Share

4. Paksaan

last update Last Updated: 2020-11-08 07:55:19
Tepuk tangan serta sorak-sorai penonton yang menyaksikan pertandingan bola basket di lapangan sekolahku semakin terdengar keras saat tim sekolah kami mencetak angka. Ya, akhirnya aku menuruti permintaan Intan untuk ikut menyaksikan pertandingan itu. Selama jalannya pertandingan, sebenarnya pandanganku tidak terfokus pada pertandingan itu sendiri. Tapi justru pada cowok tinggi dengan kulit agak gelap yang juga ikut bertanding, tepatnya dari tim lawan sekolah kami.

Galang Pradipta. Setiap gerak-geriknya tak kulewatkan sedikitpun. Postur tubuhnya, cara berjalannya, caranya menggiring bola, aku rindu semuanya yang ada pada dirinya. Sebulan lebih tidak bertemu, bahkan tidak saling mengobrol dengan lewat pesan sekali pun membuat kerinduan ini membuncah.

Aku merindukannya sebagai teman dekat yang kupunya sejak kecil. Aku merindukannya sebagai kakak laki-laki yang kupunya dan selalu menemaniku saat Kak Andro yang seharusnya memberikan perhatian layaknya seorang kakak malah menganggapku tak ada. Dan jika dibolehkan, aku juga merindukannya sebagai seorang yang menginjakkan kaki pertama kali di ruang khusus dalam hatiku, ruang bernama cinta.

"Nggak rugi kan lo nurutin saran gue?"

Aku menoleh ke sebelah kanan tepatnya pada Intan yang barusan berbicara padaku. Hanya menanggapinya dengan tersenyum kemudian mengalihkan pandangan lagi ke tengah lapangan. Namun bukannya sosok Galang yang tertangkap mataku, tapi malah Angkasa cowok gila yang saat ini tengah menggiring bola ke arah ring lawan. Ini yang membuatku sedikit keberatan. Demi bisa melihat Galang, mau tak mau aku harus melihat wajah Angkasa juga. Wajah yang sudah hampir seminggu ini aku berusaha sekeras mungkin agar tidak melihatnya.

"SEMANGAT ANGKASA!"

Sontak kututup kedua telinga dengan telapak tangan mendengar teriakan melengking dari beberapa siswi tepat di sebelah kiri aku dan Intan. Mereka adalah seniorku, satu tingkat dengan Angkasa. Kudengar mereka membuat sebuah geng yang beranggotakan lima orang siswa perempuan dan diketuai oleh Anggi Saputri, cewek dengan penampilan paling menonjol dalam geng itu.

"Biasa aja kali. Nggak pake teriak-teriak bisa, kan? Dasar lebay."

Mau tak mau aku terkekeh geli mendengar bisikan Intan yang membicarakan geng yang beranggotakan senior semua itu. Tiga puluh menit kemudian, pertandingan berakhir dan dimenangkan oleh tim sekolah kami. Tepatnya Angkasa yang lebih sering mencetak angka. Tapi tidak bisa kupungkiri, gaya menggiring bola Angkasa memang cukup menarik. Bukannya aku berniat memuji apalagi mulai tertarik dengannya, aku hanya mengatakan fakta. Itu saja. Tidak lebih.

"Bi, gue duluan ya? Udah dijemput Papa diluar." 

"Tumben Papa lo jemput. Biasanya supir lo kan yang jemput?" komentarku.

"Soalnya abis ini mau ke rumah Tante gue. Lagi ada acara apa gitu gue lupa dalam rangka apa."

"Oh." 

"Ya udah gue duluan ya? Itu mobil Papa udah di sana. Bisa diomelin gue kalo nggak cepet-cepet ke sana." Intan menunjuk Audy hitam yang terparkir agak jauh dari tempat kami.

"Ya udah sana." 

Intan pun berjalan cepat menuju mobil papanya itu sambil sesekali membalikkan badan dan melambaikan tangan ke arahku. Aku tersenyum getir sambil membalas lambaian tangan Intan. Setiap pulang sekolah, intan memang dijemput supir pribadi keluarganya. Tapi saat berangkat sekolah pasti papanya yang mengantar. Aku ingin sesekali bisa seperti Intan, diantar ke sekolah tiap pagi dan dijemput oleh Papa saat ada sebuah acara spesial atau apa. Sayangnya harapan tinggal harapan.

