Share

2. Awal Mula

last update Last Updated: 2020-11-08 07:51:48
Ada alasan kenapa aku begitu kesal dan tidak suka pada cowok itu. Memang belum bisa dibilang benci sih, soalnya aku bertemu dia juga cuma baru sekali–sebelum di koridor kemarin. 

Waktu itu, aku turun dari bus dan berjalan kaki seperti biasa dari halte menuju gedung sekolah. Aku sudah terbiasa datang paling pagi, karena itu aku tidak terlalu kaget melewati jalan yang biasanya setelah bel pulang berbunyi selalu ramai oleh kendaraan maupun pejalan kaki, namun masih sangat sepi sebelum pukul tujuh kurang lima belas menit. Bel masuk berbunyi pada pukul tujuh tepat karena itu mayoritas siswa dan guru sampai di sekolah tidak kurang dari jam tujuh kurang lima belas menit. Kenapa aku selalu datang paling awal tidak seperti kebanyakan siswa di sekolah ini? Karena aku ingin berangkat selalu bersama Kak Viny. Hanya itu saja alasannya. 

Aku dan Kak Viny memang tidak bersekolah di sekolah yang sama. Kak Viny bersekolah di SMA dekat tempat tinggalnya dulu sebelum Papa dan Bunda menikah kemudian pindah ke rumah Papa. Otomatis jarak sekolahnya dengan rumah papa cukup jauh, karena itu kami selalu berangkat sangat pagi. Kak Viny memang tidak ingin pindah ke sekolah yang jaraknya lebih dekat, alasannya karena dia sudah merasa nyaman dengan sekolahnya itu. Orang tua kami pun tidak menentang keinginan Kak Viny. Tapi karena aku suka berangkat bersama-sama Kak Viny, maka aku harus rela sampai sekolah lebih awal dibandingkan siswa-siswa lainnya.

Aku sih tidak masalah apakah aku sampai di sekolah sangat awal atau menjelang bel masuk berbunyi. Bagiku yang terpenting itu adalah ada teman saat di perjalanan. Itu saja. Karena aku sudah merasakan bagaimana tidak nyamannya berjalan dan naik kendaraan umum tanpa ada yang bisa diajak bicara. Itu adalah saat aku masih SMP dulu sementara di SMA ini aku cukup beruntung karena ada Kak Viny di sampingku selama perjalanan. Dan kenapa kami naik bus bukannya menggunakan mobil yang sudah disediakan oleh papa? Karena kak Viny belum punya kartu SIM dan lagipula kami sama-sama lebih suka naik kendaraan umum daripada kendaraan pribadi. 

Sampai di depan gerbang sekolah, aku menolehkan kepala sebentar ke arah SMA Bina Nusantara yang berseberangan dengan SMA Pelita Nusantara tempatku bersekolah. Gerbang sekolah yang masih satu yayasan dengan sekolahku itu juga terlihat masih sepi. Aku menghela napas berat, membalikkan kepala sambil menggenggam erat tali tas punggungku.

"Pagi, Mbak?"

Sapaan itu membuatku menoleh ke sumber suara. Aku tersenyum sopan pada pria separuh baya yang barusan menyapaku saat aku memasuki gerbang sekolahku.

"Pagi juga Pak Dirman." 

Pak Dirman ini adalah satpam sekolahku. Dia sangat ramah pada seluruh siswa di sekolah ini. Selalu memanggil 'Mas' untuk siswa laki-laki dan 'Mbak' untuk siswa perempuan. Katanya biar lebih akrab. Meskipun ramah, tapi satpam yang satu ini tidak pernah memberi ampun pada siswa-siswa yang terbiasa berangkat terlambat setelah pintu gerbang ditutup.

