Tak lama kemudian Bimantara mendarat di hadapan kediaman Tabib perguruan sambil menurunkan Dahayu. Kancil dan yang lainnya mendarat di belakang Bimantara dengan napas terengah-engah. Mereka baru sadar rupanya Bimantara hendak membawa mereka ke sana.Pintu kediaman terbuka. Pangeran Sakai keluar dan terkejut menatap Bimantara dan teman-teman lainnya berada di sana.“Bagaimana keadaan Tuan Guru Besar Pendekar Pedang Emas sekarang, Pangeran?” tanya Bimantara.“Tuan Guru Besar sudah mulai membaik, kata Tabib beberapa hari lagi dia akan kembali seperti sedia kala lagi,” jawab Pangeran Sakai.Bimantara senang mendengarnya, berarti bunga raksasa merah itu memang ampuh sebagai obatnya. Pangeran Sakai pun mendekat ke Bimantara dengan tatapan leganya.“Terima kasih telah menyelamatkan Tuan Guru Besarku,” ucap Pangeran Sakai.“Ini sudah menjadi tugasku, kau tak perlu berterima kasih padaku,” jawab Bimantara.Tak lama kemudian suara derak pintu terbuka tedengar. Bimantara terbelalak mendapati Pen
Panglima Adhira datang bersama prajuritnya menghadap Raja Dawuh. Raja Dawuh berdiri dengan lega melihat panglimanya sudah kembali ke istana. Panglima itu langsung berlutut hormat pada sang raja diikuti oleh prajuritnya. Wajah-wajah mereka tampak lelah. Pejabat istana yang berada di ruangan itu juga tampak lega melihat mereka sudah kembali ke istana.“Ampun yang mulia, hamba dan prajurit hamba telah melakukan tugas sesuai dengan yang mulia pinta. Saat ini Bimantara sudah kembali ke Perguruan Matahari dan apa yang dicarinya di Suwarnadwipa sudah didapatkannya,” ucap Panglima Adhira pernuh hormat.Raja Dawuh lega mendengarnya. Namun kelegaannya itu secepat kilat menghilang karena saat ini dia memikirkan kedatangan para kerajaan di luar Nusantara yang siap menyerang seluruh kerajaan Nusantara.“Terima kasih telah melakukan tugasmu dengan baik, Panglimaku.” Raja Dawuh terdiam sesaat, dia memandangi wajah-wajah lelah prajuritnya. “Harusnya aku membiarkan kalian untuk istirahat sejenak, namu
Kepala Perguruan berdiri di hadapan seluruh penghuni Perguruan Matahari. Bimantara sudah berbaris rapih di hadapan Tuan Guru Besarnya dengan tongkat bersama murid-murid lainnya.“Kedatangan para kerajaan asing yang akan menyerang Nusantara bukan hanya sebatas penerawangan atau isapan jempol semata lagi! Para pengintai istana sudah melaporkan tiap kerajaan bahwa mereka benar-benar sedang berlayar menuju Nusantara. Bukan hanya datang dari satu penjuru lautan saja, tapi mereka berdatangan ditiap penjuru lautan kerajaan Nusantara!”Semua terdiam mendengar itu.Kepala Perguruan kembali melanjutkan kata-katanya. “Karena saat ini Nusantara tengah menyiapkan pertahanan terhadap serangan mereka, maka ikrar kelulusan murid-murid baru akan ditunda. Untuk tahun ini, pemilihan murid terbaik mungkin tidak akan dilakukan lagi. Semuanya nanti akan mendapatkan tanda kelulusan murid terbaik dariku!”Semuanya saling menatap mendengar itu. Mereka tidak dapat protes hanya bisa mengikutinya karena sadar ke
Bimantara melepas kepergian Pangeran Sakai, Kancil, Dahayu, Welas dan murid-murid perempuan lainnya yang sudah siap berlayar ke pulau seberang untuk kembali ke tempat asal masing-masing. Utusan dari kerajaan Nusantara Timur dan Barat sudah siap membawa dua pangeran itu ke kerajaan masing-masing. Dahayu akan berangkat bersama Pangeran Sakai ke istana Kerajaan Nusantara Timur. Bimantara berdiri di hadapan teman-temannya itu dengan sedih. “Semoga kita bertemu kembali,” ucap Bimantara. “Jaga dirimu baik-baik,” pinta Kancil. Bimantara mengangguk. “Kami pergi dulu,” ucap Pangeran Sakai padanya. Bimantara mengangguk. Sementara Dahayu diam saja. Dia tak tahu harus bicara apa ke Bimantara. Dia khawatir air matanya akan tumpah kita mengucap kata perpisahan sementara padanya. Dia pun tidak tahu bagaimana nasib Nusantara ke depannya. “Hati-hati di jalan, Dahayu,” pinta Bimantara. Dahayu mengangguk. Mereka semua pun menaiki kapal layar yang sudah menunggu mereka. Bimantara berdiri menatap m
