"Hei, pergi kalian!" tukas Jordan saat melihat beberapa anak yang lebih besar, sedang memukuli seorang anak laki-laki.
Saat melihat Jordan dan Ben, anak-anak berandal itu berhenti dan melarikan diri.
Ben mendekati anak laki-laki itu dan membantunya berdiri.
Dari tempatnya saat ini, Ben bisa melihat sebuah apel dan roti yang tadi dikatakan pedagang tua tadi. Sayangnya, buah dan roti itu telah jatuh di atas tanah. Tidak mungkin lagi untuk dimakan.
Bukannya menjawab pertanyaan Ben, anak kecil itu malah mundur dan melindungi wajahnya.
Air mukanya semakin ketakutan saat melihat Jordan datang sehabis mengejar anak-anak nakal tadi.
Dengan gerakan yang sangat cepat, si anak kecil mengambil buah apel yang masih bisa diselamatkan dan lari secepat mungkin.
"Oh ... yang benar saja. Aku baru saja berhenti berlari!" tukas Jordan jengkel.
Ben tersenyum dan bersiap untuk kembali berlari.
"Kamu ambil mobil, aku akan mengejarnya di dalam gang ini. Kita bertemu lagi di ujung jalan Anggrek," jelas Ben yang paham sekali kalau temannya masih sangat lelah.
"Okey!" sahut Jordan.
Sepertinya tidak ada pilihan lain.
Jordan mengambil jalan kembali dari tempat mereka masuk tadi. Sedangkan Ben, ia melanjutkan untuk mengejar anak kecil beranjak remaja yang diyakini Jordan sebagai Razka.
***
Setelah pengejaran yang melelahkan, Ben berhasil menemukan tempat persembunyian Razka.
Ia tidak akan masuk ke dalam rumah itu sendirian. Ben akan menunggu Jordan hingga partnernya itu tiba.
Setelah lima menit, akhirnya mobil patroli yang dibawa Jordan tiba.
"Lama banget! Kamu mampir dulu, hah?" tanya Ben agak kesal.
"Ck! Mana ada! Jalannya sempit banget, Bro! Kamu tau Pak Ilham, kan? Bisa ngamuk dia, kalau mobilnya sampai lecet!" sahut Jordan ketus.
Mereka berdua memutuskan untuk langsung menghampiri sebuah rumah kecil yang tidak bisa dianggap sebagai tempat tinggal yang layak.
Tok tok tok!
Jordan mengetuk pintu depan.
Sebenarnya, hanya dengan sekali dobrak saja, pintu rumah itu akan terbuka. Namun mereka adalah penegak hukum, bukan musuh masyarakat.
Jordan dan Ben saling pandang. Ben memberi kode pada Jordan agar menjaga pintu samping atau pintu belakang jika ada.
Jordan mengangguk dan mulai mengitari rumah itu.
Saat itulah ia melihat Razka berusaha keluar dari jendela belakang dengan sebuah tas ransel di tangannya.
"Hei! Razka, jangan kabur lagi!" panggil Jordan.
Hal itu membuat Razka mempercepat gerakannya.
Namun, kali ini Jordan tidak ingin kecolongan. Ia langsung menangkap Razka yang sudah berhasil turun dari jendela.
Sayangnya, seseorang memukul kepala Jordan dengan sebuah kayu panjang. Hal itu membuat Jordan jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri.
***
Ben menggoyang-goyangkan lengan Jordan. Berusaha untuk membangunkan rekannya yang masih tidak sadar.
"Jo ... kamu akan pingsan sampai kapan?" tanya Ben yang sudah bolak-balik mencoba membangunkan Jordan.
Kali ini Jordan merespon pertanyaan Ben dengan gerakan tangannya.
"Damn ... mana anak itu?"
"Tidak ada. Kita kehilangan dia lagi," ungkap Ben. "Tapi kita bisa membawa orang ini ke markas."
Jordan sudah sepenuhnya sadar. Ia melihat sesosok laki-laki dewasa yang terlihat seperti layaknya gelandangan.
"Bawa ia ke markas. Banyak hal yang harus ia katakan pada kita. Aku sudah cukup lelah hari ini."
