Home / Romansa / Bintang untuk Angkasa / 7. In Your Dream

Share

7. In Your Dream

last update Last Updated: 2020-11-08 07:58:29
Dengan wajah lesu dan kepala menunduk, aku melangkah keluar dari toko buku. Menghampiri Angkasa yang tengah terduduk santai di jok motornya yang terparkir di parkiran depan toko itu, sambil memainkan ponselnya. Saat aku sudah berada di depannya, dia menyimpan kembali ponsel berwarna putih itu ke dalam saku jaketnya dan mengangkat wajahnya ke arahku. 

Sebelah alisnya terangkat, seolah bertanya: "gimana?"

Aku berdecak kesal dalam hati melihat sikapnya itu. Apa susah sekali bertanya dengan mulut daripada dengan bahasa tubuh seperti itu? Dasar!

Aku menghela napas berat. "Gak ada juga." 

Angkasa menegakkan tubuhnya, kemudian mengambil helm dan sama seperti saat berangkat tadi, dia memakaikannya ke kepalaku. Aku hanya diam menerima perlakuannya itu, sambil menundukkan kepala dan mengerucutkan bibir. Bahkan sampai dia memakai helmnya sendiri dan sudah naik ke motor, aku masih menunduk tak bersemangat.

"Enggak usah cengeng. Naik." 

Dengan semakin mengerucutkan bibir, aku pun naik ke boncengannya dan berpegangan sedikit pada bahu lebar cowok itu. Motor pun berjalan dengan kecepatan sedang membelah jalanan, menyebabkan angin yang berhembus kencang menyapu wajahku. Tapi aku sedang tidak dengan suasana hati yang baik untuk menikmati hembusan angin ini.

Penyebabnya adalah apa yang kucari belum juga kudapatkan. Buku paket itu, aku tidak tahu akan sesulit ini mencarinya. Sudah tiga toko buku kumasuki, tapi semua hasilnya sama. Penjaga toko mengatakan buku itu sudah langka dan tidak dijual lagi. Ketiga penjaga toko dari tiga toko yang berbeda mengatakan hal yang sama. Bayangkan saja bagaimana frustasi dan kesalnya aku. Hei, aku hanya butuh satu buku saja. Hanya satu!

Rem mendadak yang dilakukan Angkasa saat lampu merah, membuat tubuh mungilku menabrak punggung tegaknya. Kekesalanku semakin bertambah mengingat masalah ini datangnya berasal dari dia. Kalau bukan karena cowok ini, sekarang aku pasti sudah duduk santai di rumah menunggu hujan yang sebentar lagi memang akan segera turun.

"Gara-gara elo!" bentakku tanpa sadar.
Dan bodohnya aku baru sadar kalau keceplosan bicara saat Angkasa menolehkan kepalanya sedikit ke belakang.

"Ngomong apa barusan?"

Aku berdecak pelan. Memalingkan wajah ke arah mobil yang berhenti tepat di sebelah motor Angkasa.

"Apaan?!" 

Aku mengerucutkan bibirku kesal. "Ini semua tuh gara-gara lo!"

Melalui kaca spion, aku bisa melihat tatapannya yang menajam. "Nggak usah kebanyakan ngeluh. Manja!"

"Kalau gue manja, emang kenapa? Ngaruh buat lo?" 

"Gue nggak suka cewek manja!"

Aku memutar bola mata. "Siapa juga yang mau disukai cowok ngeselin kayak elo!"

Dia tidak menjawab lagi. Tapi melalui kaca spion, aku melihat kedua bibirnya terangkat sedikit sesaat sebelum motor melaju lagi. Sangat sedikit, hingga jika orang lain melihat sekilas pasti tidak akan menyadari. Dan sayangnya, aku menyadarinya. Untuk pertama kalinya, aku melihat seorang Angkasa tersenyum. Meskipun samar, tapi aku yakin dia tersenyum barusan. Sebuah hal yang sangat langka, bukan? 

Angkasa menghentikan motornya di depan sebuah toko buku yang jauh lebih besar dari ketiga toko buku sebelumnya. Aku segera turun, melepaskan helm dan beranjak menuju pintu masuk toko itu. Namun langkahku terhenti saat Angkasa menahan tanganku.

"Gue yang masuk."

Aku melongo menatapnya. "Hah?"

"Bukunya kayak gimana?"

