Bimantara masih tampak heran melihat binatang-binatang buas itu tampak tunduk padanya. Dahayu dan Dhaksayini pun tampak tak percaya. Seketika angin bertiup kencang di atas sana. Pepohonan bergoyang-goyang. Seketika awan hitam menyelimuti langit di atas sana. Dahayu dan Dhaksayini tampak panik melihatnya.“Ada apa ini?” tanya Dahayu.“Ayo kita kembali ke dalam!” ajak Dhaksayini pada Dahayu dan Bimantara.Sementara Bimantara menatap langit dengan heran. Binatang-binatang buas yang mengelilingi mereka itu bersuara lalu berlarian meninggalkan mereka. Sekelebat bayangan melintas di pandangan mata Bimantara. Dia terkejut melihat sosok manusia mengenakan jubah hitam tengah melayang di atas langit. Wajahnya tampak dipenuhi bulu mirip wajah kera. Dia memegang tongkat berkepala tengkorak ular sambil mengulurkannya ke atas langit. Awan hitam berputar dibawa angin di atasnya.“Aku harus pergi,” ucap Bimantara.Dahayu dan Dhaksayini heran.“Engkau mau kemana anak muda?” tanya Dhaksayini.Bimantara
Sementara itu, Panglima Adhira datang menghadap Raja Dawuh dengan panik. Di luar sana suara petir terdengar begitu kuat. Istana tampak gelap karena awan hitam menyelimuti di atas sana.“Ampun, Yang Mulia,” ucap Panglima Adhira. “Sepertinya cuaca buruk ini terjadi karena ulah penyihir! Para prajurit baru saja melaporkannya pada hamba, mereka melihat penyihir itu terbang di atas langit dengan tongkatnya.”Raja Dawuh berdiri mendengar itu. Dia tampak terkejut.“Dari mana datangnya penyihir itu?” tanya Raja Dawuh.“Ampun, Yang Mulia. Menurut para prajurit dia mengenakan jubah hitam dan berwajah mirip kera. Sepertinya dia datang diutus Penguasa Kegelapan untuk mengacau kerajaan,” jawab Panglima Adhihra.Raja Dawuh tampak berpikir. Setelah itu dia menatap wajah Panglima Adhira dengan lekat.“Pejabat istana mengabarkan bahwa ada penduduk yang diselamatkan oleh Candaka Uddhiharta! Kemungkinan Candaka Uddhiharta telah diutus para Dewa dan dia datang untuk mencari perhatian Candaka Uddhiharta,”
Kakek Kepala Perguruan terhempas di atas tanah sambil memuntahkan darah. Para muridnya pun tampak cedera berat setelah jatuh dari ketinggian.“Sepertinya kita tak akan pernah bisa melawannya,” ucap muridnya lemah.Kakek itu hanya diam lalu memandangi Walat yang masih mengarahkan tongkatnya ke atas langit. Kakek itu memandangi sekitar. Dia tampak sedih melihat rumah-rumah penduduk tampak hancur dan pohon-pohon tampak tumbang. Di sekitarnya sudah menjadi padang yang memperlihatkan kehancuran. Mirip seperti kejadian setelah perang.Tak lama kemudian terdengar suara kuda dari kejauhan sana. Kakek itu tercengang ketika mendapati Kawanan Perguruan Matahari tiba di tempat itu. Tak lama kemudian Kawanan dari Kerajaan Nusantara Tengah juga datang. Panglima Adhira telah membawa para prajuritnya yang banyak ke sana. Setelah itu menyusul Pangeran Sakai diikuti para prajuritnya dari kerajaan Nusantara Timur.Semuanya berhenti di bawah Walat yang masih melakukan aksinya mengendalikan awan hitam itu
Kepala Perguruan Matahari dan yang berada di bawah sana tampak tercengang melihat kehebatan Bimantara yang sedang mengejar Walat di atas langit sana. Kini mereka melihat Bimantara terlah berhasil merebut tongkat hitamnya. Mereka berdua bertarung sengit di atas sana.Pendekar Pedang Emas mendekati Kepala Perguruan.“Apakah pemuda itu Candaka Uddhiharta?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan heran.“Melihat ciri-cirinya, sepertinya dialah Candaka Uddhiharta seperti yang dikatakan Kepala Perguruan Elang Putih,” jawab Kepala Perguruan.“Apakah kita diam saja begini? Bukankah sebaiknya kita membantunya melawan penyihir jahat itu?” tanya Pendekar Pedang Emas.Kepala Perguruan pun tampak terdiam sesaat. Tak berapa lama kemudian, dia menoleh pada semua yang sedang menatap pertarungan Bimantara dengan Walat di atas sana.“Semuanya! Ayo kita bantu pemuda itu!” teriak Kepala Perguruan pada semuanya.Kakek Kepala Perguruan Elang Putih tampak mengangguk. Pangeran Sakai dan para guru utama dari pergur
