Share

Yatim Piatu

Dengan rasa marah yang telah menyelimuti hatinya, Liza terus melangkah kembali menuju ke gelanggang tinju. 

Di dalam gendongan Liza, ada Razka yang memeluk erat mommy-nya.

"Mommy ... kita mau ke mana? Di mana daddy?" tanya Razka yang terdengar mulai mengantuk.

"Daddy telah tidur panjang, Sayang. Saat ini, mommy harus memastikan sesuatu. Jika dugaan mommy benar, mommy akan membuat mereka mendekam di penjara, atas semua yang terjadi dengan Daddy!" jelas Liza yang tidak terlalu dipahami oleh Razka.

"Eemm ...," sahut Razka.

Langkah Liza terhenti tepat di depan pintu gelanggang.

Ia mendengar suara gelak tawa pecah dari dalam ruang di depannya saat ini. 

Liza bersiap mengulurkan tangannya. 

"Mommy ... Razka mau pipis," lirih Razka dengan mata penuh permohonan.

"Razka ... tunggu sebentar lagi, ya? Setelah itu mommy akan membawamu ke toilet."

"Tidak bisa, Mom ... ayo ...," rengek Razka sambil terus bergerak gelisah.

Liza menurunkan Razka dari gendongan.

"Razka sudah tidak tahan? Razka bisa pergi sendiri, tidak? Tempatnya ada di ujung sana," jelas Liza sembari mengelus rambut Razka.

Ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Rico Bane atau Sebastian Varos. Ia juga tidak tau, siapa yang ada di balik pintu itu.

Razka mengangguk dan melesat meninggalkan Liza.

Sementara itu, Liza kembali berdiri dan merapihkan bajunya.

"Aku tidak mengira, kalau malam ini telah menjadi janda. Padahal kami akan memiliki adik untuk Razka ...," lirih Liza dengan rasa sakit di hatinya yang paling dalam.

Cklek.

Liza membuka pintu gelanggang. Matanya mencari, lalu ia menemukan Sebastian Varos duduk dengan belasan orang yang berjaga di sekitarnya.

Selain Sebastian, ada juga Nick dan Cayman. Liza mengenalnya sebagai manager dari Rico Bane.

Plok plok plok.

Liza bertepuk tangan dengan lamban dan teratur. Membuat puluhan pasang mata di depan sana, kini menatap Liza secara langsung.

"Ternyata kekalahan Marco, tidak lepas dengan campur tangan kalian ... HEBAT!"

Sebastian terlihat bingung. Ia berpaling ke arah Cayman seakan meminta jawaban.

"Dia jandanya The Magician," bisik Cayman. "Nyonya, kenapa tidak menangisi mayat suamimu di rumah sakit, huh?" tanya Cayman yang terlihat tidak senang dengan kehadiran Liza.

"Dia jandanya? Ha ha ha! Kamu cantik juga, Nyonya!" sahut Sebastian yang membuat Liza semakin meradang.

"Apa yang kalian berikan pada air minum Marco?" tanya Liza tanpa menghiraukan kalimat-kalimat Sebastian barusan.

Liza merasa kalau feelingnya kali ini pasti benar. Ada yang salah dengan air minum yang diberikan kepada suaminya. Apalagi, botol itu langsung di ambil kembali dan Liza melihatnya dengan jelas. Orang itu memberikannya kepada Sebastian Varos.

"Kamu hanya menerka-nerka, Nyonya. Memangnya, kamu punya bukti apa?" tanya Cayman yang mulai terlihat gusar.

"Siapa saja bisa menyadarinya dengan mudah, Cayman. Kamu tidak begitu pandai menyembunyikan bangkai!" tukas Liza berusaha kuat untuk menahan amarah di dalam dirinya yang telah memuncak.

Sebastian Varos terlihat memandangi Liza dari atas hingga ke bawah. Mungkin ia sedang menimbang-nimbang, apa yang harus ia lakukan pada wanita cantik di hadapannya kini.

"Memangnya, kalau benar aku yang membunuh The Magician, kamu mau apa? Mau bilang ke semua orang?" tanya Sebastian yang kini sudah berdiri dan menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana.

"Bajingan ... jadi memang kau? KENAPA? KAMU TAU KALAU ANAKNYA MASIH SANGAT KECIL, KAN?!" tukas Liza dengan nada tinggi.

Sebastian terlihat berusaha menahan tawa.

"Lalu apa? Ini bisnis, Nyonya. Beginilah rupanya. Dingin dan tidak peduli dengan kemanusiaan. Kalau suamimu telah berani bersentuhan dengannya, ada harga yang harus ia bayar ...," jelas Nick menyela.

Liza tidak pernah suka dengan orang itu sejak pertama kali melihatnya.

Dengan langkah tegas tanpa ada sedikit pun keraguan, Liza menjalankan kakinya mendekati ketiga orang itu.