Masih dengan tidak paham, kukeluarkan ponsel dari saku baju seragam identitas sekolah yang kupakai, dan menunjukkan gambar buku paket yang kucari. Tadi saat di sekolah, aku memang sengaja mengambil gambar buku paket itu secara detail agar aku lebih mudah mencarinya. Angkasa mengirimkan gambar itu ke ponselnya melalui aplikasi berbagi.

"Tunggu di sini."

Aku menatap punggungnya dengan kening berkerut. Dia benar-benar akan mencarikannya kali ini? Baguslah. Setidaknya dia sadar kalau dia juga punya andil dalam kehilangan buku itu. Lima belas menit kemudian, dia keluar. Aku yang tadinya duduk bersandar pada motor langsung menegakkan badanku. Saat dia sudah sampai di depanku, tatapanku jatuh pada kedua tangannya. Kenapa dia tidak membawa apa-apa?

"Enggak ada juga?" tanyaku langsung.

Angkasa mengangkat bahunya membuat perasaanku tiba-tiba tidak enak. "Besok cari lagi. Sekarang udah sore."

Aku menghindar saat dia mengambil helm dan hendak memakaikannya padaku. "Lo tuh enak banget sih ngomong gitu? Besok apanya? Gue bisa dimarahin sama Bu Ani kalo besok nggak bawa tuh buku." 

Kudengar dia menghela napas berat. "Sekarang udah sore, dan bentar lagi huj–"

"Tapi gue harus dapetin buku itu hari ini!" potongku dengan nada meninggi. Sejenak kami berpandangan dengan tatapan sama-sama kesal. Aku menghentakkan kakiku dengan keras. "Kenapa sih lo harus jatohin buku-buku itu? Kalo lo nggak gila kayak tadi pagi, gue nggak bakal pusing kayak gini!"

Dia meremas rambutnya dan mendesah frustasi. "Gue yang bakal tanggung jawab sama Bu Ani besok. Jadi sekarang kita pulang!" Aku baru membuka mulut saat dia kembali membentak. "Gak usah bantah!"

Angkasa pun melajukan kembali motornya dengan kecepatan tinggi dan kami sama-sama diam. Aku sudah sangat lelah dan suasana hatiku benar-benar buruk sekarang. Belum ada tiga kilometer motor melaju, hujan deras tiba-tiba saja mengguyur jalanan dengan derasnya. Aku suka hujan, tapi tidak bisakah hujan turun saat aku sudah sampai rumah saja? Kenapa harus sekarang? Rumahku masih jauh dan aku tidak mau pakaianku basah kuyup. Semoga saja Angkasa membawa jas hujan, kalau bisa dua deh.

Namun aku mengernyit bingung saat Angkasa menepikan motornya di depan sebuah ruko yang tutup. "Turun." 

Aku pun turun, masih dengan perasaan bingung. Aku merapikan rambut yang berantakan setelah melepas helm. "Kenapa ke sini?"

Dengan cueknya dia melepas helm dan berjalan lebih dalam ke pelataran ruko itu.

Aku mengekor dan berdiri di sebelahnya.
"Jangan bilang kalo lo nggak bawa jas hujan?" 

Angkasa bergumam, membuatku berdecak kesal. Namun aku tidak punya pilihan lain selain menurutinya untuk berteduh di sini. Aku juga tidak mau basah kuyup karena kehujanan, karena aku harus bisa menjaga kesehatanku sendiri. Maksudku, daya tahan tubuhku cukup buruk sehingga walaupun hanya kehujanan saja aku bisa sakit lebih parah dibanding orang-orang pada umumnya.

Aku menghela napas berat, memandang butiran-butiran hujan yang berukuran besar saking derasnya hujan. Angin berhembus cukup kencang menusuk-nusuk kulit sehingga hawa dingin langsung menyerang tubuhku. Kedua lenganku memeluk erat tubuh sendiri, dingin. Aku berdecak merutuki kecerobohanku sendiri karena hari ini lupa membawa jaket atau setidaknya kardigan.
Keningku berkerut saat Angkasa berjalan kembali menuju motornya. Apa dia sudah mau pergi? Tapi hujannya belum reda, masih sangat deras. Saat aku berjalan mendekatinya yang sudah memakai helm, dia mengangkat tangan seolah mengisyaratkan agar aku tetap pada posisiku

"Tunggu di sini."

