Setelah prajurit itu menghilang dari matanya untuk memerintahkan para penyelam handal, Panglima Sada kembali menatap ke hadapannya. Kini prajuritnya senang saling mengarahkan anak panah. Sebagian prajuritnya sudah berhasil menaiki perahu-perahu milik musuh dan sedang bertarung dengan mereka.Panglima Sada pun terkejut saat melihat puluhan kapal layar lainnya mendekat di belakang kapal layar milik Panglima dari Suwarnadwipa itu. Mereka pasukan dari kerajaan asing yang baru datang.Panglima Sada langsung menoleh ke arah daratan. Dia kembali meniup terompet sebagai tanda untuk memanggil pasukan lain untuk berlayar ke arah kapal-kapal penjaga karena jumlah mereka tidak sebanding jika harus melawan pasukan kerajaan asing yang baru datang itu.Sementara itu, Panglima dari Suwarnadwipa tampak terkejut melihat kedatangan puluhan kapal-kapal baru. Tama, Salwa dan Darsa juga heran melihat mereka. Mereka penasaran dari kerajaan mana yang baru datang itu.“Kita harus bagaimana, Panglima?” tanya T
Bimantara memengangi kepalanya. Kepala Perguruan langsung turun dari kudanya mendekat ke Bimantara dengan heran. Dia tahu Bimantara sedang mendapatkan penglihatan dan pendengaran dari jauh. Dia pun menunggu sambil menjaga pemuda pincang itu selesai melihat dan mendengar semuanya.Tak lama kemudian Bimantara membuka matanya dengan lega. Keringat di dahinya mengucur deras.“Apa yang kau lihat, Bimantara?” tanya kepala Perguruan.“Aku melihat Panglima Sada telah berhasil menebas dua kepala panglima dari dua kerajaan asing di atas lautan,” jawab Bimantara.Kepala Perguruan lega mendengarnya.“Apakah ada yang berhasil menyusup ke daratan Nusantara?” tanya Kepala Perguruan penasaran.Bimantara menggeleng.“Tapi aku tidak tahu apakah semua pasukan dari kerajaan asing itu benar-benar sudah mati atau tidak,” jawab Bimantara. “Yang aku lihat mayat-mayat mengambang dari prajurti-prajurit kerajaan asing dan dari nusantara.”Kepala Perguruan tampak sedih mendengarnya.“Yang penting pimpinan pasuka
Bimantara dan Kepala Pergurun tiba di hadapan tebing batu yang luas dan tinggi. Di tengah-tengah tebing batu itu tampak sebuah celah sempit yang hanya bisa dilewati dengan berjalan sambil memiringkan tubuh. Di atas tebing batu itu tumbuh rerumputan hijau yang bersama tumbuh bebungaan yang tengah mekar.Bimantara menoleh pada Kepala Perguruan.“Apakah kita sudah tiba, Tuan Guru?” tanya Bimantara heran.Kepala Perguruan turun dari kudanya sambil menatap Bimantara.“Turunlah!” pintanya.Bimantara pun turun dari atas kudanya menggunakan tongkatnya. Mereka berdua kini berdiri menatap celah diantara dua tebing itu.“Kita harus memasuki celah tebing batu itu,” pinta Kepala Perguruan.Bimantara mengangguk. Kepala Perguruan langsung berjalan menuju celah tebing batu itu. Bimantara pun mengikutinya dengan tongkatnya. Saat Kepala Perguruan tiba di depan celah tebing itu, dia langsung memiringkan tubuhnya lalu melewati tebing itu bagai kepiting yang sedang berjalan. Bimantara pun mengikutinya.Ce
Kakek Penguasa Iblis itu tampak geram memandangi lautan di hadapannya. Dia sudah melihat kemenangan Nusantara berperang melawan kerajaan-kerajaan asing yang menyerangnya. Walat mendekat padanya dengan takut.“Apakah aku sudah boleh istirahat?” tanya Walat padanya. Seharian ini dia sudah berlatih sekuatnya dari apa yang diajarkan kakek itu padanya.“Kau harus berlatih lebih giat lagi agar segera menguasai semua ilmuku!” teriak kakek itu.Walat heran mendengarnya. Dia heran kakek itu tiba-tiba berwajah masam dan tampak murka padanya, padahal hari itu dia tidak melakukan kesalahan apa-apa.“Siap, Tuan Guru,” ucap Walat.Kakek itu berbalik lalu menghadapkan wajahnya kepadanya. Tak lama kemudian tubuh kakek itu kembali berbuah menjadi sosok hitam yang memancarkan cahaya merah di kedua matanya. Tanduknya tampak jelas terlihat. Tongkat kayunya menyala. Dia menatap tajam wajah Walat.“Nusantara telah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya! Ralaman itu tidak berhasil membuat mereka meluluhlantakk
