Bimantara dan Panglima Adhira masih menunggu prajurit itu memeriksa jalanan di hadapan. Prajurit itu tidak menemukan ranjau apapun di hadapan mereka. Bimantara bingung. Dia mengelus kudanya dengan pelan.“Ada apa? Kenapa kau tidak ingin lagi mengantarku?” tanya Bimantara pada kudanya.Kuda itu diam saja. Bimantara menggerak-gerakkan talinya, namun kuda itu tetap diam dan tidak mau berjalan. Bimantara dan yang lain tampak heran.“Mungkin dia tidak ingin pergi meninggalkan tuannya,” tebak Panglima Adhira.“Ini pasti bukan karena itu. Ini pasti karena hal buruk terjadi,” jawab Bimantara.Tak lama kemudian mereka melihat pasukan berkuda datang ke arah mereka.“Apa karena kedatangan pasukan itu kudamu mendadak berhenti?” tanya Panglima Adhira.Bimantara tidak mejawab pertanyaan Panglima Adhira. Dia malah terus saja menatap kehadapan. Sesampainya pasukan berkuda itu ke arah mereka, pasukan itu tampak tidak peduli dan terus saja melintasi mereka.Panglima Adhira semakin bingung. Tak lama kem
Bimantara tampak berpikir keras ketika Elang itu menunjukkan tempat yang ternyata tempat itu adalah milik Datuk Margi. Dia heran kenapa Kakek Kepala Perguruan Elang Putih mengirimkannya ke tempat itu. Saruang yang kini berdiri di samping Datuk Margi pun tampak mulai ketakutan. Dia juga khawatir pemuda itu akan menuntut balas atas kejahatan yang mereka lakukan. Dia pun berbisik pada Datuk.“Jangan-jangan dia menemui kita ke sini untuk membalas dendam, Tuk,” bisik Saruang.Datuk Margi mengernyit takut mendengar itu. Dia pun menatap Bimantara dengan heran.“Apa kau sengaja mencariku untuk balas dendam?” tanya Datuk Margi heran. “Perlu kau ketahui bahwa aku terpaksa menjebloskanmu ke penjara karena aku curiga kau punya maksud untuk menghancurkan kerajaan Suwarnadwipa.” Datuk Margi sengaja berbohong agar Bimantara tidak marah padanya.“Aku ke sini bukan untuk itu,” jawab Bimantara.Datuk Margi dan Saruang saling menatap tak percaya.“Kalau bukan untuk itu, bagaimana caranya kau bisa sampai
Setelah Kepala Perguruan bersama kelima guru pembantu menunggu cukup lama, akhirnya prajurit penjaga datang dan membukakan gerbang untuk mereka. Yang Mulia Raja telah mengizinkan mereka memasuki istana dan menemuinya. Mereka pun kembali memacukan kuda memasuki gerbang istana yang besar itu.Saat tiba di depan gerbang ke tujuh, Panglima Sada berdiri menyambut mereka di depan gerbang itu. Kepala Perguruan dan kelima guru pembantu turun dari kuda masing-masing lalu menghampiri Panglima Sada.“Ada tujuan apa kalian kemari?” tanya Panglima Sada heran.“Kami datang ingin menanyakan kebenaran surat dari kerajaan Suwarnadwipa mengenai murid kami yang katanya telah melanggar perjanjian antar pendekar,” jawab Kepala Perguruan.“Mengenai ajian penakluk binatang itu kah?” tanya Panglima Sada memastikan.“Benar,” jawab Kepala Perguruan.“Kalau begitu ayo ikut aku. Biarkan kuda kalian diurus oleh prajuritku,” pinta Panglima Sada pada mereka.Kepala Perguruan dan pasukannya pun mengikuti Panglima Sa
Dan hari itu, setelah Bimantara dan Panglima Adhira bersama pasukannya telah berhasil membatu Datuk Margi mengarungi biji kopi yang siap dibawa ke Nusantara, mereka semua kini melakukan perjalanan menuju dermaga membawa kopi-kopi itu. Beberapa karung kopi tampak diangkut oleh kereta kencana yang ditarik tiga kuda. Sebagiannya lagi didorong oleh prajurit Panglima Adhira dengan gerobak-gerobak. Sementara Bimantara tampak membantu memacukan kuda yang menarik kereta kencana berisi karung-karung kopi itu. Datuk Margi dan pengikutnya berada di atas kuda paling depan, mengawal mereka semua di belakang. Elang putih terbang di atas mereka mengikuti perjalanan mereka dari atas sana.Saat mereka semua memasuki kawasan Dermaga, di hadapan mereka banyak prajurit berbaris menjaga kawasan itu. Para parjurit itu menghentikan mereka dan mendekat ke Datuk Margi dengan heran.“Biasanya kau tidak membawa pasukan sebanyak ini?” tanya prajurit itu heran.“Kopi-kopiku diminati di Nusantara. Mereka kebetulan