Seolah tidak memberiku kesempatan untuk mencerna ucapannya, cowok itu sudah melajukan motornya dengan kecepatan tinggi meninggalkanku yang berdiri mematung, sendiri di tempat ini. Tentu saja aku panik setengah mati. Tapi apa tadi katanya? Dia menyuruhku menunggu disini, kan? Itu artinya dia tidak meninggalkanku pulang dan tetap akan kembali ke sini, kan? 
Masalahnya adalah ruko tempatku berteduh sekarang letaknya sangat jauh dari pusat kota, dan artinya juga jauh dari rumahku. Tempat ini juga sudah sepi. Entah bagaimana caranya aku bisa mendapatkan kendaraan umum kalau Angkasa benar-benar tidak kembali.

Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, ini sudah hampir dua puluh menit sejak Angkasa pergi. Hanya rintik hujan yang masih saja deras, juga dinginnya angin yang berhembus yang menemaniku saat ini. Rasa panik langsung menyerang ku karena Angkasa tak kunjung datang. Berkali-kali aku memandangi ujung jalan yang dilewati motor Angkasa tadi, berharap dia segera datang. Kalau biasanya aku tidak suka melihat kedatangannya, tapi untuk kali ini aku berharap sekali dia segera datang.
Berulang kali aku mencoba menepis rasa takut, tapi lagi-lagi aku gagal. Siapa yang tidak takut ditinggalkan sendirian di tempat sepi seperti ini? Di tengah hujan deras, lagi!

Aku sungguh tidak akan memaafkan Angkasa kalau dia benar-benar tidak kembali dalam waktu satu menit. Sungguh.
Tapi kurasa takdir memang mengharapkan ku untuk memaafkannya. Buktinya, di detik ke dua puluh setelah aku berjanji, suara mesin motor yang kukenal terdengar mendekat. Dan aku bernapas lega melihat sosok yang sangat kukenal memakai jaket Levis berwarna hitam itu.

"Lama banget, sih?" tanyaku kesal saat dia sudah sampai di depanku.

Ekspresinya yang datar berubah menjadi sulit diartikan menanggapi pertanyaanku tadi. Sedetik kemudian dia menyeringai aneh dengan sebelah alisnya terangkat.

"Segitunya nungguin gue?"

Kurasakan pipiku memanas, segera kupalingkan wajahku ke arah lain. Berusaha sebisa mungkin agar cowok ini tidak menyadari wajahku yang mungkin sudah semerah kepiting rebus. Jangan sampai. Bisa ge-er dia!

Aku tersentak kaget saat sesuatu membalut tubuhku. Mendongak, mendapati Angkasa yang sudah berdiri, memakaikan sebuah jaket berwarna putih ke tubuhku. Niatku bertanya teralihkan oleh aroma khas kayu-kayuan bercampur mint dari tubuhnya yang sangat dekat dengan tubuhku. Jantungku menggedor-gedor tak karuan lagi. Aku menelan ludah dengan cukup kesulitan, sedangkan dia masih sibuk memakaikan jaket itu untukku.

Bahkan aku hanya diam terpaku saat dia menuntunku untuk melepaskan tas, kemudian tangannya menuntun lenganku agar masuk ke lengan jaket itu. Dan aku baru tersadar bahwa sedari tadi hanya diam menurut tanpa mengucapkan apa-apa. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, saat tangannya hendak menarik ke atas resleting jaket yang sudah kupakai ini.

"Gue bisa sendiri." 

Desiran aneh seperti sebuah sengatan saat tangannya sekilas bersentuhan dengan tanganku yang sama-sama dingin. Dengan sedikit gugup, kutarik resleting jaket keatas hingga jaket itu membalut tubuhku dengan sempurna. Aku bernapas lega saat dia mengubah posisinya menjadi berdiri di sebelahku, bukan di depanku lagi. Kupandangi langit yang masih menurunkan rintik-rintik hujan, ini sudah sangat sore.

Ah, Kak Viny! Aku bahkan lupa untuk memberitahu kak Viny kalau aku akan pulang terlambat. Bagaimana bisa aku melupakannya? Kak Viny pasti sangat khawatir sekarang.

"Gue udah ngomong sama Viny."

Niatku menekan tombol hijau di ponsel, batal mendengar ucapan Angkasa barusan. Apa dia tahu isi pikiranku? Apa dia bisa membaca pikiran orang lain? Hii jadi ngeri!
Dengan gerakan pelan, kumasukkan ponselku ke saku jaket yang kupakai. Kuputuskan untuk duduk di lantai dan menyandarkan punggung pada pintu toko yang tertutup itu. Dan ternyata Angkasa juga melakukan hal yang sama. Aku tertegun saat melihat kantong plastik yang tergeletak di lantai. Dapat kulihat dengan jelas nama toko yang tertera pada kantong plastik itu.