Naga itu terus saja terbang membawa Bimantara dan Kepala Perguruan. Nun jauh di sana, Bimantara sudah dapat melihat pulau perguruan matahari. Naga itu kini sudah terbang di atas lautan antara pulau seberang dan pulau perguruan matahari.“Sebentar lagi kita sampai, Bimantara,” ucap Kepala Perguruan dengan lega.Sementara itu, para guru utama dan murid-murid yang sudah kembali ke sana tampak terkejut melihat seekor naga terbang sedang menuju ke sana.“Ada Tuan Naga!” teriak salah satu murid pada teman-temannya.Pendekar Pedang Emas yang tengah melatih murid-muridnya tampak terkejut melihatnya. Tak lama kemudian naga itu mendarat di tengah-tengah lapangan. Semua terbelalak mendapati Kepala Perguruan dan Bimantara berada di atas punggung naga itu.Saat Bimantara dan Kepala Perguruan turun dari naga itu, semua berlarian menghampiri mereka. Naga itu kembali terbang ke atas langit.“Terima kasih, Tuan Naga,” ucap Bimantara.Naga itu menyemburkan api lalu terbang cepat menembus langit dan men
“Kau tidak apa-apa, Dahayu?” tanya Pangeran Sakai dengan khawatirnya.Dahayu masih terdiam tak percaya. Dia tidak menggubris pertanyaan Pangeran Sakai.“Dahayu?” tanya Pangeran Sakai sekali lagi dengan heran.Dahayu terkejut. Dia tidak ingin Pangeran Sakai curiga padanya. Dia pun tersenyum pada Pangeran Sakai.“Aku tidak apa-apa,” jawab Dahayu.Pangeran Sakai menoleh pada Prajurit dengan kesal dan bingung.“Ada apa ini? Kenapa kalian tidak hati-hati?!” teriak Pangeran Sakai pada para prajuritnya dengan geram.“Ampun, Pangeran! Di hadapan mendadak ada pohon tumbang,” jawab Prajuritnya.Pangeran Sakai pun berjalan ke hadapan. Dia terkejut sebuah pohon besar menghalangi jalan mereka.“Cepat urus pohon itu! Kita harus segera tiba ke perguruan matahari!” perintah Pangeran Sakai dengan tegas.“Siap, Pangeran!”Semua prajurit pun bergegas mengikuti perintah Pangeran Sakai. Sementara prajurit lain tampak membenarkan kereta kencana yang sedang dalam posisi terbalik. Pangeran Sakai mendekat ke
“Kau sudah tahu semuanya?” tanya Dahayu tak percaya.Pangeran Sakai mengangguk.“Aku sudah tahu semuanya dari Sanum,” jawab Pangeran Sakai.Dahayu terbelalak mendengarnya.“Tapi kau tenang saja. Aku tidak percaya akan hal itu meskipun aku sudah bertanya pada pembesar di istana mengenai kutukan cinta itu,” kata Pangeran Sakai. “Dan jikalau itu benar, aku akan memastikan padamu bahwa aku tak akan mengusir Bimantara di hatimu. Aku akan mencari cara agar Bimantara lah yang menjadi cinta sejatimu. Untuk itu tetaplah menjadi manusia dan jangan menyerah,” pinta Pangeran Sakai padanya.Dahayu meneteskan air mata mendengar itu.“Kau sudah menciumku dan aku tidak kembali ke alam peri. Itu artinya kaulah takdirku, Pangeran Sakai. Dan tak akan ada cara apapun untuk mengubahnya,” ucap Dahayu sambil terisak.“Percayalah padaku, Dahayu. Aku akan membantumu. Kau jangan cemas akan apa yang terjadi tadi.”Dahayu mulai tenang mendengar perkataan Pangeran Sakai.“Aku tak akan mungkin memaksamu untuk meni
Dahayu dan Pangeran Sakai baru saja berlayar dari dermaga pulau seberang menuju dermaga pulau Perguruan Matahari. Para prajurit tampak berjaga di atas kapal. Mereka sudah berhasil memotong kayu besar yang menghalangi perjalanan mereka tadi.Laut malam itu tampak gelap. Dahayu berdiri di pinggir kapal sambil menatap lautan malam di samping Pangeran Sakai. Pangeran Sakai menoleh padanya dengan penuh simpati. Dia tahu apa yang tengah berada di dalam pikirian gadis itu.“Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan lagi,” pinta Pangeran Sakai.Dahayu menoleh padanya.“Bagaimana jika kita tidak menemukan cara untuk terlepas dari kutukan cinta sejati itu?” tanya Dahayu dengan bingung.“Bukan kah Tuan Guru Besar mengajarkan kita bahwa setiap ada masalah pasti ada jalan keluarnya. Dahulu semua mengkhawatirkanmu saat kau menghilang ke alam peri. Tapi jika Sang Hyang Agung menghendakimu untuk kembali ke alam manusia ini, akhirnya kau bisa kembali juga bersama kita di perguruan matahari ini,” ucap Pang