Share

6. I Want You

last update Last Updated: 2020-11-08 07:57:42

"Butuh obat?" 

Aku menoleh pada Mbak Erin, perawat di UKS yang baru saja meletakkan segelas air putih di atas nakas. "Enggak usah, Mbak. Cuma kecapekan aja kok. Tiduran bentar pasti udah baikan."

"Ya udah, kamu istirahat aja. Saya tinggal dulu ya."

Aku mengangguk dan menggeser sedikit tubuhku mencari posisi yang nyaman untuk berbaring. "Makasih, Mbak."

Mbak Erin pun pergi, meninggalkanku sendiri dalam salah satu bilik di ruang UKS ini. Setelah kepergian Mbak Erin, aku mengeluarkan dari saku bajukuz dua butir pil yang tadi kuambil dari tas punggungku. Aku segera meminumnya dengan bantuan air putih yang diberikan mbak Erin tadi.

Tadi setelah mendengarkan ceramah panjang lebar dari Bu Ani tentang pentingnya tanggung jawab hingga telingaku rasanya panas sekali dan jatah makan siangku habis untuk itu, aku langsung minta izin tidak mengikuti pelajaran karena pusing. Sebenarnya bukan karena pusing, tapi karena nyeri dada kiriku yang menyerang kembali pagi ini. Bahkan saat diceramahi Bu Ani tadi, fokusku bukan pada ceramah guru yang terkenal cerewet itu tapi pada rasa nyeri yang cukup kuat ini.

Dan kalian tahu apa yang menyebabkan aku diceramahi panjang lebar oleh Bu Ani? Karena aku tidak berhasil menemukan buku paket bahasa Indonesia yang jatuh di lapangan tadi pagi. Alhasil aku harus menerima ceramah dari Bu Ani dan juga harus mengganti kehilangan buku itu dengan buku yang baru, yang harus ku ari sendiri di toko buku. Dan aku harus membawanya besok ke Bu Ani, karena buku itu akan digunakan kelas lain. Hari ini benar-benar hari yang sangat sial untukku. Dan alasan kesialan itu adalah Angkasa!

Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan melalui mulut. Aku harus mengontrol emosi dan menenangkan pikiranku sendiri. Dengan begitu rasa nyeri ini akan sedikit berkurang. Dan lebih baik sekarang aku tidur sebentar agar efek obat itu bisa maksimal.

Kutarik selimut berwarna putih itu sampai ke bawah dagu dan kupejamkan mataku. Beberapa menit kemudian, perlahan kelopak mataku terasa berat. Samar-samar telingaku mendengar suara decitan kursi di samping ranjang, namun karena rasa kantukku lebih mendominasi akhirnya aku tidak menghiraukannya dan malah terlelap.

Entah berapa lama aku tertidur, sampai akhirnya suara nyaring bel membuatku terjaga. Kukerjap-kerjabkan mata beberapa kali agar penglihatanku lebih jelas. Mendesah pelan, aku mengubah posisiku menjadi duduk. Suara decitan kursi membuatku menoleh, dan langsung terkejut. Cowok yang tengah duduk di sana membuat rasa kesal dan heran bercampur jadi satu. Kesal karena dengan melihat wajahnya, membuatku teringat kelakuannya yang keterlaluan tadi pagi. Dan juga heran, kenapa dia ada di sini?

Dengan cepat, aku beringsut menggeser tubuhku ke sisi ranjang yang lain, menjauh darinya. Menurunkan kakiku dari atas ranjang dan memakai flatshoes yang kulepaskan tadi. Setelah memastikan penampilanku tidak berantakan, aku bangkit berdiri untuk segera keluar dari ruangan ini.

"Sakit apa?" 

Langkahku baru sampai pintu saat dia menanyakan itu. Aku menghela napas berat. "Bukan urusan lo." 

Sepanjang koridor menuju kelas, aku terheran-heran karena para siswa sudah memakai tas mereka masing-masing dan berjalan menuju pintu gerbang depan.

