Bimantara dan Seruni tiba di sebuah perkampungan. Mereka mengawasi sekitar, khawatir para prajurit istana berjaga di sana untuk mencari Bimantara. Setelah mereka tidak mendapati para prajurit di sana, Seruni mengajak Bimantara untuk pergi ke sebuah rumah. Rumah sederhana itu adalah rumah adik neneknya. Seruni mengetuk pintu rumah itu.“Kek! Kakek!” teriak Seruni.Tak lama kemudian pintu rumah itu terbuka. Kakek itu terbelalak melihat kedatangan Seruni bersama seorang lelaki muda.“Seruni?!” panggil kakek itu tak percaya. “Ada apa gerangan kau ke sini sampai sejauh ini?”“Aku ceritakan di dalam saja, Kek,” jawab Seruni.Kakek itu pun menatap Bimantara dengan heran. Bimantara tersenyum padanya.“Dia temanku kek, namanya Bimantara,” jawab Seruni.Kakek itu mengangguk lalu meminta mereka untuk masuk. Saat semua sudah berada di dalam sana, mereka duduk bersila saling menghadap. Seruni menceritakan semuanya kenapa dia sampai ke sana membawa Bimantara. Kakek itu angguk-angguk saja.“Kau mema
Subuh-subuh itu kakek membangunkan Bimantara dengan Seruni. Di luar sana sudah terdengar suara kuda. Bimantara dan Seruni terbangun dengan terkejut.“Kalian harus cepat-cepat pergi sebelum matahari datang,” pinta kakek itu.Bimantara dan Seruni saling menatap. Mereka heran, sepertinya kakek itu sudah mengetahui kalau Bimantara sedang dicari-cari para prajurit kerajaan.“Kudanya bagaimana kek?” tanya Seruni.“Kudanya sudah ada di depan rumah,” jawab Kakek itu.Bimantara terkejut mendengarnya.“Berapa haraganya kek? Ini saya memiliki koin emas yang lumayan,” jawab Bimantara sambil mengeluarkan kantong kain berisi koin emas.“Tidak usah! Kudanya kalian bawa saja,” pinta kakek itu.“Tapi...”“Pergilah sekarang juga!” sela kakek itu.Bimantara dan Seruni pun mengangguk. Mereka pun pamit lalu pergi keluar. Di depan rumah sudah terlihat dua kuda yang gagah. Bimantara dan Seruni menaiki kuda itu sambil menatap ke arah kakek yang tampak sedih akan ditinggalkan Seruni, padahal dia masih rindu d
Kepala Perguruan dan Panglima Sada mendatangi Sanum yang tengah diurus oleh Tabib Perguruan di Dermaga. Para murid-murid tampak mengerumuninya. Para murid langsung memberi jalan ketika Kepala Perguruan datang. Kepala Perguruan tampak tercengang melihat tanda hitam di kening Sanum.“Dia tidak bisa kita selamatkan lagi,” ucap Tabib Perguruan.Kepala Perguruan terkejut mendengar itu. Pangeran Sakai, Kancil, Rajo, Wira dan Welas tampak terkejut mendengarnya. Welas tampak paling sedih mendengar itu.Kepala Perguruan memeriksa nadi di leher Sanum. Perempuan itu sudah tidak lagi bernyawa.“Melihat tanda di keningnya sepertinya dia telah melanggar aturan para leluhur. Dia mendapatkan kutukan dari leluhur,” ucap Kepala Perguruan.Semua terkejut mendengar itu.“Apakah dia mengembara bersama Dahayu?” tanya Panglima Sada memastikan.“Iya, dia mengembara bersama Dahayu,” jawab Kepala Perguruan.Panglima Sada tampak terkejut mendengarnya.“Apa yang dia lakukan hingga mendapatkan kutukan dari para l
Kepala Perguruan tengah duduk menghadap Pendekar Rambut Emas di ruangannya. Dia adalah guru utama Sanum dan Dahayu selama ini.“Apakah kau tidak melihat tanda-tanda mencurigakan pada Sanum selama ini?” tanya Kepala Perguruan dengan heran.“Tidak Tuan Guru Besar,” jawab Pendekar Rambut Emas. “Selama ini aku melihat dia baik-baik saja, kepada Dahayu pun aku tidak pernah melihatnya kesal dan marah.”Kepala Perguruan tampak berpikir.“Apa mungkin karena sebuah kecemburuan?” tanya Kepala Perguruan curiga.“Aku juga tidak melihat kecemburuan itu pada Sanum terhadap Dahayu,” jawab Pendekar itu.Kepala Perguruan tampak berpikir lagi.“Aku curiga ada sesuatu yang besar antara Dahayu dan Sanum,” ujar Kepala Perguruan.Pendekar Rambut Emas pun tampak berpikir. Dia baru ingat pernah sekali melihat Sanum tampak tersenyum sendiri ketika mengintip Pangeran Sakai tengah berlatih bela diri. Pendekar itu pun menatap Kepala Perguruan.“Aku baru ingat, waktu itu aku pernah tak sengaja melihat Sanum mengi
