Beranda / Romansa / Bidadari Pembawa Luka / 6. Hanya Ada Satu Matahari

Share

6. Hanya Ada Satu Matahari

Di langit hanya ada satu matahari, kan? Tidak mungkin 2 matahari ada di langit yang sama, jika ada itu mustahil.

***

"Mbak Alysa!" pekik Maha kaget. Wanita itu jelas terkejut melihat kedatangan Alysa ke ruangan kerjanya. Wanita yang masih terlihat sangat cantik itu tersenyum dan menghampiri dirinya. Ingatan tentang kemarin melintas di hatinya dan dia pun tampak kacau.

"Makan siang denganku, yuk!" ajak Alysa dengan senyum yang lembut.

"Tapi aku masih ada kerjaan yang belum selesai, Mbak. Mungkin belum bisa makan siang dengan Mbak Alysa," balas Maha menolak dengan halus. Dia hanya ingin menghindari wanita yang saat ini ada di depannya. Maha tidak mau membicarakan masalah yang Zayn sampaikan kemarin padanya.

"Pekerjaan yang belum selesai kan bisa nanti dikerjakan, Maha. Sekarang sudah waktunya jam makan siang. Jangan terlalu keras dengan pekerjaan! Tubuhmu pun butuh istirahat."

"Iya sih, Mbak. Tapi... "

"Pokoknya kamu harus mau ikut makan siang dengan Mbak, jangan menolak kalau nggak mau buat Mbak sedih!" ucap Alysa sengaja.

Maha mengangguk samar dan tersenyum tipis. Mau tidak mau dia memang tidak bisa menolak apa yang Alysa minta darinya. Alysa dan keluarganya lah yang selama ini membantu keluarganya, bahkan saat ayahnya meninggalkannya dan selalu bersikap kasar pada ibunya, keluarga Alysa lah yang membela dan melindungi dia dan ibunya. Jasa keluarga Alysa tidak bisa dilupakan. Jika bukan karena Alysa, mungkin saat ini dia sangat trauma dan ketakutan karena perlakuan ayahnya yang keji di masa lalu.

"Nah, begitu dong. Kita sudah lama kan nggak ngobrol bareng. Mbak juga ingin cerita banyak sama kamu," kata Alysa dengan senyum yang hangat.

"Makan siangnya tapi cuma kita berdua saja kan, Mbak?" tanya Maha hati-hati. Di detik berikutnya dia menyesal menanyakan hal yang bodoh pada Alysa.

"Sama Mas Zayn. Kita nanti makan siang bertiga ya!"

"A-apa? Sama Pak Zayn?" tanya Maha terkejut.

Alysa tersenyum. "Mbak tahu apa yang kamu pikirkan, dan Mbak datang ke sini sengaja karena ingin bicara masalah kemarin pagi saat Mas Zayn datang menemuimu. Kita nanti bisa bicara bertiga dan lebih santai. Kamu nggak keberatan, kan?"

Maha menggelengkan kepalanya pelan. Dia memang tidak bisa menghindar dan mungkin saat ini waktu yang tepat untuk menjelaskan pada mereka kalau dia menolak dengan tegas tentang rencana kedua orang itu. Bagaimana pun Maha tidak mau jadi yang kedua. Apalagi jika harus melihat nanti Zayn bermesraan dengan Alysa di depannya, bagaimana bisa hatinya tidak rapuh?

**

Maha diam saja dari tadi. Dia hanya menjawab singkat apa yang Alysa tanyakan padanya, dan selebihnya dia hanya tersenyum. Maha semakin tidak nyaman melihat bagaimana hangatnya sikap Zayn pada Alysa, pria itu terlihat sangat mencintai Alysa, itu sangat terlihat dengan jelas, tatapan mata cinta pria itu pada sang istri membuat siapapun pasti iri, mungkin termasuk dirinya.

Alysa pun selalu tersenyum dengan sumringah menatap Zayn dengan tatapan cinta. Hati Maha berdesir hebat, bagaimana bisa dia datang di tengah kebahagiaan mereka berdua? Bukankah keduanya sedang bahagia? Kenapa juga Alysa menginginkan dirinya menikah dengan suaminya sendiri? Apa cinta di hati Alysa untuk Zayn tidak sebesar yang dia kira?

"Kamu kenapa melamun?" tanya Alysa.