Setelah sedikit acara sapa-menyapa itu, aku segera melanjutkan langkah menyusuri koridor menuju kelasku. Namun langkahku terhenti saat melewati lapangan basket yang berada tepat di tengah-tengah gedung sekolah yang berlantai tiga ini. Beberapa siswa yang kutahu adalah anggota tim basket di sekolah ini tampak tengah serius berlatih permainan bola basket. Setahuku, sebagian dari mereka adalah siswa kelas XI sementara sebagian lainnya siswa kelas XII. Dan menurut cerita Intan, belakangan ini mereka serius berlatih karena beberapa hari lagi akan diadakan pertandingan bola basket antara SMA Bina Nusantara dan SMA Pelita Nusantara. Pertandingan itu merupakan pertandingan persahabatan dan bertempat di sekolah ini.

Pandanganku fokus tertuju pada salah satu siswa yang tengah memasukkan bola berwarna oranye itu ke dalam ring basket. Tanpa sadar kedua sudut bibirku tertarik keatas saat siswa itu berhasil memasukkan bola ke ring. Bukan aku sangat menyukai permainan bola basket sehingga aku tertarik untuk memperhatikan mereka, bahkan aku sekarang sudah berdiri tepat di pinggir lapangan itu. Tapi itu ada alasannya. Karena aku teringat bahwa dulu aku sering menemani Galang saat berlatih basket di lapangan kompleks perumahan kami.

"Woy awas!"

Lamunanku itulah yang membuat kejadian sial menimpa. Benda bulat berwarna oranye tiba-tiba melayang ke arahku. Ke kepalaku. Otakku memberikan sinyal bahwa satu detik lagi bola itu akan mencium dahiku. Tapi meskipun otakku sudah menginformasikan itu, tapi saking terkejutnya tubuhku tidak menuruti perintah otakku dan tetap mematung begitu saja. Tapi malah mulutku yang terbuka lebar dan pita suaraku otomatis juga ikut terbuka.

"AAA!"

Mataku terpejam dan jemariku menggenggam erat tali tas kanan dan kiri. Aku sudah bersiap untuk menerima ciuman bola basket itu di dahiku yang tertutup sedikit poni. Tapi sampai enam detik kemudian, aku tidak merasakan apa-apa. Nyeri. Berdenyut-denyut. Panas. Atau apapun. Karena itu, dengan kedua mata terpejam, aku menerka-nerka apa yang mungkin terjadi.

Hidungku bergerak. Sedikit mengendus. Aroma kayu-kayuan bercampur mint masuk ke rongga hidungku. Ah, tidak mungkin kan aku pingsan tapi masih bisa mencium aroma yang menenangkan ini? Aku yakin seratus persen kalau aroma ini berasal dari parfum yang entah merk-nya apa. Tapi aku yakin itu parfum. 

Perlahan, aku mengangkat kelopak mata yang tertutup. Gelap. Itu yang tertangkap di mataku yang setengah terbuka. Aku baru sadar bahwa puncak hidungku menyentuh sesuatu yang empuk di depan. Seperti...
Spontan kakiku mundur dua langkah. Dan baru terlihat dengan jelas di depanku memang dada bidang seorang laki-laki. Memakai seragam sekolah yang sama denganku, juga dasi abu-abu yang juga sama dengan yang kupakai. Suasana ini sepertinya masih di suasana pinggir lapangan basket. Dan artinya aku tidak pingsan? Lalu ke mana perginya bola basket tadi?

Kutolehkan kepala ke kanan, tak kutemukan benda bulat berwarna oranye itu sejauh mata memandang. Lalu kutolehkan kepala ke kiri, oh itu dia! Bola yang sering dipantul-pantulkan itu tergeletak di atas tanah paving sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. 
Jadi bola itu benar-benar tidak mengenaiku? Jadi ada yang menolongku? Siapa? Seseorang di depanku. Ya. Itu dia. Aku baru ingat. Pasti dia yang menolongku.

