Sembari menunggu update Bimantara, baca juga LEGENDA PENDEKAR BURUK RUPA.
Bimantara tiba di hadapan gerbang istana dengan kuda putihnya. Dia menghentikan kudanya saat melihat di hadapan gerbang istana itu sudah berdiri Panglima Indra, Pendekar Gunung Nun, Pendekar Burung Merpati, Pendekar Bunga Teratai dan Pendekar Pasir Putih yang sudah siap dengan senjata masing-masing untuk menangkapnya. Di belakang kelima manusia tersakti di istana itu berdiri berbaris-baris prajurit.Di atas gerbang istana itu tampak berdiri Sang Raja yang sedang duduk menunggunya. Di kanannya tampak Pangeran Kedua berdiri menatapnya dengan geram.Bimantara turun dari kudanya lalu berlutut menghadap Sang Raja.“Ampun, Yang Mulia! Semua ini hanyalah fitnah. Perguruan-perguruan itu bukan hamba yang membentuknya. Hamba tidak tahu siapa mereka!” ucap Bimantara menjelaskan pada Sang Raja.Sang Raja geram mendengarnya.“Aku sudah tidak percaya lagi padamu!” tegas Sang Raja. “Pantas saja banyak misteri yang meliputimu! Sekarang aku mengharamkanmu untuk menginjak istana ini kembali dan menyent
Bimantara masih tengah bertarung dengan kelima pendekar terbaik istana itu. Kaki cahaya naganya menyala. Dia dapat melihat dengan jelas pergerakan Panglima Indra yang tengah menggunakan jurus menghilangkan tubuhnya. Dia terus saja bertahan dari segala serangan. Seketika dia berputar lalu terbang rendah. Naluri jurus tendangan seribunya datang. Dengan cepat Bimantara menghilang dari hadapan kelima pendekar itu lalu satu persatu terpelanting jauh hingga tersungkur ke atas tanah.“Siapkan anak panah!” teriak Sang Raja.Para prajurit yang berbaris di depan gerbang istana itu pun mulai mengangkat anak panah dan bersiap mengarahkannya ke Bimantara. Bimantara menoleh pada para prajurit itu. Dia bersiap jika anak panah itu meluncur ke arahnya.Panglima Indra berdiri sambil menahan sakit di dadanya. Begitupun keempat pendekar lainnya. Mereka tampak sangat kewalahan menghadapi Bimantara yang sendirian itu.“Menyerahlah!” teriak Panglima Indra pada Bimantara.Bimantara pun menoleh ke arah pangli
Dewa Angin datang membuat gelombang laut di bawahnya kian membesar. Tak lama kemudian Dewa Air keluar dari persemayamannya dengan heran.“Ada apa lagi?” tanya Dewa Air dengan heran.“Segera kau kembalikan ingatan Bimantara!” tegas Dewa Angin.Dewa Air tertawa.“Sudah kubilang, jangan ikut campur dengan urusanku! Anak pincang itu sedang berada di dalam pengawasanku. Masamu bersama dia telah selesai. Sekarang Maha Dewa tengah menugaskan aku untuk membimbingnya,” tegas Dewa Air.“Tidakkah kau melihat, ulahmu ini telah memperlambat tugasnya sebagai Chandaka Uddhiharta. Seharusnya Bubungkala sudah lama mati di tangannya, sekarang kau malah mengulur waktunya dan membuat penghuni kerajaan itu menciptakan makar padanya!” ucap Dewa Angin dengan amarah.“Aku memiliki perhitungan atas ini! Kau tenang saja!”“Sampai kapan? Sampai kelima anak raja iblis lainnya keluar bersamaan dari kurungannya?!”Dewa Air tertawa.“Bersabarlah dan percayakan saja padaku!”Dewa Air langsung menghilang dari hadapan
Bimantara keluar dari rumah Tabib itu. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia membenci semuanya. Dia benci telah dibohongi Sang Putri hingga menikah dengannya. Dia benci pada semua keadaan yang telah memanfaatkan dirinya hingga memfitnahnya.“Bimantara! Bimantara!” Suara teriakan dari Sang Putri di dalam sana masih terus terdengar.Bimantara kembali melangkah. Seketika angin puting beliung datang. Dia ternganga melihat puing-puing pepohonan berputar di atas langit. Tak lama kemudian kepalanya terasa sakit. Bimantara terduduk lemah sambil menahan sakit di kepalanya.Seketika semua ingatannya kembali. Ingatan saat pertama kali memasuki Perguruan Matahari, Ingatan bagaimana dia terdampar di pulau itu. Ingatan akan Dahayu. Ingatan akan Para Dewa yang telah memilihnya menjadi Chandaka Uddhiharta. Dan Ingatan saat dia hendak pergi dari daratan itu lalu dihalangi oleh Dewa Air. Seketika Bimantara mengerti, Dewa Air lah yang menghilangkan ingatannya agar Bimantara kembali pada pendiriannya dan ke