Pertanyaan Alysa membuyarkan lamunan Maha. Wanita itu tersenyum. "Aku sedang menikmati makan siangnya, Mbak. Makanannya sangat lezat."

"Kamu mau nambah lagi?" tanya Zayn menimpali.

Maha menggelengkan kepalanya. "Nggak, Pak. Ini juga sudah banyak."

"Lho kok manggilnya 'bapak' sih?" tanya Alysa.

"Kan Pak Zayn memang atasan aku, Mbak," jawab Maha.

"Kan itu kalau lagi di kantor," ucap Alysa. "Kamu panggil 'Mas Zayn saja ya! Biar enak didengar," pinta Maha.

Maha hanya mengangguk samar, dia tahu kalau menolak pun percuma karena Alysa tidak suka dengan penolakan.

Alysa menghela napas panjang. "Maha, kamu pasti tahu kalau Mbak mau bicara apa sekarang sama kamu."

Maha membisu beberapa detik untuk mengumpulkan keberaniannya. "Mbak mau bicara tentang masalah Mas Zayn yang kemarin pagi datang ke rumahku, kan?"

Alysa mengangguk. "Iya. Mbak mau bicara lagi sama kamu masalah itu, dan Mbak harap kamu kali ini mau mendengar alasan kami, ya! Kemarin juga Mbak sudah menghubungi Ibu dan menjelaskan semuanya. Ibu bilang semua keputusan ada di tangan kamu, dan ibu nggak akan ikut campur."

"Tadi pagi aku sudah bicara juga sama ibu, dan aku sudah bilang kalau aku tidak akan menerima permintaan Mas Zayn untuk menjadikanku jadi istri keduanya," tukas Maha.

"Kenapa? Kamu takut Mbak nantinya cemburu?" tanya Alysa.

"Salah satunya itu, Mbak. Mungkin saat ini Mbak Alysa tidak cemburu, tapi kita tidak bisa menebak bagaimana hati manusia nanti, hati manusia mudah berubah, apalagi hati wanita itu sangat rapuh bagai gelas-gelas kaca, dan mudah cemburu." jawab Maha.

"Insya Allah kalau Mbak tidak akan cemburu padamu, Maha. Justru Mbak senang kalau kamu lah wanita yang akan jadi adik madu untuk Mbak, Mbak hanya ingin kamu saja yang ikut menemani Mas Zayn. Masalah status jadi istri kedua yang dianggap tabu, kamu tak usah memikirkannya, masalah keluarga besar kita juga pasti mereka paham dan akan mendukungnya. Jadi, Mbak mohon sama kamu untuk menerima Mas Zayn, ya! Mbak harap kamu tidak menolaknya."

"Tetap nggak bisa, Mbak. Bagiku berbagi hati itu tidak mudah, apalagi jadi yang kedua," balas Maha.

"Meski nanti kamu jadi istri kedua, Mbak janji Mas Zayn akan berlaku adil dan Mbak juga tidak akan cemburu." Alysa mengatakannya dengan tulus. Dia tidak pernah memikirkan wanita lain yang bisa jadi adik madunya, hanya Maha lah yang menjadi satu-satunya wanita yang bisa jadi istri bagi suaminya.

Maha menggelengkan kepalanya. "Maaf, Mbak. Kali ini aku tidak bisa menyanggupi permintaan Mbak Alysa karena diibaratkan dua matahari apa bisa terbit di langit yang sama?"

Alysa tertegun, dia hanya menghela napas pendek, sedangkan Zayn hanya terdiam. Mereka berdua tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Keheningan pun membuat suasana tampak sepi.

Maha tersenyum lirih, dia beranjak dari duduknya dan langsung pamit, menolak untuk keduanya antar ke rumah. “Aku minta maaf. Maaf mungkin keputusanku ini awalnya memang membuat Mbak Alysa kecewa, tapi aku yakin kalau keputusanku ini adalah yang terbaik untuk kita bertiga.”

“Maha, Mbak memintamu juga karena Mbak hanya ingin kamu saja. Mbak hanya ikhlas kalau kamu jadi istrinya Mas Zayn. Mbak berharap kamu masih memikirkannya ya! Mbak pasti akan menunggu saat kamu siap dengan jawabannya,” kata Alysa meyakinkan.

Maha tersenyum lirih. “Maaf.” Wanita itu pergi membawa rasa bersalah di hatinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status