Share

5. Buku

last update Terakhir Diperbarui: 2020-11-08 07:56:00
"Bintang, boleh minta tolong nggak?"

Aku yang baru mendudukkan diri di kursi langsung menoleh pada Deni, si ketua kelas yang barusan bicara padaku. "Apa?" 

"Lo kan hari ini tugas piket, tolong ambilin buku paket bahasa Indonesia sama buku tugas anak-anak di meja Bu Ani, ya? Bisa kan?" 

"Bisa sih. Tapi gue nunggu temen piket kita yang lain dulu. Sekarang gue nyapu dulu."

Hari ini aku memang mendapatkan jadwal piket kelas bersama lima orang siswa lainnya, termasuk Deni yang sekarang sedang menghapus papan tulis agar bisa langsung digunakan saat jam pelajaran pertama tiga puluh menit lagi.

"Lo lupa temen piket kita siapa aja? Andi, Didit sama Eko nggak mungkin mau ikut piket. Nah Irma? Lo tau sendiri kan Irma kalo sampe sekolah mepet bel masuk."

Ah, aku lupa kalau teman piketku yang bisa diandalkan hanya Deni saja. Itu pun dia rajin karena jadi ketua kelas, kalau tidak aku juga tidak tahu dia akan serajin ini atau tidak.

"Udah deh mending lo ambil bukunya sekarang. Biar gue yang urusin kelas. Tau sendiri kan gimana galaknya Bu Ani kalo semuanya belum siap pas dia masuk kelas."

"Iya deh."

Dengan sedikit malas, aku keluar kelas dan melangkahkan kaki menuju ruang guru yang terletak di lantai bawah. Sesampainya di ruang guru, ternyata ruangan itu masih sepi karena memang masih pagi. Hanya ada Pak Yanuar yang sedang merapikan buku-bukunya di meja miliknya. 

Aku mengetuk pintu tiga kali. "Permisi, Pak. Saya mau ambil buku paket di meja Bu Ani."

"Ya ya silahkan," jawab Pak Yanuar ramah.

Aku pun segera masuk dan menuju meja Bu Ani yang terletak di pojok ruangan. Melihat setumpuk buku paket berjumlah lima belas buah dan setumpuk buku tugas berjumlah tiga puluh buah membuatku langsung menghela napas berat. Bagaimana bisa buku sebanyak ini kubawa sendiri? Dengan berat hati, kutumpuk buku tugas yang ukurannya lebih kecil itu diatas buku paket yang ukurannya lebih besar dan lebar.

"Permisi Pak," pamitku dengan kedua tangan cukup kesulitan membawa tumpukan buku itu.

Sepanjang perjalanan menaiki tangga menuju lantai dua tempat kelasku berada, aku terus saja merutuki nasibku dalam hati. Nasibku benar-benar tidak baik harus mempunyai teman-teman piket yang tidak bisa diandalkan. Dan yang namanya tidak fokus pasti berakhir tidak baik. Buktinya, sekarang aku sudah terjengkang di lantai setelah tabrakan dengan seseorang.

"Aduh." Aku memekik sambil mengusap-usap siku kiriku yang terbentur lantai.

Decakan langsung keluar dari mulutku melihat buku-buku yang kubawa tadi sudah berserakan di lantai koridor kelas dua. Siapa sih yang menabrakku segala? Dengan kesal kudongakan kepalaku untuk melihat siapa yang yang barusan menabrakku. Niatku untuk mengomeli orang itu kuurungkan begitu tahu siapa cowok yang sekarang berada di depanku.

Angkasa, salah satu cowok yang masuk dalam blacklist orang yang paling tidak ingin kutemui saat ini, malah sudah ada di depanku. Dia hanya berdiri, memasukkan kedua tangan di saku celana dan memandang datar. Tanpa minta maaf, lagi!
Aku mendesis pelan sambil berlutut memunguti kemudian menumpuk kembali buku-buku yang berserakan itu.

"Ngapain, Bintang?"

Aku menghentikan gerakan tanganku untuk menoleh sebentar ke arah Kak Bisma yang barusan datang dan bertanya padaku.