“Tunggu!” teriak Bimantara sekali lagi dengan tertatih mengejar gadis itu. Gadis itu terus saja berlari menembus rerumputan di kiri dan kanannya.“Tunggu aku dan tunjukkan siapa dirimu sebenarnya?” teriak Bimantara sekali lagi.Gadis itu berhenti. Bimantara pun berhenti mengejarnya dengan napas tak beraturan. Keringat mengalir di dahinya. Usahanya membuahkah hasil. Dia sangat penasaran siapa gadis itu sebenarnya.“Siapa kamu? Kenapa kamu selalu datang dalam mimpiku?” tanya Bimantara. Ya, gadis itu memang selalu ada dalam mimpinya saat dia kehilangan ingatannya selama ini.Gadis itu akhirnya menoleh. Dia tersenyum pada Bimantara. Bimantara terkejut saat mengetahui ternyata gadis itu adalah Dahayu.“Dahayu?” ucap Bimantara tak percaya.“Berhentilah mengejarku Bimantara,” pinta Dahayu.Air mata Bimantara kembali menetes melihatnya.“Bagaimana aku bisa berhenti, sementara hatimu masih berada di dalam hatiku?” tanya Bimantara sambil terisak.“Semua sudah tidak sama. Alam kita sudah berbeda
Putra Mahkota terkejut melihat kedatangan Sang Raja dengan mata geramnya.“Ayah?”Raja Abinawa mencengkram kerah pakaian kebesaran Putra Mahkota dengan geram.“Apa kamu yang membantu Putri Kidung Putih keluar dari istana?” tanya Sang Raja dengan geramnya.“Tidak, Ayah!”“Jangan bohong! Itu sama saja kamu menyerahkan adikmu sendiri pada pengkhianat kerajaan ini! Bagaimana jika Bimantara memanfaatkannya untuk menghancurkan kerajaan kita?!” teriak Raja Abinawa.“Aku yakin Bimantara tidak seperti yang ayah sangka! Aku yakin ayah sudah terhasut oleh para pengkhianat di kerajaan kita,” jawab Putra Mahkota.“Justru kamulah yang sudah terhasut dengan pengkhianat kerajaan itu! Bimantara diam-diam telah membangun banyak perguruan di negeri ini. Dia menentang aturanku! Apalagi sampai menyembunyikan perguruan itu dengan ajian ilmunya. Itu sama saja dia menantangku!” teriak Raja Abinawa.“Apa ayah sudah menyelidikinya dengan benar?”“Kalau kepala perguruan dan murid-muridnya sudah mengakui bahwa B
Bimantara berdiri sambil menghadap Dewa Air yang mengambang di atas langit sana. Tubuhnya mulai basah diguyur hujan yang turun deras.“Rupanya ingatanmu telah kembali,” ucap Dewa Air.“Kenapa engkau menghilangkan ingatanku?” tanya Bimantara masih menyimpan geram padanya.“Itu karena kamu menyerah dari tugasmu sebagai Chandaka Uddhiharta!” geram Dewa Air.“Aku tak akan menyerah! Aku akan membunuh para Iblis itu dengan segenap kekuatanku!” ucap Bimantara.“Bagus! Sekarang aku tunggu aksimu! Aku berharap tak ada lagi yang menghalangimu untuk itu!”Seketika Dewa Air menghilang dari hadapannya. Mendadak hujan berhenti. Bimantara kembali mendongak ke langit. Dia belum bisa bergerak untuk melakukan aksinya sebelum Putri Kidung Putih pulih kembali.Bimantara kembali masuk ke dalam kediaman Tabib itu. Dia melihat Putri Kidung Putih sudah terbangun.“Kau sudah bangun?” tanya Bimantara.Putri Kidung Putih mengangguk.“Aku harus mengirim surat pada Ibuku,” ucap Putri.“Kau tidak harus mengirim su
Senja sudah mulai datang. Bimantara duduk di bale kediaman Tabib kampung itu. Tongkat hitamnya di letakkan di sisi kanannya. Tabib datang membawa segelas air minum untuknya.“Minumlah,” pinta Tabib padanya.Bimantara pun meraih gelas itu di tangan Tabib itu lalu menyeruputnya perlahan.“Rekasi ramuan sedang bekerja,” ucap Tabib. “Tuan Putri akan mengalami demam untuk beberapa hari mendatang. Aku harap Tuan bisa bersabar dan tenang. Tuan Putri pasti sembuh seperti sedia kala.”“Terima kasih telah membantuku,” ucap Bimantara.Tabib itu menoleh pada Bimantara dan menatapnya dengan lekat.“Bagaimana Tuan bisa mengetahui tempatku?” tanya Tabib itu heran.“Naluriku yang mengantarkan Putri ke sini,” jawab Bimantara.“Apakah benar Tuan adalah Chandaka Uddhiharta yang selama ini ditunggu-tunggu para penduduk di sini?” tanya Tabib itu sekali lagi.“Putri memberitahumu akan hal ini?”Tuan Tabib menggeleng.“Aku sendiri yang mendengarnya. Saat angin puting beliung datang, aku lihat kau bicara pad