Walat berlutut di hadapan Penguasa Kegelapan. Dia tampak takut dan gemetar. Penguasa Kegelapan tampak murka menatapnya.“Kenapa kau lari darinya?” teriak Penguasa Kegelapan dengan kecewa.“Pemuda itu sangat kuat, Tuan Guru. Aku butuh waktu untuk melemahkan semua kekuatan yang dimilikinya,” jawab Walat dengan gemetar.“Aku sudah memberikan semua ilmuku padamu! Kau hanya kurang percaya diri saja! Kekuatanmu dengan pemuda itu sudah seimbang! Harusnya kau jangan mengalah begitu saja!” teriak Penguasa Kegelapan dengan geramnya.“Ampun, Tuan Guru! Hamba memiliki cara lain untuk menaklukkan pemuda itu,” ucap Walat.“Dengan cara seperti apa?” tanya Penguasa Kegelapan dengan heran dan menyangsikannya.“Beri hamba kesempatan sekali lagi. Jika kali ini gagal hamba siap menerima hukuman apapun dari Tuan Guru,” pinta Walat.“Baiklah. Aku beri kau kesempatan satu kali lagi! Jika kau gagal, maka kau akan menjadi patung batu seperti murid-muridku yang lain yang gagal memenuhi keinginanku!” ancam Peng
Bimantara berdiri bersama Dahayu di hadapan pohon bambu yang tampak rimbun. Tongkat hitam sedang digunakannya. Bimantara mendongak. Dedaunannya tampak bergerak-gerak ditiup angin lembut. Dahayu menoleh pada Bimantara.“Katanya mau menebang bambunya dengan tongkat? Memangnya bisa?” tanya Dahayu tak percaya.“Kau tidak percaya?” tanya Bimantara.“Kalau belum melihat aku tak akan percaya,” jawab Dahayu.“Mundur,” pinta Bimantara.Dahayu pun mundur beberpapa langkah. Bimantara mengulurkan tongkatnya. Tak berapa lama kemudian tongkatnya berubah menjadi golok yang begitu tajam. Dahayu tercengang melihatnya.“Tongkat ajaib,” puji Dahayu.“Sudah kubilang.”Dahayu kini terdiam. Bimantara menghilang. Dahayu heran. Tak berlapa lama bambu-bambu di dilingkaran paling depan bertumbangan. Bimantara muncul kembali sambil memegang goloknya. Dia tersenyum pada Dahayu, seolah ingin menunjukkan kehebatannya pada gadis itu.Dahayu tercengan melihatnya.“Bagaimana kau melakukannya?” tanya Dahayu tak percay
Pangeran Sakai datang menghadap Raja Dwilaga di kediamannya. Pangeran Sakai heran melihat gelagat dan mimik wajah ayahnya tidak seperti biasanya. Kali ini dia melihat ada wajah garang dan terbesit sebuah kebencian saat menatapnya.“Ampun, Yang Mulia. Ada apa gerangan Yang Mulia memanggilku?” tanya Pangeran Sakai.“Panggil kembali Panglima Sada ke istana ini,” pinta Raja Dwilaga yang masih dirasuki Walat itu.Pangeran Sakai terkejut mendengarnya.“Untuk apa, ayah?”“Kau memanggilku ayah?” tanya Raja Dwilaga heran.Pangeran Sakai mengernyit heran.“Ampun yang mulia. Bukankah engaku ayah kandung hamba?” tanya Pangeran tak percaya.“Meskipun kau anakku! Kau harus tetap hormat padaku dan panggil aku sesuatu aturan istana!” tegas Raja Dwilaga.Pangeran Sakai tampak heran melihat ketegasan Raja Dwilaga yang sangat berbeda dengan sikap ayahnya sebelumnya.“Ampun, yang mulia,” ucap Pangeran Sakai.“Sekarang panggilkan Panglima Sada dan suruh kembali ke istana!” tegas Raja Dwilaga.“Tapi Pangli
Bimantara terus saja duduk bersila. Dahayu diam-diam datang lalu mengintip di balik batu. Dia heran melihat Bimantara sedang duduk bersila di atas batu. Tak lama kemudian Dahayu tercengang melihat tubuh Bimantara mendadak menyala terang. Seketika tangan Bimantara bergerak-gerak lalu dengan cepat Bimantara menunjukkan gerakan-gerakan ilmu bela diri yang tak pernah dilihat Dahayu sebelumnya.Bimantara meluncur ke atas langit dengan cepat. Bagai meteor yang terbang menembus langit. Tak lama kemudian Bimantara mendarat lagi ke atas batu lalu kini dia berputar membentuk cahaya lingkaran yang besar. Mata air itu tampak bersinar terang hingga jelas terlihat pepohoan di sekitarnya. Dahayu masih bersembunyi sambil melihatnya dengan takjub.Lama, cahaya di tubuh Bimantara meredup. Lalu Bimantara kembali duduk bersila sambil mengatur napasnya. Seketika dia membuka mata dengan lega. Dahayu terbelalak ketika mendapati Bimantara menatap ke arahnya. Dahayu menurunkan kepalanya di balik batu itu agar