Jordan dan Ben menyeret satu-satunya orang yang berhasil mereka tahan. Yang pasti bukan Razka. Anak itu terlalu licin bagaikan belut.
Sepanjang perjalanan, laki-laki itu tidak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Ben sampai putus asa dibuatnya.
"Hei, kalau sampai kantor kamu tidak juga buka mulut, aku akan langsung mendudukanmu di atas kursi listrik!" ancam Ben.
Tentu saja hal itu hanya ancaman saja, siapa tau orang itu mau buka mulut karena takut.
"Siapa namamu?" tanya Jordan lagi.
Pertanyaan kesekian yang tetap tidak mendapat jawaban.
"Kemana Razka pergi? Harusnya kamu tau, dong ...," sambung Jordan.
Namun orang itu tetap bungkam.
"Hhmm ... kalau kau seorang polisi, sifatmu ini akan sangat berguna. Sayangnya kamu bukan polisi. Jadi aksi tutup mulutmu ini hanya akan memberatkanmu di pengadilan nanti," ungkap Jordan.
"Atas tuduhan apa, kalian menangkapku?" tanya sosok itu akhirnya mengeluarkan suara.
"Memukul petugas. Membantu buronan yang kabur. Hukumannya lumayan lama. Apa kamu tidak sadar saat memukulnya tadi?" tanya Ben.
Orang itu kembali terdiam.
"Anak itu memiliki kehidupan yang berat. Ia hanya mencuri untuk makan. Apa kalian tidak punya tersangka lain untuk diburu?" tanyanya kemudian.
"Aku tau. Justru itu kami ingin menemuinya. Kami bukan musuh, kalau hal itu bisa membuatmu lega," jelas Jordan.
***
Saat ini Jordan sudah berada di rumah ayahnya. Lagi-lagi, hal pertama yang ditanyakan Armand adalah keberadaan Razka.
"Apa kamu sudah menemukan anak itu?" tanya Armand.
Sudah lima tahun belakangan ini, Armand hanya bisa terbaring di atas tempat tidur.
Penyakit yang menggerogoti dirinya, membuat Armand harus menahan malu hidup dengan bergantung pada anak dan menantunya.
Ibu dari Jordan sendiri telah meninggal dunia tiga tahun lalu.
Sebenarnya Armand sudah sangat putus asa dengan kehidupannya yang seperti ini. Namun saat teringat dengan Liza adiknya, keinginan untuk menemukan Razka kembali muncul.
Armand cukup yakin kalau Razka masih ada di sekitarnya dan memiliki kehidupan yang berat.
Ia tidak meminta meminta hal lain. Armand hanya berharap jika Jordan berhasil menemukan anak itu karena ia ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya.
"Hampir, Yah. Tadi ada seseorang yang membantunya kabur. Aku sudah membawanya ke kantor polisi, sayangnya ia tetap tutup mulut dan tidak mau bilang kemana kira-kira Razka pergi," jelas Jordan.
Armand mencoba untuk duduk. Ia meminta Jordan untuk mengambil sesuatu dari dalam kotak kecil yang ada di dalam lemari bajunya.
Jordan menemukan kotak itu dan memberikannya kepada Armand.
"Ayah tidak tahu, apakah benda ini akan berguna. Jika orang yang menolong Razka mengenal Razka sejak ia masih kecil maka ia akan paham dan pasti mau menolongmu. Namun jika bukan, sepertinya kamu harus mencari cara lain ...," ungkap Armand.
Jordan menerima sebuah kalung dengan bandul berbentuk kepala harimau. Kalung perak itu terlihat sangat kuno.
"Apa ini milik Om Marco? Aku pernah melihatnya mengenakan kalung ini!" tukas Jordan yang juga merupakan salah satu fans dari Marco Geraldino 'The Magician'.
"Kamu benar. Simpan ini dan perlihatkan pada orang itu. Setelah ia mengatakan di mana Razka, berikan kalung ini padanya. Benda ini adalah milik Marco. Mungkin satu-satunya peninggalan mendiang yang masih ada ... mungkin ayah sendiri tidak punya lebih banyak waktu untuk bertemu dengan Razka ...."
