Home / Romansa / Bidadari Pembawa Luka / 4. Seperti Pisau yang Menusuk

Share

4. Seperti Pisau yang Menusuk

“Alysa tidak cemburu padamu, Maha. Sebenarnya saya tidak mau melakukan poligami, tapi karena kondisi kami berdua yang belum memiliki keturunan membuat Alysa meminta saya untuk menikah lagi agar saya mendapatkan keturunan, dan dia langsung memilih kamu,” ungkap Zayn menjelaskan.

“Jadi alasan Pak Zayn dan Mbak Alysa hanya karena ingin memiliki anak?” Maha sedikit terkejut dengan jawaban pria itu.

“Iya. Tapi, apa yang Alysa usulkan awalnya saya menolak dengan tegas, saya sampaikan padanya kalau anak bukan jadi masalah di rumah tangga kami. Rezeki di dalam rumah tangga bukan hanya masalah anak saja, kebahagiaan dan ketenangan justru rezeki yang paling indah di dalam rumah tangga. Tapi, Alysa bersikeras meminta saya untuk menikah lagi, dia pun ingin menimang bayi, dan dia memberi usul kalau kamu akan jadi adik madunya. Jika kamu tidak percaya padaku, nanti saat kita bertemu lagi, Alysa akan menjelaskannya padamu,” balas Zayn.

“Kalau memang Bapak dan Mbak Alysa ingin punya anak kenapa tidak adopsi saja? Masih banyak pilihan lain selain Bapak harus menikah lagi.”

“Saya sudah memberi saran seperti itu pada Alysa. Tapi dia menolak dengan tegas, saya pun sudah membujuknya agar mengurungkan niatnya itu karena dari awal kami menikah pun, saya tidak ada niat ingin menduakan Alysa atau pun berbagi hati dengan wanita lain, saya tidak mau melukai hati yang berharga. Sebab, saya tahu bagaimana cara mencuri seorang wanita itu bisa membuat wanita patah hati dan terluka.”

“Jika Bapak tidak mau melukai hati Mbak Alysa, seharusnya Pak Zayn bisa meyakinkan Mbak Alysa untuk percaya bahwa masalah anak tidak membuat perasaan cinta Bapak dia berkurang, seharusnya Bapak bisa membuat Mbak Alysa tenang dan percaya jika memang sudah takdir dan rezekinya, nanti rumah tangga kalian berdua pasti diberkahi oleh hadirnya buah hati.”

“Saya sudah berusaha dan meyakinkan Alysa, tapi dia sangat keras kepala. Saat say menolak sekian kali, pasti Alysa jatuh sakit, dia menangis karena aku menolak permintaannya,” balas Zayn. Pria itu tersenyum getir, “lalu, bagaimana saya bisa membuatnya kecewa dan sakit? Saya tidak dapat menatap matanya yang kecewa, saya ingin dia bahagia.”

“Pak Zayn harus terus meyakinkan Mbak Alysa lebih lagi dengan cara yang lembut, saya yakin kalau saat ini hati Mbak Alysa sedang bimbang karena rumah tangganya dengan Bapak belum dikaruniai anak. Mbak Alysa pasti tidak sadar untuk mengusulkan Bapak untuk menikah lagi,” ucap Maha.

Wanita itu mengembuskan napas pendek, dia semakin tidak nyaman terlalu lama berbicara dengan Zayn. “Mungkin obrolan kita sudah cukup sampai di sini saja, Pak. Saya minta maaf karena menolak permintaan Bapak dan juga Mbak Alysa, saya memang tidak mau jadi yang kedua, dan belum berencana menikah dalam waktu dekat ini karena mau fokus dengan kesembuhan ibu saya. Saya juga memohon pada Pak Zayn maupun Mbak Alysa untuk tidak datang ke rumah saya dan bicara sama ibu saya karena hal itu akan sia-sia. Ibu saya pasti akan menolaknya juga. Saya pamit duluan, terima kasih untuk traktiran sarapan paginya, Assalamualaikum …” Maha langsung beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Zayn seorang diri.

Setelah Maha menghilang dari tatapan mata Zayn, pria itu menghela napas berat, dan mengusap wajahnya dengan kasar. “ Astaghfirullah … Zayn! Kenapa kamu seperti pria tak tahu diri! Kenapa juga kamu harus menuruti ide gila dari Alysa!” rutuknya pada diri sendiri. Namun di sisi lain, hatinya memang berdesir melihat Maha. Entah darimana asalnya, saat melihat maha ke kantor memakai jilbab dan menutup auratnya, diam-diam dirinya tanpa sengaja memperhatikan wanita itu. Zayn selalu tersenyum mengingat Maha yang tersenyum cerah padanya. seharusnya perasaan itu tidak bisa terjadi karena itu salah. Tapi, di saat hatinya yang mulai bingung itu datang, tiba-tiba Alysa meminta dirinya untuk menikah lagi, dan hal yang membuat Zayn tambah kaget adalah Alysa telah memilih Maha sebagai adik madu istrinya itu. Permohonan dari Alysa ini bukanlah sekali, dua kali... Alysa sudah memberi kode padanya beberapa bulan terakhir ini dan juga istrinya itu seperti sengaja membicarakan Maha dipembicaraan keduanya, bahkan Alysa sangat terang-terangan memuji kecantikan Maha dan para wanita cantik itu.

Alysa seperti sengaja bercerita tentang keindahan sosok Maha, Alysa seperti ingin menariknya ke dalam pesona wanita itu. Maha memang sangat cantik, dia memang harus mengakuinya. Banyak pria yang memang terpesona oleh kecantikan wanita itu, mungkin salah satunya adalah dirinya sendiri. Zayn gusar, dia merasa dirinya pria yang tidak tahu diri! Seharusnya dia sadar karena Alysa saja sudah cukup hidup. Namun, memikirkan permintaan Alysa, pikirannya saat ini agak membingungkan.