"Kok buku lo bisa pada jatoh gini?" 

Aku tersenyum tipis melihat Kak Bisma ikut berlutut membantuku memunguti buku-buku itu. Cowok baik mah beda, ya.  "Tadi ada angin guedee banget terus wuush ... buku aku jatoh semua."

Kak Bisma tergelak. "Gue bawain setengah deh. Kasihan calon adek ipar gue bawa buku sebanyak ini sendirian."

Aku terkekeh mendengar kata 'adek ipar' itu.
"Nggak perlu repot-repot, Bis. Dia bisa tambah manja kalo dibantuin terus."

Aku melirik tajam pada Angkasa, hanya dua detik. Lalu bergumam cukup keras, "Sirik mah bilang aja!"

Aku dan Kak Bisma pun berjalan menuju kelasku tanpa menghiraukan Angkasa yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah kami berjalan, tiba-tiba Angkasa merebut buku yang dibawa Kak Bisma.

"Kenapa sih, Sa?" tanya Kak Bisma bingung. Bukan cuma Kak Bisma, aku juga bingung dengan sikap Angkasa yang aneh ini.

"Mau diapain buku-buku itu?" tanyaku curiga.

"Gue yang bawa." 

Aku dan Kak Bisma terbengong-bengong melihat punggung Angkasa yang sudah berjalan mendahului kami dengan setumpuk buku yang tadi dibawa Kak Bisma sekarang sudah ada di tangannya.

"Ya udah lo ikutin Angkasa gih."

Dengan langkah cepat aku berjalan menyusul Angkasa yang sudah beberapa langkah di depan. Setelah berhasil menyejajarkan langkahku dengan langkah Angkasa, aku berhenti tepat di depannya sehingga Angkasa pun ikut menghentikan langkahnya.

"Taruh sini. Gue bisa bawa sendiri!" ucapku menunjuk tumpukan buku yang kubawa dengan dagu. Lebih baik kesulitan membawa buku daripada harus berjalan bersisian dengan Angkasa.

 Tapi apa tanggapan cowok gila itu? Dia hanya mengangkat sebelah alisnya kemudian berjalan melewatiku.
Dengan menahan kesal aku kembali menyusulnya. "Gue bilang gue bisa bawa sendiri. Jadi kasih bukunya ke gue."
Tapi dia malah mengabaikanku dan tetap berjalan memandang ke depan.

Aku berdecak kesal menyusulnya kembali. "Lo denger gue ngomong nggak sih?!" 

Dan dia benar-benar menghentikan langkahnya kemudian berbalik menghadapku. Tatapannya tajam seakan-akan menusuk tepat ke bola mataku. "Diem atau gue jatohin ini buku!" 

"Ya udah jatohin aja dan lo bisa pergi dari sini!" balasku, kesal.

Tapi mataku membulat seketika saat dia maju ke pagar pembatas koridor dan bersiap menjatuhkan buku-buku itu ke bawah, ke lapangan basket di bawah.

"Stoooop!"

Terlambat. Aku memandang nanar ke bawah. Beberapa buku benar-benar dia jatuhkan ke bawah dan kini tampak melayang-layang dari lantai dua ini kemudian tergeletak tak berdaya di lapangan basket. Pelupuk mataku memanas, menahan kekesalan ku yang sudah sampai di ubun-ubun.

Kupikir dia hanya berniat mengancam saja. Atau kalau dia benar-benar menjatuhkan buku-buku itu, paling tidak hanya akan dijatuhkan di lantai. Hanya orang gila saja kan yang benar-benar menjatuhkan buku-buku itu dari lantai dua? Iya kan? Dan aku benar-benar lupa kalau cowok bernama Angkasa itu adalah orang gila! Aku bisa terkena masalah. Aku bahkan tidak tahu buku siapa saja yang jatuh. 

Dengan bibir bergetar, aku merebut sisa buku yang masih ada di tangannya dan berlari ke kelas meninggalkannya tanpa mengatakan apapun.

