Baca juga novel terbaru saya berjudul LEGENDA PENDEKAR BURUK RUPA. Terima kasih
Raja Dawuh berdiri di hadapan Panglimanya dan para prajurit yang menjaganya. Mereka berada di atas Dermaga Perguruan Matahari. Langit tampak gelap, suram, sesuram keadaan Nusantara saat itu.“Apa yang sebenarnya terjadi pada Nusantara ini?” tanya Raja Dawuh dengan wajah sedih dan dipenuhi perasaan kalut.Panglima Adhira yang memang tidak tahu apa-apa hanya diam, begitupun dengan para prajurit yang menjaganya.“Aku tidak bisa diam saja, Panglima. Aku harus pergi dari sini dan turut membantu menyelamatkan kerajaanku,” ucap Raja Dawuh sambil menatap Panglima Adhira dengan sendu.“Ampun, Yang Mulia. Sesuai amanat Chandaka Udhiharta, Yang Mulia harus tetap di sini dan kami akan menjaga Yang Mulia hingga Chandaka Uddhiharta dan yang lainnya berhasil mengalahkan huru hara yang terjadi di pulau seberang sana,” pinta Panglima Adhira dengan gugup dan khawatir.“Bagaimana jika mereka kalah dan penduduk istana semuanya mati? Aku akan sangat merasa bersalah dan aku akan merasa tidak berguna karena
Bimantara dan Pasukannya kini terpaksa bertarung dengan pasukan Panglima Aras dan Panglima Sada. Para pendekar dari Perguruan Matahari, Pasukan dari Perguruan Elang Putih dan Pasukan dari Kakek Sangkala kini bertarung melawan pasukan dari Panglima Sada dan Aras. Bimantara berusaha untuk meraih tongkatnya kembali, namun dengan gesit Panglima Sada menendang tongkatnya hingga terlempar jauh. Bimantara pun terpaksa melawan Panglima Sada dulu agar bisa kembali mengambil tongkatnya.Pertarungan pun terjadi dengan sengit selama hampir dua jam. Masing-masing pendekar telah mengeluarkan jurus masing-masing melawan pasukan Panglima Sada dan Aras yang menyerang mereka dengan membabi buta karena kerasukan roh jahat.“Jangan menyerang! Lakukan jurus pertahanan!” teriak Bimantara.“Kita harus menyerang mereka jika mau berhasil melawan mereka!” teriak Pendekar Pedang Emas.“Mereka tengah dirasuki roh jahat! Apa yang mereka lakukan bukan keinginan mereka!” teriak Bimantara.Pendekar Pedang Emas pun a
Kuda yang ditunggangi Dahayu menghentakkan bumi. Dalam gendongannya seorang bayi tengah menangis. Dahayu menghentikan kudanya lalu memberikan susu yang dibawanya dari rumah kediaman bayi itu pada bayinya. Namun bayi itu tidak berhenti juga menangis. “Apa yang harus aku lakukan?” ucap Dahayu bingung. Dia mengitari sekitar. Dia masih berada di tengah-tengah hutan. “Aku harus tiba di perkampungan itu agar bayi ini kembali kepada ibunya lagi,” ucap Dahayu dengan panik. Tak lama kemudian datang tiga pendekar turun dari atas pohon sambil mengulurkan pedang mengelilingi Dahayu yang masih berada di atas kuda. Dahayu terkejut melihatnya. “Siapa kalian?” tanya Dahayu. “Serahkan bayi itu pada kami!” teriak salah satu dari pendekar itu. “Kenapa aku harus menyerahkannya pada kalian?” tanya Dahayu dengan tenang. Dia tidak ingin terlihat takut pada mereka. Lagipula dia sudah menjadi pendekar, tidak mudah baginya untuk melawan mereka. Namun Dahayu hanya ingin tahu siapa mereka dan apa tujuan me
Bimantara masih berdiri terpaku menghadap gerbang istana Kerajaan Nusantara Timur. Anehnya para prajurit di dalam sana berhenti menyerang. Kepala Perguruan dan para pendekarnya tampak menunggu keputusan Bimantara selanjutnya. Begitupun dengan Kakek Sangkala dan Kepala Perguruan Elang Putih bersama pasukannya.Wira tiba-tiba mendekati Bimantara.“Aku pernah mendengar, kalau kekuatan iblis tidak bisa ditaklukkan dengan kekuatan manusia,” ucap Wira tiba-tiba. Bagaimana pun dia adalah Dewa Angin yang menyamar menjadi murid Perguruan Matahari. Dia sengaja menemani Bimantara untuk memberi petunjuk-petunjuk, dia tidak boleh ikut campur dalam membasmi musuh, hanya boleh menggunakan ilmu yang diberikan oleh Perguruan Matahari saja padanya, hanya pada sampai tingkatan itu saja.“Dari mana kau tahu?” tanya Bimantara.“Sejak aku keluar dari Perguruan Matahari, ada seorang kakek-kakek yang memberitahuku,” jawab Wira.“L