Entah sampai kapan papa akan bersikap seperti ini padaku. Mengabaikan dan menganggapku seolah tidak ada dalam hidupnya. Sepertinya enam belas tahun belum cukup untuk Papa menghukumku atas kesalahan yang sebenarnya tidak sepenuhnya murni salahku. Bahkan Kak Andro saja hanya butuh waktu kurang dari lima belas tahun untuk menghukumku dan sekarang mulai bisa menerimaku. 

Tapi Papa? Laki-laki yang akan selalu jadi laki-laki pertama yang kucintai dalam hidupku, sampai kapan akan seperti ini padaku? Apa Papa tidak lelah dan akan terus menghindar dengan menerima bisnis-bisnis di luar kota untuk waktu yang lama?

Perlahan langkahku melambat saat menangkap sosok itu di depan sana, sekitar lima belas meter dari tempatku berjalan sekarang. Cowok berkulit putih itu tengah menyandarkan punggungnya di dinding koridor dengan satu kaki ditekuk sehingga sepatunya menapak di dinding. Sementara tangan kanannya dimasukkan ke saku celana dan tangan kirinya memainkan ponsel. Aku berdecih. Sok keren!

 Aku menggenggam erat kedua tali tas punggung dan tetap melangkah pelan. Kurasa tidak ada gunanya terus menghindar. Aku hanya perlu bersikap acuh dan seolah tidak kenal. Memang kami tidak saling kenal kan?

"Bi!"

Baru setengah jalan menuju cowok itu berdiri, sebuah panggilan membuat langkahku terhenti seketika. Kurasa aku mematung sekarang. Pandangan mataku bertubrukan dengan pandangan mata Angkasa yang kini sudah menurunkan kakinya dan menoleh padaku. Cukup lama dia memandangiku, setelah kemudian pandangannya beralih pada cowok yang barusan memanggilku. Yang aku yakini sekarang berada di belakangku.

"Bi."

Dapat kudengar suara langkah kaki semakin mendekat dari belakang. Dan dua detik setelah itu, cowok itu sudah berdiri di hadapanku. Tepat di depanku. Hingga sosok Angkasa tak bisa kulihat karena sudah terhalang tubuh cowok di depanku ini. Bukan berarti aku ingin melihatnya loh, ya.
Galang Pradipta yang tadi kulihat dari jauh sekarang sudah ada di depanku. Seutas senyum tersungging dari bibirnya yang tipis saat dia menunduk menatapku. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh. Detak jantungku tidak secepat seperti setiap kali aku melihat senyumnya. Dulu detak jantungku selalu berdetak lebih cepat dari biasanya setiap aku berhadapan dengan Galang apalagi melihat senyumnya. Tapi kenapa sekarang biasa saja? Apa sebulan tak bertemu berpengaruh sebesar itu?

"Hai, Lang." 

"Apa kabar, Bi?" tanyanya.

Aku kembali tersenyum dan mengangguk. "Kayak yang lo liat. Gue baik-baik aja."

"Gue tau lo akan selalu baik-baik aja. Kayak janji lo dulu."

Aku masih tersenyum. "Nina mana?"

Tampak ekspresinya sedikit berubah. "Nina nggak ikut ke sini. Ada jadwal bimbel."

Aku mengangguk mengerti. Sejenak kami sama-sama diam. Entah kenapa rasanya jadi canggung begini.

"Maaf, Bi "

"Buat?" Tentu saja aku pura-pura tidak tahu maksud ucapannya.

"Buat sebulan ini."

Aku menggenggam erat kedua tali tas punggungku. "Gue ngerti."

Aku sedikit tersentak saat Galang memegang kedua bahuku. Aku mendongak hingga tatapan kami bertemu. Tapi sekali lagi, jantungku masih berdetak normal. Entah kenapa ini aneh.