"Ayah! Jangan bilang begitu. Ayah akan baik-baik saja dan akan bicara langsung dengan Razka. Aku janji!" tukas Jordan.
Armand tersenyum.
"Aku yakin kamu bisa diandalkan, Nak. Ingat, jangan musuhi anak itu ... dia adalah saudaramu juga," ungkap Armand semakin pelan.
Jordan bersimpuh di samping Armand. Ia menerima kalung yang diberikan ayahnya. Mengalungkan benda itu di lehernya sendiri.
"Jordan akan menganggapnya sebagai adik sendiri, Yah! Ayah jangan bicara lagi ... istirahat saja," mohon Jordan.
Armand berpaling, ia terbatuk-batuk. Darah segar keluar dari mulutnya. Penyakit yang bersemayam di dalam tubuh Armand telah menguasai fisik tua itu.
"Apa aku pernah bilang kalau aku sangat bangga padamu, Nak? Kamu segalanya bagiku ...."
"Ayah!"
[]
Tidak semua kematian merupakan akhir menyedihkan. Sebagian di antaranya adalah awal yang lebih baik ....***Jordan menyalami pelayat terakhir yang datang ke rumahnya.Setelah siang tadi komandannya dan beberapa pasukan Elang datang, sore ini ia harus menerima beberapa rekan ayahnya yang masih berurusan dengan dunia tinju.Jordan pernah berniat untuk masuk ke dunia yang sama dengan idolanya dulu, namun almarhum Armand menolak niatan itu mentah-mentah.Armand bilang, ia tidak ingin kejadian mengenaskan yang terjadi dengan Marco, kembali terulang.Walaupun ia cukup yakin kalau ia bisa membawa anaknya menjadi juara, tapi ia tidak bisa menjaganya setiap saat.Buktinya, ia harus kehilangan Marco di depan matanya sendiri. Di dalam pengawasannya."Apakah kita masih menerima tamu yang datang melayat?" tanya Kanaya, istri Jordan yang tengah mengandung enam bulan.Jordan diam saja sambil terus menatap foto
"TIDAK!!" pekik Razka.Dengan peluh membasahi kening, ia terbangun dari tidur.Teriakannya barusan, bahkan berhasil membangunkan beberapa tuna wisma yang sedang tidur di bawah jembatan Astua; jembatan terpanjang di Kota Metro yang menghubungkan kota itu dengan Kota Milion.Biasanya, para tuna wisma akan menyalakan perapian di dalam drum besi dan menghangatkan diri di dekatnya.Sayangnya, malam ini Razka harus ikut bergabung dengan mereka. Semata-mata karena ia harus kabur dari pengejaran polisi-polisi yang ingin memenjarakannya."Hei, anak muda ... jangan berisik. Kami mencoba untuk tidur!" tukas salah satu tuna wisma yang paling dekat dengan Razka.Razka hanya menunduk dan menarik tas ranselnya mendekat.Benda-benda yang ada di dalamnya, adalah harta terakhir yang ia miliki.Seharusnya, ia adalah anak yang bahagia. Dulu Razka memiliki kehidupan yang menyenangkan. Orang tua yang menyayanginya serta teman-teman yang baik.
