Ketika Panglima Sada sudah melaporkan pada Raja Dwilaga tentang apa yang dikatakan Kakek Kepala Perguruan tentang dirinya yang membantu Bimantara menggerakkan binatang di Suwarnadwipa, Raja Dwilaga tampak lega mendengarnya.Kabar itupun sampai pada Raja Banggala dari Kerajaan Nusntara Barat juga sampai pada Raja Dawuh dari kerajaan Nusantara Tengah. Para raja kini percaya kalau Bimantara tidak melakukan pelanggaran antar pendekar di wilayah Suwarnadwipa. Mereka menyangka itu murni ulah Ratu Mantili dari kerajaan Suwarnadwipa yang sengaja mencari masalah agar Bimantara yang dianggap Candaka Uddhiharta segera tertangkap dan mereka bebas dari ramalan yang mengerikan yang akan menimpa seluruh kerajaan di luar Nusantara.Kakek Kepala Perguruan Elang Putih pun tampak tenang dan tidak merasa bersalah lagi setelah mengetahui tanggapan Raja Dwilaga dari Panglima Adhira. Kakek itu pergi meninggalkan istana dengan membawa guci-guci arak untuk murid-muridnya di padepokan dengan tenang.Sementara
Elang Putih itu pun telah berhasil menjatuhkan surat-surat dari Bimantara ke tanah tiga kerajaan Nusantara. Para Raja membaca surat itu dengan terkejut. Setelah berdiskusi dengan para pejabat istana, dan mengingat kejadian serupa sebelum utusan kerajaan dari Tala lebih dulu datang ke Nusantara, mereka pun menugaskan para prajurit untuk menjaga ketat garis pantai Nusantara di wilayah masing-masing. Mereka khawatir bukan saja dari kerajaan Suwarnadwipa yang akan datang ke Nusantara dan mengajak perang, tapi dari kerajaan lainnya di luar Nusnatara mengingat masalah tentang ramalan Candaka Uddhiharta sudah cukup membuat semua kerjaan di luar Nusantara ketakutan dan ketar-ketir.Elang Putih itupun akhirnya kembali ke padepokan Perguruan Elang Putih di atas bukit, bekas padepokan Perguruan Tengkorak dahulu. Seorang pendekar berteriak memanggil Kakek Kepala Perguruan yang sedang istirahat di dalam bangunan setelah melihat Elang Putih berputar di atas langit sana.“Tuan Guru! Tuan Guru!” teri
Kapal layar yang dinaiki Bimantara berlabuh di dermaga Perguruan Matahari. Kepala Perguruan dan penghuni Perguruan Matahari tampak berdiri menyambut kedatangannya. Semua tampak lega melihat Bimantara membawa setangkai bunga raksasa merah dan langsung diserahkannya pada Kepala Perguruan. Dahayu tampak senang dan tak percaya melihat kekasihnya akhirnya kembali juga ke perguruan.Datuk Margi beserta awak kapalnya dan Panglima Adhira beserta pasukannya diajak Kepala Perguruan untuk berisitirahat di dalam perguruan. Mereka akan menghabiskan waktu semalam di sana sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing esok paginya.Bimantara dan Kepala Perguruan memasuki ruangan Tabib Perguruan sambil membawa setangkai bunga mawar merah. Pendekar Pedang Emas tampak terbaring pingsan di atas ranjang. Bimantara sedih melihat kondisi Tuan Guru Besarnya itu semakin lemah tak berdaya.“Untung saja Bimantara sudah datang, jika tidak mungkin dia tak akan bisa diselamatkan lagi,” ucap Tabib Pergurua
Bimantara dan Dahayu pun tiba di bawah pohon rambutan di pinggir pantai. Senja sudah mulai datang. Mereka duduk berdua di bawah pohon rambutan yang belum berbuah itu. Mereka menatap laut di hadapannya.Bimantara menoleh pada Dahayu. “Kau percaya dengan ramalan Candaka Uddhiharta?” tanya Bimantara kemudian.“Semasa kecil ayah sering menceritakannya padaku. Aku tidak tahu kebenarannya seperti apa, tapi mendengar apa yang dikatakan guru besarku, sepertinya Candaka Uddhiharta benar adanya,” jawab Dahayu.“Gara-gara peramal melukis wajah Candaka Uddhiharta yang mirip denganku, itu jadi masalah besarku di Suwarnadwipa,” ujar Bimantara.Dahayu tampak terkejut mendengarnya.“Berarti benar yang dikatakan Kancil padaku bahwa lukisan wajah Candaka Uddhiharta itu memang mirip denganmu.”“Aku tidak mempercayainya dan aku tidak yakin akulah yang dimaksud Candaka Uddhiharta oleh orang-orang itu!”“Kalau Candaka Uddhiharta itu memang dirimu, bukan kah itu bagus?” ucap Dahayu.“Aku takut dan aku tidak