"Bi, Deni bilang lo ambil buku di meja Bu Ani, kok lam–"

Ucapan Intan terpotong oleh suara yang dihasilkan dari buku-buku yang kujatuhkan di atas meja paling depan dengan penuh kekesalan. Beberapa teman sekelas yang sudah sampai di kelas juga sama terkejutnya dengan Intan, tapi aku tidak peduli. Dadaku naik turun karena menahan emosi, bahkan dada kiriku mulai nyeri lagi. Dari ekor mataku yang mengabur karena sudut mataku sedikit berair, tampak Intan mendekat padaku yang berdiri di samping pintu dengan kedua tangan terkepal.

"Bi, lo kenapa?" Aku bisa menangkap nada khawatir pada pertanyaan Intan.

"Bintang, kok buku paketnya kurang tiga? Terus buku tugasnya cuma ada dua puluh enam. Yang lainnya mana?"

Aku mengusap sudut mataku dan berdecak kesal menatap Deni yang barusan bertanya padaku. Tanpa mengucapkan apa-apa, aku keluar lagi dari kelas bahkan teriakan Intan yang memanggil-manggil namaku tidak aku gubris sama sekali.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut lapangan, mencari buku-buku yang jatuh tadi. Siswa-siswi semakin banyak berlalu-lalang di koridor dekat lapangan sehingga mereka dapat melihatku yang berdiri kebingungan di tengah lapangan. Pasti mereka akan berpikir kalau aku ini adalah cewek aneh. Tapi aku tidak mempedulikan itu dulu.

Yang kupikirkan sekarang adalah aku harus segera menemukan buku-buku itu dalam waktu sepuluh menit karena bel masuk berbunyi sepuluh menit lagi. Dan kalau sampai ada satu buku saja yang tidak bisa kutemukan, maka aku pasti dalam masalah besar. 

Bukan cuma dimarahi teman sekelas pemilik beberapa buku itu, juga jika yang hilang adalah buku paket maka aku harus menyiapkan telinga untuk mendengarkan ceramah Bu Ani yang super super panjang sekali. Juga merelakan uang sakuku untuk mengganti kehilangan buku paket itu.

Ini semua gara-gara Angkasa. Kadar kebencianku padanya kurasa semakin bertambah sekarang. Di tanganku sekarang sudah ada dua buku tugas dan dua buku paket. Ah bahkan saking kesalnya aku tadi, sampai-sampai tidak mendengar dengan jelas saat Deni mengatakan berapa jumlah buku yang sudah ada di kelas.

"Bi, lo kenapa sih? Nyari apaan? Diliatin banyak orang tuh."

Aku menoleh pada Intan yang sudah menghampiriku. Aku langsung menarik tangannya mendekat padaku. "Entar jelasinnya. Sekarang tolong bantuin gue nyari buku-buku yang tadi jatoh di sini." 

Intan malah mengerutkan keningnya. "Buku apaan?" 

"Buku yang gue ambil dari meja Bu Ani." 

"Loh, kok bisa jatoh di sini? Gimana bisa? Lo kan nggak lewat sini pas ke kelas."

Aku mengerucutkan bibirku. "Ceritanya panjang. Sekarang bantuin cari dulu ya? Bentar lagi bel nih."

"Iya gue bantuin. Emang berapa yang masih belum ketemu?"

Aku menggeleng. "Tadi lo denger nggak pas Deni nyebutin berapa buku yang udah gue bawa ke kelas? Gue nggak denger soalnya. Abis kesel banget gue."

"Elo gimana, sih? Bentar gue sms-in Deni dulu."

Sambil menunggu Deni membalas pesan Intan, aku masih menyusuri setiap sudut lapangan untuk mencari buku-buku yang belum ketemu. Sesekali meremas dada kiriku karena rasa nyeri itu datang lagi.

***
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
kalo ceritanya udh penyakit keras, suka merinding
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bintang untuk Angkasa    6. I Want You

    "Butuh obat?"Aku menoleh pada Mbak Erin, perawat di UKS yang baru saja meletakkan segelas air putih di atas nakas. "Enggak usah, Mbak. Cuma kecapekan aja kok. Tiduran bentar pasti udah baikan.""Ya udah, kamu istirahat aja. Saya tinggal dulu ya."

