Bimantara berdiri di atas kapal melihat langit gelap di ujung samudera tampak mendekat ke arah kapal layar mereka. Para awak kapal tampak panik melihatnya. Panglima Adhira dan prajuritnya pun terdiam khawatir melihat awan gelap yang semakin mendekat itu.Datuk Margi berjalan mendekati Bimantara.“Bukankah itu mudah bagimu wahai anak muda?” tanya Datuk Margi.Bimantara menoleh padanya.“Mudah bagaimana maksudmu, Tuan?” tanya Bimantara.“Kau tinggal mengarahkan ujung pedangmu ke awan hitam itu untuk mengusir awan hitam itu agar badai tidak menyerang kapal kita,” pinta Datuk Margi.Bimantara tersenyum mendengarnya.“Kalian semua jangan panik,” pinta Bimantara. “Awan itu tak akan mengejar kapal kita. Badai tak akan datang ke sini. Lagi pula awan hitam itu sangat jauh!”Bimantara pun berjalan santi ke tempat mereka biasa duduk-duduk. Datuk Margi mengejarnya dengan panik.“Tolonglah, Bimantara. Pikirkan lah kopi-kopi yang aku bawa. Aku tidak akan mendapatkan apa-apa jika kapal layar kita te
Kake kepala perguruan Elang Putih tengah duduk menghadap Kepala Perguruan di kediamannya. Dia baru saja tiba mengarungi lautan menuju pulau perguruan matahari. Kakek itu menceritakan semuanya pada Kepala Perguruan bahwa yang menggerakkan hewan dan binatang adalah dirinya melalui Elang Putih.Kepala Perguruan terbelalak mendengarnya.“Sudah aku duga ini pasti bukan pengkhianatan Bimantara,” ucap Kepala Perguruan dengan lega.“Maafkan aku,” ucap Kakek itu. “Aku tahu bahwa perjanjian antara pendekar kerajaan itu akan membatasi pergerakan Bimantara ke sana, makanya aku mencari cara untuk bisa ikut andil membantu Bimantara agar segera mendapatkan bunga raksasa merah itu.”“Terima kasih atas niat baikmu. Ini harus segera disampaikan kepada para raja meskipun saat ini mereka tidak percaya akan laporan ratu dari Suwarnadwipa itu. Agar para raja tidak bertindak semena-mena jika ada salah satu dari pihak istana menghasut mereka,” pinta Kepala Perguruan.“Baik, Tuan Guru Besar,” jawab Kakek Kepa
“Bimantara! Bimantara!”Bimantara terbangun dengan dahi dipenuhi keringat. Dadanya tampak basah dibanjiri keringatnya sendiri. Dia terkejut melihat Panglima Adhira sudah duduk di sisi ranjangnya dengan wajah panik.Bimantara pun bangkit lalu duduk dengan bingung. Dia mencubit lengannya sendiri. Panglima Adhira menatapnya dengan heran.“Tadi kudengar kau berteriak-teriak sendiri,” ucap Panglima Adhira.Bimantara terkejut mendengarnya.“Apakah aku tertidur sudah cukup lama?” tanya Bimantara heran. Bagaimana pun tadi dia didatangi Dewa Air dan hampir saja ditenggelamkan olehnya.Panglima Adhira mengangguk. Bimantara semakin terbelalak melihatnya.“Tidak mungkin,” gumam Bimantara.Panglima Adhira mengernyit. “Tidak mungkin kenapa?”Bimantara terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia tidak ingin menceritakan mimpinya bertemu dengan Dewa Air. Jika benar dia tertidur cukup lama berarti pertemuannya dengan Dewa Air hanya mimpi belaka. Tapi kenapa mimpi itu begitu nyata? Tanya Bimantara dalam hat
Ketika Panglima Sada sudah melaporkan pada Raja Dwilaga tentang apa yang dikatakan Kakek Kepala Perguruan tentang dirinya yang membantu Bimantara menggerakkan binatang di Suwarnadwipa, Raja Dwilaga tampak lega mendengarnya.Kabar itupun sampai pada Raja Banggala dari Kerajaan Nusntara Barat juga sampai pada Raja Dawuh dari kerajaan Nusantara Tengah. Para raja kini percaya kalau Bimantara tidak melakukan pelanggaran antar pendekar di wilayah Suwarnadwipa. Mereka menyangka itu murni ulah Ratu Mantili dari kerajaan Suwarnadwipa yang sengaja mencari masalah agar Bimantara yang dianggap Candaka Uddhiharta segera tertangkap dan mereka bebas dari ramalan yang mengerikan yang akan menimpa seluruh kerajaan di luar Nusantara.Kakek Kepala Perguruan Elang Putih pun tampak tenang dan tidak merasa bersalah lagi setelah mengetahui tanggapan Raja Dwilaga dari Panglima Adhira. Kakek itu pergi meninggalkan istana dengan membawa guci-guci arak untuk murid-muridnya di padepokan dengan tenang.Sementara