Dengan gerakan slow motion, kepalaku mendongak penasaran dengan wajah orang yang menolong ku. Pertama kali yang masuk ke indera penglihatanku adalah bibir agak tebal berwarna merah 'sedikit' kecoklatan yang terkatup rapat membentuk satu garis lurus. Sama sekali tidak tertarik membentuk lengkungan keatas, sedikit pun.
Kemudian tatapanku naik ke hidung yang cukup mancung dengan patahan tulang yang sangat sempurna. Kukatakan sekali lagi, sangat sempurna dan pas sekali untuk kulitnya yang putih. Lalu naik lagi ke bola mata yang tidak terlalu besar dengan iris sehitam tinta spidol di kelas. Melewati kedua bola mata yang cukup 'indah' itu, menampilkan kedua alis tebal yang menawan. Rambut cepak yang sedikit melewati telinga yang entah kenapa tampak keren di mataku. Bibir agak tebal berwarna merah 'sedikit' kecoklatan, hidung cukup mancung, kulit pipi yang putih, bola mata sehitam tinta yang indah, dan terakhir alis tebal yang menawan. Perpaduan yang membentuk wajah sangat...sempurna.

Tapi tunggu... sepertinya belum pernah aku melihat bentuk wajah seperti ini. Selama satu setengah tahun menginjakkan kaki di sekolah ini, aku belum pernah melihat wajah yang seperti ini. Apa aku saja yang terlalu kuper, ya? 

"Hei, lo nggak papa?"

Mataku otomatis mengerjap, mendengar pertanyaan yang terlontar entah dari mulut siapa itu. Kunolehkan kepala ke arah siswa yang tadi bertanya padaku. Ternyata dia sudah berdiri tak jauh dari tempatku berdiri.

"Lo nggak kena, kan? Sorry gue nggak liat."

"Enggak kena kok. Soalnya udah ditolongin..." aku menggantung kalimatku dan melirik pada laki-laki yang menolongku tadi.

"Untung tadi lo tolongin cewek ini, Sa. Thanks ya?" potong cowok yang tadinya meminta maaf padaku, sambil menepuk pelan bahu si iris tinta spidol itu.

Si iris tinta spidol itu tidak menyahut, bahkan sampai cowok yang kuyakini sebagai temannya itu kembali berlari ke tengah lapangan. Aku menoleh dan mendongak ke iris tinta spidol itu dan membalas tatapannya sekilas. Hanya sekilas karena aku mulai tidak tahan dengan tatapan mengintimidasi darinya itu. Jadi aku hanya menatap dada bidangnya yang tingginya sejajar dengan puncak kepalaku.

"Makasih."

Aku menunggu jawabannya, namun hingga cukup lama tidak terdengar sahutan darinya. Padahal dia masih di depanku, bahkan aroma kayu-kayuan bercampur mint itu tercium jelas dari hidungku. Merasa penasaran, aku mendongak kembali. Dan keningku otomatis berkerut bingung. Dia masih menatapku dengan tatapan mengintimidasi itu. Sebenarnya dia itu kenapa sih? Kenapa menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan wajahku?

"Sa!"

Panggilan itu membuatku langsung menoleh ke sumber suara, yang sepertinya familiar di telingaku.

"Bintang?"

"Kak Bisma?"

Dua pertanyaan penuh keterkejutan itu keluar bersamaan dari mulutku dan mulut siswa laki-laki yang baru datang dan memanggil si iris tinta spidol itu.
Cowok adalah Kak Bisma, pacar Kak Viny. Aku mengenalnya karena dia pernah beberapa kali mampir ke rumah. Tapi bukankah Kak Bisma bersekolah di Bina Nusantara? Kenapa memakai seragam Pelita Nusantara?

"Kok Kak Bisma di sini? Pake seragam ini?" tanyaku penasaran.

Dan Kak Bisma langsung terkekeh. "Kemana aja lo? Udah tiga bulan kali gue pindah ke sini."

"Hah?"

"Hah?" Kak Bisma meniru gaya terkejut spontanku. "Lo nggak pernah keluar kelas ya sampe-sampe baru ngeh sekarang kalo gue pindah ke sini?"

