Bimantara melawan sekuat tenaga aliran cahaya yang disalurkan oleh sukma Pendekar Pedang Emas. Tak lama kemudian Bimantara berteriak sekecangnya hingga dia mendorong aliran cahaya itu dan tiba-tiba sukma Pendekar Pedang Emas menghilang darinya, sementara Bimantara ambruk ke atas tanah.Seruni panik melihatnya.“Bimantara!” teriak Seruni.Seruni mencoba membantu Bimantara untuk duduk kembali. Saat Bimantara sudah duduk. Seruni mentapnya dengan khawatir.“Apa yang terjadi, Bimantara?” tanya Seruni.“Tuan Guruku yang sekarang tengah sekarat hendak mengalirkan semua ilmunya padaku,” jawab Bimantara. “Jika itu aku lakukan, maka Tuan Guruku akan mati dan percuma aku melakukan pengembaraan sejauh ini.”Seruni terkejut mendengarnya.“Jadi yang kau panggil Tuan Guru tadi adalah sukma Tuan Guru besarmu?” tanya Seruni memastikan.Bimantara mengangguk. Seruni tampak terdiam bingung.“Kita lanjutkan saja perjalanan,” pinta Bimantara.“Tapi tenagamu belum pulih,” ujar Seruni khawatir.“Kita istirah
Bimantara dan Seruni tiba di sebuah perkampungan. Mereka mengawasi sekitar, khawatir para prajurit istana berjaga di sana untuk mencari Bimantara. Setelah mereka tidak mendapati para prajurit di sana, Seruni mengajak Bimantara untuk pergi ke sebuah rumah. Rumah sederhana itu adalah rumah adik neneknya. Seruni mengetuk pintu rumah itu.“Kek! Kakek!” teriak Seruni.Tak lama kemudian pintu rumah itu terbuka. Kakek itu terbelalak melihat kedatangan Seruni bersama seorang lelaki muda.“Seruni?!” panggil kakek itu tak percaya. “Ada apa gerangan kau ke sini sampai sejauh ini?”“Aku ceritakan di dalam saja, Kek,” jawab Seruni.Kakek itu pun menatap Bimantara dengan heran. Bimantara tersenyum padanya.“Dia temanku kek, namanya Bimantara,” jawab Seruni.Kakek itu mengangguk lalu meminta mereka untuk masuk. Saat semua sudah berada di dalam sana, mereka duduk bersila saling menghadap. Seruni menceritakan semuanya kenapa dia sampai ke sana membawa Bimantara. Kakek itu angguk-angguk saja.“Kau mema
Subuh-subuh itu kakek membangunkan Bimantara dengan Seruni. Di luar sana sudah terdengar suara kuda. Bimantara dan Seruni terbangun dengan terkejut.“Kalian harus cepat-cepat pergi sebelum matahari datang,” pinta kakek itu.Bimantara dan Seruni saling menatap. Mereka heran, sepertinya kakek itu sudah mengetahui kalau Bimantara sedang dicari-cari para prajurit kerajaan.“Kudanya bagaimana kek?” tanya Seruni.“Kudanya sudah ada di depan rumah,” jawab Kakek itu.Bimantara terkejut mendengarnya.“Berapa haraganya kek? Ini saya memiliki koin emas yang lumayan,” jawab Bimantara sambil mengeluarkan kantong kain berisi koin emas.“Tidak usah! Kudanya kalian bawa saja,” pinta kakek itu.“Tapi...”“Pergilah sekarang juga!” sela kakek itu.Bimantara dan Seruni pun mengangguk. Mereka pun pamit lalu pergi keluar. Di depan rumah sudah terlihat dua kuda yang gagah. Bimantara dan Seruni menaiki kuda itu sambil menatap ke arah kakek yang tampak sedih akan ditinggalkan Seruni, padahal dia masih rindu d
Kepala Perguruan dan Panglima Sada mendatangi Sanum yang tengah diurus oleh Tabib Perguruan di Dermaga. Para murid-murid tampak mengerumuninya. Para murid langsung memberi jalan ketika Kepala Perguruan datang. Kepala Perguruan tampak tercengang melihat tanda hitam di kening Sanum.“Dia tidak bisa kita selamatkan lagi,” ucap Tabib Perguruan.Kepala Perguruan terkejut mendengar itu. Pangeran Sakai, Kancil, Rajo, Wira dan Welas tampak terkejut mendengarnya. Welas tampak paling sedih mendengar itu.Kepala Perguruan memeriksa nadi di leher Sanum. Perempuan itu sudah tidak lagi bernyawa.“Melihat tanda di keningnya sepertinya dia telah melanggar aturan para leluhur. Dia mendapatkan kutukan dari leluhur,” ucap Kepala Perguruan.Semua terkejut mendengar itu.“Apakah dia mengembara bersama Dahayu?” tanya Panglima Sada memastikan.“Iya, dia mengembara bersama Dahayu,” jawab Kepala Perguruan.Panglima Sada tampak terkejut mendengarnya.“Apa yang dia lakukan hingga mendapatkan kutukan dari para l