Tatapanku teralih pada jaket yang kupakai. Jadi Angkasa sengaja membelikan jaket ini? Untukku? Jadi dia pergi dalam waktu cukup lama hanya untuk membeli ini?
Entah kenapa ada sesuatu yang menghangat di rongga dadaku. Kurasakan pipiku kembali memanas sekarang.

"Berapa harga jaketnya?" 

Angkasa yang duduk menyandarkan punggung pada pintu toko dan menumpukan kedua tangannya pada lutut yang ditekuk, menoleh. Sebelah alisnya terangkat menatapku.

"Gue ganti."

Tatapannya berubah menajam. Apa aku bicara salah? Dua detik dia menatapku seperti itu, kemudian memalingkan pandangannya ke arah depan lagi. "Gue belum semiskin itu."

Aku mengerucutkan bibir mendengar ucapan datarnya itu. Sekitar lima belas menit kemudian hujan reda, hanya menyisakan gerimis kecil saja. Aku bangkit dan berjalan mengikuti Angkasa menuju motornya. Seperti sebelumnya, dia memakaikanku helm. Sedang dia fokus mengaitkan pengait helm itu, entah keberanian dari mana aku mulai mengamati wajahnya. Mulai dari dagunya yang lancip, bibir yang agak tebal, hidung agak mancung, matanya yang tidak terlalu sipit namun juga tidak terlalu besar, dan alis tebalnya. Dan terakhir tatapanku jatuh pada pelipisnya.

"Tapi muka dia bonyok gitu. Kayaknya abis berantem deh. Kak Angkasa kan emang sering berantem."

Ucapan Intan tadi siang terngiang di kepalaku. Benar, wajahnya babak-belur. Dan yang paling parah adalah pelipisnya itu, sedikit sobek dengan bekas darah di sana. Hampir enam jam melewatkan waktu bersamanya, aku bahkan tidak menyadari kondisi wajahnya itu. Tanpa sadar aku meringis pelan, pasti itu rasanya sakit.

"Abis berantem?" tanyaku.

Dia melirik datar, mengambil helmnya sendiri. "Nggak usah kepo."

Sialan. Menipiskan bibir, aku mengulurkan plester yang kuambil dari saku tas. "Gue nggak suka liat muka bonyok."

Sebelah alisnya terangkat. "Kasihan? Khawatir?"

Aku berdecih. "Jangan ngarep. Ambil!"

Tapi dia tetap tidak mau mengambilnya. Malah memajukan wajah, membuat kepalaku mundur seketika. "Pakein."

Mataku berotasi. "Siapa elo?!"

Dia menarik kembali wajahnya. "Ya udah, simpan lagi. Gue nggak butuh."

Tenang, Bi. Kamu harus punya stok kesabaran yang cukup untuk menghadapi cowok ini. "Ya udah, sini gue pakein."
Aku pura-pura tidak sadar, kalau barusan dia menyeringai lebar. Pasti senang karena bisa mengerjaiku. Aku menempelkan plester itu dengan gerakan kasar. "Gue nggak suka cowok tukang berantem."

Dia membalas tatapanku. "Ada alasannya."

"Apa? Ego? Harga diri? Pembuktian siapa yang lebih jago?" Keterdiamannya membuatku yakin, dia mengiyakan. "Nggak keren amat!"

Dia menahan tanganku saat aku hendak melangkah menuju motor. Aku menatapnya heran. Matanya menyorotku intens. "Gue nggak akan berantem lagi."

Tanpa sadar, aku tersenyum. "Baguslah."

"Asal lo janji, setelah ini nurut sama omongan gue."

Senyumku lenyap. Kuempaskan tanganku dengan segenap tenaga. Lalu berteriak di depan wajahnya, "In your dream!"

