Bimantara mengulurkan tongkat hitamnya, dia hendak membuka gerbang cahaya agar bisa langsung tiba ke pulau di hadapannya. Namun seketika Aksara datang secara tiba-tiba.“Jangan ke sana, Bimantara,” ucap Aksara.Bimantara kembali menarik tongkat hitamnya dengan heran. “Kenapa?”“Mereka hendak membelamu,” jawab Aksara.“Maksudnya?”“Para pendekar di perguruan itu sengaja mengundang pendekar-pendekar lainnya di seluruh Nusantara untuk menyakinkan mereka bahwa kau bukan musuh dan tidak pantas dijadikan musuh,” jawab Aksara.Bimantara mengernyit mendengarnya.“Jadi mereka bukan hendak melawanku?” tanya Bimantara tak percaya.“Bukan,” jawab Aksara. “Sekarang biarkan saja mereka mengumpulkan para pendekar di sana, yang harus kau lakukan sekarang adalah memikirkan bagaimana caranya agar menemukan tempat persembunyian Penguasa Kegelapan dan menghancurkannya.”Bimantara mengangguk.“Ayo kembali ke istana,” ajak Aksara.Bimantara pun mengulurkan tongkat hitamnya hingga membentuk bola cahaya yang
Tak lama kemudian langit di atas sana tampak gelap, namun tidak ada petir yang menyertainya. Udara dingin tiba-tiba membuat bulu kuduk siapapun yang berada di sana berdiri. Setelah itu peti pusaka itu terbuka lalu beterbangan lembar-lembar kain ke atas langit dan menuju ke tangan-tangan para pandekerat yang hadir di tempat itu. Lembar-lembar kain itu tak hentinya keluar dari dalam peti sampai semuanya yang berada di sana mendapatkan semuanya.Raja Dawuh terbelalak ketika mendapati pesan dari tulisan di permukaan kain itu yang mengatakan bahwa Chandaka Uddhiharta adalah sahabat lamanya, sahabat yang dahulu pernah menolongnya, kalau bukan karena Chandaka Uddhiharta, Raja Dawuh mungkin sudah meninggal.Sementara Kancil mendapat pesan bahwa Chandaka Uddhiharta adalah sahabat setianya yang rela berkorban deminya. Semua yang berada di sana mendapatkan pesan masing-masing yang berbeda-beda. Kini Kakek Sangkala percaya bahwa Bimantara adalah cucunya yang sebenar-benarnya. Para leluhur berpesa
Sementara itu, Raja Banggala dari Kerajaan Nusantara Barat sedang duduk di singgasananya bersama Panglimanya dan para pejabat istana. Tak lama kemudian di tengah-tengah mereka muncul asap hitam. Semuanya terkejut dan bersiap melindungi Raja.“Ada apa itu?” tanya Raja Banggala heran.“Sepertinya Yang Mulia Raja harus segera meninggalkan tempat ini,” pinta Panglima Aras padanya.Raja Banggala pun mengangguk, lalu Panglima Aras bersama prajurit terbaiknya mengelilingi Raja Banggala untuk melindunginya dari keburukan cahaya hitam yang datang. Mereka membawa Sang Raja ke tempat aman.Seketika cahaya hitam itu mengeluarkan roh-roh jahat lalu perlahan roh-roh jahat itu merasuki Raja Banggala, Panglima Aras, Pejabat Istana dan Para prajurit. Seketika semuanya terduduk lalu berucap serempak.“Ampun Yang Mulia! Hamba akan menuruti semua perintah yang mulia. Hamba rela mati demi mewujudkan keinginan Yang Mulia!”Dan cahaya hitam di tengah-tengah ruangan itu pun terus saja mengeluarkan roh-roh ja
Dahayu sedang berjalan di lembah sambil membawa bakul berisi bunga harendong, bunga yang tumbuh di lembah itu dan bisa dijadikan sayur. Tak berapa lama kemudian burung merpati datang berputar-putar di atas kepalanya. Dahayu heran melihatnya. Seketika burung merpati itu menjatuhkan selembar kain kepadanya. Dia langsung meletakkan bakulnya di atas bebatuan lalu meraih surat itu. Dahayu terbelalak ketika membacanya, rupanya surat dari Perguruan Matahari yang baru tiba. Dahayu meraih bakulnya kembali lalu membawa surat itu ke rumah kecilnya.“Nyi! Nyi!” teriak Dahayu memanggil-manggil Dhaksayini ketika dia baru tiba di hadapan rumah kecilnya.Dhayksayini keluar dengan heran.“Ada apa, Dahayu?”“Perguruan Matahari memintaku datang ke sana, sepertinya suratnya terlambat datang karena tempat ini sangat jauh dari perguruan Matahari,” jawab Dahayu.Dhaksayini pun meraih surat itu lalu membacanya.“Sepertinya kau terlambat,” ucap Dhaksayini. “Kau tak perlalu datang ke sana.”“Tapi aku murid dar
