Dahayu sedang berdiri menunggu Welas di atas batu karang pinggir pantai. Welas datang dengan heran.“Kenapa kau memanggilku ke sini, Dahayu?” tanya Welas.Dahayu menoleh padanya lalu mendekatinya.“Ada yang ingin aku bicarakan padamu,” jawab Dahayu.“Soal Sanum? Bukan kah semua sudah selesai dan semua sudah tahu kalau Sanum mendapatkan kutukan dari leluhur karena berbuat jahat padamu?” tanya Welas penasaran.“Iya, tapi bukan soal itu yang ingin aku bahas padamu, tapi soal rahasia itu,” jawab Dahayu.“Rahasia soal peri itu?” tanya Welas menebak.Dahayu mengangguk. Welas tersenyum.“Kau tenang saja. Aku akan tetap merahasiakannya. Aku jamin tak satupun yang akan tahu soal itu,” ucap Welas.Dahayu lega mendengarnya.“Aku khawatir itu akan digunakan orang untuk menyakitiku. Bagaimana pun juga aku tidak mau kembali ke alam peri lagi. Aku ingin menetap di dunia ini, Welas. Inilah hidupku.”“Kau jangan khawatirkan itu. Aku berada di pihakmu,” ucap Welas.“Terima kasih,” ucap Dahayu. Kini sen
Bimantara dan Seruni tengah mengitari hutan gimbo. Mereka mencari keberadaan bunga raksasa merah di dalam hutan itu. Langkah Seruni terhenti. Dia menoleh pada Bimantara yang sedang mengedarkan padangannya pada sekitar hutan dengan berdiri tegak bersama tongkatnya. “Kita sudah mencarinya di mana-mana, kenapa kita tidak menemukannya?” tanya Seruni dengan pesimis. “Kita cari di tempat lain saja,” pinta Bimantara. Seruni mengangguk. Mereka pun kembali berjalan menelusuri hutan itu. Tak lama kemudian elang putih terbang di atas mereka. Bimantara yang melihatnya tampak heran. Dia berhenti melangkah dan menatap ke atas sana. “Lihat elang itu datang lagi,” ucap Bimantara pada Seruni. Seruni mendongak. Dia pun heran melihat elang putih itu berputar-putar di atas kepala mereka. “Hei! Ada yang ingin kau beri tahu kepada kami kah?” tanya Seruni tiba-tiba. Tak lama kemudian elang itu menjatuhkan bagian bunga raksasa merah ke hadapan Bimantara. Bimantara meraih benda itu lalu menatapnya. Dia
Bimantara mengambang di hadapan pimpinan Pendekar penjaga hutan dengan mengangkat pedang cahaya peraknya. Seruni sedang dipegangi pasukannya. Tubuhnya dikunci hingga gadis itu tidak dapat meloloskan diri.“Lepaskan gadis itu,” ancam Bimantara.“Aku tidak akan melepaskannya sebelum aku berhasil menangkapmu dan membawamu ke istana!” tegas pendekar itu sambil mengangkat kerisnya.“Kenapa kau menyebut aku sebagai musuh utama yang mulia ratumu?” tanya Bimantara heran.“Pihak istana sudah mengirimkan surat padaku melalui merpati. Merpati itu membawa lukisan yang mirip dengan wajahmu,” jawab pimpinan pendekar itu dengan geram. “Yang mulia ratu menyebutmu dengan Candaka Uddhiharta. Kau musuh utama kerajaan Suwarnadwipa!”“Aku tidak melakukan kejahatan apa-apa! Aku bukan Candaka Uddhiharta seperti yang diramalkan para peramal istana! Yang mulia ratumu telah salah sasaran!” tegas Bimantara.“Aku tidak peduli! Musuh kerajaan juga musuhku juga!” teriak pimpinan pendekar itu lalu mengarahkan keris
Bimantara terus saja membawa Seruni terbang dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lainnya. Setangkai besar bunga raksasa merah itu masih di tangannya. Kaki cahaya naganya menyala sangat terang. Elang putih mengawasinya dari atas langit. Sepertinya elang putih itu berada di pihak Bimantara.Sementara pimpinan pendekar dan pasukannya masih berlarian di dalam hutan mengejar Bimantara dengan cepat. Mata mereka begitu awas menatap ke atas mengikuti pergerakan Bimantara di atas sana.Saat Bimantara hendak melompat ke pucuk pohon lainnya, tiba-tiba tombak mengarah padanya lalu mengenai setangkai bunga raksasa merahnya. Hingga bunga itu terjatuh ke bawah. Bimantara dan Seruni terkejut melihatnya.“Bunganya terjatuh Bimantara!” teriak Seruni panik.Bimantara pun langsung meletakkan Seruni di atas pohon itu lalu dengan cepat turun ke bawah dengan jurus meringankan tubuhnya mengejar setangkai bunga yang masih terjatuh ke bawah. Namun tangannya tidak dapat meraih setangkai bunga raksasa merah itu,
Bimantara segera meraih pedang perak cahaya merahnya, saat dia berhasil meraih pedang itu, Pendekar Buruk Rupa langsung menggunakan ajiannya untuk melelehkan pedang itu. Tak lama kemudian angin puting beliun berdatangangan mengangkat tubuh para pendekar penjaga hutan dan ketiga pendekar pengikut pendekar Buruk Rupa Itu. Mereka dibawa angin puting beliung memutar ke atas langit. Teriakan mereka terdengar jauh. “Tolong! Tolong!” teriak Tama, Salwa dan Darsa tak berdaya. Pendekar Buruk Rupa terkejut melihatnya. Dia terus saja membacakan ajiannya agar pedang perak cahaya merah di tangan Bimantara itu meleleh. Sementara Bimantara menahan pedangnya dengan sekuat tenaga agar tidak terlepas dari tangannya. Panglima Adhira dan para prajuritnya tampak menatap Bimantara dan Pendekar Buruk Rupa yang tengah beradu kekuatan itu. Tubuh Pendekar Buruk Rupa tampak semakin lemah. Kekuatannya mulai menitip. Ajian itu ternyata tidak mempan untuk melelehkan pedang di tangan Bimantara. “Pedang apa itu?