"Gue kangen sama lo, Bi." Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum dan mengangguk pelan.

Galang ikut tersenyum. "Bisa kasih gue nomor WA lo lagi?"

Aku tersentak. Mataku menyipit. "Lo hapus nomor gue?"

Dia menunduk. "Maaf, Bi."

Aku tersenyum getir. Rasa kecewa langsung menghantam dadaku tanpa ampun. Kupikir pertemuanku dengan Galang ini akan terasa menyenangkan tapi ternyata hanya mengundang kekecewaan.

"Gue nggak habis pikir sama lo, Lang!"

Kulangkahkan kaki dengan cepat menyusuri koridor agar cepat sampai ke gerbang depan. Saat sampai di parkiran khusus motor, ekor mataku menangkap sosok Angkasa yang tengah memakai helmnya. Aku bahkan tidak menyadari kapan dia pergi dari koridor saat aku berbicara dengan Galang tadi. Tanpa berniat melirik lebih lama pada cowok itu, kulanjutkan kembali langkahku semakin cepat. Melewati pintu gerbang, aku sedikit mengangguk pelan pada Pak Dirman, menyapanya. Dan satpam sekolahku itu membalasnya dengan anggukan kepala juga.

Aku pun kembali berjalan cepat menyusuri jalan menuju halte. Hanya ada beberapa siswa yang juga berjalan menuju halte, karena waktu memang sudah agak sore. Kuusap sudut mataku yang berair. Rasanya sakit mengetahui Galang se-keterlaluan itu. Aku sangat kecewa. Bagaimana bisa Galang melakukan itu? Hanya karena seorang gadis yang dia cintai, dia sampai menghapus kontakku?

Aku benar-benar tidak habis pikir. Tidakkah dia menghargai persahabatan kami? Persahabatan yang kami jalani selama hampir sepuluh tahun, dia lupakan begitu saja? Di mana jalan pikirannya itu?
Aku mengeratkan genggaman tanganku pada tali tas punggung dan mendongak menatap langit. Mendung tebal. Beberapa menit kemudian pasti hujan akan turun, dan sepertinya akan lebat. Aku menghela napas panjang. Bahkan aku tidak membawa payung.

Sebuah motor berjalan melambat tepat di sampingku, membuat langkahku ikut melambat. Aku menoleh pada motor warna putih itu. Tapi wajah pengendaranya tidak bisa kulihat dengan jelas karena memakai helm full face, hanya matanya yang terlihat. Segera kualihkan pandanganku ke arah lain saat kulihat dengan jelas bola mata itu. Bola mata berwarna hitam sehitam tinta spidol. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Angkasa?

"Gue anter."

Aku terhenyak dengan ucapan tajamnya itu tepat saat dia menghentikan motornya dengan mesin yang masih hidup. Tapi aku bergeming, tetap berjalan seolah tidak mendengar apa-apa. Lagipula kenapa dia tiba-tiba ingin mengantarku pulang? Jangan-jangan dia mau berbuat tidak baik, lagi. 
Dapat kudengar motor itu kembali berjalan, dan kembali berhenti beberapa langkah di depanku.

Tanpa turun dari motornya, dia menoleh padaku. "Gue bilang naik." 

"Nggak usah," jawabku seketus mungkin dan melewatinya begitu saja.

Kali ini aku berjalan dengan langkah secepat mungkin agar dia tidak mengikutiku lagi. Dua menit kemudian aku sudah sampai di halte. Ada lima orang di sana yang juga sedang menunggu bus. Satu siswa laki-laki berdiri menyandarkan punggungnya di tiang halte sementara dua siswa perempuan dan dua ibu-ibu duduk di bangku tunggu sambil mengobrol. Aku pun duduk di bangku yang kosong. Menghela napas lega, bersyukur karena cowok gila itu tidak mengikuti lagi.

Namun ternyata kelegaanku tidak berlangsung lama karena suara deru motor kembali terdengar dan berhenti tepat di jalan depan halte. Aku berdecak kesal.  Mau apa lagi sih dia? Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak melirik ke arahnya dan berpaling ke arah lain. Beberapa detik kemudian, aku mulai merasakan ada yang aneh saat ketiga siswa dan dua ibu-ibu di dekatku melihat dengan tatapan aneh kearah yang sama. Penasaran, aku mengikuti arah pandang mereka.

