Panglima Adhira tampak bingung. Bimantara menatapnya setelah dia berhasil menemukan cara untuk bisa kembali berlayar ke Nusantara.“Kita harus menyamar menjadi penduduk di sini,” ucap Bimantara.“Menyamar bagaimana, Bimantara?” tanya Panglima Adhira bingung.Bimantara menatap Seruni yang masih terlelap.“Kita minta bantuannya untuk meminjam pakaian warga yang dikenalnya. Kita memakai pakaian mereka lalu diam-diam menumpang kapal layar yang berlayar ke Nusantara untuk tujuan perdagangan,” jawab Bimantara.Panglima Adhira tampak berpikir. Parjuritnya menatap Panglima Adhira dengan tatapan setuju dengan perkataan Bimantara.“Aku setuju dengan pendapat Bimantara, Panglima. Aku kira cara itulah cara terbaik yang bisa kita lakukan,” ucap Prajuritnya.Panglima Adhira pun menatap serius Bimantara.“Baiklah, besok kita bergerak untuk menyamar menjadi penduduk asli di daratan ini,” ucapnya setuju.Tak lama kemudian Seruni bangung lalu menatap semuanya dengan tatapan seolah sudah mendengar semua
Bimantara tampak sudah berganti pakaian dengan pakaian yang biasa dipakai penduduk setempat. Begitupun dengan Panglima Adhira dan para prajuritnya. Seruni, Neneknya dan seorang pemuda adik kandung Seruni tampak tersenyum melihat mereka semuanya. “Kalian sudah mirip dengan penduduk setempat,” ucap Nenek itu. “Sekarang jika kalian melakukan perjalanan ke Dermaga, saya yakin tak ada yang tahu kalau kalian berasal dari Nusantara.” “Terima kasih, Nek,” ucap Bimantara. “Kami semua tak akan melupakan kebaikan nenek dan semuanya.” Seruni tampak sedih menatap Bimantara. Dia tak akan mengikuti pengembaraan Bimantara lagi. Dia akan melepaskan Bimantara di sana. Bimantara pun mendekat ke Seruni sambil tersenyum. “Kau yang paling berjasa padaku,” ucap Bimanara. “Aku tak akan melupakan semua kebaikan yang kau berikan padaku.” Seruni mengangguk sedih. “Terima kasih semuanya. Izinkan aku menjadikanmu sebagai adik angkatku. Kebetulan aku anak tunggal yang tidak memiliki kakak dan adik,” pinta Bim
“Berhenti!” teriak penjaga yang berdiri di dekat gapura batas perkampungan itu.Bimantara dan pasukannya menghentikan kuda masing-masing. Panglima Adhira langsung turun dari kuda lalu berjalan menghadap penjaga itu dengan menyamar menjadi penduduk setempat. Dia menghadap dengan ramah dan penuh hormat agar penyamarannya tidak dicurigai oleh para penjaga yang betubuh kekar-kekar itu.“Maaf, Tuan. Kami semua hendak pergi ke perkampungan di daerah dermaga untuk mengantar sayur-mayur ke sana,” ucap Panglima Adhira dengan penuh hormat.Penjaga itu berjalan ke arah Bimantara dan yang lainnya yang masih berada di atas kuda masing-masing. Langkahnya diikuti oleh penjaga yang lain. Mereka memeriksa sayur mayur di kuda masing-masing. Di dalam sayur mayur itu disimpan setangkai bunga raksasa merah yang mereka dapatkan dari hutan Gimbo.Panglima memandangi mereka dengan menyimpan gugup. Salah satu penjaga menatap Bimantara dengan lekat. Dia memandangi kaki Bimantara yang pincang dengan heran. Perl
Raja Dawuh tampak tersentak ketika mendengar laporan dari pejabat istana bahwa Bimantara saat ini nasibnya tengah terancam di daratan Suwarnadwipa. Raja Dawuh tak percaya akan surat yang dikirimkan oleh pihak kerajaan Nusantara Timur yang mengatakan bahwa ada salah satu pendekar Nusantara yang telah melanggar perjanjian di kerajaan luar. Dia terbelalak ketika mengetahui pendekar itu bernama Bimantara.“Bagaimana dengan Panglima Adhira dan pasukannya yang mulia?” tanya pejabatnya bingung.“Sampai saat ini mereka belum mengabari apapun kepada saya,” ucap Raja Dawuh.“Melihat ada masalah seperti ini, saya khawatir perjalanan mereka ke Suwarnadwipa tak akan mulus. Pihak kerajaan Suwarnadwipa pasti akan mencurigai kedatangan mereka,” khawatir pejabat istana padanya.Raja Dawuh pun terdiam sesaat kemudian dia memandangi pejabat istana dengan lekat. “Sepertinya saya harus mengunjungi Raja Dawuh di kerajaan Nusantara Timur,” ucapnya.Pejabat istana terkejut. “Untuk apa yang mulia?”“Saya tida