"Bi!" Intan setengah berlari ke arahku dengan tas di punggungnya dan tas punggungku di lengan kanannya. "Ini tas lo." 

"Makasih. Tapi emang sekarang udah jam pulang?" tanyaku sambil menerima tas berwarna biru muda itu. Apa jangan-jangan sekarang memang sudah jam pulang sekolah? Dan jam dinding di UKS salah? Tapi jam tanganku juga menunjukkan kalau sekarang baru pukul dua belas siang.

"Guru-guru ada rapat jadi kita dipulangkan lebih awal."

"Tahu sekarang pulang awal, mending hari ini gue gak usah masuk sekalian aja. Dan gue gak bakal dapet ceramah dari Bu Ani." gerutuku sambil melanjutkan langkah beriringan menuruni anak tangga menuju lantai bawah.

Intan malah terkekeh sebentar sebelum memanggilku lirih.

"Apa?" 

"Lo beneran nggak apa-apa, kan?" tanyanya.

Aku menghentikan langkahku, diikuti Intan yang masih menatapku serius. Aku tahu arti tatapannya itu. Tadi sebelum ke UKS, Intan memergoki ku yang tengah mengeluarkan obatku yang berupa pil itu dari botol. Sebagai salah satu orang yang paling dekat denganku, Intan tahu betul obat apa itu. Sekuat mungkin aku berusaha meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Tapi kurasa Intan masih saja khawatir.

"Gue cuma kecapean, Tan. Jadi nggak perlu khawatir. Oke?"

"Gue nggak mau lo ninggalin gue, Bi. Lo pernah hampir ninggalin gue. Ninggalin keluarga lo. Ninggalin Galang. Gue nggak mau itu terjadi lagi. Walaupun lo sering kesel nggak jelas, tapi lo udah gue anggap kayak saudara gue sendiri."

Sebelah tanganku merangkul bahu Intan dan mengajaknya melanjutkan langkah kami yang terhenti. "Gue nggak bakal kemana-mana. Gue janji."

"Gue pegang janji lo. Tapi lo harus kasih tau gue kalo lo ngerasa nggak nyaman sama badan lo dan lo harus mau gue ajak ketemu papa gue. Janji?"

"Bintang Aurora janji." 

Intan pun balik merangkul bahuku dan kami berjalan berangkulan. "Gue masih nggak percaya deh kalo orang yang bikin lo kena masalah hari ini adalah Kak Angkasa."

Aku berdecak kesal. "Ya iyalah orang lo aja fans fanatiknya dia."

Intan tertawa. Kami sedikit menepi ke dinding saat ada gerombolan siswa kelas tiga melewati kami. "Bukannya gitu, Bi. Tapi kan selama ini yang gue tau, Kak Angkasa itu baik, ramah, murah senyum, dan nggak mungkin bisa ngelakuin hal keterlaluan kayak gitu."

"Dan sekarang terbukti kan kalo idola lo itu bisa ngelakuin hal keterlaluan kayak gitu?" sahutku sambil mengeratkan tali tas punggungku yang sedikit kendor.

"Tapi Kak Angkasa kayaknya ngerasa bersalah, deh."

Aku menoleh pada Intan dan tertawa sarkastik. "Cowok kayak dia tuh nggak mungkin bisa ngerasa bersalah." 

"Buktinya tadi dia nyamperin gue terus nanyain lo."

"Hah?!" Aku langsung menutup mulut dengan tangan karena beberapa siswa memperhatikan kami karena reaksi spontanku. "Ngapain dia nyari gue?"

Intan mengangkat bahunya. "Gue juga nggak tau."

"Terus tadi lo jawab apa?" tanyaku penasaran.

"Ya gue jawab jujur. Bintang lagi di UKS soalnya kepalanya pusing. Gitu."

Aku menunduk menatap ujung flatshoes. Ingatanku kembali pada saat telingaku mendengar suara decitan kursi sesaat sebelum aku tertidur di UKS. Dan juga keberadaan Angkasa di samping ranjang UKS saat aku terbangun tadi. Apa cowok itu menungguiku tidur?