Kepala Perguruan tengah duduk menghadap Pendekar Rambut Emas di ruangannya. Dia adalah guru utama Sanum dan Dahayu selama ini.“Apakah kau tidak melihat tanda-tanda mencurigakan pada Sanum selama ini?” tanya Kepala Perguruan dengan heran.“Tidak Tuan Guru Besar,” jawab Pendekar Rambut Emas. “Selama ini aku melihat dia baik-baik saja, kepada Dahayu pun aku tidak pernah melihatnya kesal dan marah.”Kepala Perguruan tampak berpikir.“Apa mungkin karena sebuah kecemburuan?” tanya Kepala Perguruan curiga.“Aku juga tidak melihat kecemburuan itu pada Sanum terhadap Dahayu,” jawab Pendekar itu.Kepala Perguruan tampak berpikir lagi.“Aku curiga ada sesuatu yang besar antara Dahayu dan Sanum,” ujar Kepala Perguruan.Pendekar Rambut Emas pun tampak berpikir. Dia baru ingat pernah sekali melihat Sanum tampak tersenyum sendiri ketika mengintip Pangeran Sakai tengah berlatih bela diri. Pendekar itu pun menatap Kepala Perguruan.“Aku baru ingat, waktu itu aku pernah tak sengaja melihat Sanum mengi
Pendekar Buruk Rupa masih dalam perjalanan dengan kuda bersama ketiga pengikutnya. Saat mereka sudah tiba di dekat perkampungan, Darsa menghentikan kudanya. Pendekar Buruk Rupa dan yang lain pun menghentikan kuda masing-masing. “Sepertinya kita tak perlu memasuki perkampungan itu,” pinta Darsa. Pendekar Buruk Rupa tampak heran. “Kenapa?” tanyanya heran. “Candaka Uddhiharta sudah terlalu jauh dari sini! Percuma juga jika kita harus membuat keonaran di sana,” jawab Darsa. Pendekar Buruk Rupa terdiam. “Benar, Tuan Pendekar! Saya setuju pendapat Darsa,” sahut Tama. “Perutku sedang lapar, jika kita meminta makanan pada mereka, aku rasa itu lebih baik. Asal jangan membuat keonaran, kecuali mereka mengusir kita dan berusaha melawan kita, baru kita bertindak,” pinta Pendekar Buruk Rupa. Darsa, Tama dan Salwa saling menatap bingung. “Tapi bukankah Tuan Pendekar ingin kita segera menemukan Candaka Uddhiharta?” “Kau bisa menerawang Darsa,” jawab Pendekar Buruk Rupa. “Kita tak akan kehil
Harimau-harimau itu tampak mengeram di hadapan Bimantara. Sekawanan srigala di belakang harimau tampak melolong di terik siang itu. Pedang Perak Cahaya merah masih terangkat di genggaman tangan Bimantara.“Maaf, jika saya datang tanpa permisi memasuki hutan ini,” ucap Bimantara sambil menatap harimau paling besar di hadapannya. “Saya dan teman saya memasuki hutan ini bukan untuk mengacau, tapi kami hendak mencari obat untuk tuan guruku yang tengah sekarat. Izinkan kami mencari bunga raksasa merah, kami tak akan merusak hutan ini dan tak akan mengganggu kalian semuanya,” pinta Bimantara.Harimau itu bersuara memekakkan telinga. Bimantara sedikit gemetar melihatnya. Sementara Seruni di atas pohon tampak was-was dan khawatir melihatnya.“Bunga itu keberadaannya hanya di sini, tidak ada di hutan lainnya, izinkahlah kami mencarinya,” pinta Bimantara sekali lagi.Harimau itu kembali bersuara. Dia seperti tidak merestui permintaan Bimantara. Tak lama kemudian Harimau itu langsung menyerang
“Siapa kalian dan kenapa kalian berada di wilayahku ini?” tanya lelaki itu.“Kami ke sini untuk mencari bunga raksasa merah untuk obat tuang guru teman saya ini yang sedang sekarat,” jawab Seruni.Lelaki itu mengernyit.“Bunga raksasa merah adalah bunga langka! Bunga itu tidak diperbolehkan untuk diambil dan dibawa dari sini!” tegas lelaki itu.“Tapi hanya bunga itu yang bisa menyembuhkan tuan guruku,” ucap Bimantara sambil menurunkan pedang perak cahaya merahnya. “Kami tak akan merusaknya, kami hanya meminta sedikit saja dari bagian bunga itu.”“Meski sedikit itu akan merusak bunga itu!” tegas pendekar itu.Tak lama kemudian pendekar itu bersiul. Tak lama kemudian muncul pendekar lainnya berdatangan melompati pohon demi pohon hingga mendarat di belakang pendekar itu.Bimantara dan Seruni tampak terkejut melihatnya.“Pergi dari sini atau terpaksa kami akan membunuh kalian berdua!” ancam pendekar itu.“Aku tahu bunga raksasa merah itu adalah bunga langka. Tapi bukan kah tetumbuhan yang
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it