Tidak semua kematian merupakan akhir menyedihkan. Sebagian di antaranya adalah awal yang lebih baik ....
***
Jordan menyalami pelayat terakhir yang datang ke rumahnya.
Setelah siang tadi komandannya dan beberapa pasukan Elang datang, sore ini ia harus menerima beberapa rekan ayahnya yang masih berurusan dengan dunia tinju.
Jordan pernah berniat untuk masuk ke dunia yang sama dengan idolanya dulu, namun almarhum Armand menolak niatan itu mentah-mentah.
Armand bilang, ia tidak ingin kejadian mengenaskan yang terjadi dengan Marco, kembali terulang.
Walaupun ia cukup yakin kalau ia bisa membawa anaknya menjadi juara, tapi ia tidak bisa menjaganya setiap saat.
Buktinya, ia harus kehilangan Marco di depan matanya sendiri. Di dalam pengawasannya.
"Apakah kita masih menerima tamu yang datang melayat?" tanya Kanaya, istri Jordan yang tengah mengandung enam bulan.
Jordan diam saja sambil terus menatap foto ayahnya. Tersenyum seakan mengejek dirinya yang tidak becus menjalankan wasiat.
"Sudah cukup. Aku yakin kalau mereka akan paham. Aku perlu istirahat begitu juga denganmu dan calon anak kita ...," ungkap Jordan dalam dekapan Kanaya.
"Oke ...," sahut Kanaya. Sesekali ia mengelus rambut suaminya yang kusut.
Siapa yang akan menyangka kalau mereka akan menemukan Armand tewas dalam tidurnya?
Hanya tersisa penyesalan. Menyesal karena Jordan merasa kurang berusaha untuk menemukan Razka.
Ia tidak menyangka kalau ternyata ayahnya sudah sangat lelah menunggu. Sampai akhirnya ia tidak punya waktu lagi dan memutuskan untuk menyerah.
'Haruskah aku terus berusaha menemukannya?' Jordan mulai bimbang.
Apa untungnya menemukan anak ini?
Selama bertahun-tahun, ayahnya menunggu untuk bertemu dengannya. Namun anak itu tidak ada sedikit pun niat untuk menampakkan diri.
Apakah sebenarnya Razka tahu, tapi ia sengaja menghindar?
"Aku akan beristirahat di kamar. Sebaiknya kamu jangan terlalu lelah, Sayang. Biar saja Bibi Nora yang membereskan sisanya. Ia akan datang sebentar lagi ...," jelas Jordan.
Tadi Jordan telah menghubungi Bibi Nora, asisten rumah tangga yang harusnya libur hari ini.
Sekalian, ia mengabarkan kalau ayahnya telah meninggal dunia.
Bibi Nora bilang, ia akan datang dan membantu-bantu di rumah hari ini. Walaupun sedang libur, ia tidak sibuk. Jadi ia mengabulkan permintaan Jordan, agar bisa datang dan membantu.
"Iya, aku akan mandi dulu ...," sahut Kanaya.
***
Malam sudah semakin larut. Jordan tidak bisa memejamkan matanya.
Setiap ia memejamkan mata, bayangan ayahnya kembali muncul.
Secepat yang ia bisa, Jordan menghilangkan bayangan itu. Masih terlalu menyakitkan.
Di sampingnya, Kanaya telah tertidur cukup lelap. Wajahnya yang kelelahan membuat Jordan enggan membangunkan sosok itu, sekedar untuk menemaninya menghabiskan malam.
Jordan menyibak selimut yang menutupi tubuh shirtless-nya.
Ia melangkahkan kakinya menuju lemari pakaian. Mencari sebuah baju kaos dan mengenakannya dengan cepat.
Jordan juga mengambil jaket kulit yang tergantung di belakang pintu, lalu topi hitam di sebelahnya.
Sebelum membuka pintu kamar, Jordan mengambil ponsel yang tersambung ke kabel pengisi daya dan melepaskan soket yang tadi terhubung.
Matanya mengamati layar ponsel. Masih jam setengah sebelas. Pantas saja ia tidak bisa tidur bagaimanapun ia berusaha.