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    7. In Your Dream

    Dengan wajah lesu dan kepala menunduk, aku melangkah keluar dari toko buku. Menghampiri Angkasa yang tengah terduduk santai di jok motornya yang terparkir di parkiran depan toko itu, sambil memainkan ponselnya. Saat aku sudah berada di depannya, dia menyimpan kembali ponsel berwarna putih itu ke dalam saku jaketnya dan mengangkat wajahnya ke arahku.Sebelah alisnya terangkat, seolah bertanya: "gimana?"

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    8. Labrakan

    "Duh Tan, gimana dong?""Ya udahlah lo bilang aja apa adanya, kalo lo udah nyari kemana-mana tapi udah nggak ada yang jual."Aku dan Intan masih berdiri khawatir di depan ruang guru. Tadi saat pergantian jam pelajaran ketiga, Deni memberitahu bahwa aku disuruh menghadap Bu Ani saat jam istirahat kedua. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menyerahkan buku paket se

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    9. Feel Alone

    Langit di luar tampak mendung. Sebentar lagi kurasa hujan akan turun. Aku menghela napas, mengalihkan pandangan dari langit di luar jendela ke novel yang kuletakkan di atas meja.Ngomong-ngomong, ini sudah hampir seminggu sejak kejadian labrakan itu. Sehari dua hari setelah kejadian memalukan di kantin itu, telingaku harus panas setiap hari oleh kasak-kusuk yang membicarakan hal itu. Banyak yang memandangiku dengan sinis, terutama geng Anggi. Bintang yang tidak terlalu dikenal di sekolah ini mendadak jadi bahan pembicaraan karena dilabrak oleh geng Anggi yang terkenal itu. Tapi aku hanya menanggapinya deng

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    10. Sorry

    "Papa, Bi dapat peringkat dua di kelas."Gadis kecil berusia sembilan tahun berlari ke arah pria berusia tiga puluh delapan tahun yang tengah membaca koran di ruang tamu. Sang ayah yang dipanggilnya sama sekali tidak menghiraukan kehadiran gadis itu dan tetap pada kegiatannya membaca koran."Papa, lihat! Nilai Bi d

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    11. I'm Fine

    "Sudah, Mbak Bi. Biar nanti Bu Rini aja yang lipat baju-bajunya. Kan Bu Rini udah sering bilang, kalo Mbak Bi ndak perlu bantu Bu Rini segala."Aku menghentikan gerakan tanganku melipat baju, kemudian menoleh pada Bu Rini yang tengah menyetrika baju di meja. "Kan Bi juga sering bilang kalo Bi enggak berniat bantu Bu Rini, tapi karena Bi seneng aja

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    12. Menyebalkan

    "Bintang?"Aku tengah membereskan buku-buku yang masih berserakan di meja, menoleh pada Deni yang berdiri di depan meja guru. "Kenapa?""Boleh minta tolong nggak?"Aku menghela napas sambil memasukkan buku-buku tadi ke dalam tas. "Tuh kan, udah gue duga. Kenapa sih lo kalau minta tolong selalu ke gue? Heran, deh.""Soalnya cuma lo yang paling baik dan penolong di kelas ini." Cowok berkacamata itu menyengir.Bibirku tercebik. "Minta tolong apa?""Tolong kembaliin buku paket ini ke perpus." Deni menunjuk setumpuk buku paket matematika yang digunakan Pak Daniel untuk mengajar jam pelajaran tadi."Kan itu tugasnya yang giliran piket hari ini.""Yang giliran piket hari ini pada kabur semua."Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan benar juga kata Deni bahwa hanya ka

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-13
  • Bintang untuk Angkasa    13. Obat