Hari-hari Razka ia lalui dengan hidup di jalanan seperti biasanya.Yang berbeda, saat ini Razka mengambil lokasi yang lumayan jauh dari pusat Kota Metro. Ia tidak ingin tertangkap oleh polisi-polisi yang kemarin mengejarnya dan berhasil meringkus James.Bugh!Tanpa sengaja Razka menabrak seorang ibu-ibu yang terlihat jalan dengan tergesa.Barang-barang ibu itu jatuh dan terhambur di atas aspal.Dengan tatapan marah, ibu tadi sudah siap untuk memaki Razka."Hei! Kamu mau mengambil tas saya, ya?!" tukas ibu tadi langsung kepada Razka.Razka yang mendapat tuduhan seperti itu, merasa sangat kaget. Padahal ia hanya tidak sengaja menabraknya.Sialnya, karena lokasi yang lumayan ramai, beberapa pasang mata mulai memperhatikan keributan antara ibu-ibu tadi dengan Razka."Maaf, Bu, saya tidak sengaja. Saya juga tidak berniat untuk mengambil barang-barang ibu ...," sahut Razka sambil memeluk ransel lusuhnya.Ransel it
"Jangan! Jangan lewat sana!" tukas Aurel yang kini memimpin Razka untuk berlari ke arah yang lainnya."Ta-tapi, ini jalan buntu!" tukas Razka yang masih ingat betul dengan gang-gang di lokasi itu."Diam saja. Aku akan menyelamatkan kita. Kalau kita masuk ke gang Kelana, kita hanya akan menyerahkan diri pada anak buah Anton yang lain. Mereka tidak hanya bertiga!" jelas Aurel yang staminanya masih sangat tinggi.Bahkan Razka sudah merasa agak lelah dan haus.Akan tetapi, ia harus tetap berlari atau mereka akan menjadi santap siang Anton dan anak buahnya yang tidak sedikit.Setelah dirasa cukup jauh dan terhindar dari gerombolan Anton, Aurel menghentikan langkahnya.Razka yang sudah merasa sangat lelah, langsung menjatuhkan dirinya di atas lantai semen.Pandangannya agak berkunang. Ia ingin menanyakan banyak hal, namun kondisinya tidak memungkinkan saat ini. Jadi, ia hanya berbaring saja di sana sambil mengatur napas."Apa kau bai
Brak! Polisi kedua tadi malah menggebrak meja tanpa peringatan. Membuat Razka dan Aurel yang berdiri agak berjauhan, tersentak kaget. "Berani-beraninya membohongi polisi. Kalian mau jadi apa nantinya, hah?!" bentaknya. "Membohongi bagaimana, Pak? Kami ke sini hanya untuk mengembalikan tas itu. Kami bahkan tidak melihat-lihat isinya!" tukas Aurel yang kesal karena kebaikan hati mereka malah dibalas dengan cara yang salah. "Kami mendapat informasi kalau kalian yang mengambil tas ini! Masih mau mengelak juga? Banyak saksi yang melihat aksi kalian!" ketus polisi kedua yang sepertinya sedang mengalami hari yang buruk. Razka sendiri tidak bisa berkata-kata. Polisi itu benar. Orang-orang hanya melaporkan apa yang mereka lihat. Aurel mengambil tas si ibu dan Razka mengejarnya. Bagi orang yang tidak tau duduk persoalan yang sedang terjadi, pasti mengira kalau Razka tengah bekerja sama dengan Aurel. Razka mulai tidak suka dengan ga
Kini Razka dan Aurel sudah tidak berada di dalam sel lagi. Polisi-polisi itu telah mengeluarkan keduanya, sesaat setelah Ramses Arkana tiba."Jadi, menurut pengakuan mereka, mereka adalah calon murid di fighter club milik Anda. Apa benar begitu? Karena jika tidak, orang dari dinas sosial akan menjemput mereka besok pagi ...," jelas salah satu polisi bernama Jimy.Pandangan Ramses beralih pada Razka. Ia tersenyum penuh arti."Ya, mereka calon pendatang baru di club saya. Oya, apa saya boleh bicara bertiga saja dengan mereka?" tanya Ramses berharap.Ramses hanya ingin memastikan sesuatu sebelum membawa Razka dan Aurel pergi bebersamanya."Tentu saja," sahut si polisi. Kedua polisi yang ada di ruangan itu, keluar untuk membiarkan ketiganya bicara.Setelah pintu tertutup, Ramses mengalihkan pandangannya kepada Razka."Rasanya aku mengenalmu, kamu anak yang malam itu mengiraku sebagai gelandangan, kan?" tanya Ramses memastikan diriny
"Astagaa!" pekik Razka saat melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.Mereka disambut oleh tiga kepala hewan yang tergantung di dinding. Ada kepala rusa, harimau dan beruang grizzly."Ada apa?" tanya Ramses yang ikut terkejut dengan keterkejutan Razka."Ah, tidak, Tuan. Saya hanya kaget dengan ketiga makhluk itu ...," sahut Razka."Apa kamu tidak pernah melihat hewan-hewan itu, atau bagaimana?" tanya Aurel dengan suara rendah.Razka hanya melirik Aurel sekilas dan kembali melangkahkan kakinya ke arah Ramses."Duduklah kalian berdua. Jadi ...."Untuk beberapa saat lamanya, Ramses membicarakan apa yang bisa Razka dan Aurel kerjakan.Setelah keduanya menyanggupi tawaran Ramses, mereka membubuhkan cap jari di atas kertas perjanjian bermaterai.Untuk Razka sendiri, mulai besok ia akan mendapat pendidikan dasar dari seorang guru yang telah disediakan Ramses. Maklum, Razka tidak pernah tau yang namanya sekolah.