Bimantara hampir saja merubuhkan dinding pembatas tak terlihat yang mengelilingi istana, tiba-tiba sebuah anak panah meluncur ke arah Dhaksayini, tepat di jantungnya. Seketika Dhaksayini rubuh dari duduknya. Kekuatannya tak lagi mengaliri tubuh Bimantara. Bimantara panik melihatnya.“Bibi!” teriak Bimantara.Seketika dinding Pembatas tak terlihat itu pecah. Cahaya mengaliri ke dalam istana. Hingga satu persatu para roh-roh jahat yang merasuki penduduk istana keluar dari tubuh masing-masing.Bimantara mendekat ke Dhaksayini yang tengah meregang nyawa.“Bibi!” teriak Bimantara. Semua mendekat lalu melihat Dhaksayini dengan sedih.“Bimantara... tolong cari Dahayu dan jaga dia...” ucap Dhaksayini lalu meregang nyawa hingga tak lagi bernapas.“Bibi!” teriak Bimantara sedih. Bagaimana pun, dialah sosok Ibu yang pertama kali ditemukannya sejak hilang ingatannya. Bimantara memeluk Dhaksayini dengan sed
Dahayu membuka mata. Dia terkejut berada di dalam sebuah gua batu yang pengap dan gelap. Tiba-tiba dia mencoba duduk. Namun saat menggerakkan tubuhnya dia merasa lemah. Dia teringat bertemu dengan Walat saat terakhir kalinya sebelum dia berada di sana.“Mungkin dia yang mengurungku di sini,” ucap Dahayu. Dahayu mencari selendangnya, namun selendangnya tidak ada di tubuhnya.“Kemana selendangku?” tanya Dahayu dengan bingung.Tiba-tiba terdengar suara tawa di luar sana.“Selendangmu sudah aku bakar wahai perempuan berdarah peri,” ucap Kakek Penguasa Kegelapan di luar sana.Mendengar itu Dahayu langsung berdiri. “Siapa kamu?!” tanya Dahayu dengan geram.Kakek itu kembali tertawa.“Aku adalah Penguasa Iblis!” teriak Kakek itu.Dahayu semakin terkejut mendengarnya.“Penguasa Iblis?!”Kakek itu kembali tertawa.“Kau sedang berada di pul
“Sudah aku bilang! Turuti permintaanku jika kekasihmu itu ingin selamat, wahai manusia berkaki satu!” teriak Penguasa Iblis.Mendengar itu Bimantara semakin brutal mengeluarkan jurus-jurusnya untuk menyerang Penguasa Iblis. Penguasa Iblis pun tak mau kalah. Dia lawan Bimantara dengan jurus pertahanannya. Sementara itu, aliran cahaya dari tubuh Dahayu terus saja mengalir ke tubuh Bimantara. Seketika tubuh Bimantara menyala terang. Bulatan cahaya di tangannya terus membesar tanpa diinginkannya. Penguasa Iblis heran.“Aku tak akan membiarkan gadis itu menyerahkan seluruh kekuatannya pada pemuda pincang ini,” bisik hati Penguasa Iblis dengan geram. Dia pun mengarahkan tangannya pada arah gua hingga dinding yang mengelilingi Dahayu semakin menyempit.Bimantara mengetahui itu. Dia menggunakan indra penerawangannya untuk mengetahui keadaan Dahayu sesungguhnya dalam gua sana.“Dahayu! Aku mohon hentikan!” teriak Bimantara.Dahayu terus saja mengalirkan cahaya tubuhnya untuk Bimantara. Air mat
Cahaya di atas pedang perak cahaya merah akhirnya menyala. Tak lama kemudian cahaya itu melesat ke atas langit, mengenai atap dinding pembatas tak terlihat. Penguasa Iblis tertawa senang melihatnya. Sebentar lagi dia akan bebas dan bisa keluar dari pulau itu.“Bimantara! Hentikan!” teriak Dahayu yang terkapar lemah.Bimantara tidak menggubrisnya. Dia tidak sadarkan diri lagi karena fokus dengan pedang itu. Matanya terpejam, telinganya terhenti mendengar. Tak lama kemudian, dinding pembatas tak terlihat itu sudah mulai retak. Penguasa Iblis sudah tidak sabar menunggunya runtuh. Dahayu tampak cemas, dia pun membacakan mantra. Tak lama kemudian selendang merahnya terbang di atas langit menujunya. Selendang itu menghilang sejak dia ditangkap oleh Walat, murid dari Penguasa Kegelapan yang sudah mati itu.Penguasa Iblis tampak terkejut ketika melihat selendang merahnya datang lalu hinggap ke tangan Dahayu. Dengan selendang itu Dahayu kembali bertenaga. Dia bangkit berdiri lalu mengulurkan s
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it