Bimantara dan Seruni tengah mengitari hutan gimbo. Mereka mencari keberadaan bunga raksasa merah di dalam hutan itu. Langkah Seruni terhenti. Dia menoleh pada Bimantara yang sedang mengedarkan padangannya pada sekitar hutan dengan berdiri tegak bersama tongkatnya. “Kita sudah mencarinya di mana-mana, kenapa kita tidak menemukannya?” tanya Seruni dengan pesimis. “Kita cari di tempat lain saja,” pinta Bimantara. Seruni mengangguk. Mereka pun kembali berjalan menelusuri hutan itu. Tak lama kemudian elang putih terbang di atas mereka. Bimantara yang melihatnya tampak heran. Dia berhenti melangkah dan menatap ke atas sana. “Lihat elang itu datang lagi,” ucap Bimantara pada Seruni. Seruni mendongak. Dia pun heran melihat elang putih itu berputar-putar di atas kepala mereka. “Hei! Ada yang ingin kau beri tahu kepada kami kah?” tanya Seruni tiba-tiba. Tak lama kemudian elang itu menjatuhkan bagian bunga raksasa merah ke hadapan Bimantara. Bimantara meraih benda itu lalu menatapnya. Dia
Bimantara mengambang di hadapan pimpinan Pendekar penjaga hutan dengan mengangkat pedang cahaya peraknya. Seruni sedang dipegangi pasukannya. Tubuhnya dikunci hingga gadis itu tidak dapat meloloskan diri.“Lepaskan gadis itu,” ancam Bimantara.“Aku tidak akan melepaskannya sebelum aku berhasil menangkapmu dan membawamu ke istana!” tegas pendekar itu sambil mengangkat kerisnya.“Kenapa kau menyebut aku sebagai musuh utama yang mulia ratumu?” tanya Bimantara heran.“Pihak istana sudah mengirimkan surat padaku melalui merpati. Merpati itu membawa lukisan yang mirip dengan wajahmu,” jawab pimpinan pendekar itu dengan geram. “Yang mulia ratu menyebutmu dengan Candaka Uddhiharta. Kau musuh utama kerajaan Suwarnadwipa!”“Aku tidak melakukan kejahatan apa-apa! Aku bukan Candaka Uddhiharta seperti yang diramalkan para peramal istana! Yang mulia ratumu telah salah sasaran!” tegas Bimantara.“Aku tidak peduli! Musuh kerajaan juga musuhku juga!” teriak pimpinan pendekar itu lalu mengarahkan keris
Bimantara terus saja membawa Seruni terbang dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lainnya. Setangkai besar bunga raksasa merah itu masih di tangannya. Kaki cahaya naganya menyala sangat terang. Elang putih mengawasinya dari atas langit. Sepertinya elang putih itu berada di pihak Bimantara.Sementara pimpinan pendekar dan pasukannya masih berlarian di dalam hutan mengejar Bimantara dengan cepat. Mata mereka begitu awas menatap ke atas mengikuti pergerakan Bimantara di atas sana.Saat Bimantara hendak melompat ke pucuk pohon lainnya, tiba-tiba tombak mengarah padanya lalu mengenai setangkai bunga raksasa merahnya. Hingga bunga itu terjatuh ke bawah. Bimantara dan Seruni terkejut melihatnya.“Bunganya terjatuh Bimantara!” teriak Seruni panik.Bimantara pun langsung meletakkan Seruni di atas pohon itu lalu dengan cepat turun ke bawah dengan jurus meringankan tubuhnya mengejar setangkai bunga yang masih terjatuh ke bawah. Namun tangannya tidak dapat meraih setangkai bunga raksasa merah itu,
Bimantara segera meraih pedang perak cahaya merahnya, saat dia berhasil meraih pedang itu, Pendekar Buruk Rupa langsung menggunakan ajiannya untuk melelehkan pedang itu. Tak lama kemudian angin puting beliun berdatangangan mengangkat tubuh para pendekar penjaga hutan dan ketiga pendekar pengikut pendekar Buruk Rupa Itu. Mereka dibawa angin puting beliung memutar ke atas langit. Teriakan mereka terdengar jauh. “Tolong! Tolong!” teriak Tama, Salwa dan Darsa tak berdaya. Pendekar Buruk Rupa terkejut melihatnya. Dia terus saja membacakan ajiannya agar pedang perak cahaya merah di tangan Bimantara itu meleleh. Sementara Bimantara menahan pedangnya dengan sekuat tenaga agar tidak terlepas dari tangannya. Panglima Adhira dan para prajuritnya tampak menatap Bimantara dan Pendekar Buruk Rupa yang tengah beradu kekuatan itu. Tubuh Pendekar Buruk Rupa tampak semakin lemah. Kekuatannya mulai menitip. Ajian itu ternyata tidak mempan untuk melelehkan pedang di tangan Bimantara. “Pedang apa itu?
