Bab 78
Abraham menelan saliva.Getir teramat getir mendengar jawaban Mera.Demi untuk mengurangi rasa getirnya, Abraham memarkirkan mobil dengan lebih cepat di depan toko yang akan ia masuki."Sungguh kau tak ingin dibelikan apa-apa?" tanya Abraham dengan nada kecut."Bukan maksud menolak, akan tetapi di dapur Bi Sumi sedang memasakkan makanan kesukaanku."Dugh!Jantung Abraham berdetak."Mera, berhati-hatilah dengan Bi Sumi!" spontan Abraham berucap."Apa maksudnya?" Mera terdengar heran."Kau dengar, aku menyarankan kau untuk lebih berhati-hati dengannya.""Kenapa memangnya?""Sebaiknya jangan terlalu banyak bertanya Mera! Untuk saat ini aku minta cukup turuti saja apa yang kusarankan."Mendadak hati Abraham tak tenang dengan adanya Bi Sumi di rumah adiknya. Ada firasat buruk melintas.Bab 79 "Bi, jika Mera menolak, tolong tidak usah dipaksakan. Bukankah selera setiap orang berbeda-beda?" suara Abraham muncul di ambang pintu. "Eh Tuan sudah kembali rupanya. Maaf tuan saya tidak bermaksud memaksa. Tapi saya hanya khawatir dengan Nyonya Mera. Takutnya dia kelaparan." Bi Sumi beralasan. "Mera bukanlah anak kecil lagi, Bi. Jika dia lapar maka dia bisa ambil sendiri. Tak perlu di bujuk. Jika dia bilang tidak, maka itu artinya dia sedang tidak menginginkan makanan."Pembelaan Abraham semakin membuat hati Bi Sumi panas. "Maaf tuan." Bi Sumi berkata menundukkan kepala. "Sudahlah. Bi Sumi silakan kembali ke kamar Bibi sana." ucap Abraham. "Baik Tuan." Bi Sumi melenggang menuju ke lantai bawah masih dengan kepala tertunduk tak berani menatap Abraham. Setelah Bi Sumi berlalu, Abraham melangkah mendekati Mera yang masih duduk tertegun. "Mera, kau lapar?" ta
Bab 80"Tidak ada masalah, Nyonya. Aku cuma tak ingin Tuan Brandy selalu terbeban dengan gaya hidup Nyonya yang selalu berlagak seperti orang kelas atas." Darah Mera mendidih. "Lalu apa urusannya dengan Bibi? Apa bibi berkeberatan jika aku menggunakan uang suamiku?" tandas Mera. "Tuh kan kalau dibilangi malah ngeyel. Apa Nyonya merasa lebih berkuasa dari ku di rumah ini? Sekarang aku beritahu Nyonya ya, aku sudah bekerja bertahun-tahun dengan Tuan Jonathan. Aku sudah tahu bagaimana seluk-beluk keluarga ini secara keseluruhan. Aku senantiasa menjadi orang kepercayaan mereka yang ada di keluarga ini .Tapi aku tidak pernah muluk-muluk." Bi sumi berbicara. "Terus apa masalahnya denganku?""Masalahnya jelas. Kau terlalu muluk-muluk. Padahal baru saja kemarin kau menginjakan kaki di rumah tuanku."Mera semakin tak mengerti mengapa Bi Sumi bersikap seperti mempunyai kebencian yang besar padanya. Padahal selama
Bab 81 Bi Sumi terdiam. "Bagaimana bisa Tuan Abraham mengenali latar belakang wanita ini?" tanya Bi Sumi. Abraham mendekat. Sebelum menjawab, pandangan mata Abraham melirik ke arah bingkisan makanan yang tadi ia beli. Sebuah puring dengan isinya yang hampir kosong menyambut pandangan. Abraham tersenyum dalam hati, ternyata apa yang ia beli tadi sesuai dengan selera Mera. Ada kebahagiaan tersendiri terselip di dalam relung hatinya. Sedangkan Mera yang mendengar pertanyaan Bi Sumi menjadi khawatir. Jangan sampai masa lalu mereka terendus karena pertanyaan tersebut. "Bi, Apakah Bibi merasa amat penting untuk mengetahui dari mana aku bisa mengenal Meranti?" Abraham balik mempertanyakan. "Tidak terlalu penting, tapi ku kira ini sangat aneh. Bagaimana bisa Tuan percaya pada wanita seperti Nyonya Mera yang setiap harinya suka keluar berfoya-foya menghabiskan uang suami." lanjut Bi Sumi. Mendenga
Bab 82 Mera menelan saliva. Begitu dalam rasa yang terpendam di jiwanya. Meskipun hanya satu buket bunga saja, namun bunga-bunga tersebut nampak begitu sempurna. Akan tetapi, mengingat siapa dirinya saat ini, Mera berusaha untuk membenci. "Laki-laki konyol itu ternyata masih berani menghadiahkan bunga seperti ini. Apa dia tidak berpikir apabila seandainya Brandy mengetahuinya? Benar-benar tak mempunyai perasaan. Lagi pula apa sih fungsi bunga beserta catatan kecil ini? Tak berguna sama sekali." Mera bergumam. Tangan kanannya merobek-robek kertas kecil yang berisi tulisan dari Abraham. Apa yang ia lakukan justru sangat berbanding terbalik dengan apa yang ada di hati. Tapi itulah usaha Mera untuk belajar membenci. Ia harus belajar berusaha keras melakukan sesuatu tindakan yang berlawanan dengan kehendaknya. Setelah itu, tak lupa pula Mera mengacak-acakan buket-buket bunga yang terletak di atas meja tersebut, hingga ny
Bab 83 "Apa kamu ingin jika kuajak berlibur hari ini? Kurasa kita harus berlibur untuk mengisi hari ulang tahunmu?" Brandy menawarkan. Senyum pria itu merekah. Menunjukkan cintanya yang tulus. "Benarkah?" "Brandy mengangguk." Mera berpikir sejenak."Apa kau tak terikat pekerjaan hari ini? Aku tak ingin jika liburan mengganggu kinerjamu." ucap Mera kemudian."Aku telah mengkhususkan libur di hari ulang tahunmu. Tidak sepatutnya aku sibuk dengan pekerjaan sedangkan ini adalah hari penting untukmu, penting buatku juga. Iya kan?" Brandy berucap seiring dengan sunggingan senyum manis pada kedua sudut bibirnya.Merah semakin terharu. Bagaimana tidak, kasih sayang Brandy terlalu besar untuk ia terima. Kalau pun ada sosok laki-laki sempurna sedunia ini , maka Mera berkesimpulan itulah sosok Brandy. Laki-laki itu memang merupakan pria yang bersifat langka dan jarang ditemui pada zaman milenial seperti seka
Bab 84 Kadang Abraham menyesal dahulu telah mengenal Mera yang pada akhirnya hanya membuatnya berada dalam masalah. Ya, mungkin bagi orang-orang yang tidak mengetahui, semua pasti akan menyalahkan atas sikapnya. Pada kenyataannya Abraham tidak pernah menginginkan berada dalam situasi seperti ini. Justru lelaki itu amat ingin terbebas dari perasaan yang menguasai hatinya.Terkadang hati memang berada dalam diri seseorang, akan tetapi apakah ada yang sadar bahwa sesungguhnya hati teramat sulit untuk dikendalikan, bahkan terkadang kita merasa tak mampu untuk mengubah suasana hati sebagaimana yang kita inginkan. Seolah hati itu tidak benar-benar mutlak milik kita. Ada sebuah zat yang maha besar yang mengendalikan segumpal benda tersebut melebihi pemilik hati itu sendiri, Dialah Tuhan yang maha kuasa.Dengan lunglai Abraham beralih ke kamar penginapan dan dengan pelan menyusun semua peralatan dan pakaian ke dalam koper kembali. Ia bertekad meninggalka
Bab 85"Jika seandainya terjadi apa-apa denganku, maka aku sendiri yang akan menanggung akibatnya. Bukan kau. Oleh karena itu, untuk apa kamu khawatirkan aku?" Merah bersikeras menentang semua ucapan-ucapan dari bibir Abraham. "Mera, aku mengkhawatirkanmu karena aku peduli. Itulah yang tidak pernah kau ketahui selama ini." ucapan Abraham terdengar Getir. Mera menggigit bibir."Jika kau masih memaksakan diri untuk keluar menembus hujan dalam kondisi seperti ini, maka pertanyaannya, ke manakah tempat yang akan kau tuju?"Mera berpikir beberaa saat lamanya, akhirnya ia membenarkan apa yang Abraham ucapkan. Kemana ia harus melangkah, sedangkan tempat ini pun asing di matanya."Kau tahu dimana kita sekarang Mera?""Seharusnya aku tak erlu bertanya. Aa susahnya kau memberitahuku." timpal Mera."Kau sedang bersamaku di sebuah pulau yang tak sembarang bisa di jangkau.""Apa? Lalu di mana suamiku"
Bab 86Mera melenguh lirih. Cukup menikmati, meski kenikmatan itu harus bercampur baur dengan perasaan membenci akan diri sendiri. Diantara deru nafas gairah akibat sentuhan Abraham, ada rintihan hati yang tak bisa Mera sembunyikan. Setitik air mata menetes, membasahi pipinya yang mulus bersih.Abraham menyapu tetesan itu dengan ujung jemarinya. Ada sakit dalam hati Mera tatkala merasakan cairan bening yang ia teteskan.Tapi untuk menolak ia tak bisa, dan untuk melanjutkan pun ada rasa tak bersalah. Dua perasaan yang saling bertolak belakang. Akan tetapi kenikmatan dan rasa cinta yang masih tersisa membawanya untuk bertahan dalam kondisi tersebut. Meski tak di pungkiri kedepannya semua itu akan membuat batinnya semakin tersiksa."Tidak usah menangis, Sayang! Tidak ada yang patut untuk ditangisi. Aku tak rela melihat air matamu." ucap Abraham.Mera membisu. Dalam kebisuannya ia membatin dalam benak, "Ya, kau tak rela melihat ak