***

Related chapters

  • Bintang untuk Angkasa    8. Labrakan

    "Duh Tan, gimana dong?""Ya udahlah lo bilang aja apa adanya, kalo lo udah nyari kemana-mana tapi udah nggak ada yang jual."Aku dan Intan masih berdiri khawatir di depan ruang guru. Tadi saat pergantian jam pelajaran ketiga, Deni memberitahu bahwa aku disuruh menghadap Bu Ani saat jam istirahat kedua. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menyerahkan buku paket se

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    9. Feel Alone

    Langit di luar tampak mendung. Sebentar lagi kurasa hujan akan turun. Aku menghela napas, mengalihkan pandangan dari langit di luar jendela ke novel yang kuletakkan di atas meja.Ngomong-ngomong, ini sudah hampir seminggu sejak kejadian labrakan itu. Sehari dua hari setelah kejadian memalukan di kantin itu, telingaku harus panas setiap hari oleh kasak-kusuk yang membicarakan hal itu. Banyak yang memandangiku dengan sinis, terutama geng Anggi. Bintang yang tidak terlalu dikenal di sekolah ini mendadak jadi bahan pembicaraan karena dilabrak oleh geng Anggi yang terkenal itu. Tapi aku hanya menanggapinya deng

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    10. Sorry

    "Papa, Bi dapat peringkat dua di kelas."Gadis kecil berusia sembilan tahun berlari ke arah pria berusia tiga puluh delapan tahun yang tengah membaca koran di ruang tamu. Sang ayah yang dipanggilnya sama sekali tidak menghiraukan kehadiran gadis itu dan tetap pada kegiatannya membaca koran."Papa, lihat! Nilai Bi d

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    11. I'm Fine

    "Sudah, Mbak Bi. Biar nanti Bu Rini aja yang lipat baju-bajunya. Kan Bu Rini udah sering bilang, kalo Mbak Bi ndak perlu bantu Bu Rini segala."Aku menghentikan gerakan tanganku melipat baju, kemudian menoleh pada Bu Rini yang tengah menyetrika baju di meja. "Kan Bi juga sering bilang kalo Bi enggak berniat bantu Bu Rini, tapi karena Bi seneng aja

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    12. Menyebalkan

    "Bintang?"Aku tengah membereskan buku-buku yang masih berserakan di meja, menoleh pada Deni yang berdiri di depan meja guru. "Kenapa?""Boleh minta tolong nggak?"Aku menghela napas sambil memasukkan buku-buku tadi ke dalam tas. "Tuh kan, udah gue duga. Kenapa sih lo kalau minta tolong selalu ke gue? Heran, deh.""Soalnya cuma lo yang paling baik dan penolong di kelas ini." Cowok berkacamata itu menyengir.Bibirku tercebik. "Minta tolong apa?""Tolong kembaliin buku paket ini ke perpus." Deni menunjuk setumpuk buku paket matematika yang digunakan Pak Daniel untuk mengajar jam pelajaran tadi."Kan itu tugasnya yang giliran piket hari ini.""Yang giliran piket hari ini pada kabur semua."Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan benar juga kata Deni bahwa hanya ka

    Last Updated : 2020-11-13
  • Bintang untuk Angkasa    13. Obat

    Aku langsung turun begitu motor Angkasa berhenti di depan pintu gerbang rumahku. Lalu kuserahkan helm ke arahnya, yang sedang melepas helmnya sendiri.Dia menerimanya tanpa melepas tatapan dari wajahku. "Kenapa mukanya gitu?""Kenapa mukanya gitu?" Aku mengikuti gaya bicaranya dengan tambahan ejekan sebal. "Pikir aja sendiri!""Lo marah?""Menurut lo?!"Dia hanya terkekeh. Kalau bisa, rasanya ingin kuulek muka innocent cowok ini. Semua kekesalan ini berawal dari aku yang sepulang sekolah, berniat meminta buku dan kartu perpustakaan yang dibawa olehnya. Dia memberi syarat agar aku mau diantar pulang olehnya. Intan yang menemaniku menemuinya, malah dengan rela meninggalkanku. Mau tidak mau, aku ikut. Tapi ternyata alih-alih langsung mengantarku pulang, cowok ini malah mengajakku mampir kemana-mana. Mulai dari menemui mamanya di butik milik keluarga mereka, beli sepatu di mall, sampai nongkrong di kafe dengan teman-temannya. Kalau saja aku tidak meng

    Last Updated : 2020-11-14
  • Bintang untuk Angkasa    14. Congestif Heart Failure