"Tapi muka dia bonyok gitu. Kayaknya abis berantem, deh. Kak Angkasa kan emang sering berantem."

Tuh kan? Aku saja yang terlalu ge-er. Dia ke UKS bukan untuk menungguiku, tapi untuk mengobati wajahnya yang babak-belur.

"Bi, lo abis ini mau ke toko buku?"

"Iya. Kan Bu Ani bilang gue harus kasih bukunya besok." Diingatkan begitu, aku jadi kesal lagi.

"Gue temenin yuk. Itu Pak Udin udah dateng."

Aku  dan Intan menghentikan langkah kami dan menoleh pada mobil yang ditunjuk Intan. Saat ini kami memang hampir sampai di pintu gerbang. "Lo kan hari ini les privat."

"Gue bisa batalin dulu, kok."

Tetap saja aku merasa tidak enak. "Tap–"

"Bintang."

Aku dan Intan sontak menoleh ke arah orang yang barusan memotong ucapanku. Aku berdecak kesal. Tidak bisakah aku tidak bertemu Angkasa dan hidup tenang sehari saja?

Aku langsung menarik lengan Intan untuk pergi dari sana. Tapi dengan gerakan cepat Angkasa menghalangi jalan kami dan berdiri tepat di depanku. "Minggir. Gue mau lewat."

"Gue anter lo ke toko buku."

Aku dan Intan saling berpandangan. Kemudian aku mendongak menatap tajam pada Angkasa. "Gue bisa pergi sama temen gue."

Dengan masih menggandeng lengan Intan, aku menyampingkan tubuhku agar bisa melewati Angkasa. Tapi lagi-lagi gerakan Angkasa untuk menghalangi jalanku, lebih cepat.

"Lo mau ngorbanin jadwal les temen lo cuma buat kepentingan lo sendiri?" tanyanya sinis.

Kok dia bisa tahu? Jangan-jangan dia menguping pembicaraan kami? Aissh!
Aku menoleh pada Intan. "Lo pulang duluan aja, Tan."

"Tapi lo ke toko bukunya gimana?" tanya Intan dengan nada khawatir. Intan pasti tahu kalau aku tidak mungkin menerima ajakan Angkasa.

"Gampang. Gue bisa ajak Kak Viny entar." 

"Kapan lo nggak egois? Viny tuh sibuk, tugasnya banyak. Lo nggak mikir gimana capeknya dia kalo harus nemenin lo pergi segala? Sekali-kali nggak usah manja ngerepotin Viny terus. Bisa?!"

Lagi-lagi aku dan Intan hanya berpandangan. Mungkin Intan terkejut bisa-bisanya Angkasa membentakku seperti itu. Dan aku sama terkejutnya. Ini kedua kalinya dia membentakku seperti itu. Aku tidak suka dibentak-bentak seperti itu. Sudah kubilang kan kalau bahkan Papa dan Kak Andro saja belum pernah sekalipun membentakku seperti itu?

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan lewat mulut. Tangan kananku memijit pelipisku pelan, merasa agak pusing. "Tan, lo pulang duluan deh. Gue bisa pergi sendiri."

"Tapi, Bi?"

Aku tersenyum tipis. "Gue nggak bakal kenapa-napa. Oke?"

Intan mengangguk ragu, namun akhirnya dia menurut untuk segera masuk ke mobilnya dan meninggalkanku. Sepeninggal Intan, aku pun berjalan melewati Angkasa yang masih berdiri di depanku tadi tanpa mengucapkan apapun padanya. Dan sekarang dia tidak menahan langkahku lagi, membuatku bernapas lega. Seperti biasa, aku harus berjalan sekitar dua ratus meter untuk bisa sampai ke halte bus. Tidak sendiri, karena banyak siswa yang juga melakukan hal yang sama. Tapi sepertinya aku salah, karena sebuah motor berhenti di sampingku.

