“Siapa kalian dan kenapa kalian berada di wilayahku ini?” tanya lelaki itu.“Kami ke sini untuk mencari bunga raksasa merah untuk obat tuang guru teman saya ini yang sedang sekarat,” jawab Seruni.Lelaki itu mengernyit.“Bunga raksasa merah adalah bunga langka! Bunga itu tidak diperbolehkan untuk diambil dan dibawa dari sini!” tegas lelaki itu.“Tapi hanya bunga itu yang bisa menyembuhkan tuan guruku,” ucap Bimantara sambil menurunkan pedang perak cahaya merahnya. “Kami tak akan merusaknya, kami hanya meminta sedikit saja dari bagian bunga itu.”“Meski sedikit itu akan merusak bunga itu!” tegas pendekar itu.Tak lama kemudian pendekar itu bersiul. Tak lama kemudian muncul pendekar lainnya berdatangan melompati pohon demi pohon hingga mendarat di belakang pendekar itu.Bimantara dan Seruni tampak terkejut melihatnya.“Pergi dari sini atau terpaksa kami akan membunuh kalian berdua!” ancam pendekar itu.“Aku tahu bunga raksasa merah itu adalah bunga langka. Tapi bukan kah tetumbuhan yang
Bimantara dan Seruni tiba di hadapan rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratap jerami. Rumah itu tepat di pinggir lereng lembah yang di bawah sana terdapat air terjun yang mereka lihat sewaktu di atas pohon tadi. Pendekar itu meminta mereka naik ke atas rumah itu dan meminta pengikutnya untuk menyiapkan jamuan untuk mereka. Bimantara dan Seruni pun menaiki tangga rumah kayu itu.Saat mereka tiba di dalam rumah itu, mereka duduk saling menghadap. Kini wajah pendekar itu tampak ramah dan tidak tegang penuh amarah seperti sebelumnya.“Benarkah kalian dari Nusantara?” tanya pendekar itu memastikan.“Saya yang datang dari Nusantara,” jawab Bimantara. “Sementara teman saya ini berasal dari sini.”Pendekar itu angguk-angguk.“Apakah pihak kerajaan melarang untuk mengambil apapun di dalam hutan ini?” tanya Bimantara penasaran.“Yang Mulia Ratu memintaku untuk menjaga hutan ini dan melarang siapapun untuk mengambil apapun di dalam hutan ini,” jawab Pendekar itu. “Namun karena Elang itu
“Tidak kah ini akan membuat hubungan kerajaan Nusantara Tengah dan Kerajaan Suwarnadwipa akan memburuk? Mungkin dua kerajaan Nusantara lain akan ikut campur jika sikap yang mulia ratu seperti ini?” ucap Panglima Adhira tampak kecewa kepada Sang Ratu.Ratu Mantili semakin geram mendengarnya.“Tangkap mereka semua dan masukkan ke penjara!” teriak Sang Ratu penuh amarah.Panglima Adhira pun menatap para prajuritnya yang tengah terkepung di hadapan singgasana ratu Mantili itu. Dia memberikan kode agar melakukan perlawanan. Tidak ada kata pasrah bagi seorang prajurit. Jika memang terdesak, cara satu-satunya adalah melawan. Meskipun kalah, itulah yang seharusnya dilakukan seorang prajurit.Saat Panglima dari kerajaan Suwarnadwipa dan prajuritnya itu hendak menangkap Panglima Adhira dan para prajuritnya, Panglima Adhira langsung melawan mereka bersama prajuritnya. Di hadapan singgasana ratu Mantili itu kini telah terjadi pertarungan. Para pejabat istana berdiri lalu menghidar dari pertarunga
Dahayu sedang berdiri menunggu Welas di atas batu karang pinggir pantai. Welas datang dengan heran.“Kenapa kau memanggilku ke sini, Dahayu?” tanya Welas.Dahayu menoleh padanya lalu mendekatinya.“Ada yang ingin aku bicarakan padamu,” jawab Dahayu.“Soal Sanum? Bukan kah semua sudah selesai dan semua sudah tahu kalau Sanum mendapatkan kutukan dari leluhur karena berbuat jahat padamu?” tanya Welas penasaran.“Iya, tapi bukan soal itu yang ingin aku bahas padamu, tapi soal rahasia itu,” jawab Dahayu.“Rahasia soal peri itu?” tanya Welas menebak.Dahayu mengangguk. Welas tersenyum.“Kau tenang saja. Aku akan tetap merahasiakannya. Aku jamin tak satupun yang akan tahu soal itu,” ucap Welas.Dahayu lega mendengarnya.“Aku khawatir itu akan digunakan orang untuk menyakitiku. Bagaimana pun juga aku tidak mau kembali ke alam peri lagi. Aku ingin menetap di dunia ini, Welas. Inilah hidupku.”“Kau jangan khawatirkan itu. Aku berada di pihakmu,” ucap Welas.“Terima kasih,” ucap Dahayu. Kini sen