Sada sedang memotong kayu bakar di belakang rumahnya. Sukma datang membawakan minuman dan makanan untuknya. Dia meletakkannya di atas batuh pipih sambil menatap suaminya yang dipenuhi keringat.“Ini minumnya suamiku,” panggil Sukma.Sada berhenti memotong kayunya. Dia meraih lap yang terkait di batang pohon mati lalu mengelap keringat di dahi dan tubuhnya, setelah itu dia berjalan mendekat ke istrinya.“Sudah ada kabar dari orang suruhanmu mengenai keberadaan Dahayu?” tanya Sukma kemudian.Sada duduk dengan bingung, meraih air minumnya lalu menenggaknya. Setelah itu dia meletakkan kembali tempat minumnya di tempat semula sambil menatap Sukma dengan sorot mata khawatirnya.“Sampai saat ini mereka belum menemukan Dahayu, istriku,” jawab Sada.Sukma tampak sedih mendengarnya.“Di mana dia bersembunyi? Bagaimana keadaannya saat ini? Aku sangat mengkhawatirkannya, suamiku,” ucap Sukma.“Dahayu sudah dewasa. Dia juga seorang pendekar yang mendapat gelar pendekar selendang dari Perguruan Mat
Dahayu berdiri menghadap rumah panggung Bimantara. Dia mendongak ke atas memanggil-manggilnya.“Bimantara! Bimantara!” panggil Dahayu. Ya, Bimantara telah mengatakan nama aslinya pada Dahayu semalam. Sejak Dewa Angin memberitahukan nama aslinya, dia langsung memberitahukannya pada Dahayu dan Dhaksayini.Bimantara tidak menyahut di atas sana. Dahayu terbang dengan jurus meringankan tubuhnya lalu mengintip ke dalam rumah. Dia heran tidak mendapati Bimantara di dalam sana.“Kemana dia?” tanya Dahayu heran.“Mungkin dia berada di sungai,” ucap Dhaksayini yang tiba-tiba sudah berada di bawah sana.Dahayu langsung turun dan mendarat tepat di hadapan Dhaksayini. Dia melihat Dhaksayini sedang membawa bakul berisi umbi keladi yang diadapkannya dari dalam hutan sana.“Apa Bimantara pamit pada Bibi untuk ke sungai?” tanya Dahayu memastikan.“Dia tidak pamit, tapi tadi sebelum Bibi mencari umbi-umbian, dia berjalan ke arah sungai,” jawab Bibi. “Kenapa kau mencarinya?”“Aku ingin mengajaknya berbu
Bimantara masih menunggu jawaban dari Dahayu. Dahayu tampak bingung.“Jangan dulu,” jawab Dahayu.“Kenapa?” tanya Bimantara dengan heran.“Aku tidak mau ayahku mengajakmu bertarung hanya karena ayah lebih memilih Pangeran Sakai dibanding kamu,” jawab Dahayu.“Belum tentu ayahmu akan menolakku,” ucap Bimantara.Dahayu berjalan duluan. Bimantara mengejar langkahnya.“Kau masih belum yakin denganku?” tanya Bimantara kemudian.“Tunggu waktu yang tepat saja. Jangan sekarang,” pinta Dahayu.Bimantara pun teridam dan berjalan mengikuti langkah Dahayu menuju rumah mereka. Setiba di halama rumah mereka, Bimantara terkejut mendapat beberapa pemuda dan seorang gadis sedang berkengkrama dengan Dhaksayini. Bimantara menarik tangan Dahayu dengan heran.“Siapa mereka?” tanya Bimantara.“Mereka teman-teman seperguruanku,” jawab Dahayu. “Aku tidak tahu bagaimana caranya mereka bisa tiba di sini.”Dahayu pun mendekat pada mereka dengan heran. Ya, mereka adalah Welas, Rajo dan Kancil bersama dua prajuri
“Ampun, Yang Mulia,” ucap Sada dengan herannya. “Chandaka Uddhiharta dilindungi para dewa. Itu sangat berbahaya jika kita harus merebut benda pusaka yang dimiliki olehnya.”Raja Dwilaga sangat geram mendengarnya. “Kau tidak mau menuruti perintah rajamu?” tanya raja Dwilaga dengan geram.“Ini keputusan besar, Yang Mulia. Bukan kah peraturan istana selama ini jika ada keputusan begini harus dirundingkan dahulu kepada para pejabat istana?” tanya Sada dengan menunduk penuh hormat.Raja Dwilaga terdiam mendengarnya. Tak lama kemudian dia berpikir.“Bagaimana jika aku hadiahkan sebagian hartaku padamu jika kau berhasil merebut tongkat hitam itu?” tanya Raja Dwilaga.“Ampun, yang mulia. Hamba telah mengundurkan diri menjadi Panglima. Bukannya hamba menolak tawaran hadiah dari yang mulia?”Raja Dwilaga semakin geram mendengarnya. Dia mengutus Sada hanya ingin mengulur waktu saja. Walat yang bersemayam di raga Dwilaga ingin mengetahui kelemahan-kelemahan Chandaka Uddhiharta agar bisa melawanny