Tepat di depan Sebastian Varos, ia menghentikan langkah.

"Bisnis kotor yang kalian jalankan, telah menjadikan anakku sebagai anak yatim. Tidak hanya satu, namun dua anak yatim. Apa kalian tidak punya hati nurani sama sekali? Bahkan setelah melenyapkannya, kalian masih bisa berkumpul di sini dan mentertawakan sosok suamiku," jelas Liza.

Beberapa orang anak buah Sebastian telah bersiap untuk maju dan menangkap Liza. Namun Sebastian menahan mereka.

"Sebaiknya kamu pergi, Nyonya. Tempatmu bukan di sini," jelas Cayman yang kini telah mencekal lengan Liza.

Liza terlihat tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh Cayman. Ia menepis tangan laki-laki itu dan menatapnya dengan sinis.

Tanpa sengaja mata Liza melihat pistol yang tersampir di pinggang Cayman. Terlindung di balik jasnya.

Dengan satu gerakan nekat Liza meraih benda itu dan langsung mengarahkannya kepada Sebastian.

Sebastian, Nick dan Cayman terlihat kaget dengan apa yang dilakukan Liza.

"Jangan nekat, Nyonya! Kamu lihat belasan orang bersenjata ini, kan? Apa kamu mau anakmu menyandang status anak yatim piatu dalam sehari saja?" ancam Nick yang berada di depan Sebastian. Berusaha pasang badan untuk bos mereka.

Namun, bukannya menjauhkan pistol itu, Liza malah menarik pelatuknya. Kesedihan telah mengambil alih akal sehat wanita itu.

Dor!

Darah segar mengalir di atas lantai. Tubuh Liza jatuh, kaku tidak lagi bergerak.

"Kenapa kamu menembaknya, bodoh?!" tukas Sebastian.

Nick dan Cayman hanya bisa saling pandang dalam keterkejutan.

"Urus mayat wanita ini! Menyusahkan saja!" perintah Sebastian pada siapa saja yang ada di dekatnya.

Tanpa disuruh dua kali, beberapa anak buah Sebastian membawa tubuh tidak bergerak Liza keluar dari tempat itu. Sebastian, Cayman dan Nick juga pergi, namun mengambil arah yang berlawanan.

Dari balik ring, seseorang melihat semuanya. Air mata memenuhi wajahnya yang mungil.

Ia sangat terpukul, sampai-sampai tidak bisa bersuara. Sesekali ia menghapus air matanya.

"Mo-mommy ... jangan pergi ...," lirihnya pilu.

Sayang sekali, tidak ada lagi yang tersisa di ruangan itu. Hanya bau anyir darah dan suasana mencekam.

*** 

10 Tahun Kemudian ....

"Hei! Pencuri!" tukas salah seorang pedagang yang menggelar dagangannya di pinggir jalan Metro.

Laki-laki tua itu terlihat ragu antara mengejar sesosok anak berandal yang mengambil dagangannya tanpa membayar, atau menjaga lapaknya dari tangan usil yang lain.

Beberapa detik kemudian, dua orang polisi patroli lewat dan menghampiri si pedagang tua.

"Ada apa?" tanya salah satu polisi yang mendengar teriakan pedagang itu tadi.

"Bocah itu mengambil barang daganganku lagi! Aku muak dengannya!" sahut pedagang tersebut dengan jengkel.

"Apa yang ia ambil?" tanya polisi yang satunya lagi. 

"Roti dan buah apel," sahut si pedagang tua.

Polisi itu mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dan memberikannya pada si pedagang tua.

"Aku akan menangkapnya." 

Kedua polisi tadi mulai menelusuri jalan tikus yang ditunjukkan si pedagang tua.

"Kamu yakin sekali kalau anak ini adalah Razka. Padahal kita tidak pernah bisa menangkapnya ...," tanya salah satu polisi.

"Aku hanya yakin saja. Tentang rencana yang kubicarakan, sebaiknya kamu tidak merusaknya. Aku ingin sekali bicara dengan anak itu. Sudah sangat lama aku menantikan hari ini ...."

Polisi itu mengacungkan ibu jari. Ia tau betul tujuan partnernya melakukan semua ini. 

Polisi bernama Jordan itu diperintahkan oleh ayahnya langsung untuk menemukan Razka. Membawa anak itu menemuinya. 

Hal yang tidak pernah berhasil ia lakukan dalam sepuluh tahun belakangan.

"Kata ayah, anak itu tidak lagi memiliki kerabat. Sudah berkali-kali lolos dari dinas sosial yang berusaha membawanya ke panti asuhan dan lagi-lagi kembali menghilang," jelas Jordan.

"Kalau yang kamu ceritakan padaku benar, ia punya sejuta alasan untuk melakukannya, Bro ...," sambung Ben.

Langkah keduanya terhenti, ia tidak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini ....

[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status