Ratu Mantili tampak terkejut mendengar laporan dari Panglimanya bahwa dermaga tiba-tiba didatangi angin puting beliung karena cuaca buruk. Dia terpaksa menarik pasukannya dari dermaga demi keselamatan semuanya di sana.“Angin puting belung?” tanya Ratu Mantili heran.Pejabat istana menatap sang Ratu dengan heran.“Hamba yakin itu bukan angin puting beliung biasa yang mulia. Itu pasti ulah Candaka Uddhiharta yang berusaha mengelabui para penjaga dermaga agar dia bisa leluasa kembali berlayar ke Nusantara,” ujar pejabat istana itu pada Sang Ratu.Sang Ratu murka mendengar itu. Dia melotot geram pada Panglimanya.“Kenapa kau malah mengajak pasukanmu meninggalkan dergama itu?!” teriak Ratu Mantili murka. “Apakah kau sudah tidak bisa membedakan mana bencana alam dan mana bencana yang diakibatkan oleh ajian?!”Panglima itu menunduk takut dan gemetar.“Ampun yang Mulia, hamba benar-benar tidak tahu kalau angin puting beliung itu datang dari ajian Candaka Uddhiharta! Hamba siap dihukum yang m
Bimantara berdiri di sisi kapal sambil memandangi lautan malam yang tampak gelap. Panglima Adhira mendekat padanya lalu ikut berdiri di sampingnya.“Kau tidak tidur?” tanya Panglima Adhira padanya. Penghuni kapal yang lainnya sudah tampak istirahat selain awak kapal yang menjaga layar.“Aku sudah tidak sabar untuk memberi tahu Kepala Perguruan bahwa sekarang aku sudah berlayar menuju Nusantara. Aku tidak tahu apakah laut ini masih berada di wilayah Suwarnadwipa apa sudah berada di Nusantara. Karena jika masih berada di Suwarnadwipa, aku belum bisa menggunakan merpati untuk mengirim surat pada perguruan matahari. Hanya urusan kerajaan saja yang bisa saling berkirim surat untuk saat ini,” jawab Bimantara.Tak lama kemudian Panglima Adhira teringat elang putih yang mengikuti mereka. Dia mencari keberadaan elang putih di atas kapal layar itu. Panglima Adhira melihat Elang putih masih bertengger di tiang layar kapal itu.“Kenapa kau tidak meminta elang putih itu saja?” tanya Panglima Adhir
Pagi itu matahari bersinar terang di samudera. Bimantara sedang duduk bersama Datuk Margi, Panglima Adhira, Saruang dan beberapa pengikut Datuk Margi. Mereka sarapan bersama di satu meja. Sementara para prajurit sarapan di atas lantai kapal bersama awak kapal.“Ini kehormatan besar bagiku jika benar kau adalah Candaka Uddhiharta itu,” ucap Datuk Margi.“Itu hanya sebuah ramalan yang kebenarannya masih diragukan,” sahut Bimantara.“Tapi lukisan wajahnya mirip denganmu, anak muda,” ucap Saruang menyela.“Belum tentu itu aku, lagipula kata Tuan Guruku di dunia ini ada tujuh manusia yang terlahir memiliki wajah yang hampir sama,” jawab Bimantara.“Candaka Uddhiharta itu bukan manusia biasa. Dia pasti hebat karena memiliki kekuatan yang sama dengan para dewa,” ujar Panglima Adhira.“Lagi pula selama aku hidup aku belum pernah bertemu langsung dengan para dewa itu,” ucap Bimantara.“Dan menurut cerita nenek moyang kita bahwa Candaka Uddhiharta akan diajari oleh empat dewa untuk menjalankan
Pendekar Buruk Rupa terdampar di atas pasir pinggir laut. Perahu yang dia naiki tampak pecah berserak. Seorang kakek tua bertongkat datang mendekat padanya. Rambutnya begitu panjang penuh uban. Kumis dan janggutnya juga berwarna putih. Di ujung tongkatnya tampak menempel tengkorak kepala ular.Kakek itu memeriksa denyut nadi Pendekar itu. Dia terkejut melihat pendekar itu masih hidup. Tak lama kemudian dia mengarahkan ujung tongkatnya ke dadanya. Eneregi keluar dari ujung tongkatnya menyalur ke dada pendekar itu. Tak lama kemudian pendekar itu sadar dengan memuntahkan air laut yang tertelan ke tenggorokannya.Pendekar Buruk Rupa perlahan bangkit lalu terkejut mendapati kakek itu sudah berada di dekatnya.“Siapa kau?” tanya Pendekar Buruk Rupa sambil memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Dia masih mual dan kembali memuntahkan air laut dalam perutnya.Kakek itu tertawa.“Siapapun yang tiba ke pulau ini berarti para leluhur menghendakinya untuk menjadi muridku,” ucap Kakek itu.“Sia