"Ikut gue." Suara tajam itu masuk ke telinga bersamaan dengan lenganku yang ditarik paksa.

"Lepas!" 

Beberapa siswa yang menghentikan langkahnya memandangi kami, membuatku semakin tidak nyaman. Tapi Angkasa tidak menghiraukan bentakanku dan kembali menarik lenganku berjalan cepat menuju motornya. Dan tentu saja, aku melepaskan kembali pegangan tangannya dan berjalan ke depan lagi. Namun langkahku terhenti saat Angkasa sudah berdiri di depanku.

"Nggak usah kekanak-kanakan, bisa?" tanyanya dengan nada kesal.

"Ya Allah, kekanak-kanakan apa lagi? Gue udah nurutin omongan lo buat nggak ngerepotin Intan sama Kak Viny. Dan gue bakal pergi sendiri. Sendiri, lo denger? Dan lo masih bilang gue kekanak-kanakan? Di mana letak kekanak-kanakan gue sekarang, hah?!"

Aku benar-benar kesal, marah, tidak habis pikir, semuanya. Suasana hatiku sangat kacau sekarang hingga rasanya mau menangis saja. Dan lihat wajah datarnya itu. Juga tatapan mengintimidasi dari bola hitam sehitam tinta spidol itu! Sedikit saja, hanya sedikit.

Apa dia tidak merasa bersalah sama sekali telah membuatku terkena masalah hari ini? Apa dia tidak merasa kalau setelah pertemuan kami tempo hari membuat hari-hariku berubah tidak setenang sebelumnya? Mengataiku seenaknya, mencium pipiku seenaknya, memaksaku pulang dengannya, menjatuhkan buku-buku yang kubawa hingga salah satu buku hilang, apa dia tidak ingat pernah melakukan itu padaku? Dimmana letak hatinya?!

Decakan kesal keluar dari mulutku begitu aku menyadari setetes air jatuh dari pelupuk mataku. Kenapa aku harus menangis di depannya sih?

Segera kuusap sudut mataku yang berair. "Lo tuh maunya apa sebenarnya?" 

"Gue mau elo."

Aku tersentak. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Dan aku membalasnya dengan pelototan. "Sakit jiwa, lo!"

Kali ini dia hanya menghela napas lelah. Keningku berkerut dibuatnya. "Sekali aja jangan bantah omongan gue, bisa?"

Aku berdecak. Tapi entah kenapa tidak bisa menolak saat tangannya kembali menarikku kembali ke motornya. Sialan. Kenapa aku lagi-lagi kalah darinya?!

***

Related chapters

  • Bintang untuk Angkasa    7. In Your Dream

    Dengan wajah lesu dan kepala menunduk, aku melangkah keluar dari toko buku. Menghampiri Angkasa yang tengah terduduk santai di jok motornya yang terparkir di parkiran depan toko itu, sambil memainkan ponselnya. Saat aku sudah berada di depannya, dia menyimpan kembali ponsel berwarna putih itu ke dalam saku jaketnya dan mengangkat wajahnya ke arahku.Sebelah alisnya terangkat, seolah bertanya: "gimana?"

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    8. Labrakan

    "Duh Tan, gimana dong?""Ya udahlah lo bilang aja apa adanya, kalo lo udah nyari kemana-mana tapi udah nggak ada yang jual."Aku dan Intan masih berdiri khawatir di depan ruang guru. Tadi saat pergantian jam pelajaran ketiga, Deni memberitahu bahwa aku disuruh menghadap Bu Ani saat jam istirahat kedua. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menyerahkan buku paket se

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    9. Feel Alone

    Langit di luar tampak mendung. Sebentar lagi kurasa hujan akan turun. Aku menghela napas, mengalihkan pandangan dari langit di luar jendela ke novel yang kuletakkan di atas meja.Ngomong-ngomong, ini sudah hampir seminggu sejak kejadian labrakan itu. Sehari dua hari setelah kejadian memalukan di kantin itu, telingaku harus panas setiap hari oleh kasak-kusuk yang membicarakan hal itu. Banyak yang memandangiku dengan sinis, terutama geng Anggi. Bintang yang tidak terlalu dikenal di sekolah ini mendadak jadi bahan pembicaraan karena dilabrak oleh geng Anggi yang terkenal itu. Tapi aku hanya menanggapinya deng

