Bimantara segera meraih pedang perak cahaya merahnya, saat dia berhasil meraih pedang itu, Pendekar Buruk Rupa langsung menggunakan ajiannya untuk melelehkan pedang itu. Tak lama kemudian angin puting beliun berdatangangan mengangkat tubuh para pendekar penjaga hutan dan ketiga pendekar pengikut pendekar Buruk Rupa Itu. Mereka dibawa angin puting beliung memutar ke atas langit. Teriakan mereka terdengar jauh. “Tolong! Tolong!” teriak Tama, Salwa dan Darsa tak berdaya. Pendekar Buruk Rupa terkejut melihatnya. Dia terus saja membacakan ajiannya agar pedang perak cahaya merah di tangan Bimantara itu meleleh. Sementara Bimantara menahan pedangnya dengan sekuat tenaga agar tidak terlepas dari tangannya. Panglima Adhira dan para prajuritnya tampak menatap Bimantara dan Pendekar Buruk Rupa yang tengah beradu kekuatan itu. Tubuh Pendekar Buruk Rupa tampak semakin lemah. Kekuatannya mulai menitip. Ajian itu ternyata tidak mempan untuk melelehkan pedang di tangan Bimantara. “Pedang apa itu?
Pendekar Buruk Rupa terus saja melakukan ajian penghilang ingatannya sambil memegang kepala Bimantara. Bimantara mencoba melawannya, namun tenganya mulai lemah. Sementara itu Panglima Adhira tampak tidak berdaya bersama pasukannya.“Apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkannya, Panglima?” tanya prajuritnya bingung.“Aku tidak tahu. Kita tidak bisa mendekati mereka. Ada yang cahaya yang menghalangi kita,” ucap Panglima Adhira kebingungan.Tak lama kemudian elang putih datang lalu terbang berputar-putar di atas langit sana. Panglima Adhira mendongak dengan heran saat mendengar suaranya. Seruni di atas sana masih tampak bingung. Setangkai bunga raksasa itu masih berada di tangannya. Saat dia melihat elang itu dia langsung berteriak.“Elang Putih! Tolonglah Bimantara!” teriak Seruni.Pendekar Buruk Rupa menatap elang itu dengan heran. Tak lama kemudian elang itu bersuara. Seketika harimau-harimau berdatangan. Srigala-srigala juga juga berdatangan. Panglima Adhira dan prajuritnya lan
Panglima Adhira lega melihat setangkai bunga raksasa merah itu berada dengan selamat di tangan gadis itu.“Biar aku dan prajuritku yang menjaga bunga itu, Bimantara,” pinta Panglima Adhira.Bimantara pun menoleh pada Seruni. Seruni mengerti dan memberikan setangkai bunga besar itu pada Panglima Adhira. Tak lama kemudian suara hentakan kuda terdengar mendekat ke arah mereka. Ternyata yang datang itu adalah kuda Bimantara dan Seruni yang sengaja ditinggalkan di luar hutan. Bimantara dan Seruni senang melihat kedatangan mereka.“Ayo kita pergi dari sini!” pinta Bimantara.Semua pun menaiki kuda masing-masing lalu kembali memacukan kuda untuk meninggalkan hutan itu.***Kakek Kepala Perguruan Elang Putih yang sedang duduk bersila sambil memejamkan matanya itu membuka matanya. Para muridnya yang sedang mengelilinginya tampak menunggu dengan penasaran.“Bagaimana Tuan Guru?” tanya muridnya.Kakek kepala perguruan Elang Putih itu tampak tersenyum.“Elang Putih kiriman dariku berhasil menyela
Saat Sang Panglima dari Suwarnadwipa itu hendak menyerang Panglima Adhira, Bimantara memacukan kudanya sejajar dengan Panglima Adhira.“Biarkan kami kembali ke Nusantara sebelum terjadinya pertumpahan darah,” pinta Bimantara.Sang Panglima itu tertawa.“Kau pikir akan dengan mudahnya aku menuruti ancamanmu?” tanyanya dengan tersenyum kecut. “Aku tak akan membiakan kalian hidup kali ini! Kalian akan mati semua di tanganku!” teriaknya.Tak lama kemudian elang di atas mereka beruara. Semua menatap ke atas langit memandangi elang itu. Panglima itu heran.“Diam kau!” teriak Panglima itu dengan geram.Tak lama kemudian terdengar suara lolongan srigala dan harimau-harimau. Panglima dari Suwarnadwipa itu gemetar ketakutan, begitu pun dengan para prajuritnya.“Binatang buas, Panglima!” teriak prajuritnya ketakutan.“Biarkan saja! Mereka datang pasti untuk mengusir para tamu tak diundang ini!” tegas Panglima itu.Saat harimau-harimau itu datang bersama sekawanan srigala itu, mereka malah mendek
