Bimantara dan Kepala Perguruan masih memacukan kudanya dengan kencang beriringan. Mereka sudah melewati hutan. Sudah beberapa kampung mereka lewati. Semua kampung tampak sepi tanpa penghuni. Mungkin Kepala Perguruan benar bahwa semua penduduk sudah bersembunyi untuk menghindari perang. Tiba-tiba Bimantara kembali teringat akan nasib kakek Sangkala saat ini. Dia sudah lama tidak berkabar pada kakeknya melalui merpati. Dia tidak tahu apakah kakeknya masih menjadi guru ilmu bela diri di kediaman Tuan kepala wilayah. Dia berpikir apakah kakeknya bersama penduduk di sekitar kediaman Tuan Kepala Wilayah juga bersembunyi ke dalam hutan atau ke atas perbukitan seperti para penduduk lainnya? Entahlan, jika murid-murid kakeknya di sana sudah mumpuni, mereka pasti ditarik pihak kerajaan untuk diajak bergabung dalam peperangan. “Apakah perjalanan kita masih jauh, Tuan Guru Besar?” tanya Bimantara. “Kau ikuti saja aku! Para leluhuru sedang memberikan petunjuk padaku agar kita segera menemukan te
Perahu-perahu kecil itu sudah mendekat ke hadapan kapal layar yang diduduki Panglima Sada. Panglima Sada pun langsung menurunkan satu perahu dari atas kapal. Dia mengirim dua prajuritnya ke dalam perahu itu untuk menemui mereka dan menanyakan maksud kedatangan mereka.Saat dua prajurit itu sudah saling berhadapan dengan perahu yang diduduki para prajurit dari kerajaan Suwarnadwipa, Satu prajurit berdiri menatapnya. Satu prajurit bersiap dengan anak panahnya, begitu pun para prajurit dari kerajaan Suwarnadwipa, anak panah sudah siap mereka arahkan ke musuh di hadapannya.“Apa maksud kalian datang ke sini?” tanya prajurit dari Nusantara.“Panglima kami meminta Panglimamu untuk menyerahkan Candaka Uddhiharta seperti yang terlukis dalam lukisan ini!” jawab prajurit dari Suwarnadwipa sambil menunjukkan lukisan wajah mirip Bimantara padanya. “Jika pihak kerajaan Nusantara bersedia menyerahkan pemuda ini pada kami, maka kami akan mundur dan kembali ke Suwarnadwipa!”“Jika tidak?” tanya praj
Setelah prajurit itu menghilang dari matanya untuk memerintahkan para penyelam handal, Panglima Sada kembali menatap ke hadapannya. Kini prajuritnya senang saling mengarahkan anak panah. Sebagian prajuritnya sudah berhasil menaiki perahu-perahu milik musuh dan sedang bertarung dengan mereka.Panglima Sada pun terkejut saat melihat puluhan kapal layar lainnya mendekat di belakang kapal layar milik Panglima dari Suwarnadwipa itu. Mereka pasukan dari kerajaan asing yang baru datang.Panglima Sada langsung menoleh ke arah daratan. Dia kembali meniup terompet sebagai tanda untuk memanggil pasukan lain untuk berlayar ke arah kapal-kapal penjaga karena jumlah mereka tidak sebanding jika harus melawan pasukan kerajaan asing yang baru datang itu.Sementara itu, Panglima dari Suwarnadwipa tampak terkejut melihat kedatangan puluhan kapal-kapal baru. Tama, Salwa dan Darsa juga heran melihat mereka. Mereka penasaran dari kerajaan mana yang baru datang itu.“Kita harus bagaimana, Panglima?” tanya T
Bimantara memengangi kepalanya. Kepala Perguruan langsung turun dari kudanya mendekat ke Bimantara dengan heran. Dia tahu Bimantara sedang mendapatkan penglihatan dan pendengaran dari jauh. Dia pun menunggu sambil menjaga pemuda pincang itu selesai melihat dan mendengar semuanya.Tak lama kemudian Bimantara membuka matanya dengan lega. Keringat di dahinya mengucur deras.“Apa yang kau lihat, Bimantara?” tanya kepala Perguruan.“Aku melihat Panglima Sada telah berhasil menebas dua kepala panglima dari dua kerajaan asing di atas lautan,” jawab Bimantara.Kepala Perguruan lega mendengarnya.“Apakah ada yang berhasil menyusup ke daratan Nusantara?” tanya Kepala Perguruan penasaran.Bimantara menggeleng.“Tapi aku tidak tahu apakah semua pasukan dari kerajaan asing itu benar-benar sudah mati atau tidak,” jawab Bimantara. “Yang aku lihat mayat-mayat mengambang dari prajurti-prajurit kerajaan asing dan dari nusantara.”Kepala Perguruan tampak sedih mendengarnya.“Yang penting pimpinan pasuka
