Jangan lupa sumbangkan vote sebanyak-banyaknya! Terima kasih.
Kepala Perguruan tampak bingung mendengar itu. Bimantara juga tampak bingung. Semua guru utama yang berada di sana tampak berpikir bagaimana caranya untuk menenangkan lautan agar Bimantara dan Kepala Perguruan bisa segera berlayar ke pulau seberang.“Sepertinya penguasa Iblis sengaja menghalangi kita agar para kerajaan asing itu bisa dengan mudah menemukan Bimantara di pulau matahari ini,” ucap Kepala Perguruan.“Berati gelomng laut tak akan berhenti sampai para pasukan dari kerajaan asing itu tiba ke nusantara?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan bingung.Kepala perguruan mengangguk mendengarnya.“Apakah kita harus melawannya, Tuan Guru?” tanya Bimantara.“Melawan mereka dengan menggunakan sukma bukan cara terbaik untuk menenangkan lautan ini dari pengaruh energi hitam,” jawab Kepala Perguruan.Bimantara terdiam mendengar itu. Pendekar Pedang Emas menatap Kepala Perguruan dengan semangat seolah sudah mendapatkan solusi.“Bagaimana kalau kita semua bersatu menggunakan ajian meraga sukm
Kepala Perguruan dan Bimantara berjalan melewati perkampungan. Mereka benar-benar tidak menemukan satu manusia pun di sana.“Kemana mereka semua, Tuan Guru?” tanya Bimantara pada akhirnya.“Mungkin mereka semua bersembunyi ke dalam hutan dan ke bukit-bukit untuk menghindari serangan kerajaan asing. Mungkin mereka khawatir kerajaan asing itu akan mengalahkan para prajurit nusantara dan memasuki semua wilayah nusantara. Karena dengan bersembunyi di dalam hutan dan di atas bukit, itu tempat teraman dari perang. Para leluhur dahulu juga begitu jika terjadi perang di kerajaan,” jawab Kepala Perguruan.Bimantara terdiam mendengarnya. Tak lama kemudian Kepala Perguruan tampak mencari-cari sesuatu. Dia berharap bisa menemukan kuda yang tertinggal di perkampungan itu. Kuda dari perguruan matahari tak bisa dibawa karena kapal layar tak bisa melewati lautan yang bergelombang.“Tuan Guru besar mencari apa?” tanya Bimantara.“Kita harus mendapatkan kuda agar bisa cepat sampai ke tempat persembunyi
Bimantara dan Kepala Perguruan masih memacukan kudanya dengan kencang beriringan. Mereka sudah melewati hutan. Sudah beberapa kampung mereka lewati. Semua kampung tampak sepi tanpa penghuni. Mungkin Kepala Perguruan benar bahwa semua penduduk sudah bersembunyi untuk menghindari perang. Tiba-tiba Bimantara kembali teringat akan nasib kakek Sangkala saat ini. Dia sudah lama tidak berkabar pada kakeknya melalui merpati. Dia tidak tahu apakah kakeknya masih menjadi guru ilmu bela diri di kediaman Tuan kepala wilayah. Dia berpikir apakah kakeknya bersama penduduk di sekitar kediaman Tuan Kepala Wilayah juga bersembunyi ke dalam hutan atau ke atas perbukitan seperti para penduduk lainnya? Entahlan, jika murid-murid kakeknya di sana sudah mumpuni, mereka pasti ditarik pihak kerajaan untuk diajak bergabung dalam peperangan. “Apakah perjalanan kita masih jauh, Tuan Guru Besar?” tanya Bimantara. “Kau ikuti saja aku! Para leluhuru sedang memberikan petunjuk padaku agar kita segera menemukan te
Perahu-perahu kecil itu sudah mendekat ke hadapan kapal layar yang diduduki Panglima Sada. Panglima Sada pun langsung menurunkan satu perahu dari atas kapal. Dia mengirim dua prajuritnya ke dalam perahu itu untuk menemui mereka dan menanyakan maksud kedatangan mereka.Saat dua prajurit itu sudah saling berhadapan dengan perahu yang diduduki para prajurit dari kerajaan Suwarnadwipa, Satu prajurit berdiri menatapnya. Satu prajurit bersiap dengan anak panahnya, begitu pun para prajurit dari kerajaan Suwarnadwipa, anak panah sudah siap mereka arahkan ke musuh di hadapannya.“Apa maksud kalian datang ke sini?” tanya prajurit dari Nusantara.“Panglima kami meminta Panglimamu untuk menyerahkan Candaka Uddhiharta seperti yang terlukis dalam lukisan ini!” jawab prajurit dari Suwarnadwipa sambil menunjukkan lukisan wajah mirip Bimantara padanya. “Jika pihak kerajaan Nusantara bersedia menyerahkan pemuda ini pada kami, maka kami akan mundur dan kembali ke Suwarnadwipa!”“Jika tidak?” tanya praj