Bimantara sedang memacukan kudanya diiringi oleh para Pendekar dari Perguruan Matahari, Perguruan Elang Putih dan Perguruan yang dipimpin oleh Kakek Sangkala. Suara-suara kuda terdengar menghentak bumi. Mereka tengah melewati hutan menuju Kerajaan Nusantara Tengah. Pangeran Sakai, Kancil, Rajo dan Welas mengiringi mereka paling belakang.“Kemana Wira dan Dahayu?” tanya Rajo pada Pangeran Sakai dan Kancil sambil memacukan kudanya.“Aku tidak tahu,” jawab Pangeran Sakai.“Dahayu bersembunyi di suatu tempat, sementara Wira, sudah lama tidak ada kabar,” jawab Kancil.Tak lama kemudian Bimantara menghentikan kudanya saat di hadapan Wira datang dengan kudanya. Bimantara yang tidak lagi mengingatnya heran.“Siapa kamu?” tanya Bimantara.“Teman lamamu! Aku ingin bergabung bersama kalian,” jawab Wira.Bimantara mengernyit heran. Tak lama kemudian Kancil, Pangeran Sakai dan Rajo memacukan kudanya mendekati Wira.“Wira!” teriak Pangeran Sakai memanggilnya.Wira tersenyum padanya.“Apa kabar kali
Bimantara dan pasukannya masih bertarung sengit melawan dua pasukan dari kerjaan Nusantara Timur dan Barat. Mereka masih berusaha menahan serangan mengikuti perintah Bimantara. Satu persatu dari roh-roh hitam itu berhasil keluar dari tubuh para prajurit-prajurit itu. Bimantara pun mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tak alam kemudian cahaya keluar dari ujung tongkat hitamnya. Semua pendekar tercengang melihatnya. Tak berapa lama kemudian Bimantara mengarahkan cahaya tongkatnya itu ke seluruh para prajurit yang sedang kerasukan roh jahat itu, seketika semuanya terdiam bingung saat roh-roh hitam itu keluar dari tubuh para prajurit itu. Para pendekar pun tampak heran. “Mereka semua dirasuki roh jahat!” teriak Bimantara. “Sekarang semua roh jahat itu telah keluar dari tubuh mereka! Berhenti menyerang!” Semua lega mendengarnya. Para prajurit itu pun langsung berlutut ketika melihat Pangeran Sakai dan Kancil. “Ampun, Yang Mulia!” ucap para prajurit itu sambil berlutut. Pangeran Sakai
Raja Dawuh berdiri di hadapan Panglimanya dan para prajurit yang menjaganya. Mereka berada di atas Dermaga Perguruan Matahari. Langit tampak gelap, suram, sesuram keadaan Nusantara saat itu.“Apa yang sebenarnya terjadi pada Nusantara ini?” tanya Raja Dawuh dengan wajah sedih dan dipenuhi perasaan kalut.Panglima Adhira yang memang tidak tahu apa-apa hanya diam, begitupun dengan para prajurit yang menjaganya.“Aku tidak bisa diam saja, Panglima. Aku harus pergi dari sini dan turut membantu menyelamatkan kerajaanku,” ucap Raja Dawuh sambil menatap Panglima Adhira dengan sendu.“Ampun, Yang Mulia. Sesuai amanat Chandaka Udhiharta, Yang Mulia harus tetap di sini dan kami akan menjaga Yang Mulia hingga Chandaka Uddhiharta dan yang lainnya berhasil mengalahkan huru hara yang terjadi di pulau seberang sana,” pinta Panglima Adhira dengan gugup dan khawatir.“Bagaimana jika mereka kalah dan penduduk istana semuanya mati? Aku akan sangat merasa bersalah dan aku akan merasa tidak berguna karena
Bimantara dan Pasukannya kini terpaksa bertarung dengan pasukan Panglima Aras dan Panglima Sada. Para pendekar dari Perguruan Matahari, Pasukan dari Perguruan Elang Putih dan Pasukan dari Kakek Sangkala kini bertarung melawan pasukan dari Panglima Sada dan Aras. Bimantara berusaha untuk meraih tongkatnya kembali, namun dengan gesit Panglima Sada menendang tongkatnya hingga terlempar jauh. Bimantara pun terpaksa melawan Panglima Sada dulu agar bisa kembali mengambil tongkatnya.Pertarungan pun terjadi dengan sengit selama hampir dua jam. Masing-masing pendekar telah mengeluarkan jurus masing-masing melawan pasukan Panglima Sada dan Aras yang menyerang mereka dengan membabi buta karena kerasukan roh jahat.“Jangan menyerang! Lakukan jurus pertahanan!” teriak Bimantara.“Kita harus menyerang mereka jika mau berhasil melawan mereka!” teriak Pendekar Pedang Emas.“Mereka tengah dirasuki roh jahat! Apa yang mereka lakukan bukan keinginan mereka!” teriak Bimantara.Pendekar Pedang Emas pun a
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it