Bimantara dan Kepala Pergurun tiba di hadapan tebing batu yang luas dan tinggi. Di tengah-tengah tebing batu itu tampak sebuah celah sempit yang hanya bisa dilewati dengan berjalan sambil memiringkan tubuh. Di atas tebing batu itu tumbuh rerumputan hijau yang bersama tumbuh bebungaan yang tengah mekar.Bimantara menoleh pada Kepala Perguruan.“Apakah kita sudah tiba, Tuan Guru?” tanya Bimantara heran.Kepala Perguruan turun dari kudanya sambil menatap Bimantara.“Turunlah!” pintanya.Bimantara pun turun dari atas kudanya menggunakan tongkatnya. Mereka berdua kini berdiri menatap celah diantara dua tebing itu.“Kita harus memasuki celah tebing batu itu,” pinta Kepala Perguruan.Bimantara mengangguk. Kepala Perguruan langsung berjalan menuju celah tebing batu itu. Bimantara pun mengikutinya dengan tongkatnya. Saat Kepala Perguruan tiba di depan celah tebing itu, dia langsung memiringkan tubuhnya lalu melewati tebing itu bagai kepiting yang sedang berjalan. Bimantara pun mengikutinya.Ce
Kakek Penguasa Iblis itu tampak geram memandangi lautan di hadapannya. Dia sudah melihat kemenangan Nusantara berperang melawan kerajaan-kerajaan asing yang menyerangnya. Walat mendekat padanya dengan takut.“Apakah aku sudah boleh istirahat?” tanya Walat padanya. Seharian ini dia sudah berlatih sekuatnya dari apa yang diajarkan kakek itu padanya.“Kau harus berlatih lebih giat lagi agar segera menguasai semua ilmuku!” teriak kakek itu.Walat heran mendengarnya. Dia heran kakek itu tiba-tiba berwajah masam dan tampak murka padanya, padahal hari itu dia tidak melakukan kesalahan apa-apa.“Siap, Tuan Guru,” ucap Walat.Kakek itu berbalik lalu menghadapkan wajahnya kepadanya. Tak lama kemudian tubuh kakek itu kembali berbuah menjadi sosok hitam yang memancarkan cahaya merah di kedua matanya. Tanduknya tampak jelas terlihat. Tongkat kayunya menyala. Dia menatap tajam wajah Walat.“Nusantara telah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya! Ralaman itu tidak berhasil membuat mereka meluluhlantakk
Naga itu terus saja terbang membawa Bimantara dan Kepala Perguruan. Nun jauh di sana, Bimantara sudah dapat melihat pulau perguruan matahari. Naga itu kini sudah terbang di atas lautan antara pulau seberang dan pulau perguruan matahari.“Sebentar lagi kita sampai, Bimantara,” ucap Kepala Perguruan dengan lega.Sementara itu, para guru utama dan murid-murid yang sudah kembali ke sana tampak terkejut melihat seekor naga terbang sedang menuju ke sana.“Ada Tuan Naga!” teriak salah satu murid pada teman-temannya.Pendekar Pedang Emas yang tengah melatih murid-muridnya tampak terkejut melihatnya. Tak lama kemudian naga itu mendarat di tengah-tengah lapangan. Semua terbelalak mendapati Kepala Perguruan dan Bimantara berada di atas punggung naga itu.Saat Bimantara dan Kepala Perguruan turun dari naga itu, semua berlarian menghampiri mereka. Naga itu kembali terbang ke atas langit.“Terima kasih, Tuan Naga,” ucap Bimantara.Naga itu menyemburkan api lalu terbang cepat menembus langit dan men
“Kau tidak apa-apa, Dahayu?” tanya Pangeran Sakai dengan khawatirnya.Dahayu masih terdiam tak percaya. Dia tidak menggubris pertanyaan Pangeran Sakai.“Dahayu?” tanya Pangeran Sakai sekali lagi dengan heran.Dahayu terkejut. Dia tidak ingin Pangeran Sakai curiga padanya. Dia pun tersenyum pada Pangeran Sakai.“Aku tidak apa-apa,” jawab Dahayu.Pangeran Sakai menoleh pada Prajurit dengan kesal dan bingung.“Ada apa ini? Kenapa kalian tidak hati-hati?!” teriak Pangeran Sakai pada para prajuritnya dengan geram.“Ampun, Pangeran! Di hadapan mendadak ada pohon tumbang,” jawab Prajuritnya.Pangeran Sakai pun berjalan ke hadapan. Dia terkejut sebuah pohon besar menghalangi jalan mereka.“Cepat urus pohon itu! Kita harus segera tiba ke perguruan matahari!” perintah Pangeran Sakai dengan tegas.“Siap, Pangeran!”Semua prajurit pun bergegas mengikuti perintah Pangeran Sakai. Sementara prajurit lain tampak membenarkan kereta kencana yang sedang dalam posisi terbalik. Pangeran Sakai mendekat ke
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it