    Aku langsung turun begitu motor Angkasa berhenti di depan pintu gerbang rumahku. Lalu kuserahkan helm ke arahnya, yang sedang melepas helmnya sendiri.Dia menerimanya tanpa melepas tatapan dari wajahku. "Kenapa mukanya gitu?""Kenapa mukanya gitu?" Aku mengikuti gaya bicaranya dengan tambahan ejekan sebal. "Pikir aja sendiri!""Lo marah?""Menurut lo?!"Dia hanya terkekeh. Kalau bisa, rasanya ingin kuulek muka innocent cowok ini. Semua kekesalan ini berawal dari aku yang sepulang sekolah, berniat meminta buku dan kartu perpustakaan yang dibawa olehnya. Dia memberi syarat agar aku mau diantar pulang olehnya. Intan yang menemaniku menemuinya, malah dengan rela meninggalkanku. Mau tidak mau, aku ikut. Tapi ternyata alih-alih langsung mengantarku pulang, cowok ini malah mengajakku mampir kemana-mana. Mulai dari menemui mamanya di butik milik keluarga mereka, beli sepatu di mall, sampai nongkrong di kafe dengan teman-temannya. Kalau saja aku tidak meng

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-14

Bab terbaru

  • Bintang untuk Angkasa    50. Married

    "Kamu gugup, Dek?"Aku menoleh dan tersenyum kaku pada Kak Salma yang sedari tadi menemaniku di kamar. Kak Salma tersenyum, kemudian mengusap punggung tanganku untuk memberiku ketenangan. Di luar, acara akad nikah akan segera dimulai. Ya, ini sudah seminggu sejak kejutan ulang tahun itu, dan artinya sekarang adalah hari pernikahan kami."Kamu tahu, Dek? Kakak juga ngerasain gugup yang sama seolah ini adalah acara nikahannya adek kandung Kakak sendiri." Kak Salma kembali berbicara.Aku menatap wajah Kak Salma yang berkaca-kaca, "Kak Salma kangen sama Kak Sania?"Kak Salma tersenyum dan mengusap pipiku, "Tentu saja kangen. Tapi Kakak selalu punya obat buat ngobatin kangen Kakak itu. Dengan liat kamu."Kak Salma terkekeh pelan, "Kakak bener-bener bisa nemuin Sania pada diri kamu, Dek. Kalian itu bener-bener punya sifat yang mirip, dan itu bikin Kakak bahagia karena bisa melihat Sania lagi lewat kamu."Aku mengerutkan kening menatap Kak Salma. Apa

  • Bintang untuk Angkasa    49. Proposed

    Aku mengerjap-ngerjapkan mata, saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Sambil menggeliatkan tubuh pelan dan masih berusaha mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi, aku mendesah. Suara ketukan itu terdengar lagi, dan kini makin keras. Aku mendecakkan lidah pelan, benar-benar merasa kesal karena tidurku terganggu. Aku makin berdecak kesal saat mataku melirik ke arah jam weker berbentuk kepala Pororo yang menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Ketukan itu kembali terdengar seperti gedoran."Iya, bentar!" ucapku setengah berteriak, dengan suara serak khas bangun tidur. Tidak ada jawaban. Aku mengerucutkan bibir, mengucek mata sambil beringsut turun dari ranjang."Siapa sih bangunin orang malem-malem gini?" gerutuku sambil mengikat rambutku yang berantakan dengan ikatan cepol asal-asalan.Sejenak kemudian aku sudah membuka pintu kamar, dan keningku sontak berkerut saat tak menemukan siapa-siapa di depan pintu kamar."Siapa?" tan

