Bimantara hampir saja merubuhkan dinding pembatas tak terlihat yang mengelilingi istana, tiba-tiba sebuah anak panah meluncur ke arah Dhaksayini, tepat di jantungnya. Seketika Dhaksayini rubuh dari duduknya. Kekuatannya tak lagi mengaliri tubuh Bimantara. Bimantara panik melihatnya.
“Bibi!” teriak Bimantara.
Seketika dinding Pembatas tak terlihat itu pecah. Cahaya mengaliri ke dalam istana. Hingga satu persatu para roh-roh jahat yang merasuki penduduk istana keluar dari tubuh masing-masing.
Bimantara mendekat ke Dhaksayini yang tengah meregang nyawa.
“Bibi!” teriak Bimantara. Semua mendekat lalu melihat Dhaksayini dengan sedih.
“Bimantara... tolong cari Dahayu dan jaga dia...” ucap Dhaksayini lalu meregang nyawa hingga tak lagi bernapas.
“Bibi!” teriak Bimantara sedih. Bagaimana pun, dialah sosok Ibu yang pertama kali ditemukannya sejak hilang ingatannya. Bimantara memeluk Dhaksayini dengan sed
Dahayu membuka mata. Dia terkejut berada di dalam sebuah gua batu yang pengap dan gelap. Tiba-tiba dia mencoba duduk. Namun saat menggerakkan tubuhnya dia merasa lemah. Dia teringat bertemu dengan Walat saat terakhir kalinya sebelum dia berada di sana.“Mungkin dia yang mengurungku di sini,” ucap Dahayu. Dahayu mencari selendangnya, namun selendangnya tidak ada di tubuhnya.“Kemana selendangku?” tanya Dahayu dengan bingung.Tiba-tiba terdengar suara tawa di luar sana.“Selendangmu sudah aku bakar wahai perempuan berdarah peri,” ucap Kakek Penguasa Kegelapan di luar sana.Mendengar itu Dahayu langsung berdiri. “Siapa kamu?!” tanya Dahayu dengan geram.Kakek itu kembali tertawa.“Aku adalah Penguasa Iblis!” teriak Kakek itu.Dahayu semakin terkejut mendengarnya.“Penguasa Iblis?!”Kakek itu kembali tertawa.“Kau sedang berada di pul
“Sudah aku bilang! Turuti permintaanku jika kekasihmu itu ingin selamat, wahai manusia berkaki satu!” teriak Penguasa Iblis.Mendengar itu Bimantara semakin brutal mengeluarkan jurus-jurusnya untuk menyerang Penguasa Iblis. Penguasa Iblis pun tak mau kalah. Dia lawan Bimantara dengan jurus pertahanannya. Sementara itu, aliran cahaya dari tubuh Dahayu terus saja mengalir ke tubuh Bimantara. Seketika tubuh Bimantara menyala terang. Bulatan cahaya di tangannya terus membesar tanpa diinginkannya. Penguasa Iblis heran.“Aku tak akan membiarkan gadis itu menyerahkan seluruh kekuatannya pada pemuda pincang ini,” bisik hati Penguasa Iblis dengan geram. Dia pun mengarahkan tangannya pada arah gua hingga dinding yang mengelilingi Dahayu semakin menyempit.Bimantara mengetahui itu. Dia menggunakan indra penerawangannya untuk mengetahui keadaan Dahayu sesungguhnya dalam gua sana.“Dahayu! Aku mohon hentikan!” teriak Bimantara.Dahayu terus saja mengalirkan cahaya tubuhnya untuk Bimantara. Air mat
Cahaya di atas pedang perak cahaya merah akhirnya menyala. Tak lama kemudian cahaya itu melesat ke atas langit, mengenai atap dinding pembatas tak terlihat. Penguasa Iblis tertawa senang melihatnya. Sebentar lagi dia akan bebas dan bisa keluar dari pulau itu.“Bimantara! Hentikan!” teriak Dahayu yang terkapar lemah.Bimantara tidak menggubrisnya. Dia tidak sadarkan diri lagi karena fokus dengan pedang itu. Matanya terpejam, telinganya terhenti mendengar. Tak lama kemudian, dinding pembatas tak terlihat itu sudah mulai retak. Penguasa Iblis sudah tidak sabar menunggunya runtuh. Dahayu tampak cemas, dia pun membacakan mantra. Tak lama kemudian selendang merahnya terbang di atas langit menujunya. Selendang itu menghilang sejak dia ditangkap oleh Walat, murid dari Penguasa Kegelapan yang sudah mati itu.Penguasa Iblis tampak terkejut ketika melihat selendang merahnya datang lalu hinggap ke tangan Dahayu. Dengan selendang itu Dahayu kembali bertenaga. Dia bangkit berdiri lalu mengulurkan s
Bimantara pun menidurkan Dahayu di atas pasir sambil memejamkan matanya. Isak tangisnya belumlah reda. Petir menyambar-nyambar di atas sana. Tak lama kemudian hujan turun begitu derasnya. Amarah di dadanya pada Penguasa Iblis telah membuat matanya menyala. Bimantara pun meraih tongkatnya lalu melesat terbang mengejar Penguasa Iblis.Penguasa kegelapan yang berada di puncak gunung itu terkejut melihat kedatangan Bimantara. Dia sudah bersiap menyebarkan roh-roh jahat ke seluruh Nusantara untuk memporakporandakannya.“Kau memang tak dapat dipercaya!” teriak Bimantara.Penguasa Kegelapan tertawa. “Dia sendiri yang menginginkan kematian itu!”“Kau yang sengaja membunuhnya!” ucap Bimantara dengan geramnya.Penguasa Kegelapan kembali tertawa.“Kau tak akan bisa mengalahkanku! Kekuatan Peri itu tidak menyatu sempurna denganmu! Menyerahlah dan jadilah muridku!” ucap Penguasa Kegelapan. Dia tidak tahu kalau Dahayu telah mengalirkan seluruh kekuatannya pada Bimantara.“Meskipun aku tidak memilik