Tak lama kemudian Bimantara mendarat di hadapan kediaman Tabib perguruan sambil menurunkan Dahayu. Kancil dan yang lainnya mendarat di belakang Bimantara dengan napas terengah-engah. Mereka baru sadar rupanya Bimantara hendak membawa mereka ke sana.Pintu kediaman terbuka. Pangeran Sakai keluar dan terkejut menatap Bimantara dan teman-teman lainnya berada di sana.“Bagaimana keadaan Tuan Guru Besar Pendekar Pedang Emas sekarang, Pangeran?” tanya Bimantara.“Tuan Guru Besar sudah mulai membaik, kata Tabib beberapa hari lagi dia akan kembali seperti sedia kala lagi,” jawab Pangeran Sakai.Bimantara senang mendengarnya, berarti bunga raksasa merah itu memang ampuh sebagai obatnya. Pangeran Sakai pun mendekat ke Bimantara dengan tatapan leganya.“Terima kasih telah menyelamatkan Tuan Guru Besarku,” ucap Pangeran Sakai.“Ini sudah menjadi tugasku, kau tak perlu berterima kasih padaku,” jawab Bimantara.Tak lama kemudian suara derak pintu terbuka tedengar. Bimantara terbelalak mendapati Pen
Panglima Adhira datang bersama prajuritnya menghadap Raja Dawuh. Raja Dawuh berdiri dengan lega melihat panglimanya sudah kembali ke istana. Panglima itu langsung berlutut hormat pada sang raja diikuti oleh prajuritnya. Wajah-wajah mereka tampak lelah. Pejabat istana yang berada di ruangan itu juga tampak lega melihat mereka sudah kembali ke istana.“Ampun yang mulia, hamba dan prajurit hamba telah melakukan tugas sesuai dengan yang mulia pinta. Saat ini Bimantara sudah kembali ke Perguruan Matahari dan apa yang dicarinya di Suwarnadwipa sudah didapatkannya,” ucap Panglima Adhira pernuh hormat.Raja Dawuh lega mendengarnya. Namun kelegaannya itu secepat kilat menghilang karena saat ini dia memikirkan kedatangan para kerajaan di luar Nusantara yang siap menyerang seluruh kerajaan Nusantara.“Terima kasih telah melakukan tugasmu dengan baik, Panglimaku.” Raja Dawuh terdiam sesaat, dia memandangi wajah-wajah lelah prajuritnya. “Harusnya aku membiarkan kalian untuk istirahat sejenak, namu
Kepala Perguruan berdiri di hadapan seluruh penghuni Perguruan Matahari. Bimantara sudah berbaris rapih di hadapan Tuan Guru Besarnya dengan tongkat bersama murid-murid lainnya.“Kedatangan para kerajaan asing yang akan menyerang Nusantara bukan hanya sebatas penerawangan atau isapan jempol semata lagi! Para pengintai istana sudah melaporkan tiap kerajaan bahwa mereka benar-benar sedang berlayar menuju Nusantara. Bukan hanya datang dari satu penjuru lautan saja, tapi mereka berdatangan ditiap penjuru lautan kerajaan Nusantara!”Semua terdiam mendengar itu.Kepala Perguruan kembali melanjutkan kata-katanya. “Karena saat ini Nusantara tengah menyiapkan pertahanan terhadap serangan mereka, maka ikrar kelulusan murid-murid baru akan ditunda. Untuk tahun ini, pemilihan murid terbaik mungkin tidak akan dilakukan lagi. Semuanya nanti akan mendapatkan tanda kelulusan murid terbaik dariku!”Semuanya saling menatap mendengar itu. Mereka tidak dapat protes hanya bisa mengikutinya karena sadar ke
Bimantara melepas kepergian Pangeran Sakai, Kancil, Dahayu, Welas dan murid-murid perempuan lainnya yang sudah siap berlayar ke pulau seberang untuk kembali ke tempat asal masing-masing. Utusan dari kerajaan Nusantara Timur dan Barat sudah siap membawa dua pangeran itu ke kerajaan masing-masing. Dahayu akan berangkat bersama Pangeran Sakai ke istana Kerajaan Nusantara Timur. Bimantara berdiri di hadapan teman-temannya itu dengan sedih. “Semoga kita bertemu kembali,” ucap Bimantara. “Jaga dirimu baik-baik,” pinta Kancil. Bimantara mengangguk. “Kami pergi dulu,” ucap Pangeran Sakai padanya. Bimantara mengangguk. Sementara Dahayu diam saja. Dia tak tahu harus bicara apa ke Bimantara. Dia khawatir air matanya akan tumpah kita mengucap kata perpisahan sementara padanya. Dia pun tidak tahu bagaimana nasib Nusantara ke depannya. “Hati-hati di jalan, Dahayu,” pinta Bimantara. Dahayu mengangguk. Mereka semua pun menaiki kapal layar yang sudah menunggu mereka. Bimantara berdiri menatap m