Pendekar Buruk Rupa terus saja melakukan ajian penghilang ingatannya sambil memegang kepala Bimantara. Bimantara mencoba melawannya, namun tenganya mulai lemah. Sementara itu Panglima Adhira tampak tidak berdaya bersama pasukannya.“Apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkannya, Panglima?” tanya prajuritnya bingung.“Aku tidak tahu. Kita tidak bisa mendekati mereka. Ada yang cahaya yang menghalangi kita,” ucap Panglima Adhira kebingungan.Tak lama kemudian elang putih datang lalu terbang berputar-putar di atas langit sana. Panglima Adhira mendongak dengan heran saat mendengar suaranya. Seruni di atas sana masih tampak bingung. Setangkai bunga raksasa itu masih berada di tangannya. Saat dia melihat elang itu dia langsung berteriak.“Elang Putih! Tolonglah Bimantara!” teriak Seruni.Pendekar Buruk Rupa menatap elang itu dengan heran. Tak lama kemudian elang itu bersuara. Seketika harimau-harimau berdatangan. Srigala-srigala juga juga berdatangan. Panglima Adhira dan prajuritnya lan
Panglima Adhira lega melihat setangkai bunga raksasa merah itu berada dengan selamat di tangan gadis itu.“Biar aku dan prajuritku yang menjaga bunga itu, Bimantara,” pinta Panglima Adhira.Bimantara pun menoleh pada Seruni. Seruni mengerti dan memberikan setangkai bunga besar itu pada Panglima Adhira. Tak lama kemudian suara hentakan kuda terdengar mendekat ke arah mereka. Ternyata yang datang itu adalah kuda Bimantara dan Seruni yang sengaja ditinggalkan di luar hutan. Bimantara dan Seruni senang melihat kedatangan mereka.“Ayo kita pergi dari sini!” pinta Bimantara.Semua pun menaiki kuda masing-masing lalu kembali memacukan kuda untuk meninggalkan hutan itu.***Kakek Kepala Perguruan Elang Putih yang sedang duduk bersila sambil memejamkan matanya itu membuka matanya. Para muridnya yang sedang mengelilinginya tampak menunggu dengan penasaran.“Bagaimana Tuan Guru?” tanya muridnya.Kakek kepala perguruan Elang Putih itu tampak tersenyum.“Elang Putih kiriman dariku berhasil menyela
Saat Sang Panglima dari Suwarnadwipa itu hendak menyerang Panglima Adhira, Bimantara memacukan kudanya sejajar dengan Panglima Adhira.“Biarkan kami kembali ke Nusantara sebelum terjadinya pertumpahan darah,” pinta Bimantara.Sang Panglima itu tertawa.“Kau pikir akan dengan mudahnya aku menuruti ancamanmu?” tanyanya dengan tersenyum kecut. “Aku tak akan membiakan kalian hidup kali ini! Kalian akan mati semua di tanganku!” teriaknya.Tak lama kemudian elang di atas mereka beruara. Semua menatap ke atas langit memandangi elang itu. Panglima itu heran.“Diam kau!” teriak Panglima itu dengan geram.Tak lama kemudian terdengar suara lolongan srigala dan harimau-harimau. Panglima dari Suwarnadwipa itu gemetar ketakutan, begitu pun dengan para prajuritnya.“Binatang buas, Panglima!” teriak prajuritnya ketakutan.“Biarkan saja! Mereka datang pasti untuk mengusir para tamu tak diundang ini!” tegas Panglima itu.Saat harimau-harimau itu datang bersama sekawanan srigala itu, mereka malah mendek
Sang Panglima datang menghadap Ratu Mantili di singgasananya dengan gemetar dan ketakutan. Dia berlutut dengan keringat mengucur di dahinya. Ini untuk pertama kalinya apa yang diperintahkan yang mulia ratunya tidak terlaksana dengan baik. Kali ini dia gagal melaksanakan tugasnya.“Kenapa kau datang padaku dengan wajah ketakutan begitu, Panglimaku?” tanya Sang Ratu dengan heran.Panglima itu semakin gemetar mendengar pertanyaan itu. “Ampun yang mulia ratu, hamba dan pasukan telah gagal membawa pemuda itu ke hadapanmu. Hamba siap dihukum karena gagal melaksakan perintah dari yang mulia,” jawab Sang Panglima yang tetap menunduk di hadapannya.Ratu Mantili tampak geram mendengarnya.“Apakah pemuda itu terlalu hebat hingga kau gagal menangkapnya?” tanya Ratu Mantili tak percaya.“Ampun yang mulia! Yang membuat hamba gagal menghadapinya karena pemuda itu telah menggunakan ajian penakluk binatang di kerajaan kita,” jawab Panglima itu dengan gemetar. “Bukankah seharusnya ajian itu dilarang di