    "Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau jantung kamu kelainan? Kenapa kamu malah ngerahasiain ini, Bi? Harusnya kamu ngomong sama Papa dan Kakak. Apa kamu udah nggak anggap kita sebagai keluarga kamu la–""Apa kalian akan percaya kalau aku ngomong?" potongku, membuat Kak Andro bungkam. Bibirku mengeluarkan tawa sarkastik. "Enggak akan percaya kan? Jadi buat apa aku ngomong!" Aku mengusap kasar pipi yang basah oleh air mata. "Jujur aku pengen banget ngomong, Kak. Aku masih dua belas tahun Kak, waktu itu. Anak umur dua belas tahun harus terima kenyataan kalau jantung kanannya enggak normal, siapa yang enggak terpukul? Rasanya aku pengen nangis di depan Papa sama Kakak. Aku pengen dapat pelukan hangat dari keluargaku. Tapi aku bisa apa? Kalian cuma anggap aku orang asing di rumah ini.""Karena itu aku diem, aku nyari waktu yang tepat buat ngomong sama kalian. Setahun setelah aku dikasih tau penyakitku, aku udah niat ngomong sama kalian. Tapi apa yang aku dapat? Tepat di h

    Last Updated : 2020-11-14
  • Bintang untuk Angkasa    15. Permintaan Maaf Andro

    Suara deheman membawaku kembali ke tempat di mana aku berada sekarang, di atap aula sekolah yang berada tepat di belakang ruang perpustakaan. Tadinya aku ingin ke perpustakaan, tapi ternyata tempat itu sedang digunakan oleh para siswa kelas tiga untuk mengerjakan tugas. Karena itu aku memilih berada di sini, tempat yang ternyata lebih tenang dari perpustakaan."Elo?!" ucapku kaget saat menoleh ke arah deheman itu dan menemukan Angkasa sudah duduk di bangku panjang yang sama denganku. Angkasa duduk di sebelahku, memandang ke depan dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. "Sejak kapan lo di sini?""Sejak lo nangis nggak jelas," jawabnya datar tanpa menoleh sedikit pun padaku."Nangis?" gumamku dengan mata berkedip tanpa sadar. Dan aku tertegun karena ternyata setetes air lolos dari pelupuk mataku membasahi pipiku yang tadinya sudah basah. Aku bahkan tidak sadar kalau sedari tadi aku menangis hanya karena teringat hari-hari berat yang kulalui.Aku tersentak

    Last Updated : 2020-11-14

Latest chapter

  • Bintang untuk Angkasa    50. Married

    "Kamu gugup, Dek?"Aku menoleh dan tersenyum kaku pada Kak Salma yang sedari tadi menemaniku di kamar. Kak Salma tersenyum, kemudian mengusap punggung tanganku untuk memberiku ketenangan. Di luar, acara akad nikah akan segera dimulai. Ya, ini sudah seminggu sejak kejutan ulang tahun itu, dan artinya sekarang adalah hari pernikahan kami."Kamu tahu, Dek? Kakak juga ngerasain gugup yang sama seolah ini adalah acara nikahannya adek kandung Kakak sendiri." Kak Salma kembali berbicara.Aku menatap wajah Kak Salma yang berkaca-kaca, "Kak Salma kangen sama Kak Sania?"Kak Salma tersenyum dan mengusap pipiku, "Tentu saja kangen. Tapi Kakak selalu punya obat buat ngobatin kangen Kakak itu. Dengan liat kamu."Kak Salma terkekeh pelan, "Kakak bener-bener bisa nemuin Sania pada diri kamu, Dek. Kalian itu bener-bener punya sifat yang mirip, dan itu bikin Kakak bahagia karena bisa melihat Sania lagi lewat kamu."Aku mengerutkan kening menatap Kak Salma. Apa

  • Bintang untuk Angkasa    49. Proposed

    Aku mengerjap-ngerjapkan mata, saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Sambil menggeliatkan tubuh pelan dan masih berusaha mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi, aku mendesah. Suara ketukan itu terdengar lagi, dan kini makin keras. Aku mendecakkan lidah pelan, benar-benar merasa kesal karena tidurku terganggu. Aku makin berdecak kesal saat mataku melirik ke arah jam weker berbentuk kepala Pororo yang menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Ketukan itu kembali terdengar seperti gedoran."Iya, bentar!" ucapku setengah berteriak, dengan suara serak khas bangun tidur. Tidak ada jawaban. Aku mengerucutkan bibir, mengucek mata sambil beringsut turun dari ranjang."Siapa sih bangunin orang malem-malem gini?" gerutuku sambil mengikat rambutku yang berantakan dengan ikatan cepol asal-asalan.Sejenak kemudian aku sudah membuka pintu kamar, dan keningku sontak berkerut saat tak menemukan siapa-siapa di depan pintu kamar."Siapa?" tan