"Aku pergi dulu, Sayang. Hanya cari angin sebentar. Jangan khawatir, ya ...," bisik Jordan di samping Kanaya.
Jordan tau kalau Kanaya mendengarnya saat wanita itu menggeliat ringan. Dengan perlahan, Jordan membuka pintu kamar dan keluar dari sana.
Tanpa berpikir dua kali, Jordan mengeluarkan motor besar kesayangannya. Benda yang selalu bisa menghibur saat ia dilanda kesedihan.
Jordan melajukan motor menembus sunyinya malam.
Ia mengarahkan motor itu menuju ke kantor polisi. Rencananya ia ingin menemui tersangka yang ia bawa kemarin. Seharian ini ia hanya memikirkannya saja.
Jordan merasa kalau ia akan mendapatkan sesuatu darinya kali ini. Menurut informasi dari Ben tadi siang, orang itu tetap tidak ingin buka mulut. Namun sekarang, Jordan merasa kalau orang itu akan bicara padanya. Feeling Jordan lumayan kuat saat ini.
Dengan kecepatan normal, Jordan menelusuri jalan Kota Metro yang tidak pernah ramai setelah jam sembilan malam.
Entah sejak kapan, Kota Metro menjadi kota yang memiliki jam malam. Padahal tidak ada yang menetapkannya. Hanya terjadi begitu saja.
Ckiiiit!
Jordan menghentikan motor besarnya di depan kantor polisi Kota Metro.
Lampu yang masih sangat terang, menandakan kalau ada orang lain di dalam sana.
Biasanya akan ada dua atau tiga polisi yang dinas malam. Berjumlah lebih banyak jika ada tahanan yang menginap di sel.
Seperti malam ini, Jordan berniat untuk bertemu dengan sosok yang membantu Razka kabur kemarin sore.
Cklek.
Jordan membuka pintu dan langsung menemukan Ben juga Riki yang sedang menyaksikan acara TV. Hanya acara memasak di luar negeri.
"Jo? Apa yang kamu lakukan di sini? Ada hal penting?" tanya Ben kaget. Seharusnya rekannya itu berada di rumah dalam keadaan berkabung.
"Aku ingin bertemu orang itu. Kamu masih mengurungnya, kan?" tanya Jordan yang sudah kembali melangkah menuju satu-satunya sel yang ada di kantor polisi mereka.
Ben bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah Jordan. Sedangkan Riki, polisi muda itu kembali stand by di pos pertama.
"Tentu saja. Aku menunggumu masuk kembali untuk menginterogasinya. Sejauh ini, yang kudapatkan hanya nama saja. Selebihnya, ia tetap bungkam."
"Bagaimana kau mendapatkan namanya?" tanya Jordan penasaran.
"Yang pasti bukan dari mulutnya sendiri. Kebetulan ada seorang polisi dari distrik sebelah yang mengenali orang itu. Nama orang ini James Rowan. Mantan petinju amatir yang hanya bermain dalam pertandingan jalanan. Namanya tenggelam hampir sepuluh tahun silam," jelas Ben.
"Kau bilang ia petinju?" tanya Jordan memastikan indra pendengarannya sendiri.
Ben mengangguk.
"Ya, sama seperti ayah dari anak itu. Bedanya, ia tidak begitu bersinar dan tidak pernah mencapai puncak karirnya. Namanya bahkan hilang sebelum ia melambung. Katanya, kematian Marco 'The Magician' ikut menariknya dalam keterpurukan. Aku juga tidak paham maksudnya bagaimana ...," jelas Ben.
Penjelasan rekannya barusan membuat Jordan semakin bersemangat.
Kalau memang benar kalau orang itu adalah mantan petinju, itu artinya jalannya akan jauh lebih mudah.
Jordan meraba lehernya. Menggenggam kalung dengan liontin kepala harimau yang diberikan sang ayah kemarin.
Saat ini mereka berdua telah berhenti di depan sel.
Di dalamnya ada tiga orang tahanan yang telah menginap beberapa hari belakangan. Salah satunya James Rowan.
Tanpa Jordan minta, Ben membuka sel itu dan membawa James keluar dari sana.
Dengan borgol yang mengunci kedua tangannya, James didudukkan di belakang meja interogasi.