Aku menyengir sambil mengeratkan genggaman pada tali tas punggungku. "Keluar kelas kok. Tapi cuma ke kantin tapi lebih sering ke perpus sih."

"Mau jadi cewek nerd dan kutu buku yang suka ngapel ke perpus, gitu?"

"Ih enak aja. Ya enggak lah. Emang cuma cewek nerd dan kutu buku aja yang boleh dateng ke perpus?" sahutku tak terima.

Kak Bisma tertawa renyah kemudian pandangannya beralih ke arah lain dan saat kuikuti arah pandangnya, aku baru sadar kalau masih ada orang lain selain aku dan kak Bisma di sini. "Jadi lo udah ketemu Bintang, Sa? Kok nggak ngomong gue?"

Hei, Kak Bisma bicara dengan si iris tinta spidol kan? Kok aku dibawa-bawa?

Kulirik si iris tinta spidol, ternyata dia sudah mengalihkan pandangannya ke arah kak Bisma. Alis tebalnya terangkat sebelah. "Ini yang namanya Bintang?"

Akhirnya keluar juga suaranya. Suara maskulin khas laki-laki keren dan cool tapi kenapa aku merasa terselip ketidaksukaan saat dia menyebut nama 'Bintang'? Mataku menyipit saat si iris tinta spidol menoleh lagi padaku dan menunduk untuk melihat wajahku yang hanya setinggi pundaknya. Aku mengikuti arah pandangnya, dan berhenti di name tag yang terpasang di kemeja seragam putih yang kupakai. Aku spontan menyilangkan tangan di dada.

"Bin-tang A-u-ro-ra." Aku semakin mengernyit bingung. Dia mengangguk-angguk. "Pantes."

"Maksudnya?" sambarku, cepat. Aku tidak akan sentimen kalau dia tidak menunjukkan ekspresi sinis, setelah mengeja namaku.

"Maksudnya, cewek manja, egois dan kekanak-kanakan kayak lo itu pantes bersikap ceroboh kayak tadi." 

"Maksud lo apa?" tanyaku tidak terima. 

Hei dia ini siapa memangnya? Apa hak-nya menilaiku seperti itu? Aku saja tidak kenal dengannya. Bodo amat dengan tatapan mengintimidasi darinya itu. Yang penting aku tidak suka saat ada orang yang tak kukenal menilaiku seenaknya sendiri. Kutarik kembali penilaianku tadi soal dia yang keren, tampan, sempurna dan apalah itu. Semuanya kutarik!

"Kurang jelas emang? Gue ulangi ya. Lo itu cewek manja, egois, kekanak-kanakan, jadi pantes banget ceroboh ngelamun di pinggir lapangan sampe mau kena bola kalo aja nggak gue tolongin." Dia tersenyum sinis kemudian bersuara lagi, padahal aku baru saja akan menyahuti ucapan pedasnya itu. "Emangnya apa sih tujuan lo? Mau cari perhatian? Biar kalo kepala lo kena bola terus lo pingsan banyak yang perhatiin lo, gitu? Biar kita-kita pada tanggung jawab, gitu? Suka banget ya ngerepotin orang lain?"

Aku mengeratkan genggaman tanganku pada tali tas yang kupakai. Kurasa darahku sudah naik sampai ke ubun-ubun sekarang. Bagaimana tidak? Kata-katanya itu, loh. Pedasnya mengalahkan cabai setan! 

"Denger ya, gue makasiiih banget lo udah nolongin gue. Tapi bukan berarti lo bisa ngatain gue seenaknya. Emang tau apa lo soal gue? Lo kenal gue? Enggak, kan? Jadi kalo ngomong jangan asal!" ucapku dengan nada setajam mungkin.

Kulihat dia membelalakkan matanya, mungkin terkejut dengan apa yang kuucapkan. Namun ekspresi wajahnya kembali datar.

"Sa. Udah dong diliatin banyak orang, tuh."