Dan mataku langsung membulat.
Masih dengan helm di kepalanya, Angkasa kini sudah berdiri tepat di depanku dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Matanya menatap tajam ke arahku. Kulirik lima orang di dekatku itu, dan ternyata tatapan mereka sudah beralih ke arahku. Aku pun memilih untuk tidak menghiraukan dia seolah-olah aku sama sekali tidak mengenalnya.

"Ikut gue."

Aku tetap bergeming di tempatku. 

"Apa sih?!" bentakku saat tiba-tiba dia menarik tanganku dan aku langsung menghempaskannya.

"Gue bisa pulang sendiri. Jadi nggak perlu repot-repot anter gue dan lo bisa pergi." Aku berucap dengan pelan kali ini karena sadar lima pasang mata itu masih memperhatikan kami.

"Gue bilang ikut gue." 

"Gue bilang gue nggak mau jadi nggak usah maksa, ngerti?!"

"Bintang!"

"Nggak usah panggil nama gue. Gue nggak kenal ya sama lo!"

"Kemarin kita kenalan. Pura-pura amnesia?" ucapnya enteng membuatku semakin gondok.

"Udah ikut aja, mbak. Kasihan loh pacarnya udah mohon-mohon gitu."

Aku menoleh pada salah satu dari ibu-ibu yang barusan memberi saran padaku. Dasar Angkasa. Membuat malu saja!

"Emang remaja sekarang itu lucu ya, Bu. Marahan aja gemesin gitu. Pura-pura enggak kenal lagi," komentar ibu yang satunya.

Aku tersenyum sopan pada ibu itu dengan wajah yang mungkin sudah merah padam menahan malu. "Saya nggak kenal dia, Bu. Dia bukan pa- eh!"

Belum sempat aku menjawab ucapan dua ibu itu, pergelangan tanganku tiba-tiba digenggam oleh Angkasa dan dia menarikku menuju motornya terparkir.

"Lo apa-apaan sih?" bentakku melepaskan tanganku kembali. Aku menoleh pada lima orang di halte, dan ternyata mereka masih memperhatikan kami. "Mau lo apa sih? Bikin malu tau nggak?!" 

Dia membalas tatapan tajamku dengan tatapan mengintimidasi miliknya itu. "Lo nggak bakal malu kalo dari tadi nurutin gue."
"Kan gue udah bilang gue nggak mau ikut elo. Emang lo siapa maksa-maksa gue gini?!"

"Shit!" 

Aku tertegun mendengar umpatannya itu. Nyaliku menciut.

"Lo gak mikirin Viny, hah? Busnya nggak dateng-dateng. Bentar lagi hujan deras. Dia bisa khawatir kalo lo nggak pulang-pulang. Bisa nggak sih lo nggak egois dikit aja?! Pikirin orang lain juga, jangan cuma diri lo sendiri yang lo pikirin!!" bentaknya.

Aku mundur satu langkah, terkejut mendengar bentakannya itu. Ini pertama kalinya aku mendengar bentakannya dengan nada setinggi itu. Tanpa sadar tanganku meremas kedua tepian rok yang kupakai, meredam tubuhku yang tiba-tiba gemetar. Aku menunduk, terserang rasa takut yang aneh. Baru kali ini aku dibentak seperti itu. Bahkan Papa dan Kak Andro tidak pernah membentakku seperti itu.

Aku mundur satu langkah lagi saat kulihat sepasang sepatu sneaker itu maju satu langkah ke arahku. Keringat dingin membasahi pelipisku, dan kurasa tanganku juga berubah dingin. Aku tersentak kaget karena dia menggenggam pergelangan tanganku, lagi. Namun aku tidak ada cukup tenaga untuk melepaskannya dan aku hanya menurut berjalan di sampingnya kembali ke dekat motornya. Dia memakaikan helm padaku kemudian naik ke motornya.