Bugh! Razka tersentak kaget saat merasakan sebuah dorongan di belakang kursinya. Ia berpaling dan melihat Aurel yang sedang serius menggoreskan pena. Razka tahu kalau anak itulah yang menendang kursinya barusan. "Apa?" tanya Razka sedikit berbisik. Sebenarnya ia tidak perlu berbisik. Madam Antonia yang merupakan guru mereka, sedang keluar untuk menemui Tuan Ramses. Yang ada hanya Peter. Ketua kelas yang usianya beberapa tahun di bawah mereka. "Aku bosan!" tukas Aurel yang entah menggambar apa di atas kertasnya. Anak itu pasti merasa kalau sekolah tidaklah penting. "Lalu kamu mau apa? Kamu tahu sendiri, kalau kita tidak mengikuti aturan, Tuan Ramses akan mengembalikan kita ke penjara atau dinas sosial ...," terangnya kemudian. "Eheem! Apa yang kalian diskusikan? Tidak ada yang perlu dicontek dari tugas menulis ini," kata Peter yang terlihat masih asik dengan rubik kayu di tangannya. "Kami tidak menyontek. Hanya sedang bica
Beberapa minggu telah berlalu. Razka dan Aurel bukan lagi anak baru yang perlu banyak perhatian. Kini mereka sudah bisa berbaur dengan teman-teman yang lebih dulu tinggal di Goa Kobra.Saat ini mereka sedang makan malam bersama. Seperti biasa, setiap satu minggu sekali akan ada makan malam bersama, yang tujuannya untuk mempererat rasa persaudaraan di antara mereka, penghuni lama dan baru.Bug!Aurel menendang kaki Razka yang duduk di depannya. Di meja itu hanya ada ia, Razka, dan Mikey. Seharusnya ada King juga di sana, akan tetapi laki-laki itu telah kembali ke kamar karena tiba-tiba merasa tidak enak badan.Mendapat tendangan di kakinya, Razka menoleh ke arah Aurel dengan tatapan tajam.“Apa?” tanyanya kemudian.Akan tetapi, Aurel hanya tersenyum mencurigakan. Sungguh, sejauh ini Razka begitu tidak paham dengan sosok makhluk yang namanya p
Makan malam yang luar biasa. Hanya itu yang memenuhi pikiran Razka malam ini. Ia tidak hentinya mengucapkan syukur pada sang pencipta atas sajian yang ada di depannya kini. Walaupun begitu, ada sedikit rasa sedih yang menyelinap di dalam hatinya. Razka yang sedang menikmati semua sajian tersebut, malah mengingat sosok James yang telah merawatnya selama ini. Laki-laki itu kerap berjanji padanya untuk membawa Razka makan enak di sebuah restoran. Razka tahu kalau ia tidak perlu berharap besar kepada walinya tersebut. “Raz!” panggil Mikey seraya menyenggol bahu rekannya. Rupanya, sejak tadi Mikey telah memanggil-manggil Razka. Akan tetapi, anak itu tidak mendengarnya. Ia ternggelam ke dalam pikirannya sendiri. “Iya? Maaf, aku sedang memikirkan seseorang …,” terang Razka yang kemudian mengambil gelas air dan meneguk isinya. “Seorang wanita?” tebak Mikey yang sudah lupa ingin mengatakan apa tadi. “Hush! Kamu ini bicara apa? Satu-satuny