Jordan dan Ben berdiri di samping kiri dan kanannya.
"Di mana anak itu?" tanya Jordan membuka pembicaraan.
Namun, seperti dugaan mereka berdua, orang itu akan diam. Ia pikir, ia sedang melindungi anak itu.
"Bicaralah. Apa kamu ingin kamu menggunakan kekerasan?" tanya Ben mencoba mengancam.
Namun, lagi-lagi James tetap bungkam.
Jordan menarik kursi di hadapan James dan langsung duduk di sana.
Jordan mengeluarkan kalung yang ia kenakan, lalu melepaskannya. Ia meletakkan kalung itu di atas meja, hal itu menarik perhatian James.
Untuk sesaat, James ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia urung melakukannya.
"Aku cukup yakin kalau kau mengenali benda ini. Kalung keberuntungan 'The Magician'," kata Jordan.
Laki-laki itu menoleh sedikit. Mencuri pandang dengan ragu-ragu.
"James ... aku satu-satunya keluarga Razka yang tersisa. Katakan di mana dia, agar aku bisa menolong anak itu memperbaiki kehidupan yang telah ia lewatkan selama ini ...," ungkap Jordan penuh harap.
Ia tau kalau James sedang menyimak dengan baik. Semoga saja hatinya tergerak.
[]
"TIDAK!!" pekik Razka.Dengan peluh membasahi kening, ia terbangun dari tidur.Teriakannya barusan, bahkan berhasil membangunkan beberapa tuna wisma yang sedang tidur di bawah jembatan Astua; jembatan terpanjang di Kota Metro yang menghubungkan kota itu dengan Kota Milion.Biasanya, para tuna wisma akan menyalakan perapian di dalam drum besi dan menghangatkan diri di dekatnya.Sayangnya, malam ini Razka harus ikut bergabung dengan mereka. Semata-mata karena ia harus kabur dari pengejaran polisi-polisi yang ingin memenjarakannya."Hei, anak muda ... jangan berisik. Kami mencoba untuk tidur!" tukas salah satu tuna wisma yang paling dekat dengan Razka.Razka hanya menunduk dan menarik tas ranselnya mendekat.Benda-benda yang ada di dalamnya, adalah harta terakhir yang ia miliki.Seharusnya, ia adalah anak yang bahagia. Dulu Razka memiliki kehidupan yang menyenangkan. Orang tua yang menyayanginya serta teman-teman yang baik.
Hari-hari Razka ia lalui dengan hidup di jalanan seperti biasanya.Yang berbeda, saat ini Razka mengambil lokasi yang lumayan jauh dari pusat Kota Metro. Ia tidak ingin tertangkap oleh polisi-polisi yang kemarin mengejarnya dan berhasil meringkus James.Bugh!Tanpa sengaja Razka menabrak seorang ibu-ibu yang terlihat jalan dengan tergesa.Barang-barang ibu itu jatuh dan terhambur di atas aspal.Dengan tatapan marah, ibu tadi sudah siap untuk memaki Razka."Hei! Kamu mau mengambil tas saya, ya?!" tukas ibu tadi langsung kepada Razka.Razka yang mendapat tuduhan seperti itu, merasa sangat kaget. Padahal ia hanya tidak sengaja menabraknya.Sialnya, karena lokasi yang lumayan ramai, beberapa pasang mata mulai memperhatikan keributan antara ibu-ibu tadi dengan Razka."Maaf, Bu, saya tidak sengaja. Saya juga tidak berniat untuk mengambil barang-barang ibu ...," sahut Razka sambil memeluk ransel lusuhnya.Ransel it
"Jangan! Jangan lewat sana!" tukas Aurel yang kini memimpin Razka untuk berlari ke arah yang lainnya."Ta-tapi, ini jalan buntu!" tukas Razka yang masih ingat betul dengan gang-gang di lokasi itu."Diam saja. Aku akan menyelamatkan kita. Kalau kita masuk ke gang Kelana, kita hanya akan menyerahkan diri pada anak buah Anton yang lain. Mereka tidak hanya bertiga!" jelas Aurel yang staminanya masih sangat tinggi.Bahkan Razka sudah merasa agak lelah dan haus.Akan tetapi, ia harus tetap berlari atau mereka akan menjadi santap siang Anton dan anak buahnya yang tidak sedikit.Setelah dirasa cukup jauh dan terhindar dari gerombolan Anton, Aurel menghentikan langkahnya.Razka yang sudah merasa sangat lelah, langsung menjatuhkan dirinya di atas lantai semen.Pandangannya agak berkunang. Ia ingin menanyakan banyak hal, namun kondisinya tidak memungkinkan saat ini. Jadi, ia hanya berbaring saja di sana sambil mengatur napas."Apa kau bai
Brak! Polisi kedua tadi malah menggebrak meja tanpa peringatan. Membuat Razka dan Aurel yang berdiri agak berjauhan, tersentak kaget. "Berani-beraninya membohongi polisi. Kalian mau jadi apa nantinya, hah?!" bentaknya. "Membohongi bagaimana, Pak? Kami ke sini hanya untuk mengembalikan tas itu. Kami bahkan tidak melihat-lihat isinya!" tukas Aurel yang kesal karena kebaikan hati mereka malah dibalas dengan cara yang salah. "Kami mendapat informasi kalau kalian yang mengambil tas ini! Masih mau mengelak juga? Banyak saksi yang melihat aksi kalian!" ketus polisi kedua yang sepertinya sedang mengalami hari yang buruk. Razka sendiri tidak bisa berkata-kata. Polisi itu benar. Orang-orang hanya melaporkan apa yang mereka lihat. Aurel mengambil tas si ibu dan Razka mengejarnya. Bagi orang yang tidak tau duduk persoalan yang sedang terjadi, pasti mengira kalau Razka tengah bekerja sama dengan Aurel. Razka mulai tidak suka dengan ga
Kini Razka dan Aurel sudah tidak berada di dalam sel lagi. Polisi-polisi itu telah mengeluarkan keduanya, sesaat setelah Ramses Arkana tiba."Jadi, menurut pengakuan mereka, mereka adalah calon murid di fighter club milik Anda. Apa benar begitu? Karena jika tidak, orang dari dinas sosial akan menjemput mereka besok pagi ...," jelas salah satu polisi bernama Jimy.Pandangan Ramses beralih pada Razka. Ia tersenyum penuh arti."Ya, mereka calon pendatang baru di club saya. Oya, apa saya boleh bicara bertiga saja dengan mereka?" tanya Ramses berharap.Ramses hanya ingin memastikan sesuatu sebelum membawa Razka dan Aurel pergi bebersamanya."Tentu saja," sahut si polisi. Kedua polisi yang ada di ruangan itu, keluar untuk membiarkan ketiganya bicara.Setelah pintu tertutup, Ramses mengalihkan pandangannya kepada Razka."Rasanya aku mengenalmu, kamu anak yang malam itu mengiraku sebagai gelandangan, kan?" tanya Ramses memastikan diriny
"Astagaa!" pekik Razka saat melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.Mereka disambut oleh tiga kepala hewan yang tergantung di dinding. Ada kepala rusa, harimau dan beruang grizzly."Ada apa?" tanya Ramses yang ikut terkejut dengan keterkejutan Razka."Ah, tidak, Tuan. Saya hanya kaget dengan ketiga makhluk itu ...," sahut Razka."Apa kamu tidak pernah melihat hewan-hewan itu, atau bagaimana?" tanya Aurel dengan suara rendah.Razka hanya melirik Aurel sekilas dan kembali melangkahkan kakinya ke arah Ramses."Duduklah kalian berdua. Jadi ...."Untuk beberapa saat lamanya, Ramses membicarakan apa yang bisa Razka dan Aurel kerjakan.Setelah keduanya menyanggupi tawaran Ramses, mereka membubuhkan cap jari di atas kertas perjanjian bermaterai.Untuk Razka sendiri, mulai besok ia akan mendapat pendidikan dasar dari seorang guru yang telah disediakan Ramses. Maklum, Razka tidak pernah tau yang namanya sekolah.
Bugh! Razka tersentak kaget saat merasakan sebuah dorongan di belakang kursinya. Ia berpaling dan melihat Aurel yang sedang serius menggoreskan pena. Razka tahu kalau anak itulah yang menendang kursinya barusan. "Apa?" tanya Razka sedikit berbisik. Sebenarnya ia tidak perlu berbisik. Madam Antonia yang merupakan guru mereka, sedang keluar untuk menemui Tuan Ramses. Yang ada hanya Peter. Ketua kelas yang usianya beberapa tahun di bawah mereka. "Aku bosan!" tukas Aurel yang entah menggambar apa di atas kertasnya. Anak itu pasti merasa kalau sekolah tidaklah penting. "Lalu kamu mau apa? Kamu tahu sendiri, kalau kita tidak mengikuti aturan, Tuan Ramses akan mengembalikan kita ke penjara atau dinas sosial ...," terangnya kemudian. "Eheem! Apa yang kalian diskusikan? Tidak ada yang perlu dicontek dari tugas menulis ini," kata Peter yang terlihat masih asik dengan rubik kayu di tangannya. "Kami tidak menyontek. Hanya sedang bica
Makan malam yang luar biasa. Hanya itu yang memenuhi pikiran Razka malam ini. Ia tidak hentinya mengucapkan syukur pada sang pencipta atas sajian yang ada di depannya kini. Walaupun begitu, ada sedikit rasa sedih yang menyelinap di dalam hatinya. Razka yang sedang menikmati semua sajian tersebut, malah mengingat sosok James yang telah merawatnya selama ini. Laki-laki itu kerap berjanji padanya untuk membawa Razka makan enak di sebuah restoran. Razka tahu kalau ia tidak perlu berharap besar kepada walinya tersebut. “Raz!” panggil Mikey seraya menyenggol bahu rekannya. Rupanya, sejak tadi Mikey telah memanggil-manggil Razka. Akan tetapi, anak itu tidak mendengarnya. Ia ternggelam ke dalam pikirannya sendiri. “Iya? Maaf, aku sedang memikirkan seseorang …,” terang Razka yang kemudian mengambil gelas air dan meneguk isinya. “Seorang wanita?” tebak Mikey yang sudah lupa ingin mengatakan apa tadi. “Hush! Kamu ini bicara apa? Satu-satuny
Beberapa minggu telah berlalu. Razka dan Aurel bukan lagi anak baru yang perlu banyak perhatian. Kini mereka sudah bisa berbaur dengan teman-teman yang lebih dulu tinggal di Goa Kobra.Saat ini mereka sedang makan malam bersama. Seperti biasa, setiap satu minggu sekali akan ada makan malam bersama, yang tujuannya untuk mempererat rasa persaudaraan di antara mereka, penghuni lama dan baru.Bug!Aurel menendang kaki Razka yang duduk di depannya. Di meja itu hanya ada ia, Razka, dan Mikey. Seharusnya ada King juga di sana, akan tetapi laki-laki itu telah kembali ke kamar karena tiba-tiba merasa tidak enak badan.Mendapat tendangan di kakinya, Razka menoleh ke arah Aurel dengan tatapan tajam.“Apa?” tanyanya kemudian.Akan tetapi, Aurel hanya tersenyum mencurigakan. Sungguh, sejauh ini Razka begitu tidak paham dengan sosok makhluk yang namanya p
Makan malam yang luar biasa. Hanya itu yang memenuhi pikiran Razka malam ini. Ia tidak hentinya mengucapkan syukur pada sang pencipta atas sajian yang ada di depannya kini. Walaupun begitu, ada sedikit rasa sedih yang menyelinap di dalam hatinya. Razka yang sedang menikmati semua sajian tersebut, malah mengingat sosok James yang telah merawatnya selama ini. Laki-laki itu kerap berjanji padanya untuk membawa Razka makan enak di sebuah restoran. Razka tahu kalau ia tidak perlu berharap besar kepada walinya tersebut. “Raz!” panggil Mikey seraya menyenggol bahu rekannya. Rupanya, sejak tadi Mikey telah memanggil-manggil Razka. Akan tetapi, anak itu tidak mendengarnya. Ia ternggelam ke dalam pikirannya sendiri. “Iya? Maaf, aku sedang memikirkan seseorang …,” terang Razka yang kemudian mengambil gelas air dan meneguk isinya. “Seorang wanita?” tebak Mikey yang sudah lupa ingin mengatakan apa tadi. “Hush! Kamu ini bicara apa? Satu-satuny
Bugh! Razka tersentak kaget saat merasakan sebuah dorongan di belakang kursinya. Ia berpaling dan melihat Aurel yang sedang serius menggoreskan pena. Razka tahu kalau anak itulah yang menendang kursinya barusan. "Apa?" tanya Razka sedikit berbisik. Sebenarnya ia tidak perlu berbisik. Madam Antonia yang merupakan guru mereka, sedang keluar untuk menemui Tuan Ramses. Yang ada hanya Peter. Ketua kelas yang usianya beberapa tahun di bawah mereka. "Aku bosan!" tukas Aurel yang entah menggambar apa di atas kertasnya. Anak itu pasti merasa kalau sekolah tidaklah penting. "Lalu kamu mau apa? Kamu tahu sendiri, kalau kita tidak mengikuti aturan, Tuan Ramses akan mengembalikan kita ke penjara atau dinas sosial ...," terangnya kemudian. "Eheem! Apa yang kalian diskusikan? Tidak ada yang perlu dicontek dari tugas menulis ini," kata Peter yang terlihat masih asik dengan rubik kayu di tangannya. "Kami tidak menyontek. Hanya sedang bica
"Astagaa!" pekik Razka saat melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.Mereka disambut oleh tiga kepala hewan yang tergantung di dinding. Ada kepala rusa, harimau dan beruang grizzly."Ada apa?" tanya Ramses yang ikut terkejut dengan keterkejutan Razka."Ah, tidak, Tuan. Saya hanya kaget dengan ketiga makhluk itu ...," sahut Razka."Apa kamu tidak pernah melihat hewan-hewan itu, atau bagaimana?" tanya Aurel dengan suara rendah.Razka hanya melirik Aurel sekilas dan kembali melangkahkan kakinya ke arah Ramses."Duduklah kalian berdua. Jadi ...."Untuk beberapa saat lamanya, Ramses membicarakan apa yang bisa Razka dan Aurel kerjakan.Setelah keduanya menyanggupi tawaran Ramses, mereka membubuhkan cap jari di atas kertas perjanjian bermaterai.Untuk Razka sendiri, mulai besok ia akan mendapat pendidikan dasar dari seorang guru yang telah disediakan Ramses. Maklum, Razka tidak pernah tau yang namanya sekolah.
Kini Razka dan Aurel sudah tidak berada di dalam sel lagi. Polisi-polisi itu telah mengeluarkan keduanya, sesaat setelah Ramses Arkana tiba."Jadi, menurut pengakuan mereka, mereka adalah calon murid di fighter club milik Anda. Apa benar begitu? Karena jika tidak, orang dari dinas sosial akan menjemput mereka besok pagi ...," jelas salah satu polisi bernama Jimy.Pandangan Ramses beralih pada Razka. Ia tersenyum penuh arti."Ya, mereka calon pendatang baru di club saya. Oya, apa saya boleh bicara bertiga saja dengan mereka?" tanya Ramses berharap.Ramses hanya ingin memastikan sesuatu sebelum membawa Razka dan Aurel pergi bebersamanya."Tentu saja," sahut si polisi. Kedua polisi yang ada di ruangan itu, keluar untuk membiarkan ketiganya bicara.Setelah pintu tertutup, Ramses mengalihkan pandangannya kepada Razka."Rasanya aku mengenalmu, kamu anak yang malam itu mengiraku sebagai gelandangan, kan?" tanya Ramses memastikan diriny
Brak! Polisi kedua tadi malah menggebrak meja tanpa peringatan. Membuat Razka dan Aurel yang berdiri agak berjauhan, tersentak kaget. "Berani-beraninya membohongi polisi. Kalian mau jadi apa nantinya, hah?!" bentaknya. "Membohongi bagaimana, Pak? Kami ke sini hanya untuk mengembalikan tas itu. Kami bahkan tidak melihat-lihat isinya!" tukas Aurel yang kesal karena kebaikan hati mereka malah dibalas dengan cara yang salah. "Kami mendapat informasi kalau kalian yang mengambil tas ini! Masih mau mengelak juga? Banyak saksi yang melihat aksi kalian!" ketus polisi kedua yang sepertinya sedang mengalami hari yang buruk. Razka sendiri tidak bisa berkata-kata. Polisi itu benar. Orang-orang hanya melaporkan apa yang mereka lihat. Aurel mengambil tas si ibu dan Razka mengejarnya. Bagi orang yang tidak tau duduk persoalan yang sedang terjadi, pasti mengira kalau Razka tengah bekerja sama dengan Aurel. Razka mulai tidak suka dengan ga
"Jangan! Jangan lewat sana!" tukas Aurel yang kini memimpin Razka untuk berlari ke arah yang lainnya."Ta-tapi, ini jalan buntu!" tukas Razka yang masih ingat betul dengan gang-gang di lokasi itu."Diam saja. Aku akan menyelamatkan kita. Kalau kita masuk ke gang Kelana, kita hanya akan menyerahkan diri pada anak buah Anton yang lain. Mereka tidak hanya bertiga!" jelas Aurel yang staminanya masih sangat tinggi.Bahkan Razka sudah merasa agak lelah dan haus.Akan tetapi, ia harus tetap berlari atau mereka akan menjadi santap siang Anton dan anak buahnya yang tidak sedikit.Setelah dirasa cukup jauh dan terhindar dari gerombolan Anton, Aurel menghentikan langkahnya.Razka yang sudah merasa sangat lelah, langsung menjatuhkan dirinya di atas lantai semen.Pandangannya agak berkunang. Ia ingin menanyakan banyak hal, namun kondisinya tidak memungkinkan saat ini. Jadi, ia hanya berbaring saja di sana sambil mengatur napas."Apa kau bai
Hari-hari Razka ia lalui dengan hidup di jalanan seperti biasanya.Yang berbeda, saat ini Razka mengambil lokasi yang lumayan jauh dari pusat Kota Metro. Ia tidak ingin tertangkap oleh polisi-polisi yang kemarin mengejarnya dan berhasil meringkus James.Bugh!Tanpa sengaja Razka menabrak seorang ibu-ibu yang terlihat jalan dengan tergesa.Barang-barang ibu itu jatuh dan terhambur di atas aspal.Dengan tatapan marah, ibu tadi sudah siap untuk memaki Razka."Hei! Kamu mau mengambil tas saya, ya?!" tukas ibu tadi langsung kepada Razka.Razka yang mendapat tuduhan seperti itu, merasa sangat kaget. Padahal ia hanya tidak sengaja menabraknya.Sialnya, karena lokasi yang lumayan ramai, beberapa pasang mata mulai memperhatikan keributan antara ibu-ibu tadi dengan Razka."Maaf, Bu, saya tidak sengaja. Saya juga tidak berniat untuk mengambil barang-barang ibu ...," sahut Razka sambil memeluk ransel lusuhnya.Ransel it
"TIDAK!!" pekik Razka.Dengan peluh membasahi kening, ia terbangun dari tidur.Teriakannya barusan, bahkan berhasil membangunkan beberapa tuna wisma yang sedang tidur di bawah jembatan Astua; jembatan terpanjang di Kota Metro yang menghubungkan kota itu dengan Kota Milion.Biasanya, para tuna wisma akan menyalakan perapian di dalam drum besi dan menghangatkan diri di dekatnya.Sayangnya, malam ini Razka harus ikut bergabung dengan mereka. Semata-mata karena ia harus kabur dari pengejaran polisi-polisi yang ingin memenjarakannya."Hei, anak muda ... jangan berisik. Kami mencoba untuk tidur!" tukas salah satu tuna wisma yang paling dekat dengan Razka.Razka hanya menunduk dan menarik tas ranselnya mendekat.Benda-benda yang ada di dalamnya, adalah harta terakhir yang ia miliki.Seharusnya, ia adalah anak yang bahagia. Dulu Razka memiliki kehidupan yang menyenangkan. Orang tua yang menyayanginya serta teman-teman yang baik.