Sang Panglima datang menghadap Ratu Mantili di singgasananya dengan gemetar dan ketakutan. Dia berlutut dengan keringat mengucur di dahinya. Ini untuk pertama kalinya apa yang diperintahkan yang mulia ratunya tidak terlaksana dengan baik. Kali ini dia gagal melaksanakan tugasnya.“Kenapa kau datang padaku dengan wajah ketakutan begitu, Panglimaku?” tanya Sang Ratu dengan heran.Panglima itu semakin gemetar mendengar pertanyaan itu. “Ampun yang mulia ratu, hamba dan pasukan telah gagal membawa pemuda itu ke hadapanmu. Hamba siap dihukum karena gagal melaksakan perintah dari yang mulia,” jawab Sang Panglima yang tetap menunduk di hadapannya.Ratu Mantili tampak geram mendengarnya.“Apakah pemuda itu terlalu hebat hingga kau gagal menangkapnya?” tanya Ratu Mantili tak percaya.“Ampun yang mulia! Yang membuat hamba gagal menghadapinya karena pemuda itu telah menggunakan ajian penakluk binatang di kerajaan kita,” jawab Panglima itu dengan gemetar. “Bukankah seharusnya ajian itu dilarang di
Panglima Adhira tampak bingung. Bimantara menatapnya setelah dia berhasil menemukan cara untuk bisa kembali berlayar ke Nusantara.“Kita harus menyamar menjadi penduduk di sini,” ucap Bimantara.“Menyamar bagaimana, Bimantara?” tanya Panglima Adhira bingung.Bimantara menatap Seruni yang masih terlelap.“Kita minta bantuannya untuk meminjam pakaian warga yang dikenalnya. Kita memakai pakaian mereka lalu diam-diam menumpang kapal layar yang berlayar ke Nusantara untuk tujuan perdagangan,” jawab Bimantara.Panglima Adhira tampak berpikir. Parjuritnya menatap Panglima Adhira dengan tatapan setuju dengan perkataan Bimantara.“Aku setuju dengan pendapat Bimantara, Panglima. Aku kira cara itulah cara terbaik yang bisa kita lakukan,” ucap Prajuritnya.Panglima Adhira pun menatap serius Bimantara.“Baiklah, besok kita bergerak untuk menyamar menjadi penduduk asli di daratan ini,” ucapnya setuju.Tak lama kemudian Seruni bangung lalu menatap semuanya dengan tatapan seolah sudah mendengar semua
Bimantara tampak sudah berganti pakaian dengan pakaian yang biasa dipakai penduduk setempat. Begitupun dengan Panglima Adhira dan para prajuritnya. Seruni, Neneknya dan seorang pemuda adik kandung Seruni tampak tersenyum melihat mereka semuanya. “Kalian sudah mirip dengan penduduk setempat,” ucap Nenek itu. “Sekarang jika kalian melakukan perjalanan ke Dermaga, saya yakin tak ada yang tahu kalau kalian berasal dari Nusantara.” “Terima kasih, Nek,” ucap Bimantara. “Kami semua tak akan melupakan kebaikan nenek dan semuanya.” Seruni tampak sedih menatap Bimantara. Dia tak akan mengikuti pengembaraan Bimantara lagi. Dia akan melepaskan Bimantara di sana. Bimantara pun mendekat ke Seruni sambil tersenyum. “Kau yang paling berjasa padaku,” ucap Bimanara. “Aku tak akan melupakan semua kebaikan yang kau berikan padaku.” Seruni mengangguk sedih. “Terima kasih semuanya. Izinkan aku menjadikanmu sebagai adik angkatku. Kebetulan aku anak tunggal yang tidak memiliki kakak dan adik,” pinta Bim
“Berhenti!” teriak penjaga yang berdiri di dekat gapura batas perkampungan itu.Bimantara dan pasukannya menghentikan kuda masing-masing. Panglima Adhira langsung turun dari kuda lalu berjalan menghadap penjaga itu dengan menyamar menjadi penduduk setempat. Dia menghadap dengan ramah dan penuh hormat agar penyamarannya tidak dicurigai oleh para penjaga yang betubuh kekar-kekar itu.“Maaf, Tuan. Kami semua hendak pergi ke perkampungan di daerah dermaga untuk mengantar sayur-mayur ke sana,” ucap Panglima Adhira dengan penuh hormat.Penjaga itu berjalan ke arah Bimantara dan yang lainnya yang masih berada di atas kuda masing-masing. Langkahnya diikuti oleh penjaga yang lain. Mereka memeriksa sayur mayur di kuda masing-masing. Di dalam sayur mayur itu disimpan setangkai bunga raksasa merah yang mereka dapatkan dari hutan Gimbo.Panglima memandangi mereka dengan menyimpan gugup. Salah satu penjaga menatap Bimantara dengan lekat. Dia memandangi kaki Bimantara yang pincang dengan heran. Perl