Bugh! Razka tersentak kaget saat merasakan sebuah dorongan di belakang kursinya. Ia berpaling dan melihat Aurel yang sedang serius menggoreskan pena. Razka tahu kalau anak itulah yang menendang kursinya barusan. "Apa?" tanya Razka sedikit berbisik. Sebenarnya ia tidak perlu berbisik. Madam Antonia yang merupakan guru mereka, sedang keluar untuk menemui Tuan Ramses. Yang ada hanya Peter. Ketua kelas yang usianya beberapa tahun di bawah mereka. "Aku bosan!" tukas Aurel yang entah menggambar apa di atas kertasnya. Anak itu pasti merasa kalau sekolah tidaklah penting. "Lalu kamu mau apa? Kamu tahu sendiri, kalau kita tidak mengikuti aturan, Tuan Ramses akan mengembalikan kita ke penjara atau dinas sosial ...," terangnya kemudian. "Eheem! Apa yang kalian diskusikan? Tidak ada yang perlu dicontek dari tugas menulis ini," kata Peter yang terlihat masih asik dengan rubik kayu di tangannya. "Kami tidak menyontek. Hanya sedang bica
"Astagaa!" pekik Razka saat melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.Mereka disambut oleh tiga kepala hewan yang tergantung di dinding. Ada kepala rusa, harimau dan beruang grizzly."Ada apa?" tanya Ramses yang ikut terkejut dengan keterkejutan Razka."Ah, tidak, Tuan. Saya hanya kaget dengan ketiga makhluk itu ...," sahut Razka."Apa kamu tidak pernah melihat hewan-hewan itu, atau bagaimana?" tanya Aurel dengan suara rendah.Razka hanya melirik Aurel sekilas dan kembali melangkahkan kakinya ke arah Ramses."Duduklah kalian berdua. Jadi ...."Untuk beberapa saat lamanya, Ramses membicarakan apa yang bisa Razka dan Aurel kerjakan.Setelah keduanya menyanggupi tawaran Ramses, mereka membubuhkan cap jari di atas kertas perjanjian bermaterai.Untuk Razka sendiri, mulai besok ia akan mendapat pendidikan dasar dari seorang guru yang telah disediakan Ramses. Maklum, Razka tidak pernah tau yang namanya sekolah.
Kini Razka dan Aurel sudah tidak berada di dalam sel lagi. Polisi-polisi itu telah mengeluarkan keduanya, sesaat setelah Ramses Arkana tiba."Jadi, menurut pengakuan mereka, mereka adalah calon murid di fighter club milik Anda. Apa benar begitu? Karena jika tidak, orang dari dinas sosial akan menjemput mereka besok pagi ...," jelas salah satu polisi bernama Jimy.Pandangan Ramses beralih pada Razka. Ia tersenyum penuh arti."Ya, mereka calon pendatang baru di club saya. Oya, apa saya boleh bicara bertiga saja dengan mereka?" tanya Ramses berharap.Ramses hanya ingin memastikan sesuatu sebelum membawa Razka dan Aurel pergi bebersamanya."Tentu saja," sahut si polisi. Kedua polisi yang ada di ruangan itu, keluar untuk membiarkan ketiganya bicara.Setelah pintu tertutup, Ramses mengalihkan pandangannya kepada Razka."Rasanya aku mengenalmu, kamu anak yang malam itu mengiraku sebagai gelandangan, kan?" tanya Ramses memastikan diriny
Brak! Polisi kedua tadi malah menggebrak meja tanpa peringatan. Membuat Razka dan Aurel yang berdiri agak berjauhan, tersentak kaget. "Berani-beraninya membohongi polisi. Kalian mau jadi apa nantinya, hah?!" bentaknya. "Membohongi bagaimana, Pak? Kami ke sini hanya untuk mengembalikan tas itu. Kami bahkan tidak melihat-lihat isinya!" tukas Aurel yang kesal karena kebaikan hati mereka malah dibalas dengan cara yang salah. "Kami mendapat informasi kalau kalian yang mengambil tas ini! Masih mau mengelak juga? Banyak saksi yang melihat aksi kalian!" ketus polisi kedua yang sepertinya sedang mengalami hari yang buruk. Razka sendiri tidak bisa berkata-kata. Polisi itu benar. Orang-orang hanya melaporkan apa yang mereka lihat. Aurel mengambil tas si ibu dan Razka mengejarnya. Bagi orang yang tidak tau duduk persoalan yang sedang terjadi, pasti mengira kalau Razka tengah bekerja sama dengan Aurel. Razka mulai tidak suka dengan ga
