Saat Sang Panglima dari Suwarnadwipa itu hendak menyerang Panglima Adhira, Bimantara memacukan kudanya sejajar dengan Panglima Adhira.“Biarkan kami kembali ke Nusantara sebelum terjadinya pertumpahan darah,” pinta Bimantara.Sang Panglima itu tertawa.“Kau pikir akan dengan mudahnya aku menuruti ancamanmu?” tanyanya dengan tersenyum kecut. “Aku tak akan membiakan kalian hidup kali ini! Kalian akan mati semua di tanganku!” teriaknya.Tak lama kemudian elang di atas mereka beruara. Semua menatap ke atas langit memandangi elang itu. Panglima itu heran.“Diam kau!” teriak Panglima itu dengan geram.Tak lama kemudian terdengar suara lolongan srigala dan harimau-harimau. Panglima dari Suwarnadwipa itu gemetar ketakutan, begitu pun dengan para prajuritnya.“Binatang buas, Panglima!” teriak prajuritnya ketakutan.“Biarkan saja! Mereka datang pasti untuk mengusir para tamu tak diundang ini!” tegas Panglima itu.Saat harimau-harimau itu datang bersama sekawanan srigala itu, mereka malah mendek
Sang Panglima datang menghadap Ratu Mantili di singgasananya dengan gemetar dan ketakutan. Dia berlutut dengan keringat mengucur di dahinya. Ini untuk pertama kalinya apa yang diperintahkan yang mulia ratunya tidak terlaksana dengan baik. Kali ini dia gagal melaksanakan tugasnya.“Kenapa kau datang padaku dengan wajah ketakutan begitu, Panglimaku?” tanya Sang Ratu dengan heran.Panglima itu semakin gemetar mendengar pertanyaan itu. “Ampun yang mulia ratu, hamba dan pasukan telah gagal membawa pemuda itu ke hadapanmu. Hamba siap dihukum karena gagal melaksakan perintah dari yang mulia,” jawab Sang Panglima yang tetap menunduk di hadapannya.Ratu Mantili tampak geram mendengarnya.“Apakah pemuda itu terlalu hebat hingga kau gagal menangkapnya?” tanya Ratu Mantili tak percaya.“Ampun yang mulia! Yang membuat hamba gagal menghadapinya karena pemuda itu telah menggunakan ajian penakluk binatang di kerajaan kita,” jawab Panglima itu dengan gemetar. “Bukankah seharusnya ajian itu dilarang di
Panglima Adhira tampak bingung. Bimantara menatapnya setelah dia berhasil menemukan cara untuk bisa kembali berlayar ke Nusantara.“Kita harus menyamar menjadi penduduk di sini,” ucap Bimantara.“Menyamar bagaimana, Bimantara?” tanya Panglima Adhira bingung.Bimantara menatap Seruni yang masih terlelap.“Kita minta bantuannya untuk meminjam pakaian warga yang dikenalnya. Kita memakai pakaian mereka lalu diam-diam menumpang kapal layar yang berlayar ke Nusantara untuk tujuan perdagangan,” jawab Bimantara.Panglima Adhira tampak berpikir. Parjuritnya menatap Panglima Adhira dengan tatapan setuju dengan perkataan Bimantara.“Aku setuju dengan pendapat Bimantara, Panglima. Aku kira cara itulah cara terbaik yang bisa kita lakukan,” ucap Prajuritnya.Panglima Adhira pun menatap serius Bimantara.“Baiklah, besok kita bergerak untuk menyamar menjadi penduduk asli di daratan ini,” ucapnya setuju.Tak lama kemudian Seruni bangung lalu menatap semuanya dengan tatapan seolah sudah mendengar semua
Bimantara tampak sudah berganti pakaian dengan pakaian yang biasa dipakai penduduk setempat. Begitupun dengan Panglima Adhira dan para prajuritnya. Seruni, Neneknya dan seorang pemuda adik kandung Seruni tampak tersenyum melihat mereka semuanya. “Kalian sudah mirip dengan penduduk setempat,” ucap Nenek itu. “Sekarang jika kalian melakukan perjalanan ke Dermaga, saya yakin tak ada yang tahu kalau kalian berasal dari Nusantara.” “Terima kasih, Nek,” ucap Bimantara. “Kami semua tak akan melupakan kebaikan nenek dan semuanya.” Seruni tampak sedih menatap Bimantara. Dia tak akan mengikuti pengembaraan Bimantara lagi. Dia akan melepaskan Bimantara di sana. Bimantara pun mendekat ke Seruni sambil tersenyum. “Kau yang paling berjasa padaku,” ucap Bimanara. “Aku tak akan melupakan semua kebaikan yang kau berikan padaku.” Seruni mengangguk sedih. “Terima kasih semuanya. Izinkan aku menjadikanmu sebagai adik angkatku. Kebetulan aku anak tunggal yang tidak memiliki kakak dan adik,” pinta Bim