Aku menoleh pada Kak Bisma, masih dengan rasa kesal. "Ini temen Kakak? Tolong dong Kak, ajarin sopan santun!"

Setelah itu aku berlalu meninggalkan kedua cowok itu. Menyebalkan sekali kan cowok itu? Seenaknya saja menceramahiku padahal bertemu juga baru sekali ini. Jadi, tidak ada yang salah kan kalau aku begitu sentimen padanya?

***

Related chapters

  • Bintang untuk Angkasa    3. Kenalan

    Setelah ulangan sejarah yang membahas tentang masa lalu, dilanjutkan dengan dua puluh lima soal latihan matematika yang rumitnya minta ampun, benar-benar membuat otak terasa berasap."Kantin yuk, Bi."Aku mengacungkan jempol kemudian menumpuk buku-buku yang di atas meja dan kumasukkan ke dalam tas punggung. Memang seringnya aku malas ke kantin

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    4. Paksaan

    Tepuk tangan serta sorak-sorai penonton yang menyaksikan pertandingan bola basket di lapangan sekolahku semakin terdengar keras saat tim sekolah kami mencetak angka. Ya, akhirnya aku menuruti permintaan Intan untuk ikut menyaksikan pertandingan itu. Selama jalannya pertandingan, sebenarnya pandanganku tidak terfokus pada pertandingan itu sendiri. Tapi justru pada cowok tinggi dengan kulit agak gelap yang juga ikut bertanding, tepatnya dari tim lawan sekolah kami.Galang Pradipta. Setiap gerak-geriknya tak kulewatkan sedikitpun. Postur tubuhnya, cara berjalannya, caranya menggiring bola, aku rindu semuanya yang ada pada dirinya. Sebulan

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    5. Buku

    "Bintang, boleh minta tolong nggak?"Aku yang baru mendudukkan diri di kursi langsung menoleh pada Deni, si ketua kelas yang barusan bicara padaku. "Apa?""Lo kan hari ini tugas piket, tolong ambilin buku paket bahasa Indonesia sama buku tugas anak-anak di meja Bu Ani, ya? Bisa kan?"

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    6. I Want You

    "Butuh obat?"Aku menoleh pada Mbak Erin, perawat di UKS yang baru saja meletakkan segelas air putih di atas nakas. "Enggak usah, Mbak. Cuma kecapekan aja kok. Tiduran bentar pasti udah baikan.""Ya udah, kamu istirahat aja. Saya tinggal dulu ya."

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    7. In Your Dream

    Dengan wajah lesu dan kepala menunduk, aku melangkah keluar dari toko buku. Menghampiri Angkasa yang tengah terduduk santai di jok motornya yang terparkir di parkiran depan toko itu, sambil memainkan ponselnya. Saat aku sudah berada di depannya, dia menyimpan kembali ponsel berwarna putih itu ke dalam saku jaketnya dan mengangkat wajahnya ke arahku.Sebelah alisnya terangkat, seolah bertanya: "gimana?"

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    8. Labrakan

    "Duh Tan, gimana dong?""Ya udahlah lo bilang aja apa adanya, kalo lo udah nyari kemana-mana tapi udah nggak ada yang jual."Aku dan Intan masih berdiri khawatir di depan ruang guru. Tadi saat pergantian jam pelajaran ketiga, Deni memberitahu bahwa aku disuruh menghadap Bu Ani saat jam istirahat kedua. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menyerahkan buku paket se

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    9. Feel Alone

    Langit di luar tampak mendung. Sebentar lagi kurasa hujan akan turun. Aku menghela napas, mengalihkan pandangan dari langit di luar jendela ke novel yang kuletakkan di atas meja.Ngomong-ngomong, ini sudah hampir seminggu sejak kejadian labrakan itu. Sehari dua hari setelah kejadian memalukan di kantin itu, telingaku harus panas setiap hari oleh kasak-kusuk yang membicarakan hal itu. Banyak yang memandangiku dengan sinis, terutama geng Anggi. Bintang yang tidak terlalu dikenal di sekolah ini mendadak jadi bahan pembicaraan karena dilabrak oleh geng Anggi yang terkenal itu. Tapi aku hanya menanggapinya deng