"Naik." Aku masih berdiri, tidak beranjak dari tempatku berdiri. "Naik sendiri atau harus gue paksa?!"

Tanpa pikir panjang aku langsung naik memboncengnya. Kedua tanganku berpegangan pada pegangan jok belakang.

"Pengen banget jatoh ya lo?! Pegangan tuh ke gue bukan di situ!"

Untuk ke sekian kalinya aku menghela napas berat. Kualihkan tanganku berpegangan pada bahunya. Perlahan motor yang dikendarai Angkasa membelah jalanan yang padat. Tanganku berpegangan erat pada bahu Angkasa, berusaha meredam detak jantung yang melebihi batas normal. Mungkin karena Angkasa memacu motornya dengan kecepatan tinggi, hingga memacu jantungku berdegup kencang. Di boncengannya, aku menggeram tertahan. Angkasa sialan.  Bisa-bisanya dia memaksa dan menakutiku seperti ini!

***

Related chapters

  • Bintang untuk Angkasa    5. Buku

    "Bintang, boleh minta tolong nggak?"Aku yang baru mendudukkan diri di kursi langsung menoleh pada Deni, si ketua kelas yang barusan bicara padaku. "Apa?""Lo kan hari ini tugas piket, tolong ambilin buku paket bahasa Indonesia sama buku tugas anak-anak di meja Bu Ani, ya? Bisa kan?"

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    6. I Want You

    "Butuh obat?"Aku menoleh pada Mbak Erin, perawat di UKS yang baru saja meletakkan segelas air putih di atas nakas. "Enggak usah, Mbak. Cuma kecapekan aja kok. Tiduran bentar pasti udah baikan.""Ya udah, kamu istirahat aja. Saya tinggal dulu ya."

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    7. In Your Dream

    Dengan wajah lesu dan kepala menunduk, aku melangkah keluar dari toko buku. Menghampiri Angkasa yang tengah terduduk santai di jok motornya yang terparkir di parkiran depan toko itu, sambil memainkan ponselnya. Saat aku sudah berada di depannya, dia menyimpan kembali ponsel berwarna putih itu ke dalam saku jaketnya dan mengangkat wajahnya ke arahku.Sebelah alisnya terangkat, seolah bertanya: "gimana?"

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    8. Labrakan

    "Duh Tan, gimana dong?""Ya udahlah lo bilang aja apa adanya, kalo lo udah nyari kemana-mana tapi udah nggak ada yang jual."Aku dan Intan masih berdiri khawatir di depan ruang guru. Tadi saat pergantian jam pelajaran ketiga, Deni memberitahu bahwa aku disuruh menghadap Bu Ani saat jam istirahat kedua. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menyerahkan buku paket se

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    9. Feel Alone

    Langit di luar tampak mendung. Sebentar lagi kurasa hujan akan turun. Aku menghela napas, mengalihkan pandangan dari langit di luar jendela ke novel yang kuletakkan di atas meja.Ngomong-ngomong, ini sudah hampir seminggu sejak kejadian labrakan itu. Sehari dua hari setelah kejadian memalukan di kantin itu, telingaku harus panas setiap hari oleh kasak-kusuk yang membicarakan hal itu. Banyak yang memandangiku dengan sinis, terutama geng Anggi. Bintang yang tidak terlalu dikenal di sekolah ini mendadak jadi bahan pembicaraan karena dilabrak oleh geng Anggi yang terkenal itu. Tapi aku hanya menanggapinya deng

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    10. Sorry

    "Papa, Bi dapat peringkat dua di kelas."Gadis kecil berusia sembilan tahun berlari ke arah pria berusia tiga puluh delapan tahun yang tengah membaca koran di ruang tamu. Sang ayah yang dipanggilnya sama sekali tidak menghiraukan kehadiran gadis itu dan tetap pada kegiatannya membaca koran."Papa, lihat! Nilai Bi d