'Kenapa Alysa hanya mengizinkan Maha untuk jadi adik madunya? Apa Alysa tahu isi hatiku saat ini? Apa dia tahu kalau aku mulai menyukai Maha dan diam-diam memperhatikannya?’ tanya Zayn dalam hati. ***

Maha tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia melihat jam di dingding kamarnya menunjukan pukul empat dini hari. Wanita itu menghela napas panjang, dan melipat mukena dan sajadah. Dia tidak mengantuk lagi, maka dia memutuskan untuk membuat kopi panas agar suasana hatinya lebih tenang. Baru saja dia menutup pintu kamarnya, Maha terkejut melihat ibunya yang sedang duduk di ruang tengah.

“Bu, kenapa belum tidur?” tanya Maha. Dia langsung duduk di sebelah Nia.

“Ibu sudah tidur dan habis sholat malam, mau tidur juga nanggung karena sebentar lagi mau masuk adzan subuh,” balas Nia . “Kamu tidak tidur, Nak?”

“Tidur kok, Bu. Maha pun sama habis sholat tahajud,” balas Mha. “Ibu mau dibuatin teh manis hangat?”

“Tidak usah, Nak,” jawab Nia.

Maha melamun sejenak, mendadak dia ingat permintaan Zayn tadi pagi, dan pagi ini mau tidak mau dia pasti bertemu Zayn karena mereka satu kantor dan dia adalah salah satu asisten pria itu. Bagaimana cara Maha untuk menghindari pria itu? Jujur Maha tidak ingin melihat Zayn untuk sementara waktu, wanita itu takut hatinya menjadi goyah.

“Kamu ada masalah, Nak?” tanya Nia.

Pertanyaan Nia membuyarkan lamunan Maha, wanita itu menggelengkan kepalanya. “Nggak, Bu. Maha hanya memikirkan pekerjaan yang belum selesai saja.”

“Kalau ada masalah apa-apa, kamu selalu cerita sama Ibu ya! Ibu ingin kamu berbagi hal apa saja pada Ibu, meski Ibu tidak bisa membantu masalah kamu, Ibu ingin kamu percaya sama Ibu. Di dunia ini, Ibu hanya punya kamu saja, Nak,” ucap Nia.

Maha mengangguk. “Maha pun begitu, Bu. Di dunia ini, satu-satunya yang bisa Maha andalkan hanya Ibu, dan satu-satunya yang mengerti Maha hanya Ibu. Di dunia ini, Maha hanya punya Ibu,” balasnya penuh haru.

Maha tentu saja tahu bagaimana pengorbanan ibunya. Dulu ayahnya sering sekali melakukan KDRT di depan matanya saat kecil, bahkan tak jarang ayahnya itu sering mabuk-mabukan dan selalu membawa wanita lain ke rumah. Sikap ayahnya yang kasar sampai saat ini masih menimbulkan trauma yang mendalam.

“Kamu harus berbahagia ya, Nak! Apapun keputusanmu kalau hal itu bisa membuat kamu bahagia, Ibu pasti akan mendukung dan mendoakanmu,” kata Nia.

“Doa Ibu adalah jimat yang paling ampuh, doa yang melesat sampai langit. Tanpa doa dari Ibu, Maha tidak bisa bahagia,” balas Maha. Dia terdiam untuk beberapa detik sebelum meminta pendapat pada Nia tentang masalahnya, “Bu, Maha mau minta saran dari Ibu” tambanhnya memulai bicara serius. “Tadi ada teman Maha yang cerita dan minta saran ke UlyaMaha tapi Maha tidak bisa memberinya saran karena takut salah, mungkin kalau Maha meminta saran dari Ibu bisa dijawab dengan bijak.”

“Memangnya teman kamu cerita apa?”

“Begini… tadi ada teman yang cerita kalau dia dilamar oleh pria yang selama ini diam-diam dia kagumi, tapi dia bimbang menerima lamaran pria itu,” balas Maha menerangkan.

“Kenapa temanmu bimbang? Bukan kah pria itu adalah pria yang dikaguminya?”

“Dia bimbang karena pria itu sudah menikah, dan teman Maha dilamar untuk dijadikan istri kedua,” jawab Maha.

“Istri pertamanya tidak ikhlas? Atau pria itu diam-diam ingin menikahi temanmu tanpa sepengetahuan istri pertamanya?”

Maha menggelengkan kepalanya. “Bukan itu alasannya, Bu. Istri pertamanya malah yang meminta pria itu untuk melamar temannya Maha, dan istrinya hanya merestui suaminya menikah dengan teman Maha.”

“Alasan pasangan suami istri itu apa? Kenapa si istri membiarkan suaminya untuk menikah lagi?”

“Alasannya karena pernikahan mereka yang sudah berjalan duabelas tahun belum dikaruniai anak,” jawab Maha.

“Oh, jadi temanmu itu dinikahkan agar bisa melahirkan keturunan?”

Maha mengangguk pelan. “Mungkin salah satunya begitu.”

Nia mengembuskan napas berat. “Kalau sudah tahu alasannya seperti itu, kenapa temanmu bimbang? Kalau tidak setuju, pasti temanmu tegas untuk menolaknya.”

“Maha juga tidak tahu, Bu. Mungkin namanya hati manusia tidak mudah ditebak, ibaratnya cinta yang dia rasakan seperti pisau yang menusuk hatinya perih,” jawab Maha pelan. “Kalau Ibu jadi orang tuanya teman Maha, bagaimana tanggapan Ibu?”

“Teman yang sedang kamu bicarakan itu hanya fiktif, kan?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status