    Last Updated : 2020-11-08
  • Bintang untuk Angkasa    10. Sorry

    "Papa, Bi dapat peringkat dua di kelas."Gadis kecil berusia sembilan tahun berlari ke arah pria berusia tiga puluh delapan tahun yang tengah membaca koran di ruang tamu. Sang ayah yang dipanggilnya sama sekali tidak menghiraukan kehadiran gadis itu dan tetap pada kegiatannya membaca koran."Papa, lihat! Nilai Bi d

    Last Updated : 2020-11-08

Latest chapter

  • Bintang untuk Angkasa    50. Married

    "Kamu gugup, Dek?"Aku menoleh dan tersenyum kaku pada Kak Salma yang sedari tadi menemaniku di kamar. Kak Salma tersenyum, kemudian mengusap punggung tanganku untuk memberiku ketenangan. Di luar, acara akad nikah akan segera dimulai. Ya, ini sudah seminggu sejak kejutan ulang tahun itu, dan artinya sekarang adalah hari pernikahan kami."Kamu tahu, Dek? Kakak juga ngerasain gugup yang sama seolah ini adalah acara nikahannya adek kandung Kakak sendiri." Kak Salma kembali berbicara.Aku menatap wajah Kak Salma yang berkaca-kaca, "Kak Salma kangen sama Kak Sania?"Kak Salma tersenyum dan mengusap pipiku, "Tentu saja kangen. Tapi Kakak selalu punya obat buat ngobatin kangen Kakak itu. Dengan liat kamu."Kak Salma terkekeh pelan, "Kakak bener-bener bisa nemuin Sania pada diri kamu, Dek. Kalian itu bener-bener punya sifat yang mirip, dan itu bikin Kakak bahagia karena bisa melihat Sania lagi lewat kamu."Aku mengerutkan kening menatap Kak Salma. Apa

  • Bintang untuk Angkasa    49. Proposed

    Aku mengerjap-ngerjapkan mata, saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Sambil menggeliatkan tubuh pelan dan masih berusaha mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi, aku mendesah. Suara ketukan itu terdengar lagi, dan kini makin keras. Aku mendecakkan lidah pelan, benar-benar merasa kesal karena tidurku terganggu. Aku makin berdecak kesal saat mataku melirik ke arah jam weker berbentuk kepala Pororo yang menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Ketukan itu kembali terdengar seperti gedoran."Iya, bentar!" ucapku setengah berteriak, dengan suara serak khas bangun tidur. Tidak ada jawaban. Aku mengerucutkan bibir, mengucek mata sambil beringsut turun dari ranjang."Siapa sih bangunin orang malem-malem gini?" gerutuku sambil mengikat rambutku yang berantakan dengan ikatan cepol asal-asalan.Sejenak kemudian aku sudah membuka pintu kamar, dan keningku sontak berkerut saat tak menemukan siapa-siapa di depan pintu kamar."Siapa?" tan

  • Bintang untuk Angkasa    48. Today, Tomorrow and Forever

    Takdir. Satu kata yang sangat rumit untuk dipecahkan. Satu kata yang sering dikutuk dan dipersalahkan atas apa yang dialami makhluk bernama manusia. Satu kata penuh misteri yang tidak dapat diprediksi oleh ilmuwan terpintar sekali pun. Satu kata yang hanya menjadi rahasia-Nya dan tidak akan pernah bisa diganggu gugat oleh manusia. Tentang sebuah takdir. Tak ada yang bisa manusia tebak dari jalannya sebuah takdir. Entah itu untuk dua tahun kemudian, setahun kemudian, sebulan kemudian atau bahkan sedetik kemudian. Manusia tidak akan mampu memprediksi takdir apa yang akan terjadi padanya. Bahkan sesuatu paling nyata dan bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya, bisa saja berubah keadaan menjadi sebuah hal yang di luar nalar, jika Dia sudah berkehendak. Hanya Dia Yang Maha membolak-balikkan takdir, dan manusia harus bisa menerima semua yang telah tertulis dalam lauhful mahfudz-Nya.Itu pula yang kini dijalani seorang Angkasa Yudhistira, menerima dan menjalani dengan tega