Kepala Perguruan tampak bingung mendengar itu. Bimantara juga tampak bingung. Semua guru utama yang berada di sana tampak berpikir bagaimana caranya untuk menenangkan lautan agar Bimantara dan Kepala Perguruan bisa segera berlayar ke pulau seberang.“Sepertinya penguasa Iblis sengaja menghalangi kita agar para kerajaan asing itu bisa dengan mudah menemukan Bimantara di pulau matahari ini,” ucap Kepala Perguruan.“Berati gelomng laut tak akan berhenti sampai para pasukan dari kerajaan asing itu tiba ke nusantara?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan bingung.Kepala perguruan mengangguk mendengarnya.“Apakah kita harus melawannya, Tuan Guru?” tanya Bimantara.“Melawan mereka dengan menggunakan sukma bukan cara terbaik untuk menenangkan lautan ini dari pengaruh energi hitam,” jawab Kepala Perguruan.Bimantara terdiam mendengar itu. Pendekar Pedang Emas menatap Kepala Perguruan dengan semangat seolah sudah mendapatkan solusi.“Bagaimana kalau kita semua bersatu menggunakan ajian meraga sukm
Kepala Perguruan dan Bimantara berjalan melewati perkampungan. Mereka benar-benar tidak menemukan satu manusia pun di sana.“Kemana mereka semua, Tuan Guru?” tanya Bimantara pada akhirnya.“Mungkin mereka semua bersembunyi ke dalam hutan dan ke bukit-bukit untuk menghindari serangan kerajaan asing. Mungkin mereka khawatir kerajaan asing itu akan mengalahkan para prajurit nusantara dan memasuki semua wilayah nusantara. Karena dengan bersembunyi di dalam hutan dan di atas bukit, itu tempat teraman dari perang. Para leluhur dahulu juga begitu jika terjadi perang di kerajaan,” jawab Kepala Perguruan.Bimantara terdiam mendengarnya. Tak lama kemudian Kepala Perguruan tampak mencari-cari sesuatu. Dia berharap bisa menemukan kuda yang tertinggal di perkampungan itu. Kuda dari perguruan matahari tak bisa dibawa karena kapal layar tak bisa melewati lautan yang bergelombang.“Tuan Guru besar mencari apa?” tanya Bimantara.“Kita harus mendapatkan kuda agar bisa cepat sampai ke tempat persembunyi
Bimantara dan Kepala Perguruan masih memacukan kudanya dengan kencang beriringan. Mereka sudah melewati hutan. Sudah beberapa kampung mereka lewati. Semua kampung tampak sepi tanpa penghuni. Mungkin Kepala Perguruan benar bahwa semua penduduk sudah bersembunyi untuk menghindari perang. Tiba-tiba Bimantara kembali teringat akan nasib kakek Sangkala saat ini. Dia sudah lama tidak berkabar pada kakeknya melalui merpati. Dia tidak tahu apakah kakeknya masih menjadi guru ilmu bela diri di kediaman Tuan kepala wilayah. Dia berpikir apakah kakeknya bersama penduduk di sekitar kediaman Tuan Kepala Wilayah juga bersembunyi ke dalam hutan atau ke atas perbukitan seperti para penduduk lainnya? Entahlan, jika murid-murid kakeknya di sana sudah mumpuni, mereka pasti ditarik pihak kerajaan untuk diajak bergabung dalam peperangan. “Apakah perjalanan kita masih jauh, Tuan Guru Besar?” tanya Bimantara. “Kau ikuti saja aku! Para leluhuru sedang memberikan petunjuk padaku agar kita segera menemukan te
Perahu-perahu kecil itu sudah mendekat ke hadapan kapal layar yang diduduki Panglima Sada. Panglima Sada pun langsung menurunkan satu perahu dari atas kapal. Dia mengirim dua prajuritnya ke dalam perahu itu untuk menemui mereka dan menanyakan maksud kedatangan mereka.Saat dua prajurit itu sudah saling berhadapan dengan perahu yang diduduki para prajurit dari kerajaan Suwarnadwipa, Satu prajurit berdiri menatapnya. Satu prajurit bersiap dengan anak panahnya, begitu pun para prajurit dari kerajaan Suwarnadwipa, anak panah sudah siap mereka arahkan ke musuh di hadapannya.“Apa maksud kalian datang ke sini?” tanya prajurit dari Nusantara.“Panglima kami meminta Panglimamu untuk menyerahkan Candaka Uddhiharta seperti yang terlukis dalam lukisan ini!” jawab prajurit dari Suwarnadwipa sambil menunjukkan lukisan wajah mirip Bimantara padanya. “Jika pihak kerajaan Nusantara bersedia menyerahkan pemuda ini pada kami, maka kami akan mundur dan kembali ke Suwarnadwipa!”“Jika tidak?” tanya praj
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it