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    11. I'm Fine

    "Sudah, Mbak Bi. Biar nanti Bu Rini aja yang lipat baju-bajunya. Kan Bu Rini udah sering bilang, kalo Mbak Bi ndak perlu bantu Bu Rini segala."Aku menghentikan gerakan tanganku melipat baju, kemudian menoleh pada Bu Rini yang tengah menyetrika baju di meja. "Kan Bi juga sering bilang kalo Bi enggak berniat bantu Bu Rini, tapi karena Bi seneng aja

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    12. Menyebalkan

    "Bintang?"Aku tengah membereskan buku-buku yang masih berserakan di meja, menoleh pada Deni yang berdiri di depan meja guru. "Kenapa?""Boleh minta tolong nggak?"Aku menghela napas sambil memasukkan buku-buku tadi ke dalam tas. "Tuh kan, udah gue duga. Kenapa sih lo kalau minta tolong selalu ke gue? Heran, deh.""Soalnya cuma lo yang paling baik dan penolong di kelas ini." Cowok berkacamata itu menyengir.Bibirku tercebik. "Minta tolong apa?""Tolong kembaliin buku paket ini ke perpus." Deni menunjuk setumpuk buku paket matematika yang digunakan Pak Daniel untuk mengajar jam pelajaran tadi."Kan itu tugasnya yang giliran piket hari ini.""Yang giliran piket hari ini pada kabur semua."Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan benar juga kata Deni bahwa hanya ka

    Last Updated : 2020-11-13

Latest chapter

  • Bintang untuk Angkasa    50. Married

    "Kamu gugup, Dek?"Aku menoleh dan tersenyum kaku pada Kak Salma yang sedari tadi menemaniku di kamar. Kak Salma tersenyum, kemudian mengusap punggung tanganku untuk memberiku ketenangan. Di luar, acara akad nikah akan segera dimulai. Ya, ini sudah seminggu sejak kejutan ulang tahun itu, dan artinya sekarang adalah hari pernikahan kami."Kamu tahu, Dek? Kakak juga ngerasain gugup yang sama seolah ini adalah acara nikahannya adek kandung Kakak sendiri." Kak Salma kembali berbicara.Aku menatap wajah Kak Salma yang berkaca-kaca, "Kak Salma kangen sama Kak Sania?"Kak Salma tersenyum dan mengusap pipiku, "Tentu saja kangen. Tapi Kakak selalu punya obat buat ngobatin kangen Kakak itu. Dengan liat kamu."Kak Salma terkekeh pelan, "Kakak bener-bener bisa nemuin Sania pada diri kamu, Dek. Kalian itu bener-bener punya sifat yang mirip, dan itu bikin Kakak bahagia karena bisa melihat Sania lagi lewat kamu."Aku mengerutkan kening menatap Kak Salma. Apa

  • Bintang untuk Angkasa    49. Proposed

    Aku mengerjap-ngerjapkan mata, saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Sambil menggeliatkan tubuh pelan dan masih berusaha mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi, aku mendesah. Suara ketukan itu terdengar lagi, dan kini makin keras. Aku mendecakkan lidah pelan, benar-benar merasa kesal karena tidurku terganggu. Aku makin berdecak kesal saat mataku melirik ke arah jam weker berbentuk kepala Pororo yang menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Ketukan itu kembali terdengar seperti gedoran."Iya, bentar!" ucapku setengah berteriak, dengan suara serak khas bangun tidur. Tidak ada jawaban. Aku mengerucutkan bibir, mengucek mata sambil beringsut turun dari ranjang."Siapa sih bangunin orang malem-malem gini?" gerutuku sambil mengikat rambutku yang berantakan dengan ikatan cepol asal-asalan.Sejenak kemudian aku sudah membuka pintu kamar, dan keningku sontak berkerut saat tak menemukan siapa-siapa di depan pintu kamar."Siapa?" tan