  • Bintang untuk Angkasa    47. Sad Song

    Without you, I feel brokeLike I'm half of a wholeWithout you, I've got no hand to holdWithout you, I feel tornLike a sail in a stormWithout you, I'm just a sad songI'm just a sad song(Sad Song – We The Kings)"Kak Angkasa!"Angkasa mengerjap-ngerjapkan mata saat suara lembut itu menyapu telinganya. Sangat dekat. Dan terdengar nyata. Laki-laki itu membuka mata sedetik kemudian, dan ia tertegun melihat tempatnya berada sekarang. Atap aula sekolah."Bintang?" Angkasa berkata lirih, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Di depan sana, tepatnya di pagar pembatas atap, seorang gadis yang berdiri memunggunginya. Gadis itu memakai dress selutut berwarna putih tulang, dengan flatshoes yang juga berwarna putih terpasang di kaki jenjangnya. Rambut sepunggungnya yang tergerai indah, bergoyang-goyang tertiup angin yang berembus lembut. Di pergelangan tangan kirinya, Angkasa dapat melihat gelang pasangan yang selalu gadis

  • Bintang untuk Angkasa    46. In The First Sigh

    Sama seperti hari-hari sebelumnya, Angkasa duduk di samping bangkar dengan tatapan terpaku pada seorang gadis remaja yang terbaring lemah di atas bangkar. Ini kedua kalinya ia menyaksikan tubuh itu dipasangi banyak belalai yang terhubung pada sebuah monitor yang terus berbunyi, untuk mendeteksi bahwa masih ada kehidupan pada tubuh itu. Hati Angkasa terasa sakit, perih ulu hatinya. Jika saat ini gadis yang amat dicintainya itu tengah mengalami keadaan koma, maka Angkasa juga sama. Ia juga sedang koma, tapi hatinya bukan tubuhnya. Kenangan-kenangan itu kembali berputar di benaknya, mengulang kembali awal-awal perkenalannya dengan gadis itu, Bintang Aurora. Perlahan, Angkasa mulai bercerita ...."Ini perpus sekolah kita." Romi menunjuk ruangan di sebelah mereka dan ditanggapi Angkasa dengan anggukan kepala dua kali. "Emang sepi, sih. Dimana-mana yang namanya perpus kan cuma buat tempat nongkrong murid-murid cupu." Romi tertawa kecil. "Sayangnya di sekolah ini yang cupu cuma dikit

  • Bintang untuk Angkasa    45. Akan Tetap Bersinar

    Kirana Candrawati. Bagi seorang Danu Wijaya, nama itu adalah nama paling indah sejagad raya. Nama yang memiliki arti terpenting dalam hidupnya, yang mengajarkannya betapa hidup itu harus disyukuri. Nama yang sampai saat ini tetap menjadi penghuni ruang penting dalam hatinya. Hingga saat nama itu benar-benar hanya tinggal nama, dan ia tak bisa melihat lagi pemilik nama itu sendiri, pria itu merasa hancur. Hidupnya seolah ikut dibawa pergi oleh perempuan pemilik nama indah itu. Danu tidak punya tujuan hidup lagi, bahkan untuk sekedar memandang bayi mungil yang kelahirannya sekaligus merupakan kehancuran hidupnya, karena ibu dari bayi itu meninggalkannya dari dunia.Bayi mungil itu, yang orang bilang saat lahir sama sekali tidak berdosa, suci dan polos, telah merenggut nyawa Kirana, istri tercintanya. Sejak kelahiran bayi itu, sekaligus kematian Kirana, Danu benar-benar tidak bisa menjalani hidup dengan baik. Satu-satunya wajah yang sangat tidak ingin dia lihat adalah wajah b