  • Bintang untuk Angkasa    48. Today, Tomorrow and Forever

    Takdir. Satu kata yang sangat rumit untuk dipecahkan. Satu kata yang sering dikutuk dan dipersalahkan atas apa yang dialami makhluk bernama manusia. Satu kata penuh misteri yang tidak dapat diprediksi oleh ilmuwan terpintar sekali pun. Satu kata yang hanya menjadi rahasia-Nya dan tidak akan pernah bisa diganggu gugat oleh manusia. Tentang sebuah takdir. Tak ada yang bisa manusia tebak dari jalannya sebuah takdir. Entah itu untuk dua tahun kemudian, setahun kemudian, sebulan kemudian atau bahkan sedetik kemudian. Manusia tidak akan mampu memprediksi takdir apa yang akan terjadi padanya. Bahkan sesuatu paling nyata dan bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya, bisa saja berubah keadaan menjadi sebuah hal yang di luar nalar, jika Dia sudah berkehendak. Hanya Dia Yang Maha membolak-balikkan takdir, dan manusia harus bisa menerima semua yang telah tertulis dalam lauhful mahfudz-Nya.Itu pula yang kini dijalani seorang Angkasa Yudhistira, menerima dan menjalani dengan tega

  • Bintang untuk Angkasa    47. Sad Song

    Without you, I feel brokeLike I'm half of a wholeWithout you, I've got no hand to holdWithout you, I feel tornLike a sail in a stormWithout you, I'm just a sad songI'm just a sad song(Sad Song – We The Kings)"Kak Angkasa!"Angkasa mengerjap-ngerjapkan mata saat suara lembut itu menyapu telinganya. Sangat dekat. Dan terdengar nyata. Laki-laki itu membuka mata sedetik kemudian, dan ia tertegun melihat tempatnya berada sekarang. Atap aula sekolah."Bintang?" Angkasa berkata lirih, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Di depan sana, tepatnya di pagar pembatas atap, seorang gadis yang berdiri memunggunginya. Gadis itu memakai dress selutut berwarna putih tulang, dengan flatshoes yang juga berwarna putih terpasang di kaki jenjangnya. Rambut sepunggungnya yang tergerai indah, bergoyang-goyang tertiup angin yang berembus lembut. Di pergelangan tangan kirinya, Angkasa dapat melihat gelang pasangan yang selalu gadis

  • Bintang untuk Angkasa    46. In The First Sigh

    Sama seperti hari-hari sebelumnya, Angkasa duduk di samping bangkar dengan tatapan terpaku pada seorang gadis remaja yang terbaring lemah di atas bangkar. Ini kedua kalinya ia menyaksikan tubuh itu dipasangi banyak belalai yang terhubung pada sebuah monitor yang terus berbunyi, untuk mendeteksi bahwa masih ada kehidupan pada tubuh itu. Hati Angkasa terasa sakit, perih ulu hatinya. Jika saat ini gadis yang amat dicintainya itu tengah mengalami keadaan koma, maka Angkasa juga sama. Ia juga sedang koma, tapi hatinya bukan tubuhnya. Kenangan-kenangan itu kembali berputar di benaknya, mengulang kembali awal-awal perkenalannya dengan gadis itu, Bintang Aurora. Perlahan, Angkasa mulai bercerita ...."Ini perpus sekolah kita." Romi menunjuk ruangan di sebelah mereka dan ditanggapi Angkasa dengan anggukan kepala dua kali. "Emang sepi, sih. Dimana-mana yang namanya perpus kan cuma buat tempat nongkrong murid-murid cupu." Romi tertawa kecil. "Sayangnya di sekolah ini yang cupu cuma dikit

  • Bintang untuk Angkasa    45. Akan Tetap Bersinar

    Kirana Candrawati. Bagi seorang Danu Wijaya, nama itu adalah nama paling indah sejagad raya. Nama yang memiliki arti terpenting dalam hidupnya, yang mengajarkannya betapa hidup itu harus disyukuri. Nama yang sampai saat ini tetap menjadi penghuni ruang penting dalam hatinya. Hingga saat nama itu benar-benar hanya tinggal nama, dan ia tak bisa melihat lagi pemilik nama itu sendiri, pria itu merasa hancur. Hidupnya seolah ikut dibawa pergi oleh perempuan pemilik nama indah itu. Danu tidak punya tujuan hidup lagi, bahkan untuk sekedar memandang bayi mungil yang kelahirannya sekaligus merupakan kehancuran hidupnya, karena ibu dari bayi itu meninggalkannya dari dunia.Bayi mungil itu, yang orang bilang saat lahir sama sekali tidak berdosa, suci dan polos, telah merenggut nyawa Kirana, istri tercintanya. Sejak kelahiran bayi itu, sekaligus kematian Kirana, Danu benar-benar tidak bisa menjalani hidup dengan baik. Satu-satunya wajah yang sangat tidak ingin dia lihat adalah wajah b