  • Bintang untuk Angkasa    48. Today, Tomorrow and Forever

    Takdir. Satu kata yang sangat rumit untuk dipecahkan. Satu kata yang sering dikutuk dan dipersalahkan atas apa yang dialami makhluk bernama manusia. Satu kata penuh misteri yang tidak dapat diprediksi oleh ilmuwan terpintar sekali pun. Satu kata yang hanya menjadi rahasia-Nya dan tidak akan pernah bisa diganggu gugat oleh manusia. Tentang sebuah takdir. Tak ada yang bisa manusia tebak dari jalannya sebuah takdir. Entah itu untuk dua tahun kemudian, setahun kemudian, sebulan kemudian atau bahkan sedetik kemudian. Manusia tidak akan mampu memprediksi takdir apa yang akan terjadi padanya. Bahkan sesuatu paling nyata dan bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya, bisa saja berubah keadaan menjadi sebuah hal yang di luar nalar, jika Dia sudah berkehendak. Hanya Dia Yang Maha membolak-balikkan takdir, dan manusia harus bisa menerima semua yang telah tertulis dalam lauhful mahfudz-Nya.Itu pula yang kini dijalani seorang Angkasa Yudhistira, menerima dan menjalani dengan tega

  • Bintang untuk Angkasa    47. Sad Song

    Without you, I feel brokeLike I'm half of a wholeWithout you, I've got no hand to holdWithout you, I feel tornLike a sail in a stormWithout you, I'm just a sad songI'm just a sad song(Sad Song – We The Kings)"Kak Angkasa!"Angkasa mengerjap-ngerjapkan mata saat suara lembut itu menyapu telinganya. Sangat dekat. Dan terdengar nyata. Laki-laki itu membuka mata sedetik kemudian, dan ia tertegun melihat tempatnya berada sekarang. Atap aula sekolah."Bintang?" Angkasa berkata lirih, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Di depan sana, tepatnya di pagar pembatas atap, seorang gadis yang berdiri memunggunginya. Gadis itu memakai dress selutut berwarna putih tulang, dengan flatshoes yang juga berwarna putih terpasang di kaki jenjangnya. Rambut sepunggungnya yang tergerai indah, bergoyang-goyang tertiup angin yang berembus lembut. Di pergelangan tangan kirinya, Angkasa dapat melihat gelang pasangan yang selalu gadis

  • Bintang untuk Angkasa    46. In The First Sigh

    Sama seperti hari-hari sebelumnya, Angkasa duduk di samping bangkar dengan tatapan terpaku pada seorang gadis remaja yang terbaring lemah di atas bangkar. Ini kedua kalinya ia menyaksikan tubuh itu dipasangi banyak belalai yang terhubung pada sebuah monitor yang terus berbunyi, untuk mendeteksi bahwa masih ada kehidupan pada tubuh itu. Hati Angkasa terasa sakit, perih ulu hatinya. Jika saat ini gadis yang amat dicintainya itu tengah mengalami keadaan koma, maka Angkasa juga sama. Ia juga sedang koma, tapi hatinya bukan tubuhnya. Kenangan-kenangan itu kembali berputar di benaknya, mengulang kembali awal-awal perkenalannya dengan gadis itu, Bintang Aurora. Perlahan, Angkasa mulai bercerita ...."Ini perpus sekolah kita." Romi menunjuk ruangan di sebelah mereka dan ditanggapi Angkasa dengan anggukan kepala dua kali. "Emang sepi, sih. Dimana-mana yang namanya perpus kan cuma buat tempat nongkrong murid-murid cupu." Romi tertawa kecil. "Sayangnya di sekolah ini yang cupu cuma dikit