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    10. Sorry

    "Papa, Bi dapat peringkat dua di kelas."Gadis kecil berusia sembilan tahun berlari ke arah pria berusia tiga puluh delapan tahun yang tengah membaca koran di ruang tamu. Sang ayah yang dipanggilnya sama sekali tidak menghiraukan kehadiran gadis itu dan tetap pada kegiatannya membaca koran."Papa, lihat! Nilai Bi d

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    11. I'm Fine

    "Sudah, Mbak Bi. Biar nanti Bu Rini aja yang lipat baju-bajunya. Kan Bu Rini udah sering bilang, kalo Mbak Bi ndak perlu bantu Bu Rini segala."Aku menghentikan gerakan tanganku melipat baju, kemudian menoleh pada Bu Rini yang tengah menyetrika baju di meja. "Kan Bi juga sering bilang kalo Bi enggak berniat bantu Bu Rini, tapi karena Bi seneng aja

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    12. Menyebalkan

    "Bintang?"Aku tengah membereskan buku-buku yang masih berserakan di meja, menoleh pada Deni yang berdiri di depan meja guru. "Kenapa?""Boleh minta tolong nggak?"Aku menghela napas sambil memasukkan buku-buku tadi ke dalam tas. "Tuh kan, udah gue duga. Kenapa sih lo kalau minta tolong selalu ke gue? Heran, deh.""Soalnya cuma lo yang paling baik dan penolong di kelas ini." Cowok berkacamata itu menyengir.Bibirku tercebik. "Minta tolong apa?""Tolong kembaliin buku paket ini ke perpus." Deni menunjuk setumpuk buku paket matematika yang digunakan Pak Daniel untuk mengajar jam pelajaran tadi."Kan itu tugasnya yang giliran piket hari ini.""Yang giliran piket hari ini pada kabur semua."Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan benar juga kata Deni bahwa hanya ka

    Last Updated : 2020-11-13
  • Bintang untuk Angkasa    13. Obat

    Aku langsung turun begitu motor Angkasa berhenti di depan pintu gerbang rumahku. Lalu kuserahkan helm ke arahnya, yang sedang melepas helmnya sendiri.Dia menerimanya tanpa melepas tatapan dari wajahku. "Kenapa mukanya gitu?""Kenapa mukanya gitu?" Aku mengikuti gaya bicaranya dengan tambahan ejekan sebal. "Pikir aja sendiri!""Lo marah?""Menurut lo?!"Dia hanya terkekeh. Kalau bisa, rasanya ingin kuulek muka innocent cowok ini. Semua kekesalan ini berawal dari aku yang sepulang sekolah, berniat meminta buku dan kartu perpustakaan yang dibawa olehnya. Dia memberi syarat agar aku mau diantar pulang olehnya. Intan yang menemaniku menemuinya, malah dengan rela meninggalkanku. Mau tidak mau, aku ikut. Tapi ternyata alih-alih langsung mengantarku pulang, cowok ini malah mengajakku mampir kemana-mana. Mulai dari menemui mamanya di butik milik keluarga mereka, beli sepatu di mall, sampai nongkrong di kafe dengan teman-temannya. Kalau saja aku tidak meng

    Last Updated : 2020-11-14
  • Bintang untuk Angkasa    14. Congestif Heart Failure