"Jangan! Jangan lewat sana!" tukas Aurel yang kini memimpin Razka untuk berlari ke arah yang lainnya."Ta-tapi, ini jalan buntu!" tukas Razka yang masih ingat betul dengan gang-gang di lokasi itu."Diam saja. Aku akan menyelamatkan kita. Kalau kita masuk ke gang Kelana, kita hanya akan menyerahkan diri pada anak buah Anton yang lain. Mereka tidak hanya bertiga!" jelas Aurel yang staminanya masih sangat tinggi.Bahkan Razka sudah merasa agak lelah dan haus.Akan tetapi, ia harus tetap berlari atau mereka akan menjadi santap siang Anton dan anak buahnya yang tidak sedikit.Setelah dirasa cukup jauh dan terhindar dari gerombolan Anton, Aurel menghentikan langkahnya.Razka yang sudah merasa sangat lelah, langsung menjatuhkan dirinya di atas lantai semen.Pandangannya agak berkunang. Ia ingin menanyakan banyak hal, namun kondisinya tidak memungkinkan saat ini. Jadi, ia hanya berbaring saja di sana sambil mengatur napas."Apa kau bai
Hari-hari Razka ia lalui dengan hidup di jalanan seperti biasanya.Yang berbeda, saat ini Razka mengambil lokasi yang lumayan jauh dari pusat Kota Metro. Ia tidak ingin tertangkap oleh polisi-polisi yang kemarin mengejarnya dan berhasil meringkus James.Bugh!Tanpa sengaja Razka menabrak seorang ibu-ibu yang terlihat jalan dengan tergesa.Barang-barang ibu itu jatuh dan terhambur di atas aspal.Dengan tatapan marah, ibu tadi sudah siap untuk memaki Razka."Hei! Kamu mau mengambil tas saya, ya?!" tukas ibu tadi langsung kepada Razka.Razka yang mendapat tuduhan seperti itu, merasa sangat kaget. Padahal ia hanya tidak sengaja menabraknya.Sialnya, karena lokasi yang lumayan ramai, beberapa pasang mata mulai memperhatikan keributan antara ibu-ibu tadi dengan Razka."Maaf, Bu, saya tidak sengaja. Saya juga tidak berniat untuk mengambil barang-barang ibu ...," sahut Razka sambil memeluk ransel lusuhnya.Ransel it
"TIDAK!!" pekik Razka.Dengan peluh membasahi kening, ia terbangun dari tidur.Teriakannya barusan, bahkan berhasil membangunkan beberapa tuna wisma yang sedang tidur di bawah jembatan Astua; jembatan terpanjang di Kota Metro yang menghubungkan kota itu dengan Kota Milion.Biasanya, para tuna wisma akan menyalakan perapian di dalam drum besi dan menghangatkan diri di dekatnya.Sayangnya, malam ini Razka harus ikut bergabung dengan mereka. Semata-mata karena ia harus kabur dari pengejaran polisi-polisi yang ingin memenjarakannya."Hei, anak muda ... jangan berisik. Kami mencoba untuk tidur!" tukas salah satu tuna wisma yang paling dekat dengan Razka.Razka hanya menunduk dan menarik tas ranselnya mendekat.Benda-benda yang ada di dalamnya, adalah harta terakhir yang ia miliki.Seharusnya, ia adalah anak yang bahagia. Dulu Razka memiliki kehidupan yang menyenangkan. Orang tua yang menyayanginya serta teman-teman yang baik.