Bimantara dan Panglima Adhira masih menunggu prajurit itu memeriksa jalanan di hadapan. Prajurit itu tidak menemukan ranjau apapun di hadapan mereka. Bimantara bingung. Dia mengelus kudanya dengan pelan.“Ada apa? Kenapa kau tidak ingin lagi mengantarku?” tanya Bimantara pada kudanya.Kuda itu diam saja. Bimantara menggerak-gerakkan talinya, namun kuda itu tetap diam dan tidak mau berjalan. Bimantara dan yang lain tampak heran.“Mungkin dia tidak ingin pergi meninggalkan tuannya,” tebak Panglima Adhira.“Ini pasti bukan karena itu. Ini pasti karena hal buruk terjadi,” jawab Bimantara.Tak lama kemudian mereka melihat pasukan berkuda datang ke arah mereka.“Apa karena kedatangan pasukan itu kudamu mendadak berhenti?” tanya Panglima Adhira.Bimantara tidak mejawab pertanyaan Panglima Adhira. Dia malah terus saja menatap kehadapan. Sesampainya pasukan berkuda itu ke arah mereka, pasukan itu tampak tidak peduli dan terus saja melintasi mereka.Panglima Adhira semakin bingung. Tak lama kem
Bimantara tampak berpikir keras ketika Elang itu menunjukkan tempat yang ternyata tempat itu adalah milik Datuk Margi. Dia heran kenapa Kakek Kepala Perguruan Elang Putih mengirimkannya ke tempat itu. Saruang yang kini berdiri di samping Datuk Margi pun tampak mulai ketakutan. Dia juga khawatir pemuda itu akan menuntut balas atas kejahatan yang mereka lakukan. Dia pun berbisik pada Datuk.“Jangan-jangan dia menemui kita ke sini untuk membalas dendam, Tuk,” bisik Saruang.Datuk Margi mengernyit takut mendengar itu. Dia pun menatap Bimantara dengan heran.“Apa kau sengaja mencariku untuk balas dendam?” tanya Datuk Margi heran. “Perlu kau ketahui bahwa aku terpaksa menjebloskanmu ke penjara karena aku curiga kau punya maksud untuk menghancurkan kerajaan Suwarnadwipa.” Datuk Margi sengaja berbohong agar Bimantara tidak marah padanya.“Aku ke sini bukan untuk itu,” jawab Bimantara.Datuk Margi dan Saruang saling menatap tak percaya.“Kalau bukan untuk itu, bagaimana caranya kau bisa sampai
Setelah Kepala Perguruan bersama kelima guru pembantu menunggu cukup lama, akhirnya prajurit penjaga datang dan membukakan gerbang untuk mereka. Yang Mulia Raja telah mengizinkan mereka memasuki istana dan menemuinya. Mereka pun kembali memacukan kuda memasuki gerbang istana yang besar itu.Saat tiba di depan gerbang ke tujuh, Panglima Sada berdiri menyambut mereka di depan gerbang itu. Kepala Perguruan dan kelima guru pembantu turun dari kuda masing-masing lalu menghampiri Panglima Sada.“Ada tujuan apa kalian kemari?” tanya Panglima Sada heran.“Kami datang ingin menanyakan kebenaran surat dari kerajaan Suwarnadwipa mengenai murid kami yang katanya telah melanggar perjanjian antar pendekar,” jawab Kepala Perguruan.“Mengenai ajian penakluk binatang itu kah?” tanya Panglima Sada memastikan.“Benar,” jawab Kepala Perguruan.“Kalau begitu ayo ikut aku. Biarkan kuda kalian diurus oleh prajuritku,” pinta Panglima Sada pada mereka.Kepala Perguruan dan pasukannya pun mengikuti Panglima Sa
Dan hari itu, setelah Bimantara dan Panglima Adhira bersama pasukannya telah berhasil membatu Datuk Margi mengarungi biji kopi yang siap dibawa ke Nusantara, mereka semua kini melakukan perjalanan menuju dermaga membawa kopi-kopi itu. Beberapa karung kopi tampak diangkut oleh kereta kencana yang ditarik tiga kuda. Sebagiannya lagi didorong oleh prajurit Panglima Adhira dengan gerobak-gerobak. Sementara Bimantara tampak membantu memacukan kuda yang menarik kereta kencana berisi karung-karung kopi itu. Datuk Margi dan pengikutnya berada di atas kuda paling depan, mengawal mereka semua di belakang. Elang putih terbang di atas mereka mengikuti perjalanan mereka dari atas sana.Saat mereka semua memasuki kawasan Dermaga, di hadapan mereka banyak prajurit berbaris menjaga kawasan itu. Para parjurit itu menghentikan mereka dan mendekat ke Datuk Margi dengan heran.“Biasanya kau tidak membawa pasukan sebanyak ini?” tanya prajurit itu heran.“Kopi-kopiku diminati di Nusantara. Mereka kebetulan