Langit di atas Nusantara tampak cerah di pagi itu. Awan-awannya membentuk gumpalan-gumpalan kapas yang tidak begitu banyak. Kepala Perguruan Matahari tampak berdiri di pinggir laut, didampingi Pendekar Pedang Emas dan beberapa Guru Utama lainnya.“Aku yakin Chandaka Uddhiharta pasti akan berhasil memusnahkan Penguasa Kegelapan itu,” ucap Pendekar Pedang Emas.“Selama Chandaka Uddhiharta tidak kembali, berarti dia masih melawan Penguasa Kegelapan itu,” ucap Guru Utama lainnya.Pendekar Pedang Emas memandangi Kepala Perguruan dengan heran. Kepala Perguruan sejak tadi hanya diam dan sibuk memandangi ke arah lautan. Seolah sedang menunggu kedatangan seseorang.“Apakah Tuan Guru Besar yakin, jika Bimantara berhasil memusnahkan Penguasa Kegelapan itu dia akan kembali ke sini?” tanya Pendekar Pedang Emas padanya.Kepala Perguruan masih diam. Seketika dia melihat cahaya melintas di atas langit sana. Tiba-tiba dia memiliki firasat bahwa Penguasa Kegelapan telah musnah. Seketika senyumnya menge
Kancil yang sedang tertidur lelap di kamarnya tampak terkejut saat ingatan tentang Bimantara kembali datang.“Bimantara sahabatku! Dia teman seperguruanku!” teriak Kancil tak percaya.Pengawal yang menjaga pintu kamar di luar sana tampak heran. Sementara Kancil langsung bergegas keluar kamar dan berlari menuju kediaman ayahnya. Ketika dia sampai di sana, dia melihat ayahnya sedang menikmati secangkir teh di kedimannya. Raja itu heran.“Kenapa? Kau khawatir ayah masih dirasuki roh jahat dari Penguasa Iblis itu?” tanya Raja.“Aku telah mengingat bahwa Bimantara adalah murid perguruan matahari, ayah! Dia teman seperguruanku!” teriak Kancil.Ayahnya tertawa.“Ayah pun sudah mengingatnya. Kau harus mengundangnya ke sini! Kita harus menyambut kedatangannya dengan meriah! Bagaimana pun, selain dia teman baikmu, dia juga Chandaka Uddhiharta yang telah berhasil memusnahkan Penguasa Kegelapan!”Kancil mengangguk senang mendengarnya. Bagaimana pun dia rindu dengan sahabat lamanya itu.***Pangli
Aksara berdiri menunggu di depan istana batu, di negeri Chandaka Uddhiharta. Dia menunggu kedatangan Bimantara sudah ratusan purnama. Tak lama kemudian Dewa Angin datang menemuinya. Aksara langsung terduduk hormat padanya.“Tugasmu telah selesai,” ucap Dewa Angin.Aksara heran.“Maksudnya, Maha Dewa?”“Bimantara tak akan kembali ke istana ini,” jawab Dewa Angin.Aksara terkejut mendengarnya.“Apakah dia gagal menjadi Chandaka Uddhiharta?” tanya Aksara heran.“Dia telah berhasil,” jawab Dewa Angin.Aksara semakin heran.“Jika dia telah berhasil, kenapa Bimantara tidak akan kembali ke sini lagi?”“Dia telah mempelajari semua kitab yang ada di perpustakaan istana ini. Itu artinya dia akan kembali menjadi manusia yang utuh, tanpa ada campur tangan para Dewa lagi. Dia pun akan melupakan campur tangan para Dewa yang telah membantunya menjadi Chandaka Uddhiharta selama ini,” jawab Dewa Angin.“Lalu, apa yang akan Bimantara lakukan selanjutnya? Apakah tugasnya telah selesai?” tanya Aksara her
Bimantara terheran-heran melihat dirinya terdampar ke negeri asing itu. Dia mendekati dua pemuda yang berwajah sama itu. Mereka berumur 17 tahun, memiliki rambut ikal yang sama. Kulit mereka hitam. Pakaian yang mereka kenakan juga berwarna hitam.“Kalian tahu, sejauh apa jarak negeri ini dengan Nusantara?” tanya Bimantara.Dua pemuda kembar itu mundur selangkah bersamaan. Mereka tampak takut melihat Bimantara yang tampak tak terawat. Rambutnya panjang menggimbal. Pakaian yang dikenakannya compang camping. Wajahnya menghitam karena terbakar matahari. Tubuhnya tampak bau dan tercium ke hidung pemuda itu.“Ka... kami tidak tahu!” ucap salah satu dari pemuda itu.“Ta... tapi kami pernah mendengar nama Nusantara itu,” jawab pemuda di sebelahnya.Bimantara tampak berpikir. Dia menoleh ke arah lautan. Sudah bertahun-tahun dia terombang ambing di lautan. Pelayarannya pasti sangat jauh. Dia yakin negeri itu sangat jauh dari Nusantara. Saat Bimantara menoleh ke pemuda kembar itu, Bimantara terk