Setelah prajurit itu menghilang dari matanya untuk memerintahkan para penyelam handal, Panglima Sada kembali menatap ke hadapannya. Kini prajuritnya senang saling mengarahkan anak panah. Sebagian prajuritnya sudah berhasil menaiki perahu-perahu milik musuh dan sedang bertarung dengan mereka.Panglima Sada pun terkejut saat melihat puluhan kapal layar lainnya mendekat di belakang kapal layar milik Panglima dari Suwarnadwipa itu. Mereka pasukan dari kerajaan asing yang baru datang.Panglima Sada langsung menoleh ke arah daratan. Dia kembali meniup terompet sebagai tanda untuk memanggil pasukan lain untuk berlayar ke arah kapal-kapal penjaga karena jumlah mereka tidak sebanding jika harus melawan pasukan kerajaan asing yang baru datang itu.Sementara itu, Panglima dari Suwarnadwipa tampak terkejut melihat kedatangan puluhan kapal-kapal baru. Tama, Salwa dan Darsa juga heran melihat mereka. Mereka penasaran dari kerajaan mana yang baru datang itu.“Kita harus bagaimana, Panglima?” tanya T
Bimantara memengangi kepalanya. Kepala Perguruan langsung turun dari kudanya mendekat ke Bimantara dengan heran. Dia tahu Bimantara sedang mendapatkan penglihatan dan pendengaran dari jauh. Dia pun menunggu sambil menjaga pemuda pincang itu selesai melihat dan mendengar semuanya.Tak lama kemudian Bimantara membuka matanya dengan lega. Keringat di dahinya mengucur deras.“Apa yang kau lihat, Bimantara?” tanya kepala Perguruan.“Aku melihat Panglima Sada telah berhasil menebas dua kepala panglima dari dua kerajaan asing di atas lautan,” jawab Bimantara.Kepala Perguruan lega mendengarnya.“Apakah ada yang berhasil menyusup ke daratan Nusantara?” tanya Kepala Perguruan penasaran.Bimantara menggeleng.“Tapi aku tidak tahu apakah semua pasukan dari kerajaan asing itu benar-benar sudah mati atau tidak,” jawab Bimantara. “Yang aku lihat mayat-mayat mengambang dari prajurti-prajurit kerajaan asing dan dari nusantara.”Kepala Perguruan tampak sedih mendengarnya.“Yang penting pimpinan pasuka
Bimantara dan Kepala Pergurun tiba di hadapan tebing batu yang luas dan tinggi. Di tengah-tengah tebing batu itu tampak sebuah celah sempit yang hanya bisa dilewati dengan berjalan sambil memiringkan tubuh. Di atas tebing batu itu tumbuh rerumputan hijau yang bersama tumbuh bebungaan yang tengah mekar.Bimantara menoleh pada Kepala Perguruan.“Apakah kita sudah tiba, Tuan Guru?” tanya Bimantara heran.Kepala Perguruan turun dari kudanya sambil menatap Bimantara.“Turunlah!” pintanya.Bimantara pun turun dari atas kudanya menggunakan tongkatnya. Mereka berdua kini berdiri menatap celah diantara dua tebing itu.“Kita harus memasuki celah tebing batu itu,” pinta Kepala Perguruan.Bimantara mengangguk. Kepala Perguruan langsung berjalan menuju celah tebing batu itu. Bimantara pun mengikutinya dengan tongkatnya. Saat Kepala Perguruan tiba di depan celah tebing itu, dia langsung memiringkan tubuhnya lalu melewati tebing itu bagai kepiting yang sedang berjalan. Bimantara pun mengikutinya.Ce
Kakek Penguasa Iblis itu tampak geram memandangi lautan di hadapannya. Dia sudah melihat kemenangan Nusantara berperang melawan kerajaan-kerajaan asing yang menyerangnya. Walat mendekat padanya dengan takut.“Apakah aku sudah boleh istirahat?” tanya Walat padanya. Seharian ini dia sudah berlatih sekuatnya dari apa yang diajarkan kakek itu padanya.“Kau harus berlatih lebih giat lagi agar segera menguasai semua ilmuku!” teriak kakek itu.Walat heran mendengarnya. Dia heran kakek itu tiba-tiba berwajah masam dan tampak murka padanya, padahal hari itu dia tidak melakukan kesalahan apa-apa.“Siap, Tuan Guru,” ucap Walat.Kakek itu berbalik lalu menghadapkan wajahnya kepadanya. Tak lama kemudian tubuh kakek itu kembali berbuah menjadi sosok hitam yang memancarkan cahaya merah di kedua matanya. Tanduknya tampak jelas terlihat. Tongkat kayunya menyala. Dia menatap tajam wajah Walat.“Nusantara telah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya! Ralaman itu tidak berhasil membuat mereka meluluhlantakk