    "Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau jantung kamu kelainan? Kenapa kamu malah ngerahasiain ini, Bi? Harusnya kamu ngomong sama Papa dan Kakak. Apa kamu udah nggak anggap kita sebagai keluarga kamu la–""Apa kalian akan percaya kalau aku ngomong?" potongku, membuat Kak Andro bungkam. Bibirku mengeluarkan tawa sarkastik. "Enggak akan percaya kan? Jadi buat apa aku ngomong!" Aku mengusap kasar pipi yang basah oleh air mata. "Jujur aku pengen banget ngomong, Kak. Aku masih dua belas tahun Kak, waktu itu. Anak umur dua belas tahun harus terima kenyataan kalau jantung kanannya enggak normal, siapa yang enggak terpukul? Rasanya aku pengen nangis di depan Papa sama Kakak. Aku pengen dapat pelukan hangat dari keluargaku. Tapi aku bisa apa? Kalian cuma anggap aku orang asing di rumah ini.""Karena itu aku diem, aku nyari waktu yang tepat buat ngomong sama kalian. Setahun setelah aku dikasih tau penyakitku, aku udah niat ngomong sama kalian. Tapi apa yang aku dapat? Tepat di h

    Last Updated : 2020-11-14

Latest chapter

  • Bintang untuk Angkasa    50. Married

    "Kamu gugup, Dek?"Aku menoleh dan tersenyum kaku pada Kak Salma yang sedari tadi menemaniku di kamar. Kak Salma tersenyum, kemudian mengusap punggung tanganku untuk memberiku ketenangan. Di luar, acara akad nikah akan segera dimulai. Ya, ini sudah seminggu sejak kejutan ulang tahun itu, dan artinya sekarang adalah hari pernikahan kami."Kamu tahu, Dek? Kakak juga ngerasain gugup yang sama seolah ini adalah acara nikahannya adek kandung Kakak sendiri." Kak Salma kembali berbicara.Aku menatap wajah Kak Salma yang berkaca-kaca, "Kak Salma kangen sama Kak Sania?"Kak Salma tersenyum dan mengusap pipiku, "Tentu saja kangen. Tapi Kakak selalu punya obat buat ngobatin kangen Kakak itu. Dengan liat kamu."Kak Salma terkekeh pelan, "Kakak bener-bener bisa nemuin Sania pada diri kamu, Dek. Kalian itu bener-bener punya sifat yang mirip, dan itu bikin Kakak bahagia karena bisa melihat Sania lagi lewat kamu."Aku mengerutkan kening menatap Kak Salma. Apa

  • Bintang untuk Angkasa    49. Proposed

    Aku mengerjap-ngerjapkan mata, saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Sambil menggeliatkan tubuh pelan dan masih berusaha mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi, aku mendesah. Suara ketukan itu terdengar lagi, dan kini makin keras. Aku mendecakkan lidah pelan, benar-benar merasa kesal karena tidurku terganggu. Aku makin berdecak kesal saat mataku melirik ke arah jam weker berbentuk kepala Pororo yang menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Ketukan itu kembali terdengar seperti gedoran."Iya, bentar!" ucapku setengah berteriak, dengan suara serak khas bangun tidur. Tidak ada jawaban. Aku mengerucutkan bibir, mengucek mata sambil beringsut turun dari ranjang."Siapa sih bangunin orang malem-malem gini?" gerutuku sambil mengikat rambutku yang berantakan dengan ikatan cepol asal-asalan.Sejenak kemudian aku sudah membuka pintu kamar, dan keningku sontak berkerut saat tak menemukan siapa-siapa di depan pintu kamar."Siapa?" tan

  • Bintang untuk Angkasa    48. Today, Tomorrow and Forever

    Takdir. Satu kata yang sangat rumit untuk dipecahkan. Satu kata yang sering dikutuk dan dipersalahkan atas apa yang dialami makhluk bernama manusia. Satu kata penuh misteri yang tidak dapat diprediksi oleh ilmuwan terpintar sekali pun. Satu kata yang hanya menjadi rahasia-Nya dan tidak akan pernah bisa diganggu gugat oleh manusia. Tentang sebuah takdir. Tak ada yang bisa manusia tebak dari jalannya sebuah takdir. Entah itu untuk dua tahun kemudian, setahun kemudian, sebulan kemudian atau bahkan sedetik kemudian. Manusia tidak akan mampu memprediksi takdir apa yang akan terjadi padanya. Bahkan sesuatu paling nyata dan bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya, bisa saja berubah keadaan menjadi sebuah hal yang di luar nalar, jika Dia sudah berkehendak. Hanya Dia Yang Maha membolak-balikkan takdir, dan manusia harus bisa menerima semua yang telah tertulis dalam lauhful mahfudz-Nya.Itu pula yang kini dijalani seorang Angkasa Yudhistira, menerima dan menjalani dengan tega

