Tak lama kemudian langit di atas sana tampak gelap, namun tidak ada petir yang menyertainya. Udara dingin tiba-tiba membuat bulu kuduk siapapun yang berada di sana berdiri. Setelah itu peti pusaka itu terbuka lalu beterbangan lembar-lembar kain ke atas langit dan menuju ke tangan-tangan para pandekerat yang hadir di tempat itu. Lembar-lembar kain itu tak hentinya keluar dari dalam peti sampai semuanya yang berada di sana mendapatkan semuanya.Raja Dawuh terbelalak ketika mendapati pesan dari tulisan di permukaan kain itu yang mengatakan bahwa Chandaka Uddhiharta adalah sahabat lamanya, sahabat yang dahulu pernah menolongnya, kalau bukan karena Chandaka Uddhiharta, Raja Dawuh mungkin sudah meninggal.Sementara Kancil mendapat pesan bahwa Chandaka Uddhiharta adalah sahabat setianya yang rela berkorban deminya. Semua yang berada di sana mendapatkan pesan masing-masing yang berbeda-beda. Kini Kakek Sangkala percaya bahwa Bimantara adalah cucunya yang sebenar-benarnya. Para leluhur berpesa
Sementara itu, Raja Banggala dari Kerajaan Nusantara Barat sedang duduk di singgasananya bersama Panglimanya dan para pejabat istana. Tak lama kemudian di tengah-tengah mereka muncul asap hitam. Semuanya terkejut dan bersiap melindungi Raja.“Ada apa itu?” tanya Raja Banggala heran.“Sepertinya Yang Mulia Raja harus segera meninggalkan tempat ini,” pinta Panglima Aras padanya.Raja Banggala pun mengangguk, lalu Panglima Aras bersama prajurit terbaiknya mengelilingi Raja Banggala untuk melindunginya dari keburukan cahaya hitam yang datang. Mereka membawa Sang Raja ke tempat aman.Seketika cahaya hitam itu mengeluarkan roh-roh jahat lalu perlahan roh-roh jahat itu merasuki Raja Banggala, Panglima Aras, Pejabat Istana dan Para prajurit. Seketika semuanya terduduk lalu berucap serempak.“Ampun Yang Mulia! Hamba akan menuruti semua perintah yang mulia. Hamba rela mati demi mewujudkan keinginan Yang Mulia!”Dan cahaya hitam di tengah-tengah ruangan itu pun terus saja mengeluarkan roh-roh ja
Dahayu sedang berjalan di lembah sambil membawa bakul berisi bunga harendong, bunga yang tumbuh di lembah itu dan bisa dijadikan sayur. Tak berapa lama kemudian burung merpati datang berputar-putar di atas kepalanya. Dahayu heran melihatnya. Seketika burung merpati itu menjatuhkan selembar kain kepadanya. Dia langsung meletakkan bakulnya di atas bebatuan lalu meraih surat itu. Dahayu terbelalak ketika membacanya, rupanya surat dari Perguruan Matahari yang baru tiba. Dahayu meraih bakulnya kembali lalu membawa surat itu ke rumah kecilnya.“Nyi! Nyi!” teriak Dahayu memanggil-manggil Dhaksayini ketika dia baru tiba di hadapan rumah kecilnya.Dhayksayini keluar dengan heran.“Ada apa, Dahayu?”“Perguruan Matahari memintaku datang ke sana, sepertinya suratnya terlambat datang karena tempat ini sangat jauh dari perguruan Matahari,” jawab Dahayu.Dhaksayini pun meraih surat itu lalu membacanya.“Sepertinya kau terlambat,” ucap Dhaksayini. “Kau tak perlalu datang ke sana.”“Tapi aku murid dar
Bimantara sedang memacukan kudanya diiringi oleh para Pendekar dari Perguruan Matahari, Perguruan Elang Putih dan Perguruan yang dipimpin oleh Kakek Sangkala. Suara-suara kuda terdengar menghentak bumi. Mereka tengah melewati hutan menuju Kerajaan Nusantara Tengah. Pangeran Sakai, Kancil, Rajo dan Welas mengiringi mereka paling belakang.“Kemana Wira dan Dahayu?” tanya Rajo pada Pangeran Sakai dan Kancil sambil memacukan kudanya.“Aku tidak tahu,” jawab Pangeran Sakai.“Dahayu bersembunyi di suatu tempat, sementara Wira, sudah lama tidak ada kabar,” jawab Kancil.Tak lama kemudian Bimantara menghentikan kudanya saat di hadapan Wira datang dengan kudanya. Bimantara yang tidak lagi mengingatnya heran.“Siapa kamu?” tanya Bimantara.“Teman lamamu! Aku ingin bergabung bersama kalian,” jawab Wira.Bimantara mengernyit heran. Tak lama kemudian Kancil, Pangeran Sakai dan Rajo memacukan kudanya mendekati Wira.“Wira!” teriak Pangeran Sakai memanggilnya.Wira tersenyum padanya.“Apa kabar kali