Pendekar Buruk Rupa masih dalam perjalanan dengan kuda bersama ketiga pengikutnya. Saat mereka sudah tiba di dekat perkampungan, Darsa menghentikan kudanya. Pendekar Buruk Rupa dan yang lain pun menghentikan kuda masing-masing. “Sepertinya kita tak perlu memasuki perkampungan itu,” pinta Darsa. Pendekar Buruk Rupa tampak heran. “Kenapa?” tanyanya heran. “Candaka Uddhiharta sudah terlalu jauh dari sini! Percuma juga jika kita harus membuat keonaran di sana,” jawab Darsa. Pendekar Buruk Rupa terdiam. “Benar, Tuan Pendekar! Saya setuju pendapat Darsa,” sahut Tama. “Perutku sedang lapar, jika kita meminta makanan pada mereka, aku rasa itu lebih baik. Asal jangan membuat keonaran, kecuali mereka mengusir kita dan berusaha melawan kita, baru kita bertindak,” pinta Pendekar Buruk Rupa. Darsa, Tama dan Salwa saling menatap bingung. “Tapi bukankah Tuan Pendekar ingin kita segera menemukan Candaka Uddhiharta?” “Kau bisa menerawang Darsa,” jawab Pendekar Buruk Rupa. “Kita tak akan kehil
Harimau-harimau itu tampak mengeram di hadapan Bimantara. Sekawanan srigala di belakang harimau tampak melolong di terik siang itu. Pedang Perak Cahaya merah masih terangkat di genggaman tangan Bimantara.“Maaf, jika saya datang tanpa permisi memasuki hutan ini,” ucap Bimantara sambil menatap harimau paling besar di hadapannya. “Saya dan teman saya memasuki hutan ini bukan untuk mengacau, tapi kami hendak mencari obat untuk tuan guruku yang tengah sekarat. Izinkan kami mencari bunga raksasa merah, kami tak akan merusak hutan ini dan tak akan mengganggu kalian semuanya,” pinta Bimantara.Harimau itu bersuara memekakkan telinga. Bimantara sedikit gemetar melihatnya. Sementara Seruni di atas pohon tampak was-was dan khawatir melihatnya.“Bunga itu keberadaannya hanya di sini, tidak ada di hutan lainnya, izinkahlah kami mencarinya,” pinta Bimantara sekali lagi.Harimau itu kembali bersuara. Dia seperti tidak merestui permintaan Bimantara. Tak lama kemudian Harimau itu langsung menyerang
“Siapa kalian dan kenapa kalian berada di wilayahku ini?” tanya lelaki itu.“Kami ke sini untuk mencari bunga raksasa merah untuk obat tuang guru teman saya ini yang sedang sekarat,” jawab Seruni.Lelaki itu mengernyit.“Bunga raksasa merah adalah bunga langka! Bunga itu tidak diperbolehkan untuk diambil dan dibawa dari sini!” tegas lelaki itu.“Tapi hanya bunga itu yang bisa menyembuhkan tuan guruku,” ucap Bimantara sambil menurunkan pedang perak cahaya merahnya. “Kami tak akan merusaknya, kami hanya meminta sedikit saja dari bagian bunga itu.”“Meski sedikit itu akan merusak bunga itu!” tegas pendekar itu.Tak lama kemudian pendekar itu bersiul. Tak lama kemudian muncul pendekar lainnya berdatangan melompati pohon demi pohon hingga mendarat di belakang pendekar itu.Bimantara dan Seruni tampak terkejut melihatnya.“Pergi dari sini atau terpaksa kami akan membunuh kalian berdua!” ancam pendekar itu.“Aku tahu bunga raksasa merah itu adalah bunga langka. Tapi bukan kah tetumbuhan yang
Bimantara dan Seruni tiba di hadapan rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratap jerami. Rumah itu tepat di pinggir lereng lembah yang di bawah sana terdapat air terjun yang mereka lihat sewaktu di atas pohon tadi. Pendekar itu meminta mereka naik ke atas rumah itu dan meminta pengikutnya untuk menyiapkan jamuan untuk mereka. Bimantara dan Seruni pun menaiki tangga rumah kayu itu.Saat mereka tiba di dalam rumah itu, mereka duduk saling menghadap. Kini wajah pendekar itu tampak ramah dan tidak tegang penuh amarah seperti sebelumnya.“Benarkah kalian dari Nusantara?” tanya pendekar itu memastikan.“Saya yang datang dari Nusantara,” jawab Bimantara. “Sementara teman saya ini berasal dari sini.”Pendekar itu angguk-angguk.“Apakah pihak kerajaan melarang untuk mengambil apapun di dalam hutan ini?” tanya Bimantara penasaran.“Yang Mulia Ratu memintaku untuk menjaga hutan ini dan melarang siapapun untuk mengambil apapun di dalam hutan ini,” jawab Pendekar itu. “Namun karena Elang itu