“Berhenti!” teriak penjaga yang berdiri di dekat gapura batas perkampungan itu.Bimantara dan pasukannya menghentikan kuda masing-masing. Panglima Adhira langsung turun dari kuda lalu berjalan menghadap penjaga itu dengan menyamar menjadi penduduk setempat. Dia menghadap dengan ramah dan penuh hormat agar penyamarannya tidak dicurigai oleh para penjaga yang betubuh kekar-kekar itu.“Maaf, Tuan. Kami semua hendak pergi ke perkampungan di daerah dermaga untuk mengantar sayur-mayur ke sana,” ucap Panglima Adhira dengan penuh hormat.Penjaga itu berjalan ke arah Bimantara dan yang lainnya yang masih berada di atas kuda masing-masing. Langkahnya diikuti oleh penjaga yang lain. Mereka memeriksa sayur mayur di kuda masing-masing. Di dalam sayur mayur itu disimpan setangkai bunga raksasa merah yang mereka dapatkan dari hutan Gimbo.Panglima memandangi mereka dengan menyimpan gugup. Salah satu penjaga menatap Bimantara dengan lekat. Dia memandangi kaki Bimantara yang pincang dengan heran. Perl
Raja Dawuh tampak tersentak ketika mendengar laporan dari pejabat istana bahwa Bimantara saat ini nasibnya tengah terancam di daratan Suwarnadwipa. Raja Dawuh tak percaya akan surat yang dikirimkan oleh pihak kerajaan Nusantara Timur yang mengatakan bahwa ada salah satu pendekar Nusantara yang telah melanggar perjanjian di kerajaan luar. Dia terbelalak ketika mengetahui pendekar itu bernama Bimantara.“Bagaimana dengan Panglima Adhira dan pasukannya yang mulia?” tanya pejabatnya bingung.“Sampai saat ini mereka belum mengabari apapun kepada saya,” ucap Raja Dawuh.“Melihat ada masalah seperti ini, saya khawatir perjalanan mereka ke Suwarnadwipa tak akan mulus. Pihak kerajaan Suwarnadwipa pasti akan mencurigai kedatangan mereka,” khawatir pejabat istana padanya.Raja Dawuh pun terdiam sesaat kemudian dia memandangi pejabat istana dengan lekat. “Sepertinya saya harus mengunjungi Raja Dawuh di kerajaan Nusantara Timur,” ucapnya.Pejabat istana terkejut. “Untuk apa yang mulia?”“Saya tida
Bimantara dan Panglima Adhira masih menunggu prajurit itu memeriksa jalanan di hadapan. Prajurit itu tidak menemukan ranjau apapun di hadapan mereka. Bimantara bingung. Dia mengelus kudanya dengan pelan.“Ada apa? Kenapa kau tidak ingin lagi mengantarku?” tanya Bimantara pada kudanya.Kuda itu diam saja. Bimantara menggerak-gerakkan talinya, namun kuda itu tetap diam dan tidak mau berjalan. Bimantara dan yang lain tampak heran.“Mungkin dia tidak ingin pergi meninggalkan tuannya,” tebak Panglima Adhira.“Ini pasti bukan karena itu. Ini pasti karena hal buruk terjadi,” jawab Bimantara.Tak lama kemudian mereka melihat pasukan berkuda datang ke arah mereka.“Apa karena kedatangan pasukan itu kudamu mendadak berhenti?” tanya Panglima Adhira.Bimantara tidak mejawab pertanyaan Panglima Adhira. Dia malah terus saja menatap kehadapan. Sesampainya pasukan berkuda itu ke arah mereka, pasukan itu tampak tidak peduli dan terus saja melintasi mereka.Panglima Adhira semakin bingung. Tak lama kem
Bimantara tampak berpikir keras ketika Elang itu menunjukkan tempat yang ternyata tempat itu adalah milik Datuk Margi. Dia heran kenapa Kakek Kepala Perguruan Elang Putih mengirimkannya ke tempat itu. Saruang yang kini berdiri di samping Datuk Margi pun tampak mulai ketakutan. Dia juga khawatir pemuda itu akan menuntut balas atas kejahatan yang mereka lakukan. Dia pun berbisik pada Datuk.“Jangan-jangan dia menemui kita ke sini untuk membalas dendam, Tuk,” bisik Saruang.Datuk Margi mengernyit takut mendengar itu. Dia pun menatap Bimantara dengan heran.“Apa kau sengaja mencariku untuk balas dendam?” tanya Datuk Margi heran. “Perlu kau ketahui bahwa aku terpaksa menjebloskanmu ke penjara karena aku curiga kau punya maksud untuk menghancurkan kerajaan Suwarnadwipa.” Datuk Margi sengaja berbohong agar Bimantara tidak marah padanya.“Aku ke sini bukan untuk itu,” jawab Bimantara.Datuk Margi dan Saruang saling menatap tak percaya.“Kalau bukan untuk itu, bagaimana caranya kau bisa sampai
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it