  • Bintang untuk Angkasa    48. Today, Tomorrow and Forever

    Takdir. Satu kata yang sangat rumit untuk dipecahkan. Satu kata yang sering dikutuk dan dipersalahkan atas apa yang dialami makhluk bernama manusia. Satu kata penuh misteri yang tidak dapat diprediksi oleh ilmuwan terpintar sekali pun. Satu kata yang hanya menjadi rahasia-Nya dan tidak akan pernah bisa diganggu gugat oleh manusia. Tentang sebuah takdir. Tak ada yang bisa manusia tebak dari jalannya sebuah takdir. Entah itu untuk dua tahun kemudian, setahun kemudian, sebulan kemudian atau bahkan sedetik kemudian. Manusia tidak akan mampu memprediksi takdir apa yang akan terjadi padanya. Bahkan sesuatu paling nyata dan bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya, bisa saja berubah keadaan menjadi sebuah hal yang di luar nalar, jika Dia sudah berkehendak. Hanya Dia Yang Maha membolak-balikkan takdir, dan manusia harus bisa menerima semua yang telah tertulis dalam lauhful mahfudz-Nya.Itu pula yang kini dijalani seorang Angkasa Yudhistira, menerima dan menjalani dengan tega

  • Bintang untuk Angkasa    47. Sad Song

    Without you, I feel brokeLike I'm half of a wholeWithout you, I've got no hand to holdWithout you, I feel tornLike a sail in a stormWithout you, I'm just a sad songI'm just a sad song(Sad Song – We The Kings)"Kak Angkasa!"Angkasa mengerjap-ngerjapkan mata saat suara lembut itu menyapu telinganya. Sangat dekat. Dan terdengar nyata. Laki-laki itu membuka mata sedetik kemudian, dan ia tertegun melihat tempatnya berada sekarang. Atap aula sekolah."Bintang?" Angkasa berkata lirih, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Di depan sana, tepatnya di pagar pembatas atap, seorang gadis yang berdiri memunggunginya. Gadis itu memakai dress selutut berwarna putih tulang, dengan flatshoes yang juga berwarna putih terpasang di kaki jenjangnya. Rambut sepunggungnya yang tergerai indah, bergoyang-goyang tertiup angin yang berembus lembut. Di pergelangan tangan kirinya, Angkasa dapat melihat gelang pasangan yang selalu gadis

  • Bintang untuk Angkasa    46. In The First Sigh

    Sama seperti hari-hari sebelumnya, Angkasa duduk di samping bangkar dengan tatapan terpaku pada seorang gadis remaja yang terbaring lemah di atas bangkar. Ini kedua kalinya ia menyaksikan tubuh itu dipasangi banyak belalai yang terhubung pada sebuah monitor yang terus berbunyi, untuk mendeteksi bahwa masih ada kehidupan pada tubuh itu. Hati Angkasa terasa sakit, perih ulu hatinya. Jika saat ini gadis yang amat dicintainya itu tengah mengalami keadaan koma, maka Angkasa juga sama. Ia juga sedang koma, tapi hatinya bukan tubuhnya. Kenangan-kenangan itu kembali berputar di benaknya, mengulang kembali awal-awal perkenalannya dengan gadis itu, Bintang Aurora. Perlahan, Angkasa mulai bercerita ...."Ini perpus sekolah kita." Romi menunjuk ruangan di sebelah mereka dan ditanggapi Angkasa dengan anggukan kepala dua kali. "Emang sepi, sih. Dimana-mana yang namanya perpus kan cuma buat tempat nongkrong murid-murid cupu." Romi tertawa kecil. "Sayangnya di sekolah ini yang cupu cuma dikit

  • Bintang untuk Angkasa    45. Akan Tetap Bersinar

    Kirana Candrawati. Bagi seorang Danu Wijaya, nama itu adalah nama paling indah sejagad raya. Nama yang memiliki arti terpenting dalam hidupnya, yang mengajarkannya betapa hidup itu harus disyukuri. Nama yang sampai saat ini tetap menjadi penghuni ruang penting dalam hatinya. Hingga saat nama itu benar-benar hanya tinggal nama, dan ia tak bisa melihat lagi pemilik nama itu sendiri, pria itu merasa hancur. Hidupnya seolah ikut dibawa pergi oleh perempuan pemilik nama indah itu. Danu tidak punya tujuan hidup lagi, bahkan untuk sekedar memandang bayi mungil yang kelahirannya sekaligus merupakan kehancuran hidupnya, karena ibu dari bayi itu meninggalkannya dari dunia.Bayi mungil itu, yang orang bilang saat lahir sama sekali tidak berdosa, suci dan polos, telah merenggut nyawa Kirana, istri tercintanya. Sejak kelahiran bayi itu, sekaligus kematian Kirana, Danu benar-benar tidak bisa menjalani hidup dengan baik. Satu-satunya wajah yang sangat tidak ingin dia lihat adalah wajah b