Pendekar Buruk Rupa terus saja melakukan ajian penghilang ingatannya sambil memegang kepala Bimantara. Bimantara mencoba melawannya, namun tenganya mulai lemah. Sementara itu Panglima Adhira tampak tidak berdaya bersama pasukannya.“Apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkannya, Panglima?” tanya prajuritnya bingung.“Aku tidak tahu. Kita tidak bisa mendekati mereka. Ada yang cahaya yang menghalangi kita,” ucap Panglima Adhira kebingungan.Tak lama kemudian elang putih datang lalu terbang berputar-putar di atas langit sana. Panglima Adhira mendongak dengan heran saat mendengar suaranya. Seruni di atas sana masih tampak bingung. Setangkai bunga raksasa itu masih berada di tangannya. Saat dia melihat elang itu dia langsung berteriak.“Elang Putih! Tolonglah Bimantara!” teriak Seruni.Pendekar Buruk Rupa menatap elang itu dengan heran. Tak lama kemudian elang itu bersuara. Seketika harimau-harimau berdatangan. Srigala-srigala juga juga berdatangan. Panglima Adhira dan prajuritnya lan
Panglima Adhira lega melihat setangkai bunga raksasa merah itu berada dengan selamat di tangan gadis itu.“Biar aku dan prajuritku yang menjaga bunga itu, Bimantara,” pinta Panglima Adhira.Bimantara pun menoleh pada Seruni. Seruni mengerti dan memberikan setangkai bunga besar itu pada Panglima Adhira. Tak lama kemudian suara hentakan kuda terdengar mendekat ke arah mereka. Ternyata yang datang itu adalah kuda Bimantara dan Seruni yang sengaja ditinggalkan di luar hutan. Bimantara dan Seruni senang melihat kedatangan mereka.“Ayo kita pergi dari sini!” pinta Bimantara.Semua pun menaiki kuda masing-masing lalu kembali memacukan kuda untuk meninggalkan hutan itu.***Kakek Kepala Perguruan Elang Putih yang sedang duduk bersila sambil memejamkan matanya itu membuka matanya. Para muridnya yang sedang mengelilinginya tampak menunggu dengan penasaran.“Bagaimana Tuan Guru?” tanya muridnya.Kakek kepala perguruan Elang Putih itu tampak tersenyum.“Elang Putih kiriman dariku berhasil menyela
Saat Sang Panglima dari Suwarnadwipa itu hendak menyerang Panglima Adhira, Bimantara memacukan kudanya sejajar dengan Panglima Adhira.“Biarkan kami kembali ke Nusantara sebelum terjadinya pertumpahan darah,” pinta Bimantara.Sang Panglima itu tertawa.“Kau pikir akan dengan mudahnya aku menuruti ancamanmu?” tanyanya dengan tersenyum kecut. “Aku tak akan membiakan kalian hidup kali ini! Kalian akan mati semua di tanganku!” teriaknya.Tak lama kemudian elang di atas mereka beruara. Semua menatap ke atas langit memandangi elang itu. Panglima itu heran.“Diam kau!” teriak Panglima itu dengan geram.Tak lama kemudian terdengar suara lolongan srigala dan harimau-harimau. Panglima dari Suwarnadwipa itu gemetar ketakutan, begitu pun dengan para prajuritnya.“Binatang buas, Panglima!” teriak prajuritnya ketakutan.“Biarkan saja! Mereka datang pasti untuk mengusir para tamu tak diundang ini!” tegas Panglima itu.Saat harimau-harimau itu datang bersama sekawanan srigala itu, mereka malah mendek
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it