  • Bintang untuk Angkasa    47. Sad Song

    Without you, I feel brokeLike I'm half of a wholeWithout you, I've got no hand to holdWithout you, I feel tornLike a sail in a stormWithout you, I'm just a sad songI'm just a sad song(Sad Song – We The Kings)"Kak Angkasa!"Angkasa mengerjap-ngerjapkan mata saat suara lembut itu menyapu telinganya. Sangat dekat. Dan terdengar nyata. Laki-laki itu membuka mata sedetik kemudian, dan ia tertegun melihat tempatnya berada sekarang. Atap aula sekolah."Bintang?" Angkasa berkata lirih, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Di depan sana, tepatnya di pagar pembatas atap, seorang gadis yang berdiri memunggunginya. Gadis itu memakai dress selutut berwarna putih tulang, dengan flatshoes yang juga berwarna putih terpasang di kaki jenjangnya. Rambut sepunggungnya yang tergerai indah, bergoyang-goyang tertiup angin yang berembus lembut. Di pergelangan tangan kirinya, Angkasa dapat melihat gelang pasangan yang selalu gadis

  • Bintang untuk Angkasa    46. In The First Sigh

    Sama seperti hari-hari sebelumnya, Angkasa duduk di samping bangkar dengan tatapan terpaku pada seorang gadis remaja yang terbaring lemah di atas bangkar. Ini kedua kalinya ia menyaksikan tubuh itu dipasangi banyak belalai yang terhubung pada sebuah monitor yang terus berbunyi, untuk mendeteksi bahwa masih ada kehidupan pada tubuh itu. Hati Angkasa terasa sakit, perih ulu hatinya. Jika saat ini gadis yang amat dicintainya itu tengah mengalami keadaan koma, maka Angkasa juga sama. Ia juga sedang koma, tapi hatinya bukan tubuhnya. Kenangan-kenangan itu kembali berputar di benaknya, mengulang kembali awal-awal perkenalannya dengan gadis itu, Bintang Aurora. Perlahan, Angkasa mulai bercerita ...."Ini perpus sekolah kita." Romi menunjuk ruangan di sebelah mereka dan ditanggapi Angkasa dengan anggukan kepala dua kali. "Emang sepi, sih. Dimana-mana yang namanya perpus kan cuma buat tempat nongkrong murid-murid cupu." Romi tertawa kecil. "Sayangnya di sekolah ini yang cupu cuma dikit

  • Bintang untuk Angkasa    45. Akan Tetap Bersinar

    Kirana Candrawati. Bagi seorang Danu Wijaya, nama itu adalah nama paling indah sejagad raya. Nama yang memiliki arti terpenting dalam hidupnya, yang mengajarkannya betapa hidup itu harus disyukuri. Nama yang sampai saat ini tetap menjadi penghuni ruang penting dalam hatinya. Hingga saat nama itu benar-benar hanya tinggal nama, dan ia tak bisa melihat lagi pemilik nama itu sendiri, pria itu merasa hancur. Hidupnya seolah ikut dibawa pergi oleh perempuan pemilik nama indah itu. Danu tidak punya tujuan hidup lagi, bahkan untuk sekedar memandang bayi mungil yang kelahirannya sekaligus merupakan kehancuran hidupnya, karena ibu dari bayi itu meninggalkannya dari dunia.Bayi mungil itu, yang orang bilang saat lahir sama sekali tidak berdosa, suci dan polos, telah merenggut nyawa Kirana, istri tercintanya. Sejak kelahiran bayi itu, sekaligus kematian Kirana, Danu benar-benar tidak bisa menjalani hidup dengan baik. Satu-satunya wajah yang sangat tidak ingin dia lihat adalah wajah b

