Dan hari itu, setelah Bimantara dan Panglima Adhira bersama pasukannya telah berhasil membatu Datuk Margi mengarungi biji kopi yang siap dibawa ke Nusantara, mereka semua kini melakukan perjalanan menuju dermaga membawa kopi-kopi itu. Beberapa karung kopi tampak diangkut oleh kereta kencana yang ditarik tiga kuda. Sebagiannya lagi didorong oleh prajurit Panglima Adhira dengan gerobak-gerobak. Sementara Bimantara tampak membantu memacukan kuda yang menarik kereta kencana berisi karung-karung kopi itu. Datuk Margi dan pengikutnya berada di atas kuda paling depan, mengawal mereka semua di belakang. Elang putih terbang di atas mereka mengikuti perjalanan mereka dari atas sana.Saat mereka semua memasuki kawasan Dermaga, di hadapan mereka banyak prajurit berbaris menjaga kawasan itu. Para parjurit itu menghentikan mereka dan mendekat ke Datuk Margi dengan heran.“Biasanya kau tidak membawa pasukan sebanyak ini?” tanya prajurit itu heran.“Kopi-kopiku diminati di Nusantara. Mereka kebetulan
Ratu Mantili tampak terkejut mendengar laporan dari Panglimanya bahwa dermaga tiba-tiba didatangi angin puting beliung karena cuaca buruk. Dia terpaksa menarik pasukannya dari dermaga demi keselamatan semuanya di sana.“Angin puting belung?” tanya Ratu Mantili heran.Pejabat istana menatap sang Ratu dengan heran.“Hamba yakin itu bukan angin puting beliung biasa yang mulia. Itu pasti ulah Candaka Uddhiharta yang berusaha mengelabui para penjaga dermaga agar dia bisa leluasa kembali berlayar ke Nusantara,” ujar pejabat istana itu pada Sang Ratu.Sang Ratu murka mendengar itu. Dia melotot geram pada Panglimanya.“Kenapa kau malah mengajak pasukanmu meninggalkan dergama itu?!” teriak Ratu Mantili murka. “Apakah kau sudah tidak bisa membedakan mana bencana alam dan mana bencana yang diakibatkan oleh ajian?!”Panglima itu menunduk takut dan gemetar.“Ampun yang Mulia, hamba benar-benar tidak tahu kalau angin puting beliung itu datang dari ajian Candaka Uddhiharta! Hamba siap dihukum yang m
Bimantara berdiri di sisi kapal sambil memandangi lautan malam yang tampak gelap. Panglima Adhira mendekat padanya lalu ikut berdiri di sampingnya.“Kau tidak tidur?” tanya Panglima Adhira padanya. Penghuni kapal yang lainnya sudah tampak istirahat selain awak kapal yang menjaga layar.“Aku sudah tidak sabar untuk memberi tahu Kepala Perguruan bahwa sekarang aku sudah berlayar menuju Nusantara. Aku tidak tahu apakah laut ini masih berada di wilayah Suwarnadwipa apa sudah berada di Nusantara. Karena jika masih berada di Suwarnadwipa, aku belum bisa menggunakan merpati untuk mengirim surat pada perguruan matahari. Hanya urusan kerajaan saja yang bisa saling berkirim surat untuk saat ini,” jawab Bimantara.Tak lama kemudian Panglima Adhira teringat elang putih yang mengikuti mereka. Dia mencari keberadaan elang putih di atas kapal layar itu. Panglima Adhira melihat Elang putih masih bertengger di tiang layar kapal itu.“Kenapa kau tidak meminta elang putih itu saja?” tanya Panglima Adhir
Pagi itu matahari bersinar terang di samudera. Bimantara sedang duduk bersama Datuk Margi, Panglima Adhira, Saruang dan beberapa pengikut Datuk Margi. Mereka sarapan bersama di satu meja. Sementara para prajurit sarapan di atas lantai kapal bersama awak kapal.“Ini kehormatan besar bagiku jika benar kau adalah Candaka Uddhiharta itu,” ucap Datuk Margi.“Itu hanya sebuah ramalan yang kebenarannya masih diragukan,” sahut Bimantara.“Tapi lukisan wajahnya mirip denganmu, anak muda,” ucap Saruang menyela.“Belum tentu itu aku, lagipula kata Tuan Guruku di dunia ini ada tujuh manusia yang terlahir memiliki wajah yang hampir sama,” jawab Bimantara.“Candaka Uddhiharta itu bukan manusia biasa. Dia pasti hebat karena memiliki kekuatan yang sama dengan para dewa,” ujar Panglima Adhira.“Lagi pula selama aku hidup aku belum pernah bertemu langsung dengan para dewa itu,” ucap Bimantara.“Dan menurut cerita nenek moyang kita bahwa Candaka Uddhiharta akan diajari oleh empat dewa untuk menjalankan