Bimantara dan pasukannya masih bertarung sengit melawan dua pasukan dari kerjaan Nusantara Timur dan Barat. Mereka masih berusaha menahan serangan mengikuti perintah Bimantara. Satu persatu dari roh-roh hitam itu berhasil keluar dari tubuh para prajurit-prajurit itu. Bimantara pun mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tak alam kemudian cahaya keluar dari ujung tongkat hitamnya. Semua pendekar tercengang melihatnya. Tak berapa lama kemudian Bimantara mengarahkan cahaya tongkatnya itu ke seluruh para prajurit yang sedang kerasukan roh jahat itu, seketika semuanya terdiam bingung saat roh-roh hitam itu keluar dari tubuh para prajurit itu. Para pendekar pun tampak heran. “Mereka semua dirasuki roh jahat!” teriak Bimantara. “Sekarang semua roh jahat itu telah keluar dari tubuh mereka! Berhenti menyerang!” Semua lega mendengarnya. Para prajurit itu pun langsung berlutut ketika melihat Pangeran Sakai dan Kancil. “Ampun, Yang Mulia!” ucap para prajurit itu sambil berlutut. Pangeran Sakai
Raja Dawuh berdiri di hadapan Panglimanya dan para prajurit yang menjaganya. Mereka berada di atas Dermaga Perguruan Matahari. Langit tampak gelap, suram, sesuram keadaan Nusantara saat itu.“Apa yang sebenarnya terjadi pada Nusantara ini?” tanya Raja Dawuh dengan wajah sedih dan dipenuhi perasaan kalut.Panglima Adhira yang memang tidak tahu apa-apa hanya diam, begitupun dengan para prajurit yang menjaganya.“Aku tidak bisa diam saja, Panglima. Aku harus pergi dari sini dan turut membantu menyelamatkan kerajaanku,” ucap Raja Dawuh sambil menatap Panglima Adhira dengan sendu.“Ampun, Yang Mulia. Sesuai amanat Chandaka Udhiharta, Yang Mulia harus tetap di sini dan kami akan menjaga Yang Mulia hingga Chandaka Uddhiharta dan yang lainnya berhasil mengalahkan huru hara yang terjadi di pulau seberang sana,” pinta Panglima Adhira dengan gugup dan khawatir.“Bagaimana jika mereka kalah dan penduduk istana semuanya mati? Aku akan sangat merasa bersalah dan aku akan merasa tidak berguna karena
Bimantara dan Pasukannya kini terpaksa bertarung dengan pasukan Panglima Aras dan Panglima Sada. Para pendekar dari Perguruan Matahari, Pasukan dari Perguruan Elang Putih dan Pasukan dari Kakek Sangkala kini bertarung melawan pasukan dari Panglima Sada dan Aras. Bimantara berusaha untuk meraih tongkatnya kembali, namun dengan gesit Panglima Sada menendang tongkatnya hingga terlempar jauh. Bimantara pun terpaksa melawan Panglima Sada dulu agar bisa kembali mengambil tongkatnya.Pertarungan pun terjadi dengan sengit selama hampir dua jam. Masing-masing pendekar telah mengeluarkan jurus masing-masing melawan pasukan Panglima Sada dan Aras yang menyerang mereka dengan membabi buta karena kerasukan roh jahat.“Jangan menyerang! Lakukan jurus pertahanan!” teriak Bimantara.“Kita harus menyerang mereka jika mau berhasil melawan mereka!” teriak Pendekar Pedang Emas.“Mereka tengah dirasuki roh jahat! Apa yang mereka lakukan bukan keinginan mereka!” teriak Bimantara.Pendekar Pedang Emas pun a
Kuda yang ditunggangi Dahayu menghentakkan bumi. Dalam gendongannya seorang bayi tengah menangis. Dahayu menghentikan kudanya lalu memberikan susu yang dibawanya dari rumah kediaman bayi itu pada bayinya. Namun bayi itu tidak berhenti juga menangis. “Apa yang harus aku lakukan?” ucap Dahayu bingung. Dia mengitari sekitar. Dia masih berada di tengah-tengah hutan. “Aku harus tiba di perkampungan itu agar bayi ini kembali kepada ibunya lagi,” ucap Dahayu dengan panik. Tak lama kemudian datang tiga pendekar turun dari atas pohon sambil mengulurkan pedang mengelilingi Dahayu yang masih berada di atas kuda. Dahayu terkejut melihatnya. “Siapa kalian?” tanya Dahayu. “Serahkan bayi itu pada kami!” teriak salah satu dari pendekar itu. “Kenapa aku harus menyerahkannya pada kalian?” tanya Dahayu dengan tenang. Dia tidak ingin terlihat takut pada mereka. Lagipula dia sudah menjadi pendekar, tidak mudah baginya untuk melawan mereka. Namun Dahayu hanya ingin tahu siapa mereka dan apa tujuan me