  • Bintang untuk Angkasa    44. Lampion Harapan

    Hubunganku dengan Angkasa kembali membaik sejak sore itu. Dia juga sudah menceritakan semuanya—walaupun dalam versi singkat—tentang bagaimana dulu dia patah hati karena Kak Viny ternyata lebih memilih Kak Bisma. Dan itu membuatku lagi-lagi merasa bersalah karena membuat Kak Viny pulang bersama Kak Bisma di saat Angkasa ingin mengutarakan perasaannya. Namun Angkasa menenangkanku dengan mengatakan hal yang membuatku merasa istimewa."Gue ceritain ini bukan karena pengen buat lo ngerasa bersalah. Lagian gue bisa ambil pelajaran dari ini, yaitu sesuatu yang gue pengen banget nggak selamanya bisa gue dapatkan. Dan mungkin itu emang cara Tuhan mengajari gue cara bersabar nunggu cinta yang emang benar-benar sejati buat gue. Dan gue nggak nyangka ternyata cewek yang secara nggak langsung bikin gue gagal nyatain cinta pertama gue, ternyata adalah cinta sejati gue."Mungkin menurut kalian ucapannya itu biasa saja, tapi bagiku itu istimewa dan manis. Entahlah aku juga tidak tahu pe

  • Bintang untuk Angkasa    43. Let Me Stay

    "Bi." Suara Kak Andro masuk ke telinga begitu aku mengerjap-ngerjapkan mata.Aku mengerutkan kening, bukankah Kak Andro sedang di Bandung? Sedikit mendesis, aku membuka mataku. Kepalaku rasanya sangat pusing seperti dihantam palu. Begitu cahaya blur yang tadi memenuhi pandanganku memudar, aku bisa melihat dengan jelas wajah Kak Andro yang sedang menatapku."Kak Andro?" Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa perih. Seingatku, semalam aku minum air cukup banyak tapi kenapa rasanya seperti tenggorokanku tidak tersentuh air selama berhari-hari?Kak Andro duduk di kursi samping bangkar sambil terus menatapku. Aku benar-benar bingung kenapa Kak Andro bisa ada di sini, padahal semalam saja dia masih chating denganku dan dia mengatakan sedang berkumpul bersama teman-temannya. Lalu kenapa bisa ada di rumah sakit?"K-Kak Andro kapan pulang?" Ah, kenapa suaraku lirih dan serak begini? Sebenarnya apa yang terjadi padaku?Aku berniat bangun, namun rasa pusing dan n

  • Bintang untuk Angkasa    42. Cahaya Yang Mulai Redup

    "Bi, I'm coming!"Aku meringis pelan saat melihat Intan yang membuka pintu sambil membawa kantong plastik, berteriak melengking. Di belakangnya, ada Nina dan Galang yang melambaikan tangan ke arahku.Aku membalas lambaian tangan mereka, "Akhirnya kalian datang juga."Intan langsung duduk di kursi sebelah kiri ranjang tempatku terbaring, sementara Nina dan Galang duduk di kursi sebelah kanan. Intan meletakkan kantong plastik itu di atas nakas,"Gue tau lo lebih tertarik sama novel dari pada buah, makanya gue sengaja beliin novel Asma Nadia yang terbaru," ucap Intan.Aku terkekeh, "Lo emang sahabat yang pengertian, deh.""Eits, jangan salah! Gue juga ikut patungan beli novel best seller itu. Jadi gue juga harus dapat pujian itu juga," sahut Galang."Lebay banget sih kamu!" sahut Nina sambil memukul pelan bahu Galang. Kami bertiga tertawa."Lo dari tadi sendirian, Bi?" Galang bertanya sambil mengambil sebutir jeruk yang pagi tadi Bu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status