Pendekar Buruk Rupa terdampar di atas pasir pinggir laut. Perahu yang dia naiki tampak pecah berserak. Seorang kakek tua bertongkat datang mendekat padanya. Rambutnya begitu panjang penuh uban. Kumis dan janggutnya juga berwarna putih. Di ujung tongkatnya tampak menempel tengkorak kepala ular.Kakek itu memeriksa denyut nadi Pendekar itu. Dia terkejut melihat pendekar itu masih hidup. Tak lama kemudian dia mengarahkan ujung tongkatnya ke dadanya. Eneregi keluar dari ujung tongkatnya menyalur ke dada pendekar itu. Tak lama kemudian pendekar itu sadar dengan memuntahkan air laut yang tertelan ke tenggorokannya.Pendekar Buruk Rupa perlahan bangkit lalu terkejut mendapati kakek itu sudah berada di dekatnya.“Siapa kau?” tanya Pendekar Buruk Rupa sambil memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Dia masih mual dan kembali memuntahkan air laut dalam perutnya.Kakek itu tertawa.“Siapapun yang tiba ke pulau ini berarti para leluhur menghendakinya untuk menjadi muridku,” ucap Kakek itu.“Sia
Bimantara berdiri di atas kapal melihat langit gelap di ujung samudera tampak mendekat ke arah kapal layar mereka. Para awak kapal tampak panik melihatnya. Panglima Adhira dan prajuritnya pun terdiam khawatir melihat awan gelap yang semakin mendekat itu.Datuk Margi berjalan mendekati Bimantara.“Bukankah itu mudah bagimu wahai anak muda?” tanya Datuk Margi.Bimantara menoleh padanya.“Mudah bagaimana maksudmu, Tuan?” tanya Bimantara.“Kau tinggal mengarahkan ujung pedangmu ke awan hitam itu untuk mengusir awan hitam itu agar badai tidak menyerang kapal kita,” pinta Datuk Margi.Bimantara tersenyum mendengarnya.“Kalian semua jangan panik,” pinta Bimantara. “Awan itu tak akan mengejar kapal kita. Badai tak akan datang ke sini. Lagi pula awan hitam itu sangat jauh!”Bimantara pun berjalan santi ke tempat mereka biasa duduk-duduk. Datuk Margi mengejarnya dengan panik.“Tolonglah, Bimantara. Pikirkan lah kopi-kopi yang aku bawa. Aku tidak akan mendapatkan apa-apa jika kapal layar kita te
Kake kepala perguruan Elang Putih tengah duduk menghadap Kepala Perguruan di kediamannya. Dia baru saja tiba mengarungi lautan menuju pulau perguruan matahari. Kakek itu menceritakan semuanya pada Kepala Perguruan bahwa yang menggerakkan hewan dan binatang adalah dirinya melalui Elang Putih.Kepala Perguruan terbelalak mendengarnya.“Sudah aku duga ini pasti bukan pengkhianatan Bimantara,” ucap Kepala Perguruan dengan lega.“Maafkan aku,” ucap Kakek itu. “Aku tahu bahwa perjanjian antara pendekar kerajaan itu akan membatasi pergerakan Bimantara ke sana, makanya aku mencari cara untuk bisa ikut andil membantu Bimantara agar segera mendapatkan bunga raksasa merah itu.”“Terima kasih atas niat baikmu. Ini harus segera disampaikan kepada para raja meskipun saat ini mereka tidak percaya akan laporan ratu dari Suwarnadwipa itu. Agar para raja tidak bertindak semena-mena jika ada salah satu dari pihak istana menghasut mereka,” pinta Kepala Perguruan.“Baik, Tuan Guru Besar,” jawab Kakek Kepa
“Bimantara! Bimantara!”Bimantara terbangun dengan dahi dipenuhi keringat. Dadanya tampak basah dibanjiri keringatnya sendiri. Dia terkejut melihat Panglima Adhira sudah duduk di sisi ranjangnya dengan wajah panik.Bimantara pun bangkit lalu duduk dengan bingung. Dia mencubit lengannya sendiri. Panglima Adhira menatapnya dengan heran.“Tadi kudengar kau berteriak-teriak sendiri,” ucap Panglima Adhira.Bimantara terkejut mendengarnya.“Apakah aku tertidur sudah cukup lama?” tanya Bimantara heran. Bagaimana pun tadi dia didatangi Dewa Air dan hampir saja ditenggelamkan olehnya.Panglima Adhira mengangguk. Bimantara semakin terbelalak melihatnya.“Tidak mungkin,” gumam Bimantara.Panglima Adhira mengernyit. “Tidak mungkin kenapa?”Bimantara terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia tidak ingin menceritakan mimpinya bertemu dengan Dewa Air. Jika benar dia tertidur cukup lama berarti pertemuannya dengan Dewa Air hanya mimpi belaka. Tapi kenapa mimpi itu begitu nyata? Tanya Bimantara dalam hat