Bimantara dan Seruni tengah mengitari hutan gimbo. Mereka mencari keberadaan bunga raksasa merah di dalam hutan itu. Langkah Seruni terhenti. Dia menoleh pada Bimantara yang sedang mengedarkan padangannya pada sekitar hutan dengan berdiri tegak bersama tongkatnya. “Kita sudah mencarinya di mana-mana, kenapa kita tidak menemukannya?” tanya Seruni dengan pesimis. “Kita cari di tempat lain saja,” pinta Bimantara. Seruni mengangguk. Mereka pun kembali berjalan menelusuri hutan itu. Tak lama kemudian elang putih terbang di atas mereka. Bimantara yang melihatnya tampak heran. Dia berhenti melangkah dan menatap ke atas sana. “Lihat elang itu datang lagi,” ucap Bimantara pada Seruni. Seruni mendongak. Dia pun heran melihat elang putih itu berputar-putar di atas kepala mereka. “Hei! Ada yang ingin kau beri tahu kepada kami kah?” tanya Seruni tiba-tiba. Tak lama kemudian elang itu menjatuhkan bagian bunga raksasa merah ke hadapan Bimantara. Bimantara meraih benda itu lalu menatapnya. Dia
Bimantara mengambang di hadapan pimpinan Pendekar penjaga hutan dengan mengangkat pedang cahaya peraknya. Seruni sedang dipegangi pasukannya. Tubuhnya dikunci hingga gadis itu tidak dapat meloloskan diri.“Lepaskan gadis itu,” ancam Bimantara.“Aku tidak akan melepaskannya sebelum aku berhasil menangkapmu dan membawamu ke istana!” tegas pendekar itu sambil mengangkat kerisnya.“Kenapa kau menyebut aku sebagai musuh utama yang mulia ratumu?” tanya Bimantara heran.“Pihak istana sudah mengirimkan surat padaku melalui merpati. Merpati itu membawa lukisan yang mirip dengan wajahmu,” jawab pimpinan pendekar itu dengan geram. “Yang mulia ratu menyebutmu dengan Candaka Uddhiharta. Kau musuh utama kerajaan Suwarnadwipa!”“Aku tidak melakukan kejahatan apa-apa! Aku bukan Candaka Uddhiharta seperti yang diramalkan para peramal istana! Yang mulia ratumu telah salah sasaran!” tegas Bimantara.“Aku tidak peduli! Musuh kerajaan juga musuhku juga!” teriak pimpinan pendekar itu lalu mengarahkan keris
Bimantara terus saja membawa Seruni terbang dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lainnya. Setangkai besar bunga raksasa merah itu masih di tangannya. Kaki cahaya naganya menyala sangat terang. Elang putih mengawasinya dari atas langit. Sepertinya elang putih itu berada di pihak Bimantara.Sementara pimpinan pendekar dan pasukannya masih berlarian di dalam hutan mengejar Bimantara dengan cepat. Mata mereka begitu awas menatap ke atas mengikuti pergerakan Bimantara di atas sana.Saat Bimantara hendak melompat ke pucuk pohon lainnya, tiba-tiba tombak mengarah padanya lalu mengenai setangkai bunga raksasa merahnya. Hingga bunga itu terjatuh ke bawah. Bimantara dan Seruni terkejut melihatnya.“Bunganya terjatuh Bimantara!” teriak Seruni panik.Bimantara pun langsung meletakkan Seruni di atas pohon itu lalu dengan cepat turun ke bawah dengan jurus meringankan tubuhnya mengejar setangkai bunga yang masih terjatuh ke bawah. Namun tangannya tidak dapat meraih setangkai bunga raksasa merah itu,
Bimantara segera meraih pedang perak cahaya merahnya, saat dia berhasil meraih pedang itu, Pendekar Buruk Rupa langsung menggunakan ajiannya untuk melelehkan pedang itu. Tak lama kemudian angin puting beliun berdatangangan mengangkat tubuh para pendekar penjaga hutan dan ketiga pendekar pengikut pendekar Buruk Rupa Itu. Mereka dibawa angin puting beliung memutar ke atas langit. Teriakan mereka terdengar jauh. “Tolong! Tolong!” teriak Tama, Salwa dan Darsa tak berdaya. Pendekar Buruk Rupa terkejut melihatnya. Dia terus saja membacakan ajiannya agar pedang perak cahaya merah di tangan Bimantara itu meleleh. Sementara Bimantara menahan pedangnya dengan sekuat tenaga agar tidak terlepas dari tangannya. Panglima Adhira dan para prajuritnya tampak menatap Bimantara dan Pendekar Buruk Rupa yang tengah beradu kekuatan itu. Tubuh Pendekar Buruk Rupa tampak semakin lemah. Kekuatannya mulai menitip. Ajian itu ternyata tidak mempan untuk melelehkan pedang di tangan Bimantara. “Pedang apa itu?