Penguasa kegelapan yang masih duduk di pinggir kolam itu tampak tertawa ketika melihat muridnya sudah berhasil membangunkan roh-roh jahat itu dalam dirinya.“Bagus! Rebut pedang perak cahaya merah itu di tangan pemuda jahanam itu!” teriak Penguasa kegelapan.Walat asli yang kini sedang bertarung menghadapi Bimantara mendengar bisikan itu. Dia pun melakukan gerakan cepat melawan Bimantara. Bimantara yang juga mendengar bisikan itu tampak yakin kalau Walat yang sedang menyerangnya itu adalah Walat aslinya. Sementara Walat-Walat yang lain adalah Walat palsu yang berasal dari ajiannya.Bimantara pun menggunakan jurus tendangan seribunya untuk melawan Walat. Namun dengan sigap Walat mampu menghindari tendangan demi tendangan yang dilakukan Bimantara. Matanya mampu menangkap gerakan cepat Bimantara hingga dia bisa awas dan menghindari tendangannya.Seketika Walat berubah menjadi Bimantara. Kini Bimantara menjadi dua. Bimantara heran.“Bunuh pemuda ini! Penyihir ini telah berubah menjadi dir
Walat berlutut di hadapan Penguasa Kegelapan. Dia tampak takut dan gemetar. Penguasa Kegelapan tampak murka menatapnya.“Kenapa kau lari darinya?” teriak Penguasa Kegelapan dengan kecewa.“Pemuda itu sangat kuat, Tuan Guru. Aku butuh waktu untuk melemahkan semua kekuatan yang dimilikinya,” jawab Walat dengan gemetar.“Aku sudah memberikan semua ilmuku padamu! Kau hanya kurang percaya diri saja! Kekuatanmu dengan pemuda itu sudah seimbang! Harusnya kau jangan mengalah begitu saja!” teriak Penguasa Kegelapan dengan geramnya.“Ampun, Tuan Guru! Hamba memiliki cara lain untuk menaklukkan pemuda itu,” ucap Walat.“Dengan cara seperti apa?” tanya Penguasa Kegelapan dengan heran dan menyangsikannya.“Beri hamba kesempatan sekali lagi. Jika kali ini gagal hamba siap menerima hukuman apapun dari Tuan Guru,” pinta Walat.“Baiklah. Aku beri kau kesempatan satu kali lagi! Jika kau gagal, maka kau akan menjadi patung batu seperti murid-muridku yang lain yang gagal memenuhi keinginanku!” ancam Peng
Bimantara berdiri bersama Dahayu di hadapan pohon bambu yang tampak rimbun. Tongkat hitam sedang digunakannya. Bimantara mendongak. Dedaunannya tampak bergerak-gerak ditiup angin lembut. Dahayu menoleh pada Bimantara.“Katanya mau menebang bambunya dengan tongkat? Memangnya bisa?” tanya Dahayu tak percaya.“Kau tidak percaya?” tanya Bimantara.“Kalau belum melihat aku tak akan percaya,” jawab Dahayu.“Mundur,” pinta Bimantara.Dahayu pun mundur beberpapa langkah. Bimantara mengulurkan tongkatnya. Tak berapa lama kemudian tongkatnya berubah menjadi golok yang begitu tajam. Dahayu tercengang melihatnya.“Tongkat ajaib,” puji Dahayu.“Sudah kubilang.”Dahayu kini terdiam. Bimantara menghilang. Dahayu heran. Tak berlapa lama bambu-bambu di dilingkaran paling depan bertumbangan. Bimantara muncul kembali sambil memegang goloknya. Dia tersenyum pada Dahayu, seolah ingin menunjukkan kehebatannya pada gadis itu.Dahayu tercengan melihatnya.“Bagaimana kau melakukannya?” tanya Dahayu tak percay
Pangeran Sakai datang menghadap Raja Dwilaga di kediamannya. Pangeran Sakai heran melihat gelagat dan mimik wajah ayahnya tidak seperti biasanya. Kali ini dia melihat ada wajah garang dan terbesit sebuah kebencian saat menatapnya.“Ampun, Yang Mulia. Ada apa gerangan Yang Mulia memanggilku?” tanya Pangeran Sakai.“Panggil kembali Panglima Sada ke istana ini,” pinta Raja Dwilaga yang masih dirasuki Walat itu.Pangeran Sakai terkejut mendengarnya.“Untuk apa, ayah?”“Kau memanggilku ayah?” tanya Raja Dwilaga heran.Pangeran Sakai mengernyit heran.“Ampun yang mulia. Bukankah engaku ayah kandung hamba?” tanya Pangeran tak percaya.“Meskipun kau anakku! Kau harus tetap hormat padaku dan panggil aku sesuatu aturan istana!” tegas Raja Dwilaga.Pangeran Sakai tampak heran melihat ketegasan Raja Dwilaga yang sangat berbeda dengan sikap ayahnya sebelumnya.“Ampun, yang mulia,” ucap Pangeran Sakai.“Sekarang panggilkan Panglima Sada dan suruh kembali ke istana!” tegas Raja Dwilaga.“Tapi Pangli