  • Bintang untuk Angkasa    45. Akan Tetap Bersinar

    Kirana Candrawati. Bagi seorang Danu Wijaya, nama itu adalah nama paling indah sejagad raya. Nama yang memiliki arti terpenting dalam hidupnya, yang mengajarkannya betapa hidup itu harus disyukuri. Nama yang sampai saat ini tetap menjadi penghuni ruang penting dalam hatinya. Hingga saat nama itu benar-benar hanya tinggal nama, dan ia tak bisa melihat lagi pemilik nama itu sendiri, pria itu merasa hancur. Hidupnya seolah ikut dibawa pergi oleh perempuan pemilik nama indah itu. Danu tidak punya tujuan hidup lagi, bahkan untuk sekedar memandang bayi mungil yang kelahirannya sekaligus merupakan kehancuran hidupnya, karena ibu dari bayi itu meninggalkannya dari dunia.Bayi mungil itu, yang orang bilang saat lahir sama sekali tidak berdosa, suci dan polos, telah merenggut nyawa Kirana, istri tercintanya. Sejak kelahiran bayi itu, sekaligus kematian Kirana, Danu benar-benar tidak bisa menjalani hidup dengan baik. Satu-satunya wajah yang sangat tidak ingin dia lihat adalah wajah b

  • Bintang untuk Angkasa    44. Lampion Harapan

    Hubunganku dengan Angkasa kembali membaik sejak sore itu. Dia juga sudah menceritakan semuanya—walaupun dalam versi singkat—tentang bagaimana dulu dia patah hati karena Kak Viny ternyata lebih memilih Kak Bisma. Dan itu membuatku lagi-lagi merasa bersalah karena membuat Kak Viny pulang bersama Kak Bisma di saat Angkasa ingin mengutarakan perasaannya. Namun Angkasa menenangkanku dengan mengatakan hal yang membuatku merasa istimewa."Gue ceritain ini bukan karena pengen buat lo ngerasa bersalah. Lagian gue bisa ambil pelajaran dari ini, yaitu sesuatu yang gue pengen banget nggak selamanya bisa gue dapatkan. Dan mungkin itu emang cara Tuhan mengajari gue cara bersabar nunggu cinta yang emang benar-benar sejati buat gue. Dan gue nggak nyangka ternyata cewek yang secara nggak langsung bikin gue gagal nyatain cinta pertama gue, ternyata adalah cinta sejati gue."Mungkin menurut kalian ucapannya itu biasa saja, tapi bagiku itu istimewa dan manis. Entahlah aku juga tidak tahu pe

  • Bintang untuk Angkasa    43. Let Me Stay

    "Bi." Suara Kak Andro masuk ke telinga begitu aku mengerjap-ngerjapkan mata.Aku mengerutkan kening, bukankah Kak Andro sedang di Bandung? Sedikit mendesis, aku membuka mataku. Kepalaku rasanya sangat pusing seperti dihantam palu. Begitu cahaya blur yang tadi memenuhi pandanganku memudar, aku bisa melihat dengan jelas wajah Kak Andro yang sedang menatapku."Kak Andro?" Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa perih. Seingatku, semalam aku minum air cukup banyak tapi kenapa rasanya seperti tenggorokanku tidak tersentuh air selama berhari-hari?Kak Andro duduk di kursi samping bangkar sambil terus menatapku. Aku benar-benar bingung kenapa Kak Andro bisa ada di sini, padahal semalam saja dia masih chating denganku dan dia mengatakan sedang berkumpul bersama teman-temannya. Lalu kenapa bisa ada di rumah sakit?"K-Kak Andro kapan pulang?" Ah, kenapa suaraku lirih dan serak begini? Sebenarnya apa yang terjadi padaku?Aku berniat bangun, namun rasa pusing dan n

  • Bintang untuk Angkasa    42. Cahaya Yang Mulai Redup

    "Bi, I'm coming!"Aku meringis pelan saat melihat Intan yang membuka pintu sambil membawa kantong plastik, berteriak melengking. Di belakangnya, ada Nina dan Galang yang melambaikan tangan ke arahku.Aku membalas lambaian tangan mereka, "Akhirnya kalian datang juga."Intan langsung duduk di kursi sebelah kiri ranjang tempatku terbaring, sementara Nina dan Galang duduk di kursi sebelah kanan. Intan meletakkan kantong plastik itu di atas nakas,"Gue tau lo lebih tertarik sama novel dari pada buah, makanya gue sengaja beliin novel Asma Nadia yang terbaru," ucap Intan.Aku terkekeh, "Lo emang sahabat yang pengertian, deh.""Eits, jangan salah! Gue juga ikut patungan beli novel best seller itu. Jadi gue juga harus dapat pujian itu juga," sahut Galang."Lebay banget sih kamu!" sahut Nina sambil memukul pelan bahu Galang. Kami bertiga tertawa."Lo dari tadi sendirian, Bi?" Galang bertanya sambil mengambil sebutir jeruk yang pagi tadi Bu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status