  • Bintang untuk Angkasa    44. Lampion Harapan

    Hubunganku dengan Angkasa kembali membaik sejak sore itu. Dia juga sudah menceritakan semuanya—walaupun dalam versi singkat—tentang bagaimana dulu dia patah hati karena Kak Viny ternyata lebih memilih Kak Bisma. Dan itu membuatku lagi-lagi merasa bersalah karena membuat Kak Viny pulang bersama Kak Bisma di saat Angkasa ingin mengutarakan perasaannya. Namun Angkasa menenangkanku dengan mengatakan hal yang membuatku merasa istimewa."Gue ceritain ini bukan karena pengen buat lo ngerasa bersalah. Lagian gue bisa ambil pelajaran dari ini, yaitu sesuatu yang gue pengen banget nggak selamanya bisa gue dapatkan. Dan mungkin itu emang cara Tuhan mengajari gue cara bersabar nunggu cinta yang emang benar-benar sejati buat gue. Dan gue nggak nyangka ternyata cewek yang secara nggak langsung bikin gue gagal nyatain cinta pertama gue, ternyata adalah cinta sejati gue."Mungkin menurut kalian ucapannya itu biasa saja, tapi bagiku itu istimewa dan manis. Entahlah aku juga tidak tahu pe

  • Bintang untuk Angkasa    43. Let Me Stay

    "Bi." Suara Kak Andro masuk ke telinga begitu aku mengerjap-ngerjapkan mata.Aku mengerutkan kening, bukankah Kak Andro sedang di Bandung? Sedikit mendesis, aku membuka mataku. Kepalaku rasanya sangat pusing seperti dihantam palu. Begitu cahaya blur yang tadi memenuhi pandanganku memudar, aku bisa melihat dengan jelas wajah Kak Andro yang sedang menatapku."Kak Andro?" Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa perih. Seingatku, semalam aku minum air cukup banyak tapi kenapa rasanya seperti tenggorokanku tidak tersentuh air selama berhari-hari?Kak Andro duduk di kursi samping bangkar sambil terus menatapku. Aku benar-benar bingung kenapa Kak Andro bisa ada di sini, padahal semalam saja dia masih chating denganku dan dia mengatakan sedang berkumpul bersama teman-temannya. Lalu kenapa bisa ada di rumah sakit?"K-Kak Andro kapan pulang?" Ah, kenapa suaraku lirih dan serak begini? Sebenarnya apa yang terjadi padaku?Aku berniat bangun, namun rasa pusing dan n

  • Bintang untuk Angkasa    42. Cahaya Yang Mulai Redup

    "Bi, I'm coming!"Aku meringis pelan saat melihat Intan yang membuka pintu sambil membawa kantong plastik, berteriak melengking. Di belakangnya, ada Nina dan Galang yang melambaikan tangan ke arahku.Aku membalas lambaian tangan mereka, "Akhirnya kalian datang juga."Intan langsung duduk di kursi sebelah kiri ranjang tempatku terbaring, sementara Nina dan Galang duduk di kursi sebelah kanan. Intan meletakkan kantong plastik itu di atas nakas,"Gue tau lo lebih tertarik sama novel dari pada buah, makanya gue sengaja beliin novel Asma Nadia yang terbaru," ucap Intan.Aku terkekeh, "Lo emang sahabat yang pengertian, deh.""Eits, jangan salah! Gue juga ikut patungan beli novel best seller itu. Jadi gue juga harus dapat pujian itu juga," sahut Galang."Lebay banget sih kamu!" sahut Nina sambil memukul pelan bahu Galang. Kami bertiga tertawa."Lo dari tadi sendirian, Bi?" Galang bertanya sambil mengambil sebutir jeruk yang pagi tadi Bu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status