Elang Putih itu pun telah berhasil menjatuhkan surat-surat dari Bimantara ke tanah tiga kerajaan Nusantara. Para Raja membaca surat itu dengan terkejut. Setelah berdiskusi dengan para pejabat istana, dan mengingat kejadian serupa sebelum utusan kerajaan dari Tala lebih dulu datang ke Nusantara, mereka pun menugaskan para prajurit untuk menjaga ketat garis pantai Nusantara di wilayah masing-masing. Mereka khawatir bukan saja dari kerajaan Suwarnadwipa yang akan datang ke Nusantara dan mengajak perang, tapi dari kerajaan lainnya di luar Nusnatara mengingat masalah tentang ramalan Candaka Uddhiharta sudah cukup membuat semua kerjaan di luar Nusantara ketakutan dan ketar-ketir.Elang Putih itupun akhirnya kembali ke padepokan Perguruan Elang Putih di atas bukit, bekas padepokan Perguruan Tengkorak dahulu. Seorang pendekar berteriak memanggil Kakek Kepala Perguruan yang sedang istirahat di dalam bangunan setelah melihat Elang Putih berputar di atas langit sana.“Tuan Guru! Tuan Guru!” teri
Kapal layar yang dinaiki Bimantara berlabuh di dermaga Perguruan Matahari. Kepala Perguruan dan penghuni Perguruan Matahari tampak berdiri menyambut kedatangannya. Semua tampak lega melihat Bimantara membawa setangkai bunga raksasa merah dan langsung diserahkannya pada Kepala Perguruan. Dahayu tampak senang dan tak percaya melihat kekasihnya akhirnya kembali juga ke perguruan.Datuk Margi beserta awak kapalnya dan Panglima Adhira beserta pasukannya diajak Kepala Perguruan untuk berisitirahat di dalam perguruan. Mereka akan menghabiskan waktu semalam di sana sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing esok paginya.Bimantara dan Kepala Perguruan memasuki ruangan Tabib Perguruan sambil membawa setangkai bunga mawar merah. Pendekar Pedang Emas tampak terbaring pingsan di atas ranjang. Bimantara sedih melihat kondisi Tuan Guru Besarnya itu semakin lemah tak berdaya.“Untung saja Bimantara sudah datang, jika tidak mungkin dia tak akan bisa diselamatkan lagi,” ucap Tabib Pergurua
Bimantara dan Dahayu pun tiba di bawah pohon rambutan di pinggir pantai. Senja sudah mulai datang. Mereka duduk berdua di bawah pohon rambutan yang belum berbuah itu. Mereka menatap laut di hadapannya.Bimantara menoleh pada Dahayu. “Kau percaya dengan ramalan Candaka Uddhiharta?” tanya Bimantara kemudian.“Semasa kecil ayah sering menceritakannya padaku. Aku tidak tahu kebenarannya seperti apa, tapi mendengar apa yang dikatakan guru besarku, sepertinya Candaka Uddhiharta benar adanya,” jawab Dahayu.“Gara-gara peramal melukis wajah Candaka Uddhiharta yang mirip denganku, itu jadi masalah besarku di Suwarnadwipa,” ujar Bimantara.Dahayu tampak terkejut mendengarnya.“Berarti benar yang dikatakan Kancil padaku bahwa lukisan wajah Candaka Uddhiharta itu memang mirip denganmu.”“Aku tidak mempercayainya dan aku tidak yakin akulah yang dimaksud Candaka Uddhiharta oleh orang-orang itu!”“Kalau Candaka Uddhiharta itu memang dirimu, bukan kah itu bagus?” ucap Dahayu.“Aku takut dan aku tidak
Tak lama kemudian Bimantara mendarat di hadapan kediaman Tabib perguruan sambil menurunkan Dahayu. Kancil dan yang lainnya mendarat di belakang Bimantara dengan napas terengah-engah. Mereka baru sadar rupanya Bimantara hendak membawa mereka ke sana.Pintu kediaman terbuka. Pangeran Sakai keluar dan terkejut menatap Bimantara dan teman-teman lainnya berada di sana.“Bagaimana keadaan Tuan Guru Besar Pendekar Pedang Emas sekarang, Pangeran?” tanya Bimantara.“Tuan Guru Besar sudah mulai membaik, kata Tabib beberapa hari lagi dia akan kembali seperti sedia kala lagi,” jawab Pangeran Sakai.Bimantara senang mendengarnya, berarti bunga raksasa merah itu memang ampuh sebagai obatnya. Pangeran Sakai pun mendekat ke Bimantara dengan tatapan leganya.“Terima kasih telah menyelamatkan Tuan Guru Besarku,” ucap Pangeran Sakai.“Ini sudah menjadi tugasku, kau tak perlu berterima kasih padaku,” jawab Bimantara.Tak lama kemudian suara derak pintu terbuka tedengar. Bimantara terbelalak mendapati Pen
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it