  • Bintang untuk Angkasa    44. Lampion Harapan

    Hubunganku dengan Angkasa kembali membaik sejak sore itu. Dia juga sudah menceritakan semuanya—walaupun dalam versi singkat—tentang bagaimana dulu dia patah hati karena Kak Viny ternyata lebih memilih Kak Bisma. Dan itu membuatku lagi-lagi merasa bersalah karena membuat Kak Viny pulang bersama Kak Bisma di saat Angkasa ingin mengutarakan perasaannya. Namun Angkasa menenangkanku dengan mengatakan hal yang membuatku merasa istimewa."Gue ceritain ini bukan karena pengen buat lo ngerasa bersalah. Lagian gue bisa ambil pelajaran dari ini, yaitu sesuatu yang gue pengen banget nggak selamanya bisa gue dapatkan. Dan mungkin itu emang cara Tuhan mengajari gue cara bersabar nunggu cinta yang emang benar-benar sejati buat gue. Dan gue nggak nyangka ternyata cewek yang secara nggak langsung bikin gue gagal nyatain cinta pertama gue, ternyata adalah cinta sejati gue."Mungkin menurut kalian ucapannya itu biasa saja, tapi bagiku itu istimewa dan manis. Entahlah aku juga tidak tahu pe

  • Bintang untuk Angkasa    43. Let Me Stay

    "Bi." Suara Kak Andro masuk ke telinga begitu aku mengerjap-ngerjapkan mata.Aku mengerutkan kening, bukankah Kak Andro sedang di Bandung? Sedikit mendesis, aku membuka mataku. Kepalaku rasanya sangat pusing seperti dihantam palu. Begitu cahaya blur yang tadi memenuhi pandanganku memudar, aku bisa melihat dengan jelas wajah Kak Andro yang sedang menatapku."Kak Andro?" Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa perih. Seingatku, semalam aku minum air cukup banyak tapi kenapa rasanya seperti tenggorokanku tidak tersentuh air selama berhari-hari?Kak Andro duduk di kursi samping bangkar sambil terus menatapku. Aku benar-benar bingung kenapa Kak Andro bisa ada di sini, padahal semalam saja dia masih chating denganku dan dia mengatakan sedang berkumpul bersama teman-temannya. Lalu kenapa bisa ada di rumah sakit?"K-Kak Andro kapan pulang?" Ah, kenapa suaraku lirih dan serak begini? Sebenarnya apa yang terjadi padaku?Aku berniat bangun, namun rasa pusing dan n

  • Bintang untuk Angkasa    42. Cahaya Yang Mulai Redup

    "Bi, I'm coming!"Aku meringis pelan saat melihat Intan yang membuka pintu sambil membawa kantong plastik, berteriak melengking. Di belakangnya, ada Nina dan Galang yang melambaikan tangan ke arahku.Aku membalas lambaian tangan mereka, "Akhirnya kalian datang juga."Intan langsung duduk di kursi sebelah kiri ranjang tempatku terbaring, sementara Nina dan Galang duduk di kursi sebelah kanan. Intan meletakkan kantong plastik itu di atas nakas,"Gue tau lo lebih tertarik sama novel dari pada buah, makanya gue sengaja beliin novel Asma Nadia yang terbaru," ucap Intan.Aku terkekeh, "Lo emang sahabat yang pengertian, deh.""Eits, jangan salah! Gue juga ikut patungan beli novel best seller itu. Jadi gue juga harus dapat pujian itu juga," sahut Galang."Lebay banget sih kamu!" sahut Nina sambil memukul pelan bahu Galang. Kami bertiga tertawa."Lo dari tadi sendirian, Bi?" Galang bertanya sambil mengambil sebutir jeruk yang pagi tadi Bu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status