Setelah Kepala Perguruan bersama kelima guru pembantu menunggu cukup lama, akhirnya prajurit penjaga datang dan membukakan gerbang untuk mereka. Yang Mulia Raja telah mengizinkan mereka memasuki istana dan menemuinya. Mereka pun kembali memacukan kuda memasuki gerbang istana yang besar itu.Saat tiba di depan gerbang ke tujuh, Panglima Sada berdiri menyambut mereka di depan gerbang itu. Kepala Perguruan dan kelima guru pembantu turun dari kuda masing-masing lalu menghampiri Panglima Sada.“Ada tujuan apa kalian kemari?” tanya Panglima Sada heran.“Kami datang ingin menanyakan kebenaran surat dari kerajaan Suwarnadwipa mengenai murid kami yang katanya telah melanggar perjanjian antar pendekar,” jawab Kepala Perguruan.“Mengenai ajian penakluk binatang itu kah?” tanya Panglima Sada memastikan.“Benar,” jawab Kepala Perguruan.“Kalau begitu ayo ikut aku. Biarkan kuda kalian diurus oleh prajuritku,” pinta Panglima Sada pada mereka.Kepala Perguruan dan pasukannya pun mengikuti Panglima Sa
Dan hari itu, setelah Bimantara dan Panglima Adhira bersama pasukannya telah berhasil membatu Datuk Margi mengarungi biji kopi yang siap dibawa ke Nusantara, mereka semua kini melakukan perjalanan menuju dermaga membawa kopi-kopi itu. Beberapa karung kopi tampak diangkut oleh kereta kencana yang ditarik tiga kuda. Sebagiannya lagi didorong oleh prajurit Panglima Adhira dengan gerobak-gerobak. Sementara Bimantara tampak membantu memacukan kuda yang menarik kereta kencana berisi karung-karung kopi itu. Datuk Margi dan pengikutnya berada di atas kuda paling depan, mengawal mereka semua di belakang. Elang putih terbang di atas mereka mengikuti perjalanan mereka dari atas sana.Saat mereka semua memasuki kawasan Dermaga, di hadapan mereka banyak prajurit berbaris menjaga kawasan itu. Para parjurit itu menghentikan mereka dan mendekat ke Datuk Margi dengan heran.“Biasanya kau tidak membawa pasukan sebanyak ini?” tanya prajurit itu heran.“Kopi-kopiku diminati di Nusantara. Mereka kebetulan
Ratu Mantili tampak terkejut mendengar laporan dari Panglimanya bahwa dermaga tiba-tiba didatangi angin puting beliung karena cuaca buruk. Dia terpaksa menarik pasukannya dari dermaga demi keselamatan semuanya di sana.“Angin puting belung?” tanya Ratu Mantili heran.Pejabat istana menatap sang Ratu dengan heran.“Hamba yakin itu bukan angin puting beliung biasa yang mulia. Itu pasti ulah Candaka Uddhiharta yang berusaha mengelabui para penjaga dermaga agar dia bisa leluasa kembali berlayar ke Nusantara,” ujar pejabat istana itu pada Sang Ratu.Sang Ratu murka mendengar itu. Dia melotot geram pada Panglimanya.“Kenapa kau malah mengajak pasukanmu meninggalkan dergama itu?!” teriak Ratu Mantili murka. “Apakah kau sudah tidak bisa membedakan mana bencana alam dan mana bencana yang diakibatkan oleh ajian?!”Panglima itu menunduk takut dan gemetar.“Ampun yang Mulia, hamba benar-benar tidak tahu kalau angin puting beliung itu datang dari ajian Candaka Uddhiharta! Hamba siap dihukum yang m
Bimantara berdiri di sisi kapal sambil memandangi lautan malam yang tampak gelap. Panglima Adhira mendekat padanya lalu ikut berdiri di sampingnya.“Kau tidak tidur?” tanya Panglima Adhira padanya. Penghuni kapal yang lainnya sudah tampak istirahat selain awak kapal yang menjaga layar.“Aku sudah tidak sabar untuk memberi tahu Kepala Perguruan bahwa sekarang aku sudah berlayar menuju Nusantara. Aku tidak tahu apakah laut ini masih berada di wilayah Suwarnadwipa apa sudah berada di Nusantara. Karena jika masih berada di Suwarnadwipa, aku belum bisa menggunakan merpati untuk mengirim surat pada perguruan matahari. Hanya urusan kerajaan saja yang bisa saling berkirim surat untuk saat ini,” jawab Bimantara.Tak lama kemudian Panglima Adhira teringat elang putih yang mengikuti mereka. Dia mencari keberadaan elang putih di atas kapal layar itu. Panglima Adhira melihat Elang putih masih bertengger di tiang layar kapal itu.“Kenapa kau tidak meminta elang putih itu saja?” tanya Panglima Adhir
Pagi itu matahari bersinar terang di samudera. Bimantara sedang duduk bersama Datuk Margi, Panglima Adhira, Saruang dan beberapa pengikut Datuk Margi. Mereka sarapan bersama di satu meja. Sementara para prajurit sarapan di atas lantai kapal bersama awak kapal.“Ini kehormatan besar bagiku jika benar kau adalah Candaka Uddhiharta itu,” ucap Datuk Margi.“Itu hanya sebuah ramalan yang kebenarannya masih diragukan,” sahut Bimantara.“Tapi lukisan wajahnya mirip denganmu, anak muda,” ucap Saruang menyela.“Belum tentu itu aku, lagipula kata Tuan Guruku di dunia ini ada tujuh manusia yang terlahir memiliki wajah yang hampir sama,” jawab Bimantara.“Candaka Uddhiharta itu bukan manusia biasa. Dia pasti hebat karena memiliki kekuatan yang sama dengan para dewa,” ujar Panglima Adhira.“Lagi pula selama aku hidup aku belum pernah bertemu langsung dengan para dewa itu,” ucap Bimantara.“Dan menurut cerita nenek moyang kita bahwa Candaka Uddhiharta akan diajari oleh empat dewa untuk menjalankan
Pendekar Buruk Rupa terdampar di atas pasir pinggir laut. Perahu yang dia naiki tampak pecah berserak. Seorang kakek tua bertongkat datang mendekat padanya. Rambutnya begitu panjang penuh uban. Kumis dan janggutnya juga berwarna putih. Di ujung tongkatnya tampak menempel tengkorak kepala ular.Kakek itu memeriksa denyut nadi Pendekar itu. Dia terkejut melihat pendekar itu masih hidup. Tak lama kemudian dia mengarahkan ujung tongkatnya ke dadanya. Eneregi keluar dari ujung tongkatnya menyalur ke dada pendekar itu. Tak lama kemudian pendekar itu sadar dengan memuntahkan air laut yang tertelan ke tenggorokannya.Pendekar Buruk Rupa perlahan bangkit lalu terkejut mendapati kakek itu sudah berada di dekatnya.“Siapa kau?” tanya Pendekar Buruk Rupa sambil memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Dia masih mual dan kembali memuntahkan air laut dalam perutnya.Kakek itu tertawa.“Siapapun yang tiba ke pulau ini berarti para leluhur menghendakinya untuk menjadi muridku,” ucap Kakek itu.“Sia
Bimantara berdiri di atas kapal melihat langit gelap di ujung samudera tampak mendekat ke arah kapal layar mereka. Para awak kapal tampak panik melihatnya. Panglima Adhira dan prajuritnya pun terdiam khawatir melihat awan gelap yang semakin mendekat itu.Datuk Margi berjalan mendekati Bimantara.“Bukankah itu mudah bagimu wahai anak muda?” tanya Datuk Margi.Bimantara menoleh padanya.“Mudah bagaimana maksudmu, Tuan?” tanya Bimantara.“Kau tinggal mengarahkan ujung pedangmu ke awan hitam itu untuk mengusir awan hitam itu agar badai tidak menyerang kapal kita,” pinta Datuk Margi.Bimantara tersenyum mendengarnya.“Kalian semua jangan panik,” pinta Bimantara. “Awan itu tak akan mengejar kapal kita. Badai tak akan datang ke sini. Lagi pula awan hitam itu sangat jauh!”Bimantara pun berjalan santi ke tempat mereka biasa duduk-duduk. Datuk Margi mengejarnya dengan panik.“Tolonglah, Bimantara. Pikirkan lah kopi-kopi yang aku bawa. Aku tidak akan mendapatkan apa-apa jika kapal layar kita te
Kake kepala perguruan Elang Putih tengah duduk menghadap Kepala Perguruan di kediamannya. Dia baru saja tiba mengarungi lautan menuju pulau perguruan matahari. Kakek itu menceritakan semuanya pada Kepala Perguruan bahwa yang menggerakkan hewan dan binatang adalah dirinya melalui Elang Putih.Kepala Perguruan terbelalak mendengarnya.“Sudah aku duga ini pasti bukan pengkhianatan Bimantara,” ucap Kepala Perguruan dengan lega.“Maafkan aku,” ucap Kakek itu. “Aku tahu bahwa perjanjian antara pendekar kerajaan itu akan membatasi pergerakan Bimantara ke sana, makanya aku mencari cara untuk bisa ikut andil membantu Bimantara agar segera mendapatkan bunga raksasa merah itu.”“Terima kasih atas niat baikmu. Ini harus segera disampaikan kepada para raja meskipun saat ini mereka tidak percaya akan laporan ratu dari Suwarnadwipa itu. Agar para raja tidak bertindak semena-mena jika ada salah satu dari pihak istana menghasut mereka,” pinta Kepala Perguruan.“Baik, Tuan Guru Besar,” jawab Kakek Kepa
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it