  • Bintang untuk Angkasa    44. Lampion Harapan

    Hubunganku dengan Angkasa kembali membaik sejak sore itu. Dia juga sudah menceritakan semuanya—walaupun dalam versi singkat—tentang bagaimana dulu dia patah hati karena Kak Viny ternyata lebih memilih Kak Bisma. Dan itu membuatku lagi-lagi merasa bersalah karena membuat Kak Viny pulang bersama Kak Bisma di saat Angkasa ingin mengutarakan perasaannya. Namun Angkasa menenangkanku dengan mengatakan hal yang membuatku merasa istimewa."Gue ceritain ini bukan karena pengen buat lo ngerasa bersalah. Lagian gue bisa ambil pelajaran dari ini, yaitu sesuatu yang gue pengen banget nggak selamanya bisa gue dapatkan. Dan mungkin itu emang cara Tuhan mengajari gue cara bersabar nunggu cinta yang emang benar-benar sejati buat gue. Dan gue nggak nyangka ternyata cewek yang secara nggak langsung bikin gue gagal nyatain cinta pertama gue, ternyata adalah cinta sejati gue."Mungkin menurut kalian ucapannya itu biasa saja, tapi bagiku itu istimewa dan manis. Entahlah aku juga tidak tahu pe

  • Bintang untuk Angkasa    43. Let Me Stay

    "Bi." Suara Kak Andro masuk ke telinga begitu aku mengerjap-ngerjapkan mata.Aku mengerutkan kening, bukankah Kak Andro sedang di Bandung? Sedikit mendesis, aku membuka mataku. Kepalaku rasanya sangat pusing seperti dihantam palu. Begitu cahaya blur yang tadi memenuhi pandanganku memudar, aku bisa melihat dengan jelas wajah Kak Andro yang sedang menatapku."Kak Andro?" Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa perih. Seingatku, semalam aku minum air cukup banyak tapi kenapa rasanya seperti tenggorokanku tidak tersentuh air selama berhari-hari?Kak Andro duduk di kursi samping bangkar sambil terus menatapku. Aku benar-benar bingung kenapa Kak Andro bisa ada di sini, padahal semalam saja dia masih chating denganku dan dia mengatakan sedang berkumpul bersama teman-temannya. Lalu kenapa bisa ada di rumah sakit?"K-Kak Andro kapan pulang?" Ah, kenapa suaraku lirih dan serak begini? Sebenarnya apa yang terjadi padaku?Aku berniat bangun, namun rasa pusing dan n

  • Bintang untuk Angkasa    42. Cahaya Yang Mulai Redup

    "Bi, I'm coming!"Aku meringis pelan saat melihat Intan yang membuka pintu sambil membawa kantong plastik, berteriak melengking. Di belakangnya, ada Nina dan Galang yang melambaikan tangan ke arahku.Aku membalas lambaian tangan mereka, "Akhirnya kalian datang juga."Intan langsung duduk di kursi sebelah kiri ranjang tempatku terbaring, sementara Nina dan Galang duduk di kursi sebelah kanan. Intan meletakkan kantong plastik itu di atas nakas,"Gue tau lo lebih tertarik sama novel dari pada buah, makanya gue sengaja beliin novel Asma Nadia yang terbaru," ucap Intan.Aku terkekeh, "Lo emang sahabat yang pengertian, deh.""Eits, jangan salah! Gue juga ikut patungan beli novel best seller itu. Jadi gue juga harus dapat pujian itu juga," sahut Galang."Lebay banget sih kamu!" sahut Nina sambil memukul pelan bahu Galang. Kami bertiga tertawa."Lo dari tadi sendirian, Bi?" Galang bertanya sambil mengambil sebutir jeruk yang pagi tadi Bu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status