang benar-benar sejati buat gue. Dan gue nggak nyangka ternyata cewek yang secara nggak langsung bikin gue gagal nyatain cinta pertama gue, ternyata adalah cinta sejati gue."Mungkin menurut kalian ucapannya itu biasa saja, tapi bagiku itu istimewa dan manis. Entahlah aku juga tidak tahu pe

  • Bintang untuk Angkasa    43. Let Me Stay

    "Bi." Suara Kak Andro masuk ke telinga begitu aku mengerjap-ngerjapkan mata.Aku mengerutkan kening, bukankah Kak Andro sedang di Bandung? Sedikit mendesis, aku membuka mataku. Kepalaku rasanya sangat pusing seperti dihantam palu. Begitu cahaya blur yang tadi memenuhi pandanganku memudar, aku bisa melihat dengan jelas wajah Kak Andro yang sedang menatapku."Kak Andro?" Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa perih. Seingatku, semalam aku minum air cukup banyak tapi kenapa rasanya seperti tenggorokanku tidak tersentuh air selama berhari-hari?Kak Andro duduk di kursi samping bangkar sambil terus menatapku. Aku benar-benar bingung kenapa Kak Andro bisa ada di sini, padahal semalam saja dia masih chating denganku dan dia mengatakan sedang berkumpul bersama teman-temannya. Lalu kenapa bisa ada di rumah sakit?"K-Kak Andro kapan pulang?" Ah, kenapa suaraku lirih dan serak begini? Sebenarnya apa yang terjadi padaku?Aku berniat bangun, namun rasa pusing dan n

  • Bintang untuk Angkasa    42. Cahaya Yang Mulai Redup

    "Bi, I'm coming!"Aku meringis pelan saat melihat Intan yang membuka pintu sambil membawa kantong plastik, berteriak melengking. Di belakangnya, ada Nina dan Galang yang melambaikan tangan ke arahku.Aku membalas lambaian tangan mereka, "Akhirnya kalian datang juga."Intan langsung duduk di kursi sebelah kiri ranjang tempatku terbaring, sementara Nina dan Galang duduk di kursi sebelah kanan. Intan meletakkan kantong plastik itu di atas nakas,"Gue tau lo lebih tertarik sama novel dari pada buah, makanya gue sengaja beliin novel Asma Nadia yang terbaru," ucap Intan.Aku terkekeh, "Lo emang sahabat yang pengertian, deh.""Eits, jangan salah! Gue juga ikut patungan beli novel best seller itu. Jadi gue juga harus dapat pujian itu juga," sahut Galang."Lebay banget sih kamu!" sahut Nina sambil memukul pelan bahu Galang. Kami bertiga tertawa."Lo dari tadi sendirian, Bi?" Galang bertanya